Melihat tidak ada pergerakan dari sahabatnya, Chika meletakkan kembali figura yang tadi dia lihat di dalam laci. Dan menghampiri sahabatnya.
"Gue salah ngomong ya Ra?" tanya Chika yang sudah duduk disamping Rara.
Rara sendiri langsung menghela nafas panjangnya, "Ngga kok. Laci yang lu buka itu, emang semua di dalemnya tentang DIA." ujar Rara menekankan perkataan DIA untuk orang yang dia maksud. Tanpa Rara mengatakan siapa DIA yang dimaksud, Chika sudah bisa menebak siapa orang itu.
"Udah selesai belom mompanya?" tanyq Chika yang sengaja mengubah topik pembicaraan. Karena dia tahu, Rara pasti akan kembali mengingat masa lalu. Dan bodohnya Chika adalah menyebutkan nama pria yang berusaha sahabatnya lupakan.
"Udah. Bentar ya, gue ke kamar mandi dulu." tanpa menunggu sahutan Chika, Rara sudah bangkit dari duduknya dan berjalan ke kamar mandi.
Ceklek,
"Chik, Ra?" panggil Dika yang melongokkan kepalanya dari pintu masuk.
"Oit." sahut Chika yang terlihat sangat tidak bersemangat.
"Kenapa lu?" Dika paham raut wajah yang Chika tampilkan saat ini. Dirinya berteman dengan Chika bukan sehari dua hari. Dari orok mereka sudah berteman. Bahkan dari di dalam perut pun, sudah. Definisi yang memang sahabat selamanya.
"Gue salah ngomong Dik." guman Chika dengan kepalanya yang menunduk.
"Ngomong gimana maksud lu?"
Chika kembali menceritakan apa yang tadi dia lakukan kepada Rara. Dan Dika yang mendengar sontak menjitak dahi Chika. Dirinya tidak habis fikir dengan Chika. Kenapa bisa-bisanya berkata seperti itu di hadapan Rara.
"Mangkannya g****k itu di buang jangan dipiara anjir." kesal Dika begitu mendengar cerita tersebut.
"Ya gue kan lupa Dik." bela Chika yang memang nyatanya seperti itu.
"Napa sih? Kayaknya lu berdua kalo sehari ngga debat tuh, ngga bisa ya?"
Dika langsung bangkit dari duduknya, dan memegang kedua sisi pundak Rara. Dia menyelami bola mata Rara.
"Lu ngapa dah Dik?"
"Are you okey?"
"I'm okey."
Dika langsung membawa Rara ke dalam pelukannya, "Gue selalu ada buat lu Ra." gumam Dika tepat di ceruk leher Rara.
Senyum langsung terbit di wajah Rara, dia menepuk-nepuk bahu Dika, "Makasih yaa Dika sayang."
"Woilah, kapan kita jalannya Ra." omel Chika dengan tangannya yang dia letakkan di sisi pinggangnya.
"Iri? Bilang bos." ujar Dika dan langsung melarikan diri. Dia sudah tahu reaksi apa yang akan Chika berika. Yang tak lain dan tak bukan pasti barang d sekitar perempuan itu akan melayang kearahnya.
"Yuk." Rara sudah siap dengan sling bag di lengannya.
"Skuy."
Keduanya keluar dari kamar. Dan berpapasan dengan Inggit.
"Pada mau ke mana ini?" Inggit menatap Chika dan putrinya bergantian.
"Mau jelong-jelong dong Bund." sahut Chika dengan tangan yang sudah bergelayut di lengan Rara.
Rara langsung menyalimi punggung tangan Inggit, "Rara titip Nalen ya Bund? Takut mas Aryo kesusahan."
Inggit menunjukkan senyuman menenangkan agar putrinya tidak terlalu risau harus meninggalkan cucunya.
"Tenang sayang. Tanpa kamu suruhpun, Bunda tetep merhatiin Nalen kok. Sekarang, kamu nikmatin dulu ya jalan-jalannya. Bunda tahu, kamu di sana ngga akan bisa ngelakuin hal ini."
Benar, dalam hatinya Rara membenarkan apa yang bundanya katakan. Dia memang sangat jarang keluar. Jika keluar pun, pasti Nalen selalu bersamanya. Itupun mereka hanya belanja bulanan saja, tidak untuk bermain.
"Makasih ya Bund."
Mereka langsung berpamitan dengan Inggit. Baru setelah itu keduanya pergi ke garasi guna mengeluarkan mobil yang akan mereka gunakan.
"Udah berapa lama lu bisa bawa mobil Chik? Kan biasanya Dika yang lu suruh bawa." setahu Rara dulu ketika mereka masih mengenyam bangku pendidikan bersama, Chika memang mempunyai mobil. Tapi yang mengendarai jika bukan Dika ataupun Rara. Chika hanya duduk manis di kursi samping kemudi.
"Bawa mobil? Berat Ra kalo gue bawa." kekeh Chika diakhir kalimatnya.
"Ck," sebuah decakan keluar dari mulut Rara, "Maksud gue, ngendarain mobil."
"Nah gitukan jelas. Gue juga kepaksa Ra, disuruh sama bokap."
Sebuah pernyataan yang langsung membuat Rara memiringkan badannya menghadap Chika.
"Maksud lu, papah Bima yang nyuruh?" tanya Rara dengan nada tidak percayanya.
"Yoms, emang bokap gue siapa lagi coba."
Jangan heran jika Rara ikut memanggil dengan sebutan papah. Mereka memang sudah seperti keluarga kandung yang mana memanggil orang tua dengan sebutan yang sesuai dengan yang anak kandung panggil.
"Akur lu?" kekeh Rara yang tahu bagaimana Chika dan papahnya.
"Akhir-akhir ini papah sama mamah sering ngajakin gue traveling." aku Chika membuat Rara menampilkan raut kegembiraannya.
"Demi sih Chik?"
"Demi Ra."
"Bang Beni ikut?"
"Doi mah udah sibuk sama cem-cemannya."
"Cem-ceman? Pacar maksud lu?"
"Hooh. Cantik pacarnya, terus attitudenya juga bagus. Udah dikenalin ke mamah sama papah juga."
"Asek, bentar lagi ada yang mau punya kakak ipar nih."
"Ya gitulah." sahut Chika seraya mengangkat kedua bahunya.
Ketika asik bergurau satu sama lain, tiba-tiba Rara merasakan ponselnya berdering.
"Siapa?" tanya Chika seraya melirik ke sebelahnya.
"Kak Dani." tanpa menunggu waktu lama, Rara segera mengangkat panggilan tersebut.
"Halo, assalamu'alaikum."
[Wa'alaikumsalam, lagi keluar sama Chika?]
"Kok Kakak tahu?"
Samar-samar Rara mendengar suara anaknya yang berceloteh memanggil namanya.
[Nalen aku bawa pulang ya? Nanti kamu jemput di rumah aku.]
Memang sudah menjadi rutinitas Dani, ketika Rara pulang ke Indonesia dia pasti akan mengajak Nalen bermalam di rumahnya. Dani memang mau mengenalkan Nalen sejak dini. Karena dirinya memang berniat untuk menjadi ayah sambung untuk Nalen.
"Sama Dika?"
[Kalau sendiri gimana?]
"Tapi aku takut, Nalen ngerepotin Kakak."
Jika Nalen bermalam di rumah pria itu, Dika biasanya akan ikut menginap.
"Ngga sayang. Nalen anaknya penurut, jadi aku ngga ribet."
Sayang? Sudah biasa Dani memanggilnya dengan panggilan itu. Tapi Rara sama sekaki tidak merasakan debaran apapun ketika Dani yang menyebutkan. Berbeda dengan pria itu, hanya memegang tangannya saja sudah membuat jantungnya berdebar tak menentu.
Lagi dan lagi, bayangan pria itu kembali muncul. Rara spontan menggeleng-gelengkan kepalanya.
[Ra? Boleh ya?]
"Yaudah boleh. Tapi Kakak jangan balik dulu sampe aku dateng."
[Siap. Yaudah, aku matiin ya. Mau main sama Nalen dulu, kamu nikmatin aja jalan-jalannya sama Chika.]
"Makasih ya Kak."
[Iya sama-sama. Wassalamu'alaikum.]
"Wa'alaikumsalam."
Tut,
"Kak Dani?" tebak Chika yang langsung diangguki oleh Rara.
"Gue mau tanya deh sama lu. Tapi jujur ya."
"Hm."
"Perasaan lu ke kak Dani gimana?"
"Gimana maksud lu?"
"Ya itu, suka sebagai cewe cowo. Bukan suka yang kayak lu bilang." Rara memang sering mengatakan jika dirinya menyayangi Dani selayaknya dia menyayangi seorang kakak.
"Ya gitu. Di bilang baper ya baper Chik, tapi waktu gue mau mulai naro perasaan sama kak Dani, bayang-bayang orang itu langsung muncul di kepala gue. Kalo kayak gitu terus, kapan gue bisa buka hati." guman Rara dengan kepalanya yang dia tundukkan.
Chika mengambil tangan Rara yang berada diatas lututnya dan menggenggam tangan sahabatnya itu.
"Melupakan itu emang butuh proses Ra. Yang mau gue tanya, proses yang lu jalanin kayak apa?"
"Gue blok semua sosmednya."
"Ye, itu mah gue tahu. Lagian itu yang blok mas Aryo kan?"
Rara menganggukan kepalanya, "Iya."
Seakan tersadar dari sesuatu, Chika memukul setirnya pelan. Memang dasar mulutnya, padahal sebelum jalan Chika berjanji untuk tidak mengungkit pria itu. Tapi nyatanya, dirinya lah yang mulai mengungkit.
"Eh, kita makan eskrim poci mau ngga?" tanya Chika berusaha mengalihkan obrolan keduanya.
"Wah, boleh-boleh. Kangen gue sama eskrim poci."
Untungnya Chika melewati kedai eskrim yang sering mereka kunjungi semasa bangku SMA.
****
"Assalamu'alaikum." salam Dani ke dalam rumah.
"Wa'alaikumsalam, eh ada Nak Dani."
Dani langsung menyalimi punggung tangan Inggit, "Raranya di mana ya Bund?"
"Yah, emang Rara ngga bilang ke kamu kalo mau jalan sama Chika?"
Dani kaget, dia tidak mendapatkan kabar apapun. Dan dirinya juga belum sempat mengabari Rara jika mau ke rumah orang tuanya.
"Belum Bund."
"Ya sudah, duduk dulu Nak Dani."
Sesuai intrupsi dari Inggit, Dani mendaratkan bokongnya di sofa ruang tamu, "Nalen mana Bund?"
"Sama Aryo tadi, Bunda tinggal ke belakang dulu ya."
"Iya Bund, silakan."
Lama Dani menunggu, akhrinya yang dia cari keluar. Nalen keluar bersama dengan Dika yang menggendongnya.
"Pa Pa Pa." panggil Nalen dengan tangannya yang meminta untuk digendong Dani.
"Anak Papah." Dika sontak memberikan Nalen ke gendongan Dani.
"Saya tinggal ke belakang dulu ya Bang."
"Iya Dik, silakan."
Nalen sendiri langsung berceloteh khas anak kecil. Seperti menceritakan kegiatannya tapi Dani yang tidak mengerti hanya bisa merespon sekedarnya saja.
"Weh, udah lama bro?"
Dani mengangkat kepalanya, "Belom kok." Dani dan Aryo langsung bersalaman khas seorang pria.
"Gitu ya Nalen, udah ada papah, Oncle di lupain."
Nalen yang tidak mengerti dengan apa yang Aryo katakan, malah mengajak Aryo ikut bermain dengannya.
Jangan aneh kalau Dani membahasakan dirinya dengan sebutan papah. Panggilan itu sudah disetujui semua pihak. Baik keluarga Dani ataupun keluarga Rara.
Dani langsung menekan panggilannnya dan tersambung dengan orang yang dia cari.
Melihat bagaimana Dani menelfon adiknya, Aryo hanya berharap semoga saja Dani dan adiknya itu memang berjodoh. Dengan Dani, Aryo sudah mengetahui sifat pria itu. Jadi tidak masalah jika membiarkan Rara hidup dengan Dani. Tapi tidak dengan pria itu. Pria yang memang sangat ingin Aryo jauhkan dari kehidupan Rara.