Curahan, Luapan, Muntahan Isi Hati Naswa

2896 Words
“Hah?”             Naswa langsung terdiam, dan melirik ke arah Pai dengan kedua mata mulai berkaca-kaca. “Ada apa?” Pai langsung merendahkan laju mobilnya, dan mencari jalanan sepi untuk berhenti sejenak.             Naswa masih terus mendengar apa yang tengah dibicarakan oleh sang Adik, Miswa dari seberang teleponnya. Sementara Pai, dia masih diam sembari menunggu jawaban dari Naswa.             Tapi dia merasa jika ini pasti ada hubungannya dengan keluarga Naswa. Lebih tepatnya, berhubungan dengan Ayahnya. “Yau da, sebentar lagi aku sampai rumah. Kasih Mama minum air hangat aja dulu …” “…” “Hmm … Assalamua’alakum …” “…” Tutt… Tutt… Tutt…             Naswa memutuskan sambungan teleponnya secara sepihak. Pandangannya kosong, lurus ke depan.             Pai melirik ke arah Naswa. Tangan kirinya tergerak, lalu menyapu wajah Naswa secara tiba-tiba. “Woii!”             Naswa langsung melirik ke arah kanan, sambil berdecak kesal. “Ish! Apaan sih, Bang! Ngagetin aja!” ketusnya sambil menghela panjang nafasnya.             Pai sedikit menghadap ke arah Naswa, lalu memperhatikan ekspresi Naswa tanpa melontarkan pertanyaan apapun ke dia.             Meski pandangan Naswa ke arah depan, dia tahu kalau Pai pasti menunggu jawaban darinya. Dia tidak tahu harus bagaimana mengatakan hal ini pada Pai. Sementara apa yang terjadi adalah masalah keluarganya.             Dia sadar, seharusnya ini menjadi rahasia pribadinya. Sebab urusan keluarga merupakan aib yang wajib ditutup rapat oleh seorang anak agar tidak menjadi konsumsi publik.             Apalagi namanya cukup dikenal di kalangan kesehatan. Sudah bisa dipastikan, orang-orang penting dalam lingkungan kerjanya mengenalnya dengan baik.             Jika saja mereka tahu bahwa hidup Naswa penuh dengan luka, bukan tidak mungkin jika Naswa akan malu dan merasa bersalah jika saja teman-teman Adiknya mengetahui hal ini. Sebab dirinya saja sudah sangat malu terhadap beberapa temannya yang secara langsung menyaksikan bagaimana cara Ayahnya menyambut kehadiran perebut suami orang begitu lembut bagaikan istrinya sendiri.             Selama ini, Naswa selalu memendam masalahnya seorang diri. Dia tipikal wanita yang mudah melupakan semua masalah hanya dengan bekerja dan bekerja.             Kehidupannya tidak selalu mulus jika dirinya mengamati lebih jauh. Tapi siapa sangka, bebannya semakin berat saat masalah itu dimulai dari lingkup keluarganya sendiri. Dari pria yang sejak kecil menjadi cinta sejatinya, menjadi panutan hidupnya. …             Dia melirik ke layar ponselnya, jam akan terus berputar dan mereka tidak mungkin berada disini saja. Apalagi dirinya harus segera pulang, pikirnya. “Tadi Mama nelepon Papa.”             Pai masih diam mendengarkan apa yang akan diucapkan oleh Naswa. Dia berjaga-jaga jika saja Naswa kembali menangis karena tidak tahan memendam semua masalahnya. “Katanya Papa lagi diluar kota. Jadi, Mama mau nyusul.”             Dia masih terus diam dengan nafas mulai tidak teratur. Dia tidak mau terlihat menyesalkan kejadian ini. Apalagi di hadapan Naswa. Sebab dia tahu, kebencian Naswa terhadap Ayahnya sudah melewati batas, meski dia masih bisa bersikap sopan pada pria yang dulu pernah menjadi cinta sejatinya. “Padahal Mama tanya baik-baik, tapi Papa malah marah-marah. Dia bilang kalau Mama cukup di rumah aja. Dan terima uang. Karena dia yang kerja susah payah.”             Naswa sedikit menyeringai tipis. Kedua jemarinya terus mengusap ponsel bermerknya, seraya mengalihkan perasaan yang sangat rendah, yang saat ini tengah dia rasakan. “Dia diluar kota. Iya, diluar kota. Diluar kota pernikahan dia demi perempuan jalangg yang gak tahu diri itu!” ketusnya dengan nada geram.             Pai masih terus dia memperhatikan ekspresi Naswa. Dia mengakui jika anak ini memang mampu mengontrol emosi serta ekspresi tertahannya. Tidak salah, jika Naswa memang cerdas dalam mengolah emosi dan perasaannya sendiri. Dia bisa menahan diri ketika menghadapi masalah berat, apalagi itu berasal dari lingkungan keluarga intinya. “Aku gak paham, kenapa Papa jadi rendahan kayak gitu, Bang. Aku gak bisa bayangin, sekarang dia lagi mesra-mesraan sama selingkuhannya.”             Ekspresi Naswa membuat Pai sangat geram. Ingin rasanya dia langsung mendatangi hotel kecil, tempat dimana Ayah Naswa berada saat ini.             Bukan dirinya tidak tahu, tentu dia tahu apapun yang dilakukan oleh Ayah Naswa. Sebab dia selalu memantau keberadaannya, tanpa Naswa meminta tolong padanya.             Tapi, Pai tidak selalu memberitahu Naswa mengenai apapun yang dia lakukan dari jarak jauh. Tidak hanya itu, dia juga tidak menuruti semua keinginan Naswa yang menurutnya akan mendapat resiko sangat besar. “Dia mengkhianati pernikahannya sendiri hanya demi sebuah nafsu duniawi.” Naswa melirik Pai sekilas.             d**a Pai terasa sesak sekali. Bagaimana mungkin dia bisa melihat keadaan Naswa yang seperti ini, dan dia hanya bisa diam saja. Dia tidak bisa berbuat apa-apa. “Dia lupa, kalau dia dulu gak punya apa-apa. Dia lupa gimana perjuangan Mama saat dulu dia sakit keras!” ketusnya dengan nafas sedikit kacau.             Lagi-lagi Naswa melirik Pai. “Gak masalah kalau dia gak sayang lagi sama Mama yang menemani dia dari nol besar. Dari dulu dia gak punya apa-apa. Dari dulu sebelum menikah, dia diusir dari rumahnya sendiri karena dia gak kasih uang belanja sama Mamanya yang matrealistis.”             Pai masih diam saja mendengarkan semua curahan hati Naswa. “Dari dulu dia yang numpang hidup sama Nenek karena dia gak punya tempat tinggal, gak punya apa-apa. Dari dulu saat dia sakit paru-paru, dan Mama selalu sabar nemani dia.”             Suara itu terdengar semakin pilu di telinga Pai. “Dari dulu saat masa krisis moneter, dia gak kerja-kerja, dan Mama yang kerja keras jualan ini jualan itu. Gak masalah kalau dia lupain itu dalam sekejab hanya demi nafsu, Bang.” Dia kembali melirik ke arah Pai. “Gak masalah kalau dia gak cinta lagi sama Mama yang mungkin udah gak segar di matanya.”             Naswa menatap lurus ke depan. Dia benar-benar membayangkan, betapa bejatnya tingkah Ayahnya selama beberapa bulan terakhir ini.  “Tapi … apa dia gak mikirin kami, Bang? Apa dia gak merasa punya anak perempuan?”             Pai masih terus mendengarkannya, tanpa berniat untuk menyela ucapannya sedikit pun. “Apa gak ada sedikit pun rasa takut di hatinya, seandainya anak perempuannya diperlakukan hal yang sama seperti dia selingkuh dan main sama istri orang?”             Naswa kembali menyeringai. Dia benar-benar menyesali tingkah Ayahnya yang seakan melempar lumpur di wajahnya dengan sangat kejam. “Apa dia gak takut kalau karmanya akan kena ke anak perempuannya sendiri? Apa dia gak takut kalau kami trauma sama laki-laki?”             Dia menghela panjang nafasnya. Sungguh, Naswa sangat memikirkan satu hal bahwa dunia tidak adil untuknya. “Mungkin orang-orang yang sudah tahu kalau dia selingkuh. Pernah lihat langsung dia jalan sama perempuan neraka itu. Lalu yang cuma bisa bilang sabar, dan jangan cerai, jangan cerai??”             Naswa menyeringai. “Mereka gak tahu aja gimana perasaan Mama!”             Naswa mulai membalas tatapan Pai yang berjarak dekat dengannya. “Abang tahu?”             Pai masih menatapnya lekat. Dia tahu wanita ini sedang menahan emosinya sendiri. “Mereka sok-sok ceramahi Mama supaya sabar. Karena untuk meraih surga memang sangat susah. Mereka bilang, ini adalah kesempatan Mama untuk bisa ngedapetin surga??”             Di hadapan Pai, Naswa menyeringai dengan ekspresi mengejek. “Mereka bisa bilang begitu, karena mereka gak ngerasain berada di posisi Mama, Bang. Mereka belum pernah rasain gimana rasanya saat tahu kalau suami sendiri selingkuh dan bahkan jarang pulang!”             Pai masih mendengarkannya dengan serius. “Ya udah pasti kita tahu larinya kemana, kalau gak pulang ke rumah!” Naswa semakin menggebu-gebu. “Soal surga, yah? Memangnya jalan untuk menuju surga cuma satu apa?” Dia kembali menatap lurus ke depan, dengan seringaian tipisnya. “Memangnya hanya dengan kita ikhlas kalau pasangan kita selingkuh atau menikah lagi dan kita dimadu, terus kita dijamin bisa masuk surga apa?” “Memangnya mereka sesuci apa sih?? Sampai bisa menasehati Mama dengan kata-kata yang sok alim?”             Seringaian itu kembali muncul di wajah Naswa. “Lalu bagi yang meninggal di usia muda? Yang belum menikah? Memangnya mereka gak bisa dijamin masuk surga?”             Naswa menyeringai tipis dengan kedua mata mulai memerah.             Pai masih enggan melajukan mobilnya, meski dia sadar jika jam sudah sangat larut. Apalagi Naswa akan pulang seorang diri setelah mengantar dirinya singgah ke sebuah Hotel yang mengarah ke rumah Naswa. Tapi dia pikir, jika memang keadaan tidak memungkinkan. Dia akan mengantar Naswa sampai ke rumahnya. Dan dia akan menghubungi salah satu temannya untuk ikut dengannya. “Aku tahu hidup memang sebercanda ini sama kami,” ujarnya lagi lalu menyandarkan punggungnya disana, dan memejamkan kedua matanya.             Belum sampai beberapa detik, Naswa kembali bergumam pelan meski kedua matanya masih terpejam. “Abang tahu kan, alasan aku kerja keras dan gak peduli gimana caranya aku bagi waktu antara kuliah dan kerja dulu. Karena aku mau bebas, Bang! Aku mau punya banyak uang bukan biar jadi orang kaya!”             Dia membuka pejaman matanya, dan menatap lurus ke depan. Sebab Pai tetap menatapnya dalam diam sejak tadi, Naswa kembali meliriknya sekilas, dan kembali membuang pandangannya ke arah depan. “Tapi aku mau kebebasan! Dan Abang lihat sekarang?”             Pai menilai ekspresi bengis asli seorang Naswa akhirnya tertangkap dalam pandangannya saat ini. “Karena aku kerja keras, aku ada penghasilan sendiri. Dan aku bebas, Bang! Dengan punya banyak uang, aku bisa bebas. Bebas ngelakuin apapun yang aku mau! Beli apa aja yang aku mau!             Naswa tersenyum miris. “Sekarang, waktuku juga bebas … aku bisa suka-suka hatiku! Abang lihat aku sekarang? Kondisi keluargaku yang seperti itu?”             Dia kembali menyeringai. “Meski sebagian keluarga Papa bela Papa, aku gak takut, Bang! Mau orang itu bilang apapun, aku gak takut! Gak ada satupun keluargaku yang berani sama aku biar Abang tahu!”             Dia kembali menatap Pai dengan perasaan dan d**a sudah sangat bergemuruh. “Siapa yang berani menentang aku?”             Pai masih betah membalas tatapan Naswa. Membiarkannya menumpahkan semua isi hatinya malam ini. Itu lebih baik, pikirnya. Agar setelah sampai di rumah, Naswa bisa tidur dengan nyenyak sebab hatinya sudah merasa lega. “Gak ada yang berani sama aku, Bang! Sebab aku kerja!”             Naswa masih berbicara dengan gigi mengerat. “Sejak tamat SMA, aku gak pernah lagi minta uang sama orang tuaku! Walau Mama mau bayar uang kuliahku, aku nolak waktu itu! Dan aku bersyukur, aku menolak dan gak pernah ngeluh meski aku gak ada uang seperpun!” “Tapi Abang lihat? Tuhan Maha adil, Bang! Tuhan kasih aku jalan baik, buat aku kerja keras dan aku bisa ngelakuin apa aja yang aku mau!”             Dia kembali melirik Pai dengan tatapan sinis. “Mereka mau bilang apa? Gak bisa bilang apa-apa, Bang!”             Pai hanya bisa diam menelaah semua ucapan Naswa. “Karena aku kuliah biaya sendiri! Aku beli ponsel, laptop, bahkan aku beli sepeda motor sampai aku punya mobil?? Itu juga uang aku sendiri! Biaya kuliah Miswa juga pakai uang aku! Walau Mama kasih uang ke Miswa, aku suruh Miswa nolak!”             Naswa masih terus meluapkan semua isi hatinya. Meski ia tahu, kalau ia sudah pernah mengatakan ini pada Pai sebelumnya. “Sekarang? Papa selingkuh? Aku marah besar sama keluarga orang itu yang bela Papa dan orang itu bilang kalau Mama yang kurang merawat diri?!”             Dia menatap lurus ke depan. “Orang itu bisa apa? Gak ada satupun yang berani sama aku, Bang! Gak ada dari orang itu yang berani nasehati aku!” “Bahkan Papa aja gak bisa mengungkit apa-apa! Tapi justru aku yang mengungkit saat mereka dulu masih susah, Papa masih miskin!!”             Sesekali dia masih melirik Pai. “Sekarang? Dia sudah bisa memenuhi kehidupan kami? Kacang lupa sama kulitnya!” “Saat aku menentang, Papa gak bisa apa-apa! Kalau dia mengusir aku dari rumah?? Aku bisa hidup sendiri sama Miswa! Bahkan aku bisa buat rumah sendiri dari kerja kerasku!” ketus Naswa dengan nada terdengar sangat sombong.             Setelah dia meluapkan semua isi hatinya, Naswa lalu membungkam bibirnya. “Keluarin semuanya. Abang pasti dengarkan mau sampai jam berapapun,” sahut Pai merespon sikap diam Naswa. “Cerita semua dan jangan dipendam,” sambungnya lagi seraya memberi kode. Namun sayangnya, Naswa terus saja diam, hingga Pai kembali melajukan mobilnya.             Pai tahu kalau Naswa hanya butuh tempat untuk mencurahkan segala isi hatinya tanpa meminta untuk diberi saran atau komentar apapun. Itu sebabnya, Pai tidak mau berkomentar apa-apa dan melajukan mobilnya saat tahu Naswa mulai diam. ..**..             Selama di perjalanan menuju Hotel, Pai terus memperhatikan wajah lelah Naswa. Ingin sekali dia memeluknya, dan menenangkannya dalam dekapannya.             Tapi dia sadar, bahwa perasaannya untuk Naswa hanya terbalas sebagai seorang Abang beradik saja. Dan lagi pula, dia juga nyaman dengan status mereka yang seperti ini.             Tidak ada batasan apapun. Bahkan dirinya bisa jauh lebih dekat dengan wanita yang sangat dia sayangi ini.             Saat mereka hampir sampai menuju Hotel, Pai tidak berniat singgah dan memilih untuk mengantar Naswa ke rumahnya. Dia langsung menghubungi temannya agar bisa mengikutinya untuk mengantarnya kembali ke Hotel.             Namun, Naswa menolak keras. Dia tetap bersih keras bisa pulang seorang diri. Dia tidak mau jika Pai mengantar pulang ke rumah.             Pai tidak bisa berbuat apa-apa jika wanita ini sudah berada dalam puncak keras kepalanya. Akhirnya Pai memilih untuk singgah ke Hotel, dan membiarkan Naswa kembali ke rumahnya seorang diri.             Meski begitu, Pai tetap mengontrol perjalanan Naswa sampai ke rumahnya melalui caranya sendiri. Dia tetap memantau laju mobil Naswa selama dirinya pergi memesan kamar sampai dirinya masuk ke dalam kamarnya.             Dia memilih untuk berdiam diri sembari berbaring di ranjangnya, dan tetap terus memantau perjalanan Naswa. Selama hampir 30 menit dia terus memantau dan melihat Naswa sudah masuk ke dalam gang rumahnya, kini dia sudah sangat lega dan langsung menghubungi Naswa. Benar, jika Naswa sudah sampai di rumahnya.             Setelah sambungan telepon mereka terputus, Pai bisa mandi dan istirahat dengan tenang. Meski bayangan Ayah Naswa masih terus menghantuinya.             Sesaat jika dia terus mengingat itu, ingin rasanya dia memberi pelajaran untuk Ayah Naswa dan selingkuhannya. Atau paling tidak, dia memberi pelajaran untuk selingkuhan Ayah Naswa agar jera.             Tapi setelah dia pikir lagi, saat ini Ayah Naswa sedang berada dalam fase puber kedua. Bahkan sampai rela membagi uang belanja dengan jumlah transfer uang yang tidak sedikit untuk selingkuhannya.             Pai tidak bisa berbuat apa-apa dalam hal ini. Sebab, dirinya juga orang luar yang hanya bisa mendengarkan cerita asli dari bibir Naswa saja.             Karena dia melihat Naswa masih kuat dan masih bisa berpikir normal. Itu sebabnya dia diam saja dan tidak mau bertindak lebih.             Tapi, jika saja Naswa atau Adiknya, Miswa mengalami syok berat hingga depresi. Pai tidak bisa memastikan dirinya hanya diam saja. Mungkin dia bisa melakukan hal gila yang orang lain tidak bisa bayangkan. Dia bisa pastikan jika Ayah Naswa dan selingkuhannya itu berada di ambang kehancuran dari segi karir dan finansial. *** Rumah Naswa, Medan, Indonesia., Garasi mobil., Malam hari.,             Naswa sudah berdiam diri di mobilnya sejak tadi. Matanya melirik ke arah kanan dan kiri garasinya. Hanya ada beberapa kendaraan sepeda motor disana. Dan mobil Ayahnya tidak terlihat. Dan malam ini, Ayahnya benar-benar menikmati malamnya bersama dengan selingkuhannya. “Haahh …” Lagi-lagi dia menghela panjang nafasnya. Kemudian membuka sabuk pengamannya.             Dia lantas mengambil tas dan beberapa barang miliknya, lalu turun dari dalam mobilnya. Dia menekan tombol alarm, dan mengunci pintu garasi.             Sebelum masuk ke dalam rumahnya, tidak lupa dia mengunci pagar rumahnya. Dan melihat sekitar rumahnya sudah sangat sepi dan senyap.             Keadaan malam yang membuatnya hanyut, dadanya sedikit nyeri. Dia benar-benar tidak menyangka, kalau keharmonisan keluarganya lenyap begitu saja bahkan seperti waktu menunjukkan sepersekian detik.             Selesai mengunci pagar mewah berwarna coklat tua dan emas, dia kembali masuk ke dalam rumahnya melalui garasi mobil. Dia mengunci pintu garasi, dan melangkahkan kakinya lagi menuju pintu utama garasi. … Dapur.,             Dia masih bertumpang dagu, dan baru saja selesai meminum segelas air. Duduk di kursi meja makan dengan pandangan kosong. “Kak?” sapa wanita yang berjalan ke arahnya, Miswari Nandini.             Naswa tahu siapa yang mendatanginya, dan dia hanya diam saja sampai sang Adik duduk tepat di sampingnya.             Miswa kembali membuka suaranya. “Masa tadi Papa marah-marah. Padahal Mama cuma tanya baik-baik. Ya kalaupun dia gak mau diganggu karena udah tidur, dia kan bisa ngomong baik-baik. Lagian dia gak ada bilang kalau pergi ke luar kota. Mana lah Mama tahu,”  ujar Miswa menjelaskan panjang lebar.             Naswa melirik sang Adik dengan ekspresi datarnya. Sungguh, dirinya sangat lelah sekali. Tapi mendengar keluhan Miswa, membuat Naswa menjadi sedikit putus asa. “Jadi, Mama uda tidur sekarang?” tanya Naswa sembari beranjak dari duduknya. “Udah dari tadi. Tadi Mama nangis aja … terus ketiduran,” jawab Miswa seraya memberitahu.             Naswa melangkahkan kakinya menuju pintu kamar sang Mama yang terletak di lantai dasar. Dia membuka knop pintu kamar sepelan mungkin hingga tak menimbulkan bunyi. … Kamar Endang.,             Dia masuk ke dalam kamar sang Mama, dan mendekati ranjangnya. Dia melihat wajah sang Mama begitu pucat dan sedikit sembab. Mungkin karena baru saja menangis, pikirnya. ‘Mama jangan pikirin apapun, Ma. Ada Kakak disini.’             Dia terus menatap lekat wajah yang selalu menjadi pelindungnya. Yang selalu menjadi malaikat di hari-harinya saat dia dulu masih kecil. ‘Jangan takut kalau seandainya Papa minta cerai. Kakak bisa buat rumah baru sesuai mau Mama. Kita bisa hidup bertiga.’             Naswa sedikit menguntai senyuman tipis di kedua sudut bibirnya. ‘Apapun Kakak lakuin asal Mama sama Miswa gak sedih lagi. Tabungan Kakak udah lebih dari cukup untuk kita keluar dari kota ini. Kakak gak mau Mama sedih karena ulah dia dan omongan keluarga Papa,’ bathinnya seraya berbicara sendiri.             Sedangkan Miswa, dia hanya bisa diam melihat sang Kakak disana. Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, Miswa juga sangat sedih.             Namun, karena dia bisa bebas dengan sikap sang Kakak, sehingga dia bisa bertahan dan tidak terpuruk dalam waktu lama. Apalagi sejak awal kuliah, sang Kakak yang membiayainya.             Itu poin utama Miswa menjadi tidak takut terhadap Ayah mereka sendiri. Juga hal yang membuat dia bisa melawan keluarga ketika ada yang mencoba membela Ayah mereka yang jelas-jelas bersalah. * * Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD