Kepercayaan yang Hilang

3227 Words
… Kamar Naswa.,             Dia baru saja selesai membersihkan diri. Meski jarum jam sudah menunjukkan waktu tengah malam, dia tetap akan mandi karena pekerjaan yang berhubungan dengan bakteri dan virus.             Kini dia tengah berbaring di ranjang empuknya bermotif garis-gari hitam berlatar belakang coklat s**u. Keadaan seperti ini yang sangat diidam-idamkan Naswa ketika sampai di rumah atau saat berakhir pekan.             Karena, jika sudah berhadapan dengan pekerjaan, rasa ingin beristirahat saja tidak ada di benak Naswa. Karena dia sangat malas membuka jas dan APD lengkap saat memasuki ruangan laboratorium.                 Ketika matanya hendak terpejam, seketika dirinya mengingat kembali pesan yang dikirim oleh kekasihnya, Rangga. Tadi saat dia tengah bersantai dengan Pai, Naswa hanya membacanya sekilas.             Dia kembali beranjak dari rebahannya, dan berjalan menuju meja kerjanya yang berbentuk minimalis. Dia menjangkau ponsel miliknya yang terletak disana, lalu kembali melangkahkan kakinya menuju ranjang.             Dia membuka kembali pesan surel yang masuk ke alamatnya. Membaca kembali satu pesan yang tertulis singkat disana. Sayang, Abang sudah sampai di London Maaf, kita tidak bisa berjumpa Abang akan kembali 3 minggu lagi Jaga dirimu baik-baik I love you, Naswari Ayudya             Naswa menghela panjang nafasnya. Selalu sama dan selalu seperti itu, pikir Naswa.             Sejak awal dia menjalin hubungan dengan Rangga, tidak sedikit pun Rangga menghargainya sebagai seorang kekasih. Yah, Naswa merasa begitu.             Dia mengakui jika dari segi usia, Rangga bisa dikatakan sebagai pria yang sudah cukup matang dan dewasa. Dia juga sudah mapan dalam segi finansial. Tidak hanya itu, dia bahkan terlihat berwibawa dengan sikap yang ditunjukkan pada setiap orang.             Namun bagi Naswa, Rangga belum benar-benar matang dalam kedewasaan hubungan mereka berdua. Apalagi sejak mereka menjalin hubungan, Rangga tidak pernah sedikit pun memberi akses untuk Naswa agar bisa bebas menghubunginya kapan dan dimanapun.             Alasan Rangga sungguh klise menurut Naswa. Rangga tidak akan konsentrasi bekerja bila Naswa menghubungi di jam yang Naswa tidak tahu jika dirinya tengah berada di dalam ruangan operasi atau operasi sedang berlangsung.             Saat Rangga mengatakan alasan itu, jelas saja Naswa langsung mengomentarinya. Sebab jika itu yang menjadi alasan, Rangga bisa saja memberi pesan padanya satu atau dua jam sebelum dia melakukan operasi.             Naswa juga ahli dalam bidang kedokteran.  Dia tentu tahu bagaimana sistem membuat jadwal terhadap Dokter Spesialis untuk menangani pasiennya secara umum, apalagi hendak melakukan tindakan operasi.             Tidak bisa sembarangan, dan memang wajib membuat jadwal dua atau tiga hari sebelumnya. Atau jika memang sangat darurat, Rangga juga bisa mengirimnya pesan singkat saja.             Dan saat itu, Rangga hanya bisa diam dengan semua pernyataannya. Sikap diam Rangga pada waktu itu, lagi-lagi membuat Naswa sangat muak.             Yah, dia tidak suka melihat Rangga selalu diam padanya. Bahkan Rangga tidak pernah banyak bicara kalau mereka tengah jalan berdua.             Sikap Rangga padanya tidak seperti pria pada umumnya. Bahkan dia saja sangat sulit membedakan apakah Rangga benar pria yang tepat untuknya atau tidak. … “Kenapa denganmu, Bang? Aku tidak pernah nyaman kalau kau selalu pergi ke London.”             Sejak awal dia mengenal Rangga, dia merasa penasaran dengan keluarganya. Naswa pernah beberapa kali berjumpa dengan adik sepupunya, dan sikap adik sepupunya sangat tidak bersahabat dengannya.             Sejak saat itu, Naswa enggan diajak oleh Rangga untuk mengunjungi keluarganya yang berada di Senayan. Setiap kali Rangga merayunya agar mau diperkenalkan kepada keluarganya, Naswa menolak halus.             Dia memilih untuk menyelami karakter Rangga terlebih dahulu, sebelum dia siap untuk berjumpa dengan keluarga besar Rangga. Naswa tidak mau salah memilih pasangan.             Apalagi dia sudah mengalami trauma berat dalam hal perselingkuhan dan pengkhianatan di keluarganya sendiri. Dia pikir, alangkah lebih baik jika dia bersabar dan memantau perkembangan sikap Rangga dalam hubungan mereka yang sudah genap di tahun kedua.             Sebelum melangkah ke jenjang yang lebih serius lagi, Naswa mau memastikan jika Rangga memang benar-benar tulus terhadapnya. Tidak hanya sekedar menjadikannya seorang istri sebagai status dalam kartu keluarga. ..**..             Hari-hari telah berlalu, Naswa menjalani aktivitasnya seperti biasa. Bekerja, lalu kembali ke rumah. Istirahat, lalu keeokan harinya dia akan bekerja lagi.             Dia tidak menepati janjinya dengan Pai untuk pergi menonton bioskop bersama, sebab ada pekerjaan mendadak yang harus dia selesaikan. Itu sebabnya Naswa membatalkan cuti kerjanya.             Dia langsung menghubungi Pai pada jam pagi shubuh dan mengatakan jika dirinya harus mengurus beberapa hal mengenai penelitian yang akan diangkat ke dalam website penelitian resmi. Dia bersyukur, sebab Pai memakluminya dan langsung mengatakan padanya jika lebih baik dia balik ke Jakarta siang itu juga.             Awalnya Naswa merasa tidak enak hati dan melarangnya untuk kembali ke Jakarta pada hari itu juga. Dia berjanji pada Pai bahwa dia akan pulang cepat dan mereka akan pergi menonton bioskop bersama.             Namun, Pai tetap bersih keras untuk balik ke Jakarta. Dia mengatakan kalau Naswa harus fokus pada pekerjaannya demi mengabdi pada Negara.             Selain itu, Pai juga mengatakan kalau dia akan kembali lagi ke Medan dan memakai waktu liburnya. Sehingga mereka bisa bebas pergi kapanpun nanti.             Pai juga beralasan jika dirinya juga harus menyelesaikan pekerjaan yang tertunda. Apalagi, dirinya harus mengejar deadline atas tumpukan berkas yang mungkin dijadwalkan secara tiba-tiba.             Tidak sia-sia, penjelasan Pai akhirnya dimengerti oleh Naswa. Bahkan wanita itu masih sempat membuat Pai hampir mengumpat lewat panggilan telepon mereka, sebab dirinya mewajibkan Pai untuk liburan panjang dan mengajaknya berbelanja sepuasnya.             Hanya demi memutuskan panggilan telepon sebab dia tahu jika Naswa harus segera berangkat bekerja, akhirnya Pai mengiyakannya cepat. Pai memahami pekerjaan Naswa dengan sangat baik. Itu sebabnya dia akan selalu menjadi orang pertama yang menjadi pundak hangat dikala Naswa tengah bersedih. ---**--- Beberapa hari kemudian., Rumah Naswa, Medan, Indonesia., Dapur., Pagi hari.,             Naswa masih sibuk dengan ponselnya sejak tadi. Dia bahkan tidak sadar jika sepiring nasi goreng sudah tersedia di hadapannya saat ini. Hingga sang Mama menyapanya, dia kembali tersadar. ”Kak, sarapan dulu. Katanya mau pigi pagi?” sapa seorang wanita berusia 49 tahun, Endang Lestari. Dia masih sibuk di dapur, menyiapkan bekal makanan untuk dua putrinya, Naswa dan Miswa.             Naswa melirik sekilas ke arah sang Mama. ”Sebentar, Ma.” Dia hanya menjawab singkat, dan seketika dia mengingat pesan dari teman kerjanya tadi pagi. ”Oh iya, Kakak gak usah bawa bekal, Ma. Nanti makan siang bareng mereka di resto,” ujarnya memberitahu.             Endang mengangguk paham, dan menata bekal untuk putrinya, Miswa. ”Miswa ... Adek mau bawa bekal, gak?” tanya Endang berteriak keras.             Tanpa menyahut, seorang wanita dengan pakaian tertutup dan jilbab sedikit panjang, dia turun dari tangga lantai dua. Kakinya langsung melangkah, mendekati sang Mama. ”Mama nyayur apa?” tanya Miswa sembari melihat meja masak, terdapat beberapa mangkuk sayur disana.             Endang melirik putrinya. ”Capcai kangkung. Kakap sambal, sama tahu goreng krispi. Mau?” tanya Endang memastikan sembari memilih wadah bekalnya.             Miswa langsung duduk disana. ”Mau lah, Ma. Agak banyak lauknya. Hari ini Adek pulang sore. Mau nunggu dosen pembimbing,” ujarnya memberitahu.             Endang langsung membuat bekal untuk putrinya, Miswa yang masih berkuliah. Dia melirik ke arah dua putrinya yang masih belum menyentuh sepiring nasi goreng milik mereka masing-masing. ”Dimakan dulu nasi gorengnya. Kalau dingin, gak enak nanti.” Endang mengingatkan.             Miswa langsung meletakkan ponselnya di atas meja makan. Sedangkan Naswa, dia memilih untuk tetap memegang ponselnya sembari memakan nasi gorengnya.             Mereka sarapan bersama seperti pagi biasanya. Dan hanya mereka bertiga saja. Sebab sudah 4 hari, sang Ayah tidak kunjung pulang ke rumah.             Endang sudah terbiasa dengan sikap suaminya itu. Namun, dia tidak pernah berpikiran buruk dan menganggap jika suaminya tengah berselingkuh. Dia percaya jika Tuhan akan menjaga hatinya. Selama beberapa hari suaminya tidak kembali ke rumah, dia memang percaya jika suaminya benar-benar tengah pergi ke luar kota             Berbeda dengan Naswa yang sudah tahu dimana keberadaan Ayah mereka. Apalagi Naswa sudah tidak menganggap ada Ayahnya di dalam rumah mereka.             Hanya itu jalan satu-satunya untuk Naswa agar bisa tenang dan bisa fokus bekerja. Sebab, jika dia tidak bisa mengolah hati dan logikanya dengan baik, bisa dipastikan dia akan stress berat, apalagi menghadapi urusan pekerjaannya.             Mungkin sikap Naswa sangat keterlaluan. Tapi, hanya itu yang bisa dia lakukan. Sebab tidak ada bahu siaga yang bisa menjadi tempatnya bersandar.             Jikapun ada, dan orangnya adalah sang Mama. Tidak mungkin bagi Naswa. Karena dia tidak mau menambah beban pikiran Mamanya untuk urusan lain atau mengenai rasa sakit hatinya terhadap Ayah mereka yang masih berlarut sampai detik ini.             Kalau sang Mama tahu dia masih menyimpan rasa sakit hati itu, maka bisa dipastikan Mamanya akan mencecarnya dengan berbagai pertanyaan. Dan dia tidak mau hal itu terjadi, sebab dia tidak bisa berkata bohong kepada Mamanya sendiri. …             Naswa masih belum selesai menghabiskan nasi goreng di piringnya. Sebab dirinya masih terus disibukkan dengan berbagai pesan dari ponselnya.             Sesekali dia melirik jam yang ada di pergelangan tangan kirinya. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 6.35 pagi.             Dia pikir, dia harus bergegas menghabiskan sarapannya sebab dirinya harus mengantar sang Adik ke kampus tempat dia menimba ilmu.             Saat melihat Naswa makan begitu lahap, Endang membuka suaranya. “Pelan-pelan makannya, Kak. Nanti tersedak,” ujarnya menasehati. “Iya, Ma.” Naswa hanya menjawab singkat tanpa senyuman.             Miswa, dia sudah selesai dari acara sarapannya. Dan memilih untuk mengambil bekal makanannya. “Mana bekal Adek, Ma. Mau diletak di mobil,” ujarnya.             Endang memberi bekal itu pada putrinya, Naswa.             Dan Naswa melirik Miswa yang tahu bahwa dia mencari kunci mobil. “Ini.” Naswa menyodorkan kunci mobil itu ke arahnya, diatas meja makan.             Miswa menjangkaunya dan keluar dari dapur, berjalan menuju garasi mobil melalui pintu penghubung.             Endang duduk tepat di sebelah putrinya, sembari memperhatikan ekspresi Naswa yang tampak lelah. “Kakak capek?” tanya Endang merapikan ujung hijab yang sedikit tidak rapi.             Naswa melirik sang Mama dengan gelengan kepala. “Enggak. Kenapa, Ma?” tanyanya balik, dan berusaha untuk bersikap biasa saja. Meski sebenarnya, dia memang sangat lelah sekali. Tidak hanya lelah fisik, tetapi hati dan pikirannya juga sangat lelah.             Endang menatap lekat putrinya dalam diam.             Sedangkan Naswa, dia tidak menyukai sikap sang Mama yang seakan-akan tengah meratapi nasib. “Mama kenapa?” tanya Naswa lalu meminum air mineral yang sudah disediakan untuknya.             Endang menggelengkan pelan kepalanya. Dia hanya tersenyum saja.             Namun, Miswa yang baru saja masuk ke dapur. Dia menyahut pertanyaan sang Kakak dengan kalimat yang dia pahami melalui ekspresi Mama mereka. “Mama masih mikirin Papa?” tanya Miswa dengan nada sedikit jengkel.             Endang menatap putrinya, Miswa yang duduk berseberangan meja dengannya. “Ya mikirin lah, Dek. Namanya suami Mama,” jawabnya sesuai dengan kenyataan yang ada.             Miswa berdecak sebal, dan menggeleng kepalanya. “Untuk apa Mama mikirin dia?” “Dia aja gak mikirin Mama. Nelpon Mama aja gak ada, kan?” tanya Miswa menebak.             Endang menghela panjang nafasnya sebab tebakan putrinya adalah benar. “Iya, sih. Tapi dia balas pesan Mama. Dia masih kirim-kirim foto kalau dia lagi kerja. Ya berarti kan memang benar, kan.” Balas Endang mencoba untuk membela suaminya, meski hatinya juga merasa jika suaminya mungkin berbohong. Namun, dia melakukan itu agar kedua putrinya tidak semakin membenci Ayahnya sendiri.             Miswa kembali menepis apa yang dikatakan oleh sang Mama. “Ma, sekali tukang selingkuh … ya tetap tukang selingkuh!” “Mama jangan mau dibodohi dia! Buktinya aja … kenapa Mama sampai gak tau berapa gaji Papa?” Mama gak pernah tahu kan slip gaji Papa?” cecar Miswa lagi seraya tidak puas memojokkan sang Ayah,             Endang mulai berekspresi sedih. Dia hanya diam saja. Sebab, apa yang dikatakan oleh putri bungsunya memang benar. Dan dia tidak bisa menyelanya lagi.             Naswa melihat bagaimana sedihnya wajah itu. Dia langsung beranjak dari posisi duduknya, dan mendekati sang Mama. Dia menjangkau tangan kanannya. “Ma, kami pigi dulu. Nanti sore Kakak pulang cepat. Mama siap-siap yah? Kayaknya Kakak pengen belanja,” ujarnya memberitahu.             Endang mengangguk iya, dia beranjak dari duduknya. Dan membiarkan putrinya mengecup pipi kanan dan kirinya.             Begitu juga dengan Miswa melakukan hal yang sama. “Ya udah. Nanti sekalian lah belanja untuk dapur. Papamu sekarang ngasih Mama dikit,” ujar Endang berkata jujur.             Miswa semakin meradang. “Memangnya Mama dikasih berapa sama dia?” tanyanya sembari mengambil tasnya. “Cuma 5 juta. Biasanya gak segitu,” jawabnya dengan nada sedih.             Naswa hanya diam saja dan tidak mau tahu soal itu. Sebab menurutnya, tidaklah penting berapapun uang yang diberikan oleh Ayah mereka. Sebab dia sendiri bisa memberi uang belanja untuk sang Mama diatas 10 juta perbulan.             Mendengar jawaban dari sang Mama, Miswa kembali angkat bicara. “Biasanya Mama dikasih berapa?” tanyanya lagi.             Endang merapikan hijab putrinya, Miswa. “Diatas 10. Tapi uda 4 bulan ini, dia ngasihnya 5 juta aja. Kalau gak ada kartu dari Kakak, mana cukup untuk sebulan.”  Endang mulai mencurahkan isi hatinya dengan kedua putrinya.             Naswa yang merasa jengah, akhirnya dia membuka suaranya. “Ya udalah, Ma. Yang penting dia ngasih uang aja tiap bulan. Kan Kakaka ada ngasih Mama kartu. Dia gak tahu kan?” tanya Naswa kembali memastikan.             Ending menggelengkan kepalanya. “Ya gak tahu. Dia cuma tahu kalau uang Mama 5 juta. Kalau kurang, ya minta sama dia lagi. Tapi sama dia tetap dikasih,” jawabnya melirik kedua putrinya bergantian.             Naswa menutup pembicaraan mereka dengan alasan waktu. Mereka berdua pamit pergi.             Dan tidak lupa lagi, Naswa mengingatkan sang Mama tentang rencana berbelanja mereka sore ini. Dan sang Mama mengangguk paham. ..**..             Yah, hanya cara itu yang bisa dia lakukan untuk mengisi kekosongan waktu sang Mama. Apalagi jika mereka berdua sudah keluar rumah, rumah akan sepi. Dan Mama mereka hanya bisa sendiri atau paling tidak main ke rumah saudara yang rumah berada di dekat rumah mereka.             Naswa tipe anak perempuan yang penurut dan penyayang. Tapi, karena kejadian memalukan yang dilakukan oleh Ayahnya, membuat Naswa menjadi anak pembangkang jika dinasehati oleh keluarganya, kecuali sang Mama.             Setelah mereka pergi dari rumah, Naswa mengantar sang Adik ke kampusnya. Meski sudah dikejar waktu, Naswa tidak mempermasalahkan hal itu. Sebab dia bekerja di ruangannya sendiri. Dan hanya dirinya yang berhak untuk membuka ruangan laboratorium yang dia kendalikan. … Di dalam perjalanan.,             Dia masih fokus mengemudikan mobilnya. Tapi perasaannya tidak tenang. Dia tidak bisa mengakses lagi keberadaan sang Ayah melalui ponselnya, sebab Ayah mereka sudah berganti ponsel.             Dan saat ini, dia tengah menghubungi Pai untuk meminta bantuannya. Sejak beberapa menit yang lalu dia terus menghubungi pria itu. Namun, tidak ada balasan satupun darinya.             Naswa tidak habis pikir, kenapa Ayahnya begitu licik. Tapi setelah dia pikir kembali, perempuan perebut suami orang itu pun memang sangat licik. “Hahh!” Dia menghela kasar nafasnya.             Saat dia berhenti tepat di persimpangan jalan karena lampu merah, ponselnya berdering. Bg Pai is calling…             Naswa langsung menjangkaunya, dan menerima panggilan itu. “Hallo, Bang! Kenapa gak Abang angkat teleponku?!” “Ya Allah, Dek … Dek … Salam dulu kek, apa kek. Main nyembur aja. Masih pagi ini!”             Naswa mengernyitkan keningnya saat Pai menghentak kalimatnya. “Dih! Malah marah lagi!” “Yauda-yauda, tadi ada apa nelpon Abang? Tadi Abang lagi beresin berkas, ini baru sampai kantor …” “Bang, dimana posisi Pap? Kenapa Abang gak ada bilang kalau dia ganti ponsel?” “Dan aku tahu ini dari Mama! Kata Mama, sekarang Papa pakai Iphone! Sejak kapan dia suka sama Iphone?! Kenapa Abang gak ada bilang!” “Satu-satu kenapa sih, Dek kalau mau tanya. Cenat-cenut kepalaku jadinya, masih pagi ini loh …” “Cepat lah, Bang! Dimana posisi dia sekarang!” “Iya-iya, sebentar Abang cek dulu. Tapi ini, Adek dimana?” “Di jalan …” “Uda sarapan?” “Uda …” “Bawa bekal gak?” “Gak …” “Gak ada niat mau nanya Abang?” “Dimana posisi dia?!” “Iya-iya … ya Allah. Nasib amat dah …”             Dia menunggu Pai memberi jawaban untuknya, sembari melajukan mobilnya kembali. Selama hampir 2 menit Naswa menunggu, hingga Pai yang berada di seberang telepon, dia kembali membuka suaranya. “Nas, masih nafas?” “Masih lah! Kenapa? Mau dicekik?” “Astaghfirullah, Dek … Dek. Judes amat jadi orang …” “Sabodo teuing!” “Nasibmu lah Pai!” “Ini, Papa ada di Hotel Danau Toba …” “Sejak dia gak balik lagi ke rumah, Bang?” “Iya …” “Sejak waktu itu kita jumpa?” “Iya, Dek …” “Berarti Abang uda tahu kalau Papa nginap disana sejak dia gak pulang ke rumah?” “Iya-iya … orang Adek gak mau tanya. Ya Abang pikir, Adek uda tahu lah …” “Yaudala makasih, Bang …” “Iya, sama-sama. Tapi jangan kesana ya, Dek? Jangan buat kekacauan yang buat diri Adek malu. Paham gak?” “Hmm …” “Naswari!” “Iya-iya, paham! Gak usah pakai otot juga kali!” “Yauda, ini Abang mau kerja. Abang tutup ya …” “Iya, Bang. Tisam sama ciwi-ciwi mu ya, Bang …” “Yoi mamen, kalau Abang ke klab nanti malam …” “Yauda, Bang. Assalamu’alaikum …” “Bah. Masuk gak pakai salam. Gitu keluar, pakai salam manis …” “Assalamua’alaikum!!” “Iya-iya, wa’alaikumsalam!” Tutt… Tutt… Tutt…             Naswa memutuskan sambungan telepon mereka.             Dia menatap lurus ke depan. Menggenggam erat stiur disana. Dia menggertakan deretan giginya. ‘Brengsekk!’ Bathinnya mengumpat kesal. *** Hotel Danau Toba Internasional, Medan, Indonesia., Kamar VIP., Pagi hari.,             Seorang wanita baru saja selesai mandi. Tubuhnya berbalut handuk putih setengah badan. Rambutnya masih tampak basah.             Saat dirinya tengah mengeringkan rambut sembari berkaca diri, seorang pria memeluknya dari belakang. “Seksi sekali sih. Ini istrinya siapa?”             Pria itu memeluknya, hingga wanita itu tersenyum manis dari balik cermin rias. “Istrinya Bapak Panji Baskoro dong!” jawab wanita itu bangga sembari menyiku lengan yang saat ini memeluknya.             Yah, Panji masih berada di hotel ini bersama dengan selingkuhannya. Bukan, lebih tepatnya bersama dengan wanita yang sudah dia nikahi secara siri. “Mas mau lagi. Masih boleh gak?” tanya Panji genit.             Wanita itu, Sri Rezeki. Dia menggelengkan kepalanya sebagai kode tidak. “Ayolah, Sayang. Sebentar aja. Satu ronde lagi,” rayunya memohon sembari melepas ikatan handuk milik Sri. “Mas, aku baru aja mandi wajib ish!” Sri hanya berpura-pura sebal saja. “Ayolah, Mas udah gak tahan. Sore ini Mas sudah balik ke rumah. Kita gak bisa main lagi nanti malam,” rayunya sembari merundukkan tubuhnya, dan mengecupi leher jenjang Sri yang sudah penuh dengan bercak merah akibat keberingasan Panji.             Sri menekan tombol off pada alat pengering rambut itu, dan meletakkannya disana. Tubuhnya sedikit menggeliat, seiring dengan erangan yang keluar dari bibirnya. “Mas … ahh …”             Dia terus mengerang, sebab kedua gundukannya telah diremas kuat oleh dua tangan Panji. “Mas? Pelan-pelan yah?” “Iya, Sayang. Mas pasti pelan-pelan.”             Panji membalik tubuh Sri. Dia lalu mengangkat tubuhnya, dan mendudukannya diatas meja rias, hingga benda-benda yang ada disana berserakan. “Mas … eungghh …” Sri terus mengerang, saat bibirnya mulai dirampas kasar. Namun, Sri suka itu. Dia mengalungkan kedua tangannya pada pundak Panji, sedikit menjambak rambutnya.             Panji juga membuka handuk yang menutupi tubuhnya saat ini. Dia kembali merasa ingin, meski mereka sudah melakukannya berulang kali di dalam bathup.             Sri melirik ke arah bawah. Dia menyeringai saat tahu bahwa Panji sangat betah padanya, walau dia tahu bahwa miliknya memang sudah tidak sempit lagi.             Panji menganga saat dia mulai menyatukan tubuh mereka dan Sri kembali menghangatkannya. Dia sangat menyukai ini.             Mereka kembali melakukan percintaan tanpa henti dengan gaya berbeda. Berulang kali Panji menghentak-hentakkan miliknya ke dalam sana, melampiaskan nafsunya yang tak tertahankan.             Hingga selang 5 menit dia menjerumuskan miliknya, Sri kembali mencapai puncak kenikmatannya. Dia mengerang hebat, dan tidak peduli jika erangannya bisa saja terdengar keluar.             Namun, saat dia tengah mengerang hebat dan Panji masih terus menyiksanya. Tokk… Tokk… Tokk… * * Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD