Kagum

1554 Words
Pukul 06.00 WIB. Luna terbangun dari tidur yang tidak disengaja dan melepaskan pelukan tangan kekar Felix dari tubuhnya. Kemudian ia berniat untuk membersihkan diri. Sebelum meninggalkan sisi ranjang, 'Kamu adalah laki-laki yang sempurna, Tuan Felix. Sayang, aku hanya bisa menyentuh dan memiliki dirimu saat kamu menginginkan aku saja. Sebentar lagi, disaat kamu bosan, kamu sendirilah yang akan membuang dan melupakanku.' Luna yang mulai berdiskusi dengan dirinya sendiri, langsung berdiri saat ia merasakan bahwa hatinya begitu menyukai kebersamaan dengan laki-laki pembeli keperawanannya tersebut. Gadis bertubuh molek itu sadar diri. Semua ini tidak boleh terjadi karena hidupnya bukan untuk menjadi seorang ratu, melainkan hanya pembantu bagi kaum yang haus kenikmatan duniawi. Saat ini, mungkin Felix memang sangat menginginkan dirinya. Bahkan tak ingin melepaskannya. Tetapi bagaimana esok, lusa, atau beberapa minggu ke depan. Bisa saja, ia merasa enek dan tak ingin melihat, serta menyentuhnya. Luna beranjak ke kamar mandi. Saat itu, ternyata Felix terbangun dan ia sangat terkejut ketika mendapati wanitanya sudah tidak disisinya. Sambil menekuk alis di dalam kegusaran hati, Felix berdiri dan mencari gadisnya. "Heeeem," gumamnya sambil menghela napas panjang. "Ternyata kamu di sini," katanya yang berdiri tanpa busana. Luna sedang asik menyikat giginya dan ia hanya melihat, tanpa mengatakan apa pun. Setelah selesai dengan urusannya, Luna yang juga terlibat polos tanpa sehelai benang pun, memanggil Felix. Kemudian, ia membantu si bayi besar untuk menyikat gigi. Felix terus saja memperhatikan wanita yang dirasakan memiliki sentuhan seorang dewi tersebut. Nyaman dan menyenangkan, adalah dua kata yang menggambarkan perasaan laki-laki haus kasih sayang tersebut. "Mari saya bantu?" Luna meletakkan pasta gigi di atas sikat berbulu halus. Lalu dengan patuhnya, Felix membuka mulut sembari memperlihatkan susunan gigi rapi miliknya. "Kamu penurut juga," goda Luna sambil mengulum senyum. Busa dari pasta gigi, masih memenuhi mulut Felix. Tetapi, ia sangat geram dengan perkataan Luna barusan. Pada saat yang bersamaan, ia menarik kedua sisi pinggang Luna dan mendekap dengan cepat. "Tidak! Jangan seperti itu! Ayo berkumur, lalu mandi!" Luna memegang kendali dan Felix terus saja menurut dengan wajah manis. Baru kali ini, ia tidak menolak setiap ucapan dari seseorang. Setelah menyikat gigi, keduanya membersihkan diri bersama. Sentuhan kecil disepanjang acara mandi pagi yang menyenangkan, mereka anggap sebagai pemanasan seru dan menyenangkan. Sesekali, Luna mendesis manja. Lalu di sisi yang lain Felix lah yang mengerang. Semua itu, dilakukan dalam senyum hangat, hingga mampu menyamarkan rasa dingin akibat air, dari shower yang masih saja jatuh di tubuh keduanya. "Sebaiknya kita akhiri saja acara pemanasan ini, Luna! Aku sangat menginginkan kamu." Felix mulai sulit mengontrol dirinya. Luna tersenyum suka, lalu mengangguk manis dalam tatapan menggoda. "Iya." "Kamu memang sangat menggemaskan. Rasanya saya ingin menggigit setiap bagian dari tubuhmu. "Felix," gumam Luna yang juga sudah tidak mampu menahan kegelisahan. Setelah selesai, keduanya saling membantu untuk mengeringkan tubuh. Kemudian, mereka berjalan berdampingan ke arah tempat tidur, untuk memulai permainan panas nan menggoda. Setibanya di ujung ranjang, Felix langsung menarik tangan kanan Luna dan memiringkan wajahnya. Sementara kedua tangannya, memegang lembut kedua sisi pipi gadis itu. Sedang asik menyapu bibir, keduanya mendapat gangguan kecil dari suara ketukan beritme di luar pintu kamar. Tetapi anehnya, suara itu seakan menambah rasa dan keinginan Felix untuk melumat berat kedua bagian bibir Luna. Luna melepaskan cengkraman sang pemilik, "Felix, ada seseorang di luar sana," kata Luna yang juga menyadari suara ketukan tersebut. "Apa? Aku tidak mendengarnya," sahut Felix berbohong. Saat ini, ia seakan tidak ingin dipisahkan oleh apa pun. Bibir Felix pun, terus menghisap bibir ranum milik gadisnya yang begitu rajin tersenyum manja. Setelah beberapa menit, "Kamu sangat pintar dalam urusan seperti ini, Felix," puji Luna yang juga berusaha dan berpura-pura untuk tidak mendengar suara ketukan dari luar, sama seperti Felix. "Bayangkan! Bagaimana jika lumatan seperti ini mendarat di bagian sensitif milikmu yang paling berharga itu?" "Aaah ... jangan membuatku tidak bisa lari dari kenyataan indah ini!" pinta Luna yang langsung terbawa hanyut oleh hasrat memburu. Entah bagaimana, tiba-tiba saja ia dapat merasakan permainan bibir yang brutal itu, pada bagian paling sensitif dari tubuhnya. Masih asik b******u, suara ketukan tersebut muncul kembali, tanpa henti. Akhirnya, Felix memutuskan untuk menuntaskan urusan seseorang di luar sana, sebelum melanjutkan urusannya dengan Luna. "Heran, siapa yang melakukannya pagi-pagi seperti ini?" tanya Felix kesal. Ia seperti ingin memberi tinju panas dan menerjang pengganggu tersebut "Aku akan membuka pintunya dulu," ujarnya sambil mengusap wajah. "Sebentar, Felix," panggil Luna seraya menahan senyumnya. Felix melipat dahi. "Apalagi?" "Sebaiknya, kamu mengenakan celana terlebih dahulu!" Wajah Luna memerah akibat menahan tawanya. "Ya ampun, sampai lupa." Felix menggelengkan kepala dan ikut menyimpan senyumnya. Setelah mengenakan celana, Felix pun langsung mengarahkan diri pada pintu kamar dan mempertanyakan tentang keperluan pelayan pria bermata sendu tersebut. "Maaf, Tuan," ucapnya sambil menundukkan kepala hampir sejajar dengan perut. "Saya ingin mengganti dan merapikan alas kasurnya jika diizinkan." "Baiklah, silahkan. Tapi lakukan dengan cepat!" "Baik, Tuan muda," sahutnya sopan sambil tersenyum. "Tunggu sebentar! Kami tidak mungkin keluar dengan gaya seperti ini," kata Felix kembali masuk ke dalam kamar dan keduanya mengganti pakaian yang santai. "Luna, ayo kita sarapan berat dulu di resto!" ajak Felix sambil menghela napas panjang. "Baik," jawab Luna dalam senyum, lalu ia memakai pakaian yang santai, tetapi mampu menonjolkan bentuk tubuhnya yang mengesankan. "Bawakan juga tas hitam sandang milikku!" "Iya, baiklah." Luna berjalan ke arah Felix. Saat itu, mereka juga meletakkan tips untuk pelayanan hotel di atas meja tidak jauh dari pintu. "Ganti dengan warna cerah!" perintah Felix kepada pelayan yang sedang memperhatikan alas kasur mereka karena sudah terdapat bercak merah di tengah-tengah bagiannya. "Dan itu untukmu." "Baik, Tuan. Terima kasih," sahutnya tanpa melihat jumlah tips dari Felix. Felix dan Luna jalan berdampingan menuju restoran yang sama dengan hotel, di mana mereka menginap. Saat ini, tampaknya belum ada gelagat ataupun niat untuk menggenggam maupun merangkul tubuh Luna dengan mesra. "Selamat datang Tuan muda, Nona muda ... ." sapa pelayan resto yang berpenampilan sangat menarik dengan suaranya yang mendayu-dayu. "Terima kasih." "Anda mau duduk dimana?" tanya wanita tersebut sekali lagi. "Luna!" "Oh iya, Tuan. Menurutku, di sana cukup menarik karena tempatnya lebih terbuka." "Ayo!" ajak Felix. Saat ini, Luna merasa sikap Felix sangat berbeda. Biasanya, Felix begitu banyak bicara. Tetapi, ketika bersama orang lain, ia hanya menjawab kalimat dengan kata. Sikap Felix tersebut, membuat Luna bertanya-tanya di dalam hatinya. 'Apakah Felix selalu bersikap dingin dan acuh tak acuh seperti ini kepada orang lain? Tapi mengapa tidak kepada dirinya? Luna bahkan merasa, bahwa sikap dan kata-katanya sangat manis bila di hadapannya. Saat ini, Felix terus saja memasang wajah cuek dan angkuh khas miliknya. Sementara Luna, ia sedang asik memandangi dan menikmati gaya tuan muda itu, tanpa henti. Alis tebal melengkung yang sangat tegas, hidung mancung dengan ujungnya yang runcing, matanya besar dan memiliki sinar kuat, dagunya berbelah menambah ketampanan dan kharisma pada wajahnya. Dia seperti dewa, atau mungkin malaikat. Luna pun semakin terpesona. "Mau pesan apa, Tuan? Nona?" tanya pramusaji sambil menatap ke arah keduanya, secara bergantian. "Luna!" panggil Felix, seolah wanita itulah yang mengatur segala hal untuk dirinya. Mulai dari tempat duduk dan menu makanan. "Iya, baiklah," jawab Luna patuh. Luna memilih beberapa makanan yang mungkin saja Felix suka. Walaupun sebenarnya, ia sama sekali tidak tau apa makanan favorit Felix dan apakah ia benar dalam memilih. "Setelah ini kita akan bersenang-senang, bukan?" tanya Felix sembari menatap Luna dengan penuh keinginan. Manik matanya itu, terus saja bermain jika mengatakan tentang percintaan bersama Luna. Luna menarik kedua sisi bibirnya, "Iya." Cukup lama menunggu pesanan datang, Luna memutuskan untuk berdiri dan membelakangi Felix. Ia menatap ke arah laut yang memperlihatkan lukisan indah dari buih-buih putih yang turun naik mengikuti gejolak air karena membawanya. Luna kian tersenyum, ketika melihat pemandangan sempurna ciptaan Tuhan tersebut. Tak lama, seseorang menyapa dengan suara yang tenang. "Maaf, boleh berkenalan?" tanya laki-laki asing dengan tubuh tinggi semampai berlesung pipi. "A-aku ... ?" sahut Luna bingung dan menggantung ucapannya karena tidak tau harus berkata apa. "Saya seorang pelukis dan saat melihat Anda, saya seperti melihat kesempurnaan," pujinya dengan suara yang hangat. "Ada yang bisa dibantu?" tanya Felix yang sudah berdiri tidak jauh dari Luna dan memecah tatapan manis laki-laki tersebut. "Maaf, saya hanya mengobrol saja karena sangat mengagumi kecantikan alami Nona ini," jawab laki-laki bertopi khas seorang pelukis, sambil terus tersenyum. "Dia wanitaku dan aku bukan tipe pria yang suka menahan rasa sakit hati karena apa pun." Felix menatap tajam seperti elang yang siap menerkam mangsanya. "Maaf, Tuan. Kalau begitu, saya permisi ... ." Felix sama sekali tidak menjawab salam dari laki-laki yang terbilang santun tersebut. Entah apa yang ada di dalam hati dan pikirannya? Yang jelas, stick kayu yang tadinya dipegang saat duduk, sudah terlihat patah menjadi dua bagian. "Tuan, aku sama sekali tidak mengenal laki itu," kata Luna berusaha menjelaskan keadaannya, agar tidak salah paham. "Lain kali, kamu tidak usah keluar saja!" sahut Felix dengan wajah yang masam. "Kalau ingin keluar, harus bersamaku." "Tuan, Nona, pesanannya. Selamat menikmati .... " ucap pramusaji yang memecah ketegangan diantara mereka. "Baik, Tuan," sahut Luna dengan wajah yang tertunduk. Kata-kata Felix, terngiang di telinganya. Sebab, kebersamaan mereka hanya tinggal menghitung jam saja. "Ayo duduk dan makan! Setelah itu, sebaiknya kita segera kembali ke kamar! Semakin cepat semakin baik, sebelum darahku mendidih." "Iya, baiklah." Felix dan Luna, menikmati sarapan dengan keadaan hati yang menegangkan. Ini benar-benar di luar dugaan Luna. Bahkan sepanjang acara makan pagi ini, Felix terus menekuk wajahnya. 'Felix, dia seperti seseorang yang diracuni oleh cemburu,' Kata Luna yang pandangan matanya hanya berani sesekali menatap Felix. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD