Bagian 7

1393 Words
Akhirnya setelah sekian lama, Rara bisa juga mengelilingi mall lagi. Senang? Tentu saja. Rutinitas yang biasa dia lakukan semasa remajanya, hilang begitu saja ketika anugerah yang Tuhan titipkan kepadanya. "Ra." Chika menepuk pelan lengan Rara yang tengah memilih sepatu untuk putranya. "Hm?" sahut Rara tanpa menolehkan kepalanya. "Lu kenal ngga sama orang itu?" Rara sontak mengangkat kepalanya, dan melihat ke mana Chika menunjuk. Seketika tubuh Rara menegang. Tidak, dia tidak mau bertemu keluarga pria itu untuk saat ini. Kenapa semesta mempertemukan dirinya sekarang. Tapi baru saja Rara mau melarikan diri, pergelangan tangannya sudah di tahan lebih dulu oleh Chika. "Katanya mau move on, ngga gini caranya move on Ra. Berdamai dengan masa lalu, itu salah satu kuncinya." ujar Chika. Ya walaupun dia tidak yakin bagaimana perasaan sahabatnya itu, tapi yang dia tahu jika mau melupakan seseorang harus siap menghadapi kenyataan. Bukan lari dari kenyataan. "Gue harus gimana Chik?" tanya Rara dengan rasa takutnya. Entah kenapa, dia yakin jika ada ibunya pasti di sana ada anaknya. "Keep calm, okey?" Rara menarik nafas sedalam mungkin, lalu dia hembuskan perlahan. Benar saja. Bukan hanya ada ibunya, tapi ada anak pertamanya juga. Dan mereka tengah berjalan menghampiri tempat di mana Rara dan Chika berdiri. Rara langsung mencari tangan Chika, dan menggenggam tangan sahabatnya itu dengan erat. "Santai aja, lu pura-pura ngga liat mereka." "Tapi kalo mereka nyapa?" "Ya sapa balik. Udah gue bilang, hadepin. Sampe kapan lu mau ngehindar?" Rara terus menguatkan dirinya sendiri. Benar apa yang Chika katakan, mau tidak mau dirinya memang harus siap menghadapi situasi seperti ini. Seperti apa yang Chika bilang, Rara kembali melanjutkan memilih sepatu anak kecil laki-laki yang ada di hadapannya. "Mbak, ini ukuran untuk anak umur 6 tahun ada ngga ya?" Deg, Bahkan suara itu masih Rara ingat jelas. Suara kakak perempuan dari pria yang telah menyakitinya. "Tunggu sebentar ya Bu." "Ran, ini cakep deh kayaknya buat Babas." Sekarang bulu kuduk Rara tambah bangun. Itu, suara itu. Suara yang sebenarnya Rara rindukan. "Iya Mah, bagus. Tapi ukurannya ada ngga ya buat Babas?" "Bentar biar Mamah tanya dulu." Rara sudah menundukkan kepalanya, dengan kepala yang tertunduk Rara tidak melihat adanya Chika disampingnya. Entah ke mana sahabatnya itu, padahal tadi dia merasa masih menggenggam erat pergelangan tangan Chika. Dan kini, sahabatnya sudah menghilang entah ke mana. "Mbak, permisi. Untuk sepatu ini ada ukuran buat anak 6 tahun ngga ya?" Lagi-lagi Rara hanya bisa diam. Apa dirinya terlihat seperti seorang pegawai di toko ini? Sampai-sampai wanita itu mengenali dirinya sebagai pegawai. "Ra, ini cakep tau." entah dari mana datangnya Chika, dia datang dengan membawa sepasang baju balita untuk anak laki-laki. Wanita yang tadinya memanggil Rara sebagai pegawai toko, diam di tempat. Dia kenal dengan perempuan yang baru saja datang. Dan tadi, jika dia tidak salah dengar ada panggilan nama yang menambah keyakinan dirinya. "Rara? Ini kamu sayang?" wanita itu sontak mendekati Rara. Rara diam, tidak berkutik. Bahkan sampai dirinya di peluk pun, Rara masih diam. Tapi air matanya sudah menetes. Dia rindu, rindu dengan wanita yang kini memeluknya. "Mamah kangen banget sayang sama kamu." Ira sudah menangis di pundak calon menantunya yang tertunda. Ya tertunda, karena sampai detik ini dia tidak menemukan wanita yang mempunyai hati selembut Rara. Bukan hanya Ira yang menangis, Rani pun demikian. Dia juga merindukan sosok Rara. Sosok yang bisa mengerti sifat adiknya. Hanya Rara yang bisa paham bagaimana keadaan adiknya. Dan sekarang, adiknya itu kehilangan arah semenjak Rara pergi dari kehidupan adiknya. Rara memejamkan matanya, dia ingin menyebutkan nama wanita ini. Tapi mulutnya tidak sanggup. Chika tersenyum, rencananya berhasil. Dia mulai paham, jika Rara masih amat mencintai pria yang bernama Aldo Frenklin. Jadi mungkin ini bisa membuka jalan Rara untuk mencari cintanya. Urusan Aryo, biar nanti dia yang bantu untuk mengurusnya. Ira melepaskan pelukannya, dia menatap wajah Rara lekat-lekat. Tangannya terulur guna mengelus pipi Rara. "Gimana kabar kamu sayang?" Hanya anggukan kepala saja yang bisa Rara berikan. "Alhamdulillah kalo kamu baik. Anak Mamah ngga sebaik keadaan kamu." Ira diam, dia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. "Ikut Mamah sebentar ya? Mau?" Rara sontak menoleh ke belakang, meminta persetujuan Chika. Tentu saja Chika memberikan izin. "I-iya Mah." Ira kaget bukan main, ketika Rara memanggil dirinya dengan sebutan mamah. "Ayo sayang, kamu juga ikut ya." ajak Ira kepada Chika yang langsung mengikuti langkah sahabatnya itu. Sesampainya di parkiran mobil, Rani langsung membuka mobilnya. "Tante maaf, saya bawa mobil ke sininya. Gimana kalau saya naik mobil saya aja?" "Mobil kamu yang mana?" "Itu Tante." Chika menunjuk mobilnya yang ternyata terparkir tidak jauh dari mobil Rani. "Oh, kamu tenang aja ya. Nanti ada yang mengurus mobil kamu. Ran, foto ya mobilnya. Biar pak Udin yang urus nanti." Chika menurut dan ikut masuk ke dalam mobil. Sepanjang perjalanan, tangan Rara terus di genggam Ira. Dia tidak mau kehilangan Rara lagi. "Kamu tenang ya, Mamah ngga akan bawa ke rumah Mamah kok." Ira tahu kegundahan yang tengah di rasakan Rara. Ya walaupun dia sendiri tidak terlalu mengerti permasalahan yang terjadi antara anaknya dan Rara, tapi yang pasti anaknya itu sudah berbuat hal yang tidak mengenakan kepada Rara dan membuat perempuan itu menjauh. Mobil yang dikemudikan Rani sampai di parkiran rumahnya. Ya, Rani memutuskan untuk membawa ke rumahnya saja. Lebih aman. "Yuk, masuk." Rani masuk lebih dulu setelah membukukan pintu, baru setelah itu di susul Ira dan juga Rara baru Chika yang terakhir masuk. "Sebentar, Rani buatin minum dulu ya." sebagai pemilik rumah, Rani harus mempersiapkan sajian untuk para tamunya. Apalagi ini merupakan tamu yang memang dia harapkan kehadirannya. Ira memandang wajah Rara lagi dan lagi. Dia merasa ada kejanggalan yang terjadi. Anak seperti Rara tidak mungkin menggugurkan kandungannya. Bahkan sekalipun di paksa. Tangan Ira terulur mengelus surai hitam Rara, "Sayang, Mamah kangen sama kamu." Rara memberanikan diri mendongakan kepalanya, menatap wanita yang duduk di depannya. "Rara juga Mah." akhirnya Rara bisa mengatakan hal itu. Ira kaget, ternyata Rara juga merindukan dirinya. Dia langsung membawa Rara ke dalam pelukannya. "Maafin Mamah sayang maafin Mamah, hiks.." sungguh, Ira merasa sangat berdosa sudah salah mendidik Aldo sampai menjadi laki-laki yang tega menyakiti hati perempuan seperti Rara. "Mamah ngga salah, ini salah Rara Mah." Ira kembali melepaskan pelukannya, "Mau jelasin secara rinci, sebenarnya apa yang terjadi antara kamu sama Aldo? Sampai kamu bener-bener pergi dari kehidupan kita? Dan bahkan Mamah sampai dengar kalau kamu gugurin kandungan kamu?" Rara bingung ingin menjelaskan dari mana. Jika dia menceritakan kalau dirinya tidak menggugurkan kandungannya, yang ada nanti masnya akan marah. Chika yang sangat paham ketika membaca mimik sahabatnya, tangannya langsung menggenggam tangan Rara. Memberi keyakinan kepada Rara untuk menjelaskan semuanya, tanpa ada kesalah pahaman. Sebelum memulai menejelaskan, Rara memejamkan matanya lebih dulu. Lalu dia menghirup udara sebanyak-banyaknya dan dia hembuskan perlahan. Bismillah, Rara mulai menjelaskan dari awal. Yang pertama kali dia memergoki pria itu bersama dengan wanita yang mana rekan kerja pria itu. Tidak ada yang Rara tambahkan, semua sesuai fakta. Ira sendiri mendengarkan dengan seksama tanpa ada niatan untuk mencela sedikitpun cerita yang keluar dari mulut Rara. "Begitu Mah ceritanya." Ira tersenyum, dia yakin ada kesalah pahaman yang terjadi dan belum sempat di selesaikan baik-baik. Ira yakin, putranya tidak akan berani selingkuh. Apalagi sudah ada wanita seperti Rara yang benar-benar membuat putranya sampai mengurung diri di kamar. Tapi di satu sisi, Ira juga mau memberi teguran untuk anaknya itu agar tidak semena-mena dengan Rara. "Sayang, boleh Mamah tanya satu hal sama kamu?" "Boleh Mah." "Di sini," Ira menunjuk bagian hati Rara, "Masih ada terselipkan rasa sayang atau cinta kamu buat anak Mamah?" Rara diam, dia tidak berani mengatakan apapun. Tapi dari diamnya Rara, Ira bisa menebak jika masih ada rasa untuk putranya di hari wanita itu. "Kamu mau—" Belum selesai Ira menawarkan sesuatu, ponsel Rara sudah berdering di dalam sling bag yang dia kenakan. "Sebentar ya Mah." Rara meminta izin untuk mengangkat panggilan masuk. "Halo, assalamu'alaikum." [......] "Rara masih di mall sama Chika, kenapa Mas?" [.....] "Oh, yaudah. Abis ini Rara balik yaa, Mas kasih s**u aja yang aku taro di kulkas. Panasin dulu tapi, tanya bunda gimana cara manasinnya." Chika diam-diam mengumpati Rara di dalam hatinya. Bisa-bisanya sahabatnya itu membongkar rahasia yang dari dulu sengaja di sembunyikan. Berbeda dengan Ira dan Rani yang bingung dengan perkataan Rara. Seperti ada yang mengganjal. Ira sendiri yakin, kalau anak yang dimaksud Rara adalah cucu kandungnya. Tapi di sini Ira tidak boleh gegabah, dia harus menyelidiki lebih dulu dengan bantuan suaminya. Dan tanpa sepengetahuan putranya. "Yaudah, Rara tutup ya Mas. Wassalamu'alaikum." [.....] Tut, "Mah, Rara izin pulang ya. Harus ada yang Rara urus di rumah." pamit Rara berusaha tidak menimbulkan kecurigaan. "Oh yaudah, Mamah boleh minta nomor kamu yang baru sayang?" Rara ragu ingin memberikan nomornya. Dia sangat ingat bagaimana pesan yang Aryo tekankan di dirinya untuk tidak memberikan nomor ponsel kepada siapapun, kecuali keluarga terdekat. "Mamah mohon ya." Ira menggenggam kedua tangan Rara. Jika sudah seperti ini, mana bisa Rara menolaknya. "Iya Mah, boleh." "Makasih sayang." Rara mulai menyebutkan nomornya. Nomor yang dia gunakan selama di Indonesia. "Mamah janji, ngga akan ngasih nomer ini ke Aldo." janji Ira. Dia langsung menamai nomor ponsel Rara dengan nama temannya, agar nanti ketika Rara telfon tidak menimbulkan kecurigaan di rumah. "Makasih ya Mah." "Iya sayang, sama-sama." Rara dan Chika langsung berpamitan dari rumah Rani. Berhubung mobil Chika kemungkinan sudah sampai di rumahnya, jadi mereka pulang menggunakan taxi yang dipesankan oleh Rani. Sepanjang perjalanan pulang, Rara menatap ke jendela tepat disampingnya. "Ra." "Hm?" sahut Rara seraya menolehkan kepalanya kesamping. "Lu tadi keceplosan tahu Ra." "Keceplosan?" tanya Rara yang tidak mengerti maksud dari perkataan Chika. "Iya anjir. Lu pake ngebahas tentang s**u di telfon." Spontan Rara memukul dahinya, "Astaghfirullah. Gue lupa anjir." seketika wajah Rara langsung ketakutan. "Chik, gimana ini? Aduh, gue takut di amuk sama mas Aryo." Chika sebenarnya sudah menebak, Rara hanya takut dengan Aryo. Rasa cinta dan sayangnya untuk Aldo masih ada. Bahkan hanya berkurang sedikit. Karena Chika tahu Rara dari semenjak mereka masih bayi. Luar dalam Chika sudah hafal bagaimana Rara. "Hey, Ra. Keep calm." Chika memegang tangan Rara, "Ada gue sama Dika. Biar kita berdua yang bantu ngomong ke mas Aryo ya. Lu jangan takut, okey?" Walaupun ragu, Rara tetap menganggukkan kepalanya. "Sekarang, lu pasang muka yang biasa aja ya. Biar orang rumah ngga pada curiga ke kita." "Iya Chik." **** Melihat bagaimana interaksi Dani dengan keponakannya, Aryo tersenyum lebar. Kurang satu, adanya Rara diantara Dani dan juga Nalen. "Mas," Aryo tersentak kaget begitu bahunya di tepuk. Ternyata tidak lain dan tidak bukan adalah Dika. "Kenapa Dik?" "Rara sama Chika belom balik?" "Menurut lu?" "Belom." "Yaudah, ngapain nanya kalo udah tahu." Aryo berlalu meninggalkan Dika yang masih mendumel karena jawaban yang Aryo layangkan. Sesampainya Aryo di kamar, dia langsung merebahkan badannya di kasur. Lelah sudah fikirannya habis membahas pekerjaan. Baru saja dia mau memejamkan matanya, satu panggilan masuk di ponselnya. Ternyata dari mata-mata yang dia sewa untuk mengawasi Rara. [Selamat siang bos.] "Siang, ada laporan apa hari ini?" [Begini bos, saya melihat nyonya Rara bersama dengan temannya pergi dengan seseorang bos.] Aryo langsung mendudukkan dirinya begitu mendengar orang suruhannya menyebutkan seseorang. Hanya seseorang saja sudah membuat Aryo kelabakan. "Kirimkan saya fotonya sekarang juga!" pinta Aryo tanpa bantahan sedikitpun. [Baik bos.] Tut, Aryo langsung memutuskan sepihak panggilannya. Tidak, dia tidak mau Rara bertemu dengan keluarga pria b******n itu. Ketika foto sudah di kirim, Aryo langsung membukanya. Dan betapa kagetnya dia, ternyata firasatnya benar. Walaupun bukan pria itu yang menemui adiknya, tetap saja masih keluarga pria itu. Tanpa membuang waktu lagi, Aryo segera menelfon adiknya. [Halo, assalamu'alaikum.] "Wa'alaikumsalam, kamu di mana Ra?" [Rara masih di mall sama Chika, kenapa Mas?] "Kamu balik ya, Nalen dari tadi nangis mulu minta susu." biarkan saja Aryo berbohong, dia yakin saat ini posisi adiknya berada di rumah pria itu. [Oh, yaudah. Abis ini Rara balik yaa, Mas kasih s**u aja yang aku taro di kulkas. Panasin dulu tapi, tanya bunda gimana cara manasinnya.] "Okey Ra." [Yaudah, Rara tutup ya Mas. Wassalamu'alaikum.] "Wa'alaikumsalam." Tut, Panggilan langsung dimatikan. Aryo kembali menelfon orang suruhannya. "Mereka masih di sana?" tanya Aryo begitu panggilan tersambung tanpa ada basa-basi sedikitpun. [Masih Bos.] Aryo memutuskan untuk tidak menutup panggilannya sampai orang suruhannya mengabarkan jika Rara dan Chika sudah keluar dari rumah itu. [Eh, mereka baru saja keluar.] "Bagus. Naik apa?" [Dipesankan taxi bos oleh yang punya rumah.] Aryo diam, bukannya tadi mereka menggunakan mobil Chika ya? Kenapa pulangnya naik taxi? Nanti saja, Aryo tanyakan langsung dengan Chika. "Baik, pantau terus." [Siap Bos.] Tut, Aryo memejamkan matanya sejenak. Menetralisir emosi yang ada dirinya saat ini. Tidak, dia tidak boleh kasar dengan adiknya. Dia sayang dengan Rara. Sangat sayang, dari dulu dirinya memang ingin memiliki adik perempuan yang harus dia lindungi. Dan ini lah caranya melindungi Rara dari pria b******n itu. Pria yang tidak akan dia restui sampai kapanpun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD