Kenyataan yang begitu Pahit

3249 Words
… Di dalam perjalanan., Naswa terus melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Tidak peduli apa pesan Pai terhadapnya saat di sambungan telepon tadi. Karena bagi Naswa, keinginannya saat ini adalah menyaksikan sendiri apa yang telah dilakukan oleh sang Ayah yang sudah bersumpah bahwa dia tidak akan lagi berselingkuh dan mengkhianati pernikahan mereka.             Dia benar-benar kecewa. Kekecewaan yang sangat mendalam, sehingga dirinya tidak lagi mempercayai sikap Ayahnya yang ahli bermulut manis di hadapan sang Mama. “Haahhhh …”             Dia menghela kasar nafasnya. Dan sekali lagi, dia sudah memutuskan akan pergi ke Hotel tempat dimana Papanya menginap bersama dengan selingkuhannya.             Dia bersumpah, jika saja mereka masih berada disana. Maka, dia tidak akan segan-segan untuk membuat hidup mereka berdua terpuruk dan hancur.             Jalanan memang mulai ramai di jam kerja seperti ini. Apalagi kota Medan adalah kota metropolitan kedua yang tidak pernah tidur.             Dia mencari jalan tikus agar cepat sampai di tempat tujuannya. Meski dia diharuskan datang lebih awal untuk mengurus beberapa hal penting. Namun, bagi Naswa tujuannya saat ini adalah jauh lebih penting. *** Hotel Danau Toba Internasional, Medan, Indonesia., Parkiran depan hotel.,             Dia sudah sampai di parkiran depan hotel. Tidak banyak berdiam diri, dia segera menjangkau tasnya, lalu turun dari mobilnya.             Dia berjalan menuju pintu utama hotel, lalu menjawab sapaan pria berseragam satpam disana. … Ruang resepsionis., “Pagi, Mbak. Apa ada yang bisa saya bantu?”             Naswa mengedarkan pandangannya ke arah ruangan resepsionis yang begitu besar. Lalu beralih membalas kalimat satpam itu. “Atas nama Bapak Panji Baskoro. Saya mau menemui Beliau,” jawabnya dengan sopan tanpa ekspresi sedikit pun di wajahnya.             Dia mengernyitkan keningnya saat melihat satpam itu langsung terdiam selama beberapa menit setelah dia menjawabnya. “Oh, sebentar kita cek dulu ya. Silahkan duduk dulu, Mbak.” Satpam itu berkata sopan sembari mempersilahkan Naswa untuk duduk di sofa panjang yang tersedia disana.             Naswa langsung duduk di sofa itu. Namun, kedua matanya terus melihat ke arah yang meja resepsionis, dimana satpam dan dua orang resepsionis tampak berbicara panjang dan lebar. Sesekali mereka meliriknya dengan ekspresi penuh khawatir.             Dia menghela panjang nafasnya. Karena sudah hampir 2 menit, dan menurut Naswa itu terlalu lama untuk mengecek nama Ayahnya di Hotel ini, akhirnya dia memutuskan untuk menghubungi Pai kembali. Sambungan telepon tersambung dan berdering. Dan tidak lama dia menghubunginya, teleponnya langsung terjawab. “Hallo, Assalamu’alaikum. Abang lagi meeting, Naswa!” “Bang, apa betul Papa ada di Hotel ini?”             Dia berbicara dengan Bahasa Inggris, dan dengan nada sepelan mungkin. “Iya, Papa disana. Jangan bilang kamu lagi disitu sekarang?! Kan Abang uda bilang—” “Mereka lama, Bang! Aku tanya nama aja, mereka seperti bisik-bisik gitu di meja resepsionis!” “Siapa aja?” “Satpam, sama 2 orang resepsionis!” “Mungkin Papa udah ninggalin pesan, biar jangan bilang-bilang kalau ada yang tanya keberadaannya disitu. Udah sekarang balik kerja! Jangan buang-buang waktu disana!” “Aku cuma mau mastikan aja, Bang. Kalau Papa memang disini!” “Yauda. Tapi jangan main labrak ya? Kamu tidak selevel dengan dia. Paham, Naswari?” “Iya, Paham. Yaudala, aku gertak mereka dulu. Aku cuma mau mastikan langsung aja lo, Bang!” “Iya, yauda. Abang meeting dulu. Abang tutup ya?” “Iya, Bang. Makasih, Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumsalam. Naswa-Naswa.” Tutt… Tutt… Tutt…             Sampai dirinya selesai bertelepon pun, mereka tetap belum selesai berdiskusi. Namun, Naswa masih terus menunggu.             Pesan di ponselnya sudah sangat banyak, dan itu semua dari rekan kerjanya. Dia yakin, mereka pasti sudah menunggunya saat ini.             Dia pikir, tidak masalah dirinya hanya telat 10 menit saja. Sebab, jarak Hotel ini dengan kantornya juga tidak terlalu jauh, pikirnya.             Dan setelah beberapa menit dia kembali menunggu setelah menghubungi Pai, satpam itu kembali menghampirinya. “Permisi, Mbak. Tadi atas nama siapa, Mbak?” “Atas nama Bapak Panji Baskoro,” jawab Naswa langsung beranjak dari duduknya. “Maaf, Mbak. Atas nama yang Mbak sebutkan tidak terdaftar di catatan resepsionis.”             Pernyataan dari satpam itu membuat Naswa menyeringai tipis. Dia melirik ke arah meja respsionis, dimana 2 orang wanita itu tampak melirik ke arahnya.             Dia menatap satpam itu dengan ekspresi datar, lalu melangkahkan kakinya menuju meja respsionis. “Mbak, maaf. Ada yang bisa saya bantu lagi?” tanya satpam itu baik-baik padanya.             Sedangkan Naswa, dia sudah berada pada emosi tertahannya. Hal yang paling tidak dia sukai di bumi ini adalah dibodohi. Dia pikir, orang-orang ini memang perlu diberi pelajaran sedikit saja.             Naswa menghadap ke arah meja respsionis tanpa berniat menyapa lembut 2 pekerja wanita berpakaian rapi disana. “Jadi, atas nama Bapak Panji Baskoro tidak ada di hotel ini?” tanyanya sekali lagi, melirik mereka bertiga bergantian.             Mereka tampak saling melirik satu sama lain. Namun, berbeda dengan 1 pekerja wanita yang tegas menjawab pertanyaannya dengan kata tidak. “Tidak ada, Bu. Kami sudah mencarinya dengan teliti berulang kali,” jawab pekerja wanita itu.             Naswa mengetahui ekspresi ketakutan dari wajah mereka. Sebagai seorang peneliti yang juga belajar mengenai ekspresi mikro manusia, tentu saja Naswa bisa menebaknya.             Dia menarik nafasnya dalam-dalam, dan kembali melanjutkan kalimatnya. “Baiklah. Sekali lagi saya tanya, kalian mau saya sendiri yang menggeledah kamar di Hotel ini dengan bantuan polisi atau kalian mengakuinya?” tanya Naswa tanpa basa-basi lagi.             Mereka saling melirik satu sama lain dan mulai khawatir. Satu pekerja terlihat menyibukkan diri dengan sengaja.             Dan 1 pekerja wanita lagi tengah melayaninya. “Mbak, maaf—” ucapan pekerja wanita itu terhenti.             Naswa langsung menyelanya, sebab dia tidak suka hal yang bertele-tele. “Begini ya, Mbak. Saya tahu kalian bekerja disini. Tapi atas nama Bapak Panji Baskoro, dia itu adalah Papa saya sendiri. Saya hanya mau tahu, dia sedang apa di dalam sana. Apa saya salah?” tanya Naswa lagi sembari memperhatikan ekspresi mereka bertiga.             Mereka terdiam selama beberapa detik. Hal itu membuat Naswa tidak sabar, dan kembali melanjutkan kalimatnya lagi. “Dia bersama selingkuhannya. Jangan kalian pikir, kalian bisa membodohi saya.” Naswa menyeringai lalu direspon kata maaf berulang kali dengan nada begitu kecil oleh para pekerja itu.             Naswa melempar pandangannya ke arah yang lain, saat dua pekerja wanita itu mulai meminta maaf padanya. Dia melihat keadaan hotel memang sangat sepi. Mungkin karena masih pagi, pikir Naswa.             Namun, saat dirinya masih terus diam. Satu pekerja mulai meminta maaf padanya dan dia tampak memohon untuk tidak mengadukan hal ini pada manager mereka. “Mbak, kami minta maaf sudah tidak jujur … tolong jangan marah. Saya tidak mempunyai uang untuk mengembalikan uang yang sudah saya pakai. Beliau memberi kami tips untuk tutup mulut, Mbak. Dan uangnya sudah saya pakai untuk pengobatan anak saya, Mbak. Anak saya sedang dirawat di Rumah Sakit sekarang. Tolong, Mbak jangan membuat keributan disini,” ujar salah satu pekerja resepsionis, dia menunjukkan video sang putri yang tengah berbaring lemah disana.             Dan salah satu pekerja lagi, dia langsung menyodorkan satu kunci dengan 3 angka disana. “Mbak, tolong jangan membuat keributan. Kami masih butuh pekerjaan disini,” ujar wanita itu sambil mengangguk pelan, seraya meminta maaf padanya. Kedua tangannya menyatu, dan menangkup di dekat dadanya.             Begitu juga satpam itu yang tampak berjaga-jaga di sisi kiri Naswa. Ekspresinya seperti meminta maaf padanya, meski tidak ada kata yang terlontar dari bibirnya saat ini. Tapi gerakan tubuhnya sudah cukup diketahui oleh Naswa.             Satu pekerja wanita itu kembali membuka suaranya di hadapan Naswa. “Mbak … Bapak Panji membawa istrinya kesini. Dan mereka menunjukkan langsung sertifikatnya. Itu sebabnya kami menerima mereka,” ujar wanita itu dengan kalimat terdengar alibi bagi Naswa.             Namun, Naswa juga sedikit bingung. Apakah benar sang Ayah telah menikah siri, pikirnya. “Jadi, mereka sudah menikah siri. Itu yang kalian tahu?” tanyanya menegaskan.             Dua pekerja wanita itu tampak mengangguk pelan dengan wajah mulai pucat pasi. “Iya … benar, Mbak. Karena mereka menunjukkan sertifikat pernikahan siri mereka, Mbak.” Mereka menjawab kompak.             Naswa menghela panjang nafasnya. Dia masih terus melihat angka dari balik kunci kamar hotel itu. Sejenak, dirinya memikirkan apa yang harus dia lakukan. Apakah dia harus menemuinya langsung atau tidak.             Jika menemuinya langsung, lalu untuk apa? Apakah dengan cara memergoki mereka bisa membuat Ayahnya berubah?             Lagi pula, Ayahnya sudah berani menikahi siri wanita lain di belakang Mamanya. Tapi mendengar pernyataan itu bahkan dari orang lain, entah kenapa Naswa merasa biasa saja. Dan untuk datang ke Hotel ini saja pun, kakinya tidak berat untuk melangkah.             Jika dia melabrak mereka berdua dan membuat keributan disini, itu justru akan mempermalukan dirinya sendiri, pikir Naswa. Status pernikahan siri antara Ayahnya dan wanita neraka itu membuat Naswa tidak bisa berbuat apa-apa. Sekalipun dirinya melaporkan hal ini kepada pihak yang berwajib atas tuduhan berzina satu sama lain, maka polisi juga tidak akan menanggapinya sebab ada status pernikahan meski hanya pernikahan siri. Dia masih menimbang hal apa yang harus dia lakukan disini. Sebab dia tidak mau jika kedatangannya ke Hotel ini, hanya sia-sia. Saat dirinya tengah berpikir, seorang pria berseragam rapi menghampiri meja resepsionis. Pria itu tampak berbicara dengan dua pekerja wanita itu dan satpam yang sejak tadi bersama dengan mereka. Naswa hanya mendengarkan mereka saja, dan tidak berniat untuk pergi dari sana. Dia bisa mendengarnya dengan sangat jelas, jika pria ini merasa ada yang tidak beres sebab melihat dirinya yang seperti bersih tegang disini sejak tadi. … Namun, seperti dugaannya. Pria yang merupakan manager di Hotel ini, dia langsung menyapanya. “Maaf, Mbak. Ada yang bisa kami bantu?”             Naswa melirik mereka bergantian, dan kembali menatap pria itu. “Tidak ada. Saya hanya menunggu teman disini,” jawabnya dengan nada dingin bak sombong. Juga tidak mungkin bagi Naswa berkata jujur. Lalu dia melirik ke arah dua wanita itu.             Pria itu tersenyum ramah dan mengangguk paham. “Baik, Mbak. Jika ada yang tidak beres, bisa melapor ke resepsionis saja ya, Mbak. Mereka akan membantu,” ujarnya lagi.             Naswa hanya menganggukkan kepalanya tanpa berniat untuk membalasnya, meski hanya dengan seuntai kalimat saja.             Setelah pria itu berlalu dari hadapan mereka, salah satu pekerja wanita disana kembali bertanya padanya. “Mbak, apa ada lagi yang bisa kami bantu? Mbak mau bertemu langsung dengan Beliau?” tanya pekerja wanita itu padanya.             Satpam itu sudah kembali bekerja, dan berjaga-jaga di area pintu masuk hotel, meski dia sesekali melirik ke arah mereka. Sedangkan dua pekerja itu, mereka masih melayani apa yang hendak diinginkan Naswa untuk saat ini. Dia terdiam selama beberapa detik, dan mempercepat laju konsentrasinya. Naswa pikir, dia harus melakukan sesuatu. … Kamar VIP.,             Hingga selang 5 menit dia menjerumuskan miliknya, Sri kembali mencapai puncak kenikmatannya. Dia mengerang hebat, dan tidak peduli jika erangannya bisa saja terdengar keluar.             Namun, saat dia tengah mengerang hebat dan Panji masih terus menyiksanya. Tokk… Tokk… Tokk… Deg!             Mereka berdua terkejut dan memperlambat sahutan desah yang sejak tadi terdengar nikmat di indera pendengaran mereka. “Siapa, Mas? Eungghh … ssshhh …”             Panji menggelengkan pelan kepalanya. “Gak tau, Sayang … ganggu aja!” umpatnya kesal, namun masih terus menggoyangkan pinggulnya, menghujam tubuh Sri berulang kali. Ketika mereka saling bersahutan dalam desahan kenikmatan. Tokk… Tokk… Tokk…             Lagi-lagi suara ketukan pintu itu membuat Panji mengerang kesal. “Aahh … siapa sih yang ngetuk pintu pagi-pagi!” umpatnya lagi, lalu melepas penyatuan mereka.             Sri yang sejak tadi membuka lebar kedua pahanya, kini beralih turun dari sana. “Ssshhh … intip dulu, Mas.” Sri berpesan pada Panji yang mulai memakai busananya.             Panji hanya berdehem saja, sebab kegiatannya diganggu, dan dia sangat tidak suka itu.             Sedangkan Sri, dia kembali memakai handuknya yang tadi terjatuh di lantai. Dia bergegas melangkahkan kakinya berjalan menuju kamar mandi, lalu segera menguncinya.             Panji hanya mengenakan kaus dan celana tidurnya saja, tanpa memakai celana dalam. Setelahnya, dia lalu berjalan menuju pintu hotel untuk mengintip siapa yang berani mengganggu aktitivitas pagi mereka. “Jangan keluar ya, kalau Mas belum bilang keluar!” ujar Panji berpesan pada Sri yang sudah berada di dalam kamar mandi. “Iya, Mas.” Sri menjawabnya dengan suara sedikit keras dari dalam sana.             Dia berjalan menuju pintu, lalu mengintip siapa yang berada di luar kamar hotel mereka. Sebab dia juga sedikit khawatir, jika saja putrinya Naswa tahu keberadaannya saat ini.             Saat dia mengintip ke arah luar kamar, terdapat seorang cleaning service dengan peralatan yang dibawa. “Permisi?” sapa pria berseragam cleaning service itu.             Panji langsung membuka kunci kamarnya, dan melihat keadaan sekitar kamar hotelnya. Sepi dan tidak ada siapapun, pikirnya. “Ada apa? Saya tidak ada menyuruh pihak resepsionis untuk memanggil CS!” ujarnya dengan nada kesal.             Pria berseragam cleaning service itu mengangguk maaf padanya. “Maaf, Pak. Tapi saya harus menyapu kamar ini sebentar. Karena ini sudah menjadi tugas rutin saya. Sebab akan ada pengecekan tak terduga dari atasan kami nanti,” jawab CS itu dengan senyuman sedikit ramah. Deg!             Jantung Panji kembali berdetak tidak normal. Denyutan jantungnya jelas berbeda saat dia tengah bercinta bersama dengan wanita selingkuhan yang kini sudah menjadi istri sirinya. “Ya sudah. Cepat bersihkan. Hanya 5 menit saja!” ujar Panji mengizinkan pria itu masuk ke dalam kamar mereka dengan stroli berisi perlengkapan khusus pekerja cleaning service.             Selama kegiatannya berlangsung, pria berseragam cleaning service itu memperhatikan seisi kamar yang sangat berantakan. Barang-barang milik mereka berserakan. Tidak luput dari pandangannya, beberapa bungkus alat pengaman berserakan di meja bundar, yang ada disana.             Hampir 5 menit dia membereskan kamar, dan tentu saja waktu 5 menit pun belum cukup untuknya membuat kamar itu kembali rapi. Panji mulai kesal, sebab syahwat sudah tak terbendung lagi.             Akhirnya dia menyuruh keluar cleaning service itu. “Sudah-sudah. Kau boleh keluar. Aku akan katakan kalau kau sudah membersihkan kamar ini. Sekarang, cepat pergi!” ketusnya dengan nada kasar. “Baik, Pak.” Pria itu hanya mengangguk dan kembali membereskan peralatannya. Dan dia keluar dari sana. … Ceklek… Panji menguncinya kamarnya kembali. Dan langsung melangkah menuju kamar mandi. “Sayang. Sudah, cepat keluar. Mas sudah gak tahan!” ujarnya lalu menanggalkan kembali pakaiannya.             Pintu kamar mandi terbuka, dan Sri melihat ke arah pintu untuk berjaga-jaga sebelum dirinya melepas handuk yang sejak tadi membalut tubuhnya. “Sudah pergi dia?” tanya Sri melirik ke segala sisi ruangan.             Tanpa banyak menjawab, Panji langsung merampas bibir Sri dan membawanya menuju ranjang. “Kita pulang pagi ini ya, Sayang. Kata pria tadi, kamar hotel mau dicek. Hhmpphtt …” Gumamnya sembari menghisap kasar bibir Sri.             Sri tidak mampu menyeimbangi gerakan Panji. Dan dia hanya bisa pasrah. “I-ya … Mas. Tapi pelan-pelan yah?”             Panji menunggingkan Sri pada ujung ranjang dan kembali melanjutkan penyatuan mereka. Dia kembali menggauli Sri hingga puas. Bercinta dengan Sri, mantan kekasihnya saat dia SMP dulu memang sangat nikmat bagi Panji.             Tidak ada sedikit pun kekhawatiran dalam dirinya mengenai apa yang akan terjadi dalam rumah tangganya. Sebab yang dia pikirkan saat ini adalah menghabiskan waktu pagi bersama istri sirinya, sebelum dia check out dari Hotel ini. ..**..             Yah, sebelum Naswa pergi dari Hotel itu. Dia meminta mereka membantunya melihat kondisi kamar tempat dimana Ayahnya menginap.             Dia meminta salah satu pekerja cleaning service untuk berpura-pura membersihkan kamarnya serta memperhatikan seisi kamar. Tentu saja permintaannya itu dikabulkan dengan begitu cepat oleh mereka.             Mungkin supaya dirinya segera pergi dari sana, pikirnya saat itu. Dan dia tidak peduli bagaimana caranya pekerja itu masuk ke dalam kamar Ayahnya.             Sedangkan dirinya, dia memilih untuk menunggu di ruangan resepsionis saja. Duduk disana dengan sejuta lamunan yang tak berarti.             Dia bisa saja bekerja sama dengan pihak kepolisian untuk menangkap dan membuat dua orang itu malu. Tapi dia masih memikirkan banyak hal.             Nama besar Naswa di kalangan pemerintahan. Belum lagi, Mamanya pasti akan syok jika skandal Ayahnya terkuak dan masuk ke media massa dan tersebar dimana-mana.             Apalagi jika saja teman-teman Miswa tahu itu, Adiknya pasti akan sangat malu. Dan dia sendiri juga akan malu ketika berhadapan kembali dengan lingkungan pekerjaannya.             Terutama sekali, keluarga besarnya akan sangat malu mendengar dan melihat berita itu nantinya. Tidak, Naswa tidak memikirkan perasaan keluarga Ayahnya.             Tapi dia memikirkan perasaan malu keluarga sang Mama. Keluarga sang Mama yang dulu sangat berbaik hati terhadap Ayahnya, sehingga mau memberinya tumpangan hidup sampai diizinkan untuk menikahi Mamanya dengan keadaan tidak mempunyai apa-apa.             Dia begitu susah untuk melakukan tindakan, menyebar skandal mereka. Ingin rasanya dia membuat malu mereka berdua agar mereka berdua jatuh dan terpuruk.             Apalagi, dia sangat ingin membuat wanita jahanaam itu dipecat dari jabatannya sebagai Kepala Lingkungan. Dia benar-benar sangat membenci wanita itu.             Setelah hampir 15 menit dia menunggu disana, akhirnya pekerja cleaning service itu datang menghampiri meja respsionis. Dan salah satu pekerja wanita datang menghampirinya bersama dengan pekerja cleaning service itu.             Dengan nada bicara begitu rendah, pekerja pria itu menjelaskan mengenai keadaan kamar hotel yang sangat berantakan sekali. Baju-baju berserakan di lantai, juga celana dalam yang ada di setiap sudut ruangan. Terutama sekali dia menjelaskan mengenai beberapa bungkus alat pengaman yang masih berserakan di meja.             Pria itu mengira, sepertinya mereka baru saja selesai bercinta selama satu malaman. Atau, itu mungkin bungkus alat pengaman yang dipakai dari hari-hari sebelumnya.             Dia juga menjelaskan, jika wanita itu mungkin tengah berada di dalam kamar mandi. Sebab di dalam kamar itu hanya ada seorang pria saja.             Selama pria itu menjelaskan, Naswa berusaha bersikap setenang mungkin tanpa menunjukkan sikap dalam penyesalan apapun. Sebab dirinya sosok wanita yang sangat mahal berekspresi di hadapan orang lain.             Setelah dia menjelaskan semuanya, Naswa berterima kasih pada pekerja cleaning service itu lalu memberi dia imbalan seratus ribu rupiah. Dia kembali bekerja. Namun, pekerja wanita itu masih bertanya apakah masih ada yang bisa mereka bantu lagi.             Naswa menjawab tidak dan kembali bertanya, apakah ada mesin ATM di Hotel ini. Wanita itu menunjukkannya pada Naswa.             Dia mengambil uang dari mesin ATM yang ada disana. Setelah itu, dia kembali ke meja resepsionis.             Dia memberi tips seratus ribu rupiah untuk pekerja wanita yang tengah sibuk itu. Dia sempat menolak, namun Naswa tetap meletakkannya saja.             Dan Naswa menyodorkan uang sebesar tiga juta rupiah ke arah pekerja wanita, dimana anaknya tengah dirawat di Rumah Sakit saat ini. Mereka saling melirik satu sama lain.             Wanita langsung menolaknya, sebab dirinya takut dituduh dengan berbagai hal yang macam-macam nantinya. Naswa menjauh dari meja resepsinois lalu mengatakan pada wanita itu, jika dia hanya membantu sang putri.             Dia berdoa semoga putrinya lekas sehat kembali. Setelah itu, Naswa segera melangkahkan kakinya keluar dari sana.             Satpam dan beberapa pekerja disana tampak kebingungan dengan sikapnya barusan. Tapi Naswa tidak peduli. Dia langsung berjalan menuju mobilnya, dan pergi dari Hotel itu. … Di dalam perjalanan.,             Naswa terus menitihkan air mata tanpa bersuara sedikit pun. Laju mobilnya begitu rendah. ‘Kenapa kau beri aku beban seperti ini, Tuhan? Apa salahku?’             Beberapa menit yang lalu, dia baru saja menghubungi pihak kantornya dan menghubungi mereka dengan panggilan video. Dia memperlihatkan jalanan yang begitu macat sebagai alasan dirinya telat masuk pada pagi ini. Dan sekarang, dia menikmati kemacatan ini dengan hati teriris. Bukan karena hal lain yang mengganggunya. Tapi karena pengkhianatan yang dilakukan oleh Ayahnya terhadap sang Mama.             Jantungnya sangat nyeri tatkala telinganya mendengar semua penjelasan murni dari pekerja tadi. Tapi dia hanya bisa mendengarkan saja. ‘Apa Mamaku memiliki kesalahan yang teramat besar pada-Mu, Tuhan?’ Apa Kau begitu membenciku hingga hatiku harus sesakit ini?’             Dia belum bisa melakukan apapun sekarang. Saat ini, dia akan fokus bekerja dan membiarkan Ayahnya bersikap manis terhadap mereka di rumah seakan tidak terjadi apa-apa.             Tapi lain halnya dengan Naswa yang sama sekali tidak mau bertatapan muka dengan sang Ayah saat di rumah. Karena sejak dia mengetahui jika Ayahnya sudah berselingkuh dan mengkhianati Mamanya, Naswa mulai menaruh kebencian itu di hatinya.             Kebencian itu bukan hal yang dibuat-buat. Semua kebenciannya adalah murni. Murni dari seorang anak perempuan yang dulu sangat mengagungkan Ayahnya sendiri, menganggapnya sebagai cinta sejatinya sampai dia mati.             Namun, kini semua pandangan itu berubah drastis. Hanya kebencian yang tersisa, juga rasa kasian sebab darah Ayahnya tetap mengalir di dalam dirinya sampai nafasnya berakhir. * * Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD