*Pelindung Rara*
“Huuaaa, sahabat tercinta gue.” Chika yang baru datang dari penerbangan langsung berlari menuju Rara yang tengah menggendong buah hatinya. Dika hanya memutar bola matanya malas, karena dirinya lah yang berujung untuk membawakan barang-barang Chika.
“Halo Onti,” sapa Rara seraya melambaikan tangan anaknya yang dia gendong kearah Chika.
“Halo sayangnya Onti.” Chika langsung meraih Nalendra dan bergantian menggendong anak itu.
“Hai Ra.” Sapa Dika seraya merangkul pundak sahabatnya itu.
“Hay Abang Dika yang udah jadi idola kampus.”
Dika yang tadinya memeluk bahu Rara terperanjat kaget, “Tahu dari mana lu?” Rara menunjuk kearah Chika yang sedang bercanda dengan anaknya melalui kontak matanya.
“Pasti dah dari tuh anak. Udah nebak gua mah.” Rara balik merangkul pria itu, “Enak ngga jadi idola kampus Dik?” tanya Rara seraya melangkahkan kakinya menyusul langkah Chika yang sudah menjauh dari keduanya.
“Ribet anjir. Gue lewat dikit aja di senyumin.” Keluh Dika. Wajar saja jika Dika menjadi idola kampus di tahun keduanya dia kuliah. Wajah Dika memang bisa dibilang ganteng dan manis bercampus menjadi satu. Bahkan jika Rara tidak memandang Dika sebagai seorang sahabat, mungkin bisa aja dirinya menyukai sahabatnya itu.
“Gedek gue ama bang Aryo Ra.”
Rara mengernyitkan kedua alisnya bingung, “Ngapa emang mas gue?”
“Masa dia jemput Chika mulu balik ngampus. Kalo kayak gitu kapan Chika bisa mandang gue sebagai seorang pria.” Kekesalan Dika malah membuat senyum terbit di wajah Rara.
“Lagian yaa kalo suka tuh ungkapin Dik.” Ujar Rara. Dika memang sudah menceritakan perihal dirinya yang menyukai Chika.
“Tapi kalo nanti dia ngejauh gimana? Persahabatan kita yang ancur nanti.”
Sontak Rara mendorong bahu Dika menjauh darinya, “Heh bagong, sorry aja yaa masa cuman gara-gara lu nyatain cinta gue rela ngorbanin persahabatan kita. Ogah. Ya kalo si Chika ngejauh yaa resiko elu.” Setelah mengatakan kalimat tersebut, Rara langsung berlari menyusul putranya dan juga Chika yang tengah memesan makanan di resto yang ada di dalam bandara.
Dika diam ditempat, “k*****t emang si Rara. Mulut laknatnya kagak berubah walaupun udah jadi emak-emak.” Dumel Dika tak urung dirinya ikut menyusul kedua sahabatnya.
Rara langsung meraih Nalen ke gendongannya, membiarkan Chika memakan makanan yang dia pesan, “Laper banget apa Chik?” tanya Rara ketika melihat sahabatnya itu makan seperti orang kelaparan.
Chika mengangguk dengan mulut yang penuh dengan makanan. Dia berusaha mengunyah dulu baru menjawab apa yang Rara katakan, “Bayangin Ra, semalem kan gue begadang nyelesaiin proposal tuh eh pagi-pagi gue disamper sama ini kucrut disuruh beres-beres katanya mau ke sini.” Dumel Chika seraya menunjuk kearah Dika yang baru duduk di kursi.
“Lah kok gue di salahin? Kan emang udah rencana kita dari seminggu yang lalu. Kelar UAS langsung ke sini. Kan UAS kelarnya kemaren, ya langsung dong kita berangkat.” Ujar Dika tanpa rasa bersalahnya.
“Eh bambang, elu ama gue tuh beda jurusan cuman satu kampus doang. Lu tuh seakan-akan matkul gue sama kayak elu anjir.” Omel Chika tidak terima dengan apa yang Dika ucapkan.
Rara sendiri hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah laku kedua sahabatnya. Umur mereka boleh tua, tapi kelakuan mereka masih seperti anak SD ketika bertengkar.
Baru saja Dika mau menjawab, tapi Nalen memanggilnya terlebih dahulu dengan nada memanggilnya yang masih belum lancar. Dika segera mengambil alih Nalen ke gendongannya.
“Tuh anak gue aja ngerti.” Ujar Rara. Anaknya itu tahu-tahu meminta digendong oleh Dika untuk menengahi perdebatan mereka yang tidak akan berhenti.
“Lu sehat kan Ra?”
“Alhamdulillah sehat, lu berdua gimana?”
“Kan lu liat sendiri, kita di sini yaa berarti kita sehat wal’afiat.”
Rara terkekeh, ini yang dia rindukan dari kedua sahabatnya. Candaan yang menurut orang lain garing tapi tidak bagi mereka bertiga. Bahkan hanya saling melihat saja, mereka sudah tertawa dengan dunia mereka sendiri.
“Ini Nalen tambah endut ya Ra kayaknya?” tanya Dika yang masih menggendong anaknya Rara.
Rara menganggukan kepalanya, “Iya emang. Kemaren abis imunisasi di temenin sama bunda. Naik timbangannya,”
“Bunda? Bunda Inggit maksud lu?” tanya Chika.
“Ya emang bunda siapa lagi.”
“Eh, di Singapur ada imunisasi juga ya Ra?” tanya Dika tidak percaya.
“Ya adalah Dik, tapi lupa gue namanya apa. Pokoknya suntik buat balita aja.”
Setelah selesai menemani kedua sahabatnya makan, barulah mereka bertiga mencari taksi untuk menuju apartemen Rara. Rara tidak membawa mobil, pengasuh yang biasanya mengasuh putranya hari ini izin tidak masuk. Dan dirinya belum membeli kursi bayi untuk anaknya di dalam mobil. Jadilah Rara lebih memilih untuk naik taksi ke bandara.
Chika yang tadinya fokus bercanda dengan Nalen, menolehkan kepalanya sejenak. Dia melihat Rara yang dari tadi tertawa sendiri melihat layar ponselnya.
“Chatan ama siapa sih Ra? Keknya lcucu benget.” Ujar Chia seraya melirik ponsel Rara. Dika yang posisinya duduk disamping kemudi membalik badannya sedikit.
“Ini kak Dani.” Jawaban yang di lontarkan Rara membuat kedua sahabatnya melempar kode melalu mata mereka dan jangan lupakan senyuman jahil yang terpatri di wajah Chika.
“Cieee, jangan di mainin loh Ra anak orang entar nangis.” Canda Chika, dia paham betul jika Dani memiliki perasaan lebih kepada sahabatnya itu.
Rara memang sudah menceritakan jika dia memiliki usaha cafe sendiri dan dirinya juga mengenalkan Dani kepada kedua sahabatnya. Jadilah mereka saling kenal satu sama lain.
“Eh iya gue lupa. Bang Dani nitip sesuatu, kemaren gue ketemu di tempat perbelanjaan.” Ujar Dika yang seketika membuat Chika menatap Dika dengan tatapan menyelidiknya.
Dika langsung angkat bicara ketika ditatap seperti itu oleh Chika, “Lu kan kemaren praktikum, gue diajak jalan ama temen cowo gue Chik.” Chika langsung bungkam dan mengalihkan pandangannya.
“Nitip apa Dik?” tanya Rara.
“Tas kayaknya, soalnya dia baru keluar dari store tas gitu. Gue bilang ama dia mau ke sini yaudah dia nitip buat lu. Katanya dia ngga bisa ke sini minggu ini.”
“Iya dia juga udah bilang kok. Pemasukan cafe soalnya melonjak banget. Dia kewalahan ngolahnya,”
“Ra, gue gawe kek di tempat lu.” Pinta Chika.
Rara langsung menatap sahabatnya itu, “Emang dibolehin sama mamah Ra? Entar gue aja yang kena.” Rara tahu, kedua sahabatnya ini dilarang kerja paruh waktu oleh orang tuanya. Kedua sahabatnya disuruh untuk fokus saja dengan pendidikan mereka. Lagi pula, masalah materi baik Dika dan juga Chika sangat terpenuhi oleh orang tuanya.
“Gue laporin mamah Ovi lu Chik.” Ancam Dika dengan seringainya.
“Gue tabok lu Dik.”
Sepanjang perjalanan mereka habiskan dengan berbincang. Untung saja, sopir taksi yang mereka tumpangi tidak merasa keberatan sama sekali mendengar obrolan mereka.
Akhirnya taksi yang mereka tumpangi sampai di apartemen Rara yang masih bisa dibilang mewah di kawasan tersebut. Fasilitas dari apartemen tiu sendiri memang sangat lengkap. Layaknya rumah dalam apartemennya.
“Gue kira apart lu udah pindah Ra.” Ujar Dika seraya menurunkan koper miliknya dan juga Chika dibantu oleh sang supir.
“Ngapain pindah? Betah banget gue di sini.” Setelah membayar taksi, mereka bertiga berjalan beriringan dengan Nalen yang berada di gendongan Rara. Bocah itu sudah terlelap dalam tidurnya.
“Assalamu’alaikum.” Salam Dik ketika mereka masuk ke dalam apartemen.
“Kamar gue masih sama kan Ra?” tanya Dika seraya melangkahkan kakinya ke kamar tamu yang biasanya dia gunakan ketika bermalam di sini.
“Masih. Di sana juga ada beberapa barangnya mas Aryo ya Dik.” Dika memutar bola matanya dengan malas ketika mendengar nama pria yang akhir-akhir ini dia hindari.
“Ra, ini kulkas kosong banget.” Teriak Chika ketika membuka kulkas di dapur, tidak ada satupun makanan yang dia temukan. Hanya ada jus buah saja.
Rara yang masih mengurus anaknya di kamar, ingin rasanya mengumpat. Bagaimana tidak, Nalen tipe orang yang gampang terbangun ketika mendengar suara teriakan dan Rara paling malas ketika anaknya bangun tidak berhenti menangis.
“Iya Ra, kulkas lu kosong.” Tambah Dika yang ikut meneriaki namnya. Dan benar saja, pergerakan Nalen mulai menandakan jika anaknya itu merasa terganggu dengan teriakan itu. Rara sendiri pasrah saja.
Tidak lama kemudian, anaknya itu langsung menangis kencang. Mau tidak mau Rara langsung menggendong bocah itu ke dalam pelukannya. Rara keluar dari kamar dengan Nalen yang menangis digendongannya.
“Astaghfirullah, bisa ngga jangan teriak-teriak? Liat nih anak gue nangis gara-gara denger lu pada teriak.” Omel Rara dengan badannya yang berjalan ke sana ke sini. Dika yang tidak tega langsung menghampiri Rara dan menawarkan diri untung menggendong Nalen. Rara dengan senang hati memberikan putranya.
Dan siapa sangka ketika anaknya berada digendongan Dika, tangisnya langsung berhenti. Padahal Dika hanya menyanyikan anaknya lagu dan bersenandung kecil.
“Wih gila, power Dika langsung buat anak balita kicep ya.” Ujar Rara dengan ketertakjubkanya. Dia tidak menyangka anaknya yang kerasa kepala sejak dini, bisa langsung diam digendongan oncelnya.
“Anak bayi aja paham yaa gimana gantengnya Dika.” Gumaman yang Chika lontarkan langsung membuat Rara menatap sahabatnya, seakan dirinya tidak percaya dengan apa yang Chika ucapkan. Chika yang merasa ditatap dari samping langsung menolehkan kepalanya. Chika baru saja sadar apa yang dia katakan dan langsung membungkam mulutnya dengan kedua tangannya.
Rara menunjukkan senyum meledeknya, “Ngomong apa lu barusan?” tanya Rara seraya menaik turunkan alisnya.
“Ngga, ngga ngomong apa-apa kok gue,” Chika memilih untuk pergi dari sana sambil menepuk-nepuk bibirnya yang tidak tahu malu melontarkan fakta itu.
Rara tertawa, sepertinya tebakannya tidak salah. Chika dan Dika saling menyukai satu sama lain. Dan semoga saja benar.
“Ra, nih anak lu udah tidur lagi.” Ujar Dika seraya menunjukkan wajah Nalen yang sudah terlelap kembali.
“Yaudah, tidurin gih di box bayinya.” Pinta Rara. Dika langsung melangkahkan kakinya menuju kamar Rara.
Rara sendiri menghampiri kulkas dan memastikan apa yang dikatakan kedua sahabatnya benar. Ternyata memang benar, kulkasnya kosong. Karena kesibukannya mengurus pembangunan kafe, dirinya sampai melupakan untuk stok makanan di kulkasnya. Rara segera mencari keberadaan Chika, ternyata sahabatnya itu sedang asik menonton siara televisi.
“Chik, temenin gue belanja bulanan yuk.” Ajak Rara yang sudah duduk disebelah Chika.
Chika menolehkan kepalanya, “Jauh ngga?”
“Lu ngga liat tadi di depan apartemen ada supermarket gede?” Chika langsung menggelengkan kepalanya.
“Wah, lu jadi anak kuliahan mata lu jadi empat yaa?” tanya Rara seraya menggelengkan kepalanya.
“Lu perhatiin aja Ra matanya dia, make softlens itu.” Rara otomatis mendekat kearah Chika, mencoba menelisik apakah benar apa yang Dika katakan.
“Ih iya loh, sejak kapan Chik?” setahu Rara, Chika itu modelan yang sangat menjaga kesehatan matanya. Dan ini baru pertama kali Rara melihat bola matanya Chika yang menggunakan softlens.
“Baru kemaren waktu mau semester 2, tugas numpuk gue stay depan laptop mulu Ra. Jadinya gini deh.”
“Gak papa, gue juga sekarang pake kaca mata kok.”
“Serius Ra?” tanya Dika yang langsung duduk di sofa single.
Rara menganggukan kepalanya, “Iya serius. Beli kaca matanya dianter sama kak Dani waktu dia ke sini.”
Chika dan Dika saling menatap satu sama lain setelah mendengar apa yang Rara katakan, mereka berdua seolah melempar kode melalui tatapan.
“Ra, lu baper gitu ngga sama kak Dani?” tanya Chika.
Rara yang tadinya memainkan ponsel, langsung mendongak begitu mendengar pertanyaan Chika. Pasalnya pertanyaan ini tidak hanya di lontarkan oleh Chika, orang terdekatnya yang lain juga. Seperti masnya yang sering bertanya seperti ini. Rara tersenyum sebelum menjawab pertanyan Chika.
“Kak Dani orangnya baik pake banget, apa lagi sama Nalen. Gue ngga munafik kalo gue emang baper, ya namanya cewe kalo diperlakuin istimewa pasti baper lah. Tapi gue sadar diri, kak Dani itu pantes buat dapetin yang lebih baik dari gue. Gue single mom, sedangkan dia masih perjaka.” Jelas Rara yang memang menceritakan apa adanya.
“Tapi kan kak Dani ngga mandang lu gitu Ra.”
“Ya emang dia ngga mandang, yaa intinya kak Dani terlalu masyaAllah buat gue yang astaghfirullah.” Rara lalu bangkit meninggalkan kedua sahabatnya. Dirinya paling malas jika harus membahas hal seperti itu.
Chika sontak menatap Dika begitupun sebaliknya, “Gue yakin yang ada difikiran lu sekarang ada difikiran gue juga.” Tebak Dika yang langsung diangguki Chika.
“Belom move on.” Dika menjetikkan jarinya ketika Chika mengatakan hal tersebut, “That’s right. Itu sebenernya permasalahan dia.” Imbuh Dika.
Chika bangkit dari duduknya mencari keberadaan Rara. Ternyata sahabatnya itu ada di balkok kamarnya, “Ra, ayo katanya mau ke supermarket.” Ajak Chika yang berdiri tepat di sebelah Rara.
“Kenapa ya Chik, melupakan seseorang itu susah banget?” benar saja tebakannya, sahabatnya ini belum melupakan pria itu.
“Ya karena menurut gue, dari kita TK sampe SMA yang diajarkan cuman cara mengingat dan menghafalkan bukan melupakan.”
Rara sontak menolehkan kepalanya, “Serius anjir.”
“Hehe, gini Ra kalo emang lu bener-bener mau lupain seseorang yaa lu harus buang jauh kenangan-kenangan yang ada. Atau kalo lu ada barang dari dia, lu bisa buang atau di apain gitu biar ngga keinget. Setau gue, cara moveon setiap orang itu berbeda.” Ujar Chika dengan tatapan ke atas langit.
“Kalo cara lu gimana?” Chika langsung menatap sahabatnya, “Kalo gue dengan memblok semua akun sosial medianya dan menutup jalur akses buat gue ngehubungin dia.”
“Gue udah kok, udah di blok semua sama mas Aryo.” Rara menundukkan kepalanya, “Tapi hati gue, ngga bisa ngeblok dia.” Gumam Rara.
Chika tersenyum dengan tangan yang mengelus punggung sahabatnya itu, “Mungkin lu perlu waktu.”
Rara mendongakkan kepalanya, “Gue udah 3 tahun loh ninggalin Jakarta. Tapi gue ngerasa rasa ini tuh masih ada.” Rara yang tidak kuat, akhirnya jatuh juga air mata yang dari tadi dia tahan.
Chika langsung memeluk sahabatnya itu, dia sangat paham bagaimana kondisi Rara. Berat, sangat berat menjadi single mom. Tapi sahabatnya ini bisa melalu selama 3 tahun. Dan Chika percaya, Rara ini wanita tangguh.
“Nangis aja kalo mau nangis, bagi beban lu ke gue. Jangan pendem sendiri.” Ujar Chika seraya mengelus punggung Rara.
“Gue capek Chik, capek...” keluh Rara. Dika yang melihat kedua sahabatnya itu berpelukan di balkon hanya bisa melihat dari pintu. Dia membiarkan Rara meluapkan bebannya kepada Chika. Sesama wanita pasti mengerti perasaan satu sama lain.
“Shhuutt, ngga boleh ngomong gitu. Inget lu ada Nalen yang harus lu lindungin.” Chika memundurkan tubuhnya, “Bundanya Nalen harus kuat. Nanti kalo Nalen denger lu nangis, dia ikutan nangis loh.” Chika mengelap bekas air mata sahabatnya itu menggunakan kedua ibu jarinya.
“Ngga gampang jadi kayak gue Chik, banyak cemoohan dari orang-orang waktu tau gue single mom di umur gue yang harusnya masih kuliah.” Chika menahan dirinya agar tidak ikutan menangis. Siapapun yang mendengar kesedihan Rara pasti ikut menangis. Berat, bahkan sepertinya sangat berat hari yang dilalui sahabatnya.
“Gue pernah denger quotes gini, Allah itu ngga akan menguji hambanya di luar batas kemampuannya. Lu wanita hebat Ra, Allah tuh ngasih cobaan gini karena tau lu bisa ngadepinnya. Kalo gue belom tentu bisa ngelaluinnya.”
Rara diam saja masih dengan air matanya yang teru mengalir. Dia mengingat bagaimana tatapan orang di luar ketika melihat dirinya sudah menggendong seorang balita. Dan tatapan yang di lontarkan pun seperti seolah dirinya orang yang hina.
“Apa mau pindah apart?” tawar Chika yang langsung dijawab gelengan kepala oleh Rara, “Percuma Chik. Di mana-mana orang pasti begitu.”
Chika mengangkat kedua tangan sahabatnya itu, “Kita emang ngga bisa nutup mulut orang di luar sana dengan tangan kita. Tapi kita bisa gunain tangan kita buat nutup telinga kita biar kita ngga pernah dengerin apa yang orang-orang bilang.” Chika mengarahkan kedua tangan Rara untuk menutup kedua telinganya.
Rara tersenyum, “Makasih yaa.” Dan langsung memeluk sahabatnya itu, “Makasih udah mau jadi pundak gue di saat gue rapuh.”
Chika mengelus punggung Rara, “Bagi gue itu sebuah kewajiban jadi pundak buat elu. Jadi jangan pernah sungkan atau merasa ngga enak di saat lu butuh sandaran yaa.”
Rara menganggukan kepalanya, “Pasti Chik.”
“Cuci muka abis itu kita ke supermarket, okey?” Ujar Chika mengarahkan Rara untuk masuk ke dalam ruangan. Di atas kasur, dia melihat Dika tengah memperhatikan wajah putranya.
“Dik,” panggil Chika seraya mengkode Dika untuk keluar dari kamar.
“Eh iya,” Dika lantas bangun dari tidurnya. Sebelum dia benar-benar keluar dari kamar, Dika menghampiri Rara dan memperhatikan wajah sahabatnya itu.
Dika membingkai wajah Rara dengan kedua tangannya, “Jangan nangis lagi. Kasian Nalen kalo bundanya nangisan.”
Cup,
Dika mencium kening Rara, “Lu wanita kuat beb.” Ujar Dika lalu meninggalkan sahabatnya itu.
Dika memang sangat menyayangi kedua sahabatnya. Dia tidak akan segan-segan untuk menghabisi siapapun yang berani menyakiti Rara ataupun Chika. Dan tanpa sepengetahuan Rara, Dika pernah mendatangi Aldo dan memukuli pria itu. Jika saja dirinya datang seorang diri, mungkin Aldo sudah tamat di tangannya. Sayangnya dia datang bersama Aryo yang langsung menghentikan dirinya. Hanya Aryo lah yang mengetahui fakta tersebut. Tidak dengan kedua sahabatnya.
Rara tersenyum, dia bangga mempunyai sahabat seperti mereka. Selalu ada di saat dirinya merasa rapuh. Rara berjanji, sampai kapanpun dia tidak akan pernah melupakan atau meninggalkan kedua sahabatnya. Bagi Rara, mereka berdua bagaikan cahaya di hidupnya.
“Ra, gece.” Teriak Chika. Rara sontak menatap putranya ketika mendengar Chika meneriakinya. Sahabatnya itu memang tidak bisa dibilangin, untung saja putranya masih terlelap dengan nyaman.
Rara menghampiri putranya dan duduk di pinggir ranjang menatap wajah Nalen, “Kamu malaikat Bunda sayang, kamu yang bisa ngebuat Bunda menjadi orang yang kuat.” Gumam Rara dengan tangannya yang mengelus pipi gembul Nalen.
Hanya menatap wajah anaknya saja, sudah mengingatkannya dengan wajah prai tiu. Wajah Nalen hampir mirip dengan pria itu. Bahkan hampir keseluruhan, mereka berdua sangat mirip. Bagai pinang di belah dua bagi Rara.
Rara mendekatkan wajahnya dengan wajah putranya. Dan mencium dahi Nalen dengan segenap cinta yang dia punya untuk putranya. Dia berharap, semoga kelak Nalen bisa melindungi dirinya ketika dewasa. Setelah memastikan putranya tertidur lelap, Rara langsung berlalu menuju kamar mandi guna mencuci mukanya.
“Dik, jagain anak gue ya.” Pinta Rara yang baru keluar dari kamar.
Dika yang posisinya sedang memperhatikan layar tv menoleh sejenak, “Oghey.” Dika langsung mengangkat kepala Chika yang tiduran di pahanya, “Gidah berangkat. Gue laper.” Ujar Dika.
Chika langsung menatap Dika dengan tatapan menusuknya, “Pelit banget sih minjem pahanya buat bantal.” Gerutu Chika yang sudah bangkit dari duduknya dan berjalan menuju ointu keluar dengan kaki yang dia hentak-hentakkan.
“Lu mau nitip apa Dik?”
“Beliin cola aja.” Pinta Dika. Rara langsung menyusul langkah Chika yang sudah keluar dari apartnya.
Rara melihat Chika menghentikkan langkahnya di tengah-tengah lorong, “Lu ngapa berdiri aja?”
Chika tersadar dari lamunannya, “Eh ngga Ra.”
Chika masih memperhatikan salah satu unit di sana. Rara menelisik tatapan Chika dan ikut menatap objek pandangan Chika, “Lu ngeliatin apa sih apa gitu banget Chik.”
“Ngga, gak papa kok. Yok,” Chika lantas menggandeng Rara dan berjalan menuju lift.
Chika masih shock dengan apa yang dia lihat. Dia seperti melihat pria yang membuat sahabatnya menangis. Siapa lagi jika bukan Aldo Frenklin, pria masa lalu Rara yang sampai sekarang tidak bisa dilupakan sahabatnya itu. Tapi dia masih tidak percaya, kenapa pria itu bisa ada di Singapura? Aryo pernah mengatakan kepadanya, dia sudah menutup seluruh akses penerbangan untuk pria itu. Tapi kenapa sekarang pria itu ada di negara yang sama dengan sahabatnya? Tidak mungkin pria itu menggunakan kendaraan lain selain pesawat. Sepertinya dia harus menanyakan hal ini dengan Aryo.