Felix Yang Sebenarnya

1363 Words
Setelah menikmati sarapan dan membayar tagihan, Felix dan Luna langsung berjalan ke arah kamar hotel. Kali ini, ia menarik tangan kanan Luna, sembari menggenggamnya erat. "Matanya nggak usah jelalatan!" tegur Felix kepada Luna yang masih suka menikmati pemandangan di sekitaran resto hotel bintang lima tersebut. "Apa?" "Sudahlah, ayo cepat! Sebelum aku menelan bulat-bulat dirimu ditengah orang ramai." "Felix ... ," sahut Luna manja, dengan dahi yang ditekuk. Setelah berjalan cukup deras, sekitar 10 menit. Keduanya tiba di kamar yang sudah tampak sangat rapi, dengan alas kasur berwarna merah muda, bermotif bunga, dan beraroma khas wanita. "Waaah ... aku suka sekali," ucap Luna dengan senyum yang lebar. Bahkan ia hampir memeluk tubuh Felix. Hanya saja, tindakannya itu terhenti karena ia sadar bahwa dirinya tidak boleh bersikap berlebihan seperti ini (menaruh hati kepada Felix Vincent). "Jika kamu ingin (Peluk), kamu bisa melakukannya." "Maaf," sahut Luna yang mundur perlahan, demi menjauhi tubuh kokoh pemiliknya. 'Kenapa aku merasakan sakit saat Luna memilih untuk menjauh, ketika aku mengharapkannya mendekap tubuhku?' Tanya Felix di dalam hati, sambil terus menatap Luna. Karena begitu bingung pada perasaannya sendiri, tubuh Luna terjatuh di atas kasur. Semua karena kelalaian, hingga menyebabkan kakinya tersandung kayu bagian bawah tempat tidur. Saat itu, tanpa sengaja baju yang ia kenakan tersingkap ke atas, hingga memperlihatkan bagian pusatnya yang memiliki tahi lalat cukup besar dan terlihat. Felix menatap tanda lahir tersebut dengan matanya yang memerah. Warna yang kontras dengan kulit Luna nan putih bersih. Tahi lalat itu pun, mampu meningkatkan libido Felix yang tadi pagi sempat menyala. Dengan langkah cepat, laki-laki itu mendekati Luna dan meletakkan lututnya di lantai. Tubuhnya yang tinggi, setara dengan tempat tidur, lalu dengan mudah ia dapat menyambangi Luna. Rencananya, dari posisi inilah, Felix ingin menyiksa wanitanya. Tanpa bertanya, ia langsung membuka celana yang Luna kenakan. "Kali ini, aku ingin bermain tanpa jeda," pinta Felix dan Luna tidak mampu mengelaknya. Luna pun langsung mengangkat wajah dan lehernya, dengan bertumpu pada kedua tangan yang ia sandarkan di atas kasur. Pandangannya fokus pada aksi Felix, mulai dari mata hingga jari-jari tangan yang tampak lihai. Felix memulai dengan siksaan nakalnya. Ia menarik sedikit bagian dari busana dalam yang menutup bagian kepala putik berwarna putih kemerahan. Kemudian sambil menatap nakal, ia mulai memberikan sentuhan lembut dengan ujung lidahnya. Felix bergumam, menyenandungkan nada percintaan berat, sesaat setelah darah putih memenuhi otaknya. Ia tampak begitu menikmati santapan tambahan, dari acara sarapan, hari ini. Pada saat yang bersamaan, Luna mengeluarkan suara erotis, sembari bertahan pada posisi yang Felix inginkan. Saat ini, Felix semakin menunjukkan kelihaiannya. Dengan menggunakan lidah dan jari-jari tangan, ia melebur sarira milik Luna yang molek dan indah. Seperti menikmati es krim kesukaan, Felix terus saja melumat seluruh bagian yang berharga milik wanitanya. Selain itu, ia juga memperhatikan dan memainkan jemarinya pada rerumputan tipis milik Luna yang tampak rapi. Seperti mengelus rambut bayi, Felix terlihat begitu suka tenggelam pada momen ini. Sementara Luna, ia semakin kualahan dan tidak menentu, bahkan hampir menggila. Demi bertahan, Luna menggigit jari telunjuk tangan kanan. Semua demi mengurangi kegelisahan dan rasa yang tertuju pada satu titik kelemahannya tersebut. Setelah sepuluh menit, "Felix, cukup!" mohon Luna setengah memelas sembari menarik pinggulnya perlahan. "Eeeemhhh ... ." Felix bergumam, tanpa membuka mulut dan ia semakin bahagia, ketika melihat Luna lupa diri serta melayang tinggi. Desahan Luna dengan suara manja setengah menangis terus terdengar. Akibat terlalu gelisah, ia mengerang sambil menjambak rambut Felix perlahan. Tangan Felix pun berpindah haluan. Perlahan, ia melewati perbatasan pegunungan yang terjal dari dalam baju wanitanya. Laki-laki berparas dewa menarik wajah dan mulai berkata nakal, "Rasanya jadi lebih menantang bila seperti ini, Luna." Felix kembali menggoda untuk membuat Luna semakin gelisah. "Felix," keluh manja Luna sambil menggeleng-menggelengkan kepala, ketika jari-jari Felix tiba di ujung dadanya yang menyembul dan sintal. Luna semakin mengerang dan itu membuat Felix tersenyum bahagia. "Felix, tolong!" Tubuh Luna menggelepar, tidak sanggup menahan kenikmatan yang diberikan. "Apa yang kamu inginkan, Luna?" Felix bertanya, seolah Luna adalah ratunya dan Felix hanya budaknya. "Aku mau kamu, sekarang!" sahutnya sembari menggigit bibir bawah, sambil melihat Felix bersama tatapan geram. Felix menatap tajam, "Apa pun yang kamu inginkan," ujarnya yang kemudian berdiri dan melepaskan seluruh pakaian. 'Felix memang sangat kuat, bahkan dia mampu bertahan lebih dari 25 menit untuk memberikan pemanasan yang sempurna, sebelum bersenang-senang.' Luna kembali mengagumi sosok laki-laki perkasaa yang satu ini. Ketika Felix mengangkat dan membuka pakaiannya, Luna terus memandangi urat-urat besar yang mengarah pada milik Felix. Bagian sensitif itu tampak berjaya dan mampu membuat Luna terkesima. 'Bagaimana cara laki-laki yang satu ini, mendapatkan semuanya?' Luna kembali bertanya, tanpa suara. "Jangan hanya memandangku saja! Aku butuh kamu," kata Felix sembari menikmati bibir Luna. Cup. Kecupan basah dari mulut Luna, terdengar membara, ketika sudah dipenuhi dengan bibir Felix. "Emh ... ," erang Felix sembari menengadahkan kepala ke atas dan menutup kedua matanya. Suasana semakin memanas, tapi tiba-tiba saja, sesuatu mengganggu konsentrasi keduanya. Handphone milik Felix berbunyi dengan nada suara yang berbeda dari biasanya. Felix memalingkan pandangan pada Handphone tersebut dan Luna pun melepaskan diri karena melihat ekspresi Felix yang tampak tegang. 'Siapa yang menghubunginya dan apa yang terjadi? Sehingga Felix tampak wajib dan sangat terpaksa mengangkat telepon tersebut, bahkan sampai menghentikan permainannya. Jangan-jangan, apa mungkin itu dari istrinya?' Banyak tanya merajai pikiran Luna. Detik ini, Luna tidak kecewa karena permainan yang tertunda. Hanya saja, ia tampak khawatir dengan ekspresi Felix yang terlihat tegang, seakan panggilan ini adalah salah satu sumber penderitanya. Sementara, Felix terus berjalan tanpa sehelai benang pun yang menutupi tubuhnya ke arah meja kecil, di mana ia meletakkan handphone miliknya. Tak lama, setelah menatap layar ponsel, Felix kembali berjalan ke arah Luna. Suasana panas seketika berubah menjadi dingin. Entah apa yang menyebabkan pandangan mata Felix yang tadinya sangat bersemangat, kini berubah jadi hilang keinginan. Ia tidak tampak trauma, tetapi juga tak tampak suka. Setibanya di sisi Luna, Felix duduk di atas ranjang. Seketika, Luna langsung berdiri karena ia berpikir mungkin laki-laki ini, hanya ingin sendiri. Tapi ketika Luna hendak pergi, Felix menahan bahu kiri gadisnya, sambil menggelengkan kepala. Paham akan kode tersebut, Luna kembali duduk di atas tempat tidur dan menahan suaranya. Saat ini, posisi Felix dan Luna sangat dekat, sehingga gadis itu dapat mendengarkan percakapan antara Felix dengan si penelepon. "Halo." "Felix!" ujar seseorang sangat bersemangat, ketika berbicara dengan Felix. "Ada apa?" tanya Felix dengan nada bicara yang terdengar dingin, seolah ia tidak akrab dengan si penelepon tersebut. "Papa butuh uang, lima milyar." "Untuk apa? Bukannya seminggu yang lalu, aku juga sudah mengirimkan Papa dengan jumlah yang sama?" kata Felix sambil menelan liurnya yang tampak berat. "Jangan hitung-hitungan, Deh! Papa sedang banyak keperluan. Mama muda kamu ini, sedang pintar-pintarnya shoping. Jika tidak dituruti, Papa bisa ribut terus dan tidak mau itu terjadi, Felix." "Aku akan kirimkan, segera." "Bagus." Lalu laki-laki dengan suaranya yang terdengar sudah tua tersebut tertawa puas. "Ha ha ha ha ha." "Tapi ini untuk yang terakhir kalinya. Jika Papa ingin uang, maka Papa harus bekerja karena semua harta benda ini adalah milik mamaku." Felix terdengar emosional, sesaat setelah mendengar suara tawa kepuasan tersebut. Lalu Felix memutus hubungan teleponnya dan terduduk di atas tempat tidur, sambil memijat-mijat kedua sisi kepala sangat kuat. Ia tampak kesal, tapi terus berusaha untuk menenangkan diri. 'Jika aku jadi dia, mungkin aku bisa mati berdiri.' Kata Luna tanpa suara. 'Bagaimana mungkin seorang ayah tega melakukan hal seperti itu terhadap anaknya?' Tak lama, Felix terlihat mengutak-atik ponsel miliknya. Luna pun bisa melihat bahwa ia sedang mengirimkan uang dalam jumlah yang sesuai dengan permintaan sang papa. Selesai mentransfer, Felix membaringkan tubuh di atas tempat tidur. Sebenarnya, Luna tidak tau apa yang harus dilakukan. Tetapi ia mencoba untuk menyentuh Felix dengan lembut, tepat di dadanya. "Sabar ya, Felix! Semua orang yang hidup di atas dunia ini pasti memiliki masalah. Jadi kamu harus bersabar. Jangan sampai sakit!" "Terima kasih, Luna," sahutnya sambil memiringkan tubuh dan memeluk gadisnya sangat erat. "Sama-sama," kata Luna, tepat di telinga kiri. Sembari menggosok-gosok lembut punggung Felix. "Pelukanmu terasa begitu hangat, sama seperti Mama," ucap Felix terdengar kesepian, bahkan ia hampir menangis. Luna terus saja mendengarkan setiap perkataan laki-laki itu. Ia semakin menaruh rasa simpatik pada laki-laki yang berada di dalam pelukannya, saat ini. "Istirahatlah! Semoga saat bangun nanti, kamu lebih segar dan tenang." Felix menganggukkan kepala, "Baiklah. Terima kasih untuk dekapannya." Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD