Puas dengan permainan yang mengesankan, Felix menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur, tidak jauh dari gadisnya. Percintaan panjang dan berulang, membuat tulang-tulang di sekujur tubuhnya seolah menghilang.
Namun, ia belum senang hati dan masih ingin menambahkan jumlah percintaan dan sentuhan. Sayang, semua itu hanya ada di dalam keinginannya saja, sebab tubuhnya tidak lagi mampu bergerak banyak.
Lebih dari dua setengah jam, keduanya menikmati sentuhan dalam hentakan dan adukan pinggul yang memukau. Felix pun merasakan lelah dan kantuk yang luar biasa.
Anehnya, api asmara miliknya tetap saja menyala dan menyiksa tubuh. Di dalam posisi yang sulit untuk bangkit lagi, milik Felix kembali mengacungkan diri dan menunjuk ke arah langit yang tinggi (Mengeras).
"Bagaimana ini?" gumam Felix dalam tanya, dengan suara tipis seolah ia tersiksa. Kemudian disusul suara tawa dan gelengan kepala. "Baru sekarang aku seperti ini," sambungnya sambil memeluk tubuh Luna.
"Felix?" Luna menjawab dalam nada tanya. Ia juga bingung melihat laki-laki yang satu ini. Sebab, belum ada sepuluh menit, Felix mengeluarkan jauhar miliknya yang kedua, rudal itu kembali bangkit lagi. "Mengesankan," pujinya.
"Benarkah?"
"Iya. Apa yang kamu inginkan?" tanya Luna kembali sambil menatap Felix. Saat itu, sebenarnya ia tahu bagaimana kondisi laki-laki tersebut. Tetapi ingin terus menjaga harga dirinya.
"Aku terlalu lelah. Harusnya, tadi tidak ke kantor dan menyelesaikan banyak dokumen."
Luna tersenyum hangat. Sebab, Felix belum menjawab pertanyaan dari bibirnya. "Kamu sangat kuat." Luna kembali memberikan pujian. Menurutnya, tidak ada kerugian sedikit pun, jika dia bisa membuat orang lain tersenyum hanya karena memuji.
"Aku ingin menambah jumlah permainannya, tapi lelah sekali." Felix menguatkan hati untuk mengakui keadaannya. "Beri aku kejutan!" bisiknya dengan mata yang sudah sayup karena begitu lelah dan benar-benar mengantuk.
"Baiklah," jawab Luna lalu berniat untuk berdiri dari atas tubuh Felix.
Pada saat yang bersamaan, Luna ditahan oleh cengkraman tangan kokoh Felix yang sudah sejak tadi mengikat perut hingga pinggang gadisnya yang ramping.
"Jangan meninggalkan aku!" pintanya tampak sungguh-sungguh.
Desiran hebat bergelombang di dalam hati Luna. Ia seperti sedang dilamar oleh laki-laki idola. Bahkan bulu-bulu halus kembali berdiri, bak landak yang siap berperang.
Tiba-tiba, ia seperti memiliki insting lebih kepada Felix. Ini tidak lagi tentang wanita kotor dan pembelinya, tapi lebih dari pada keinginan untuk membahagiakan, bukan hanya sekedar memuaskan. Luna pun kembali berdiri untuk bersiap.
"Jangan berdiri! Aku sedang ingin merasakan hangatnya tubuhmu, Luna," kata Felix sekali lagi, dengan suara yang berat.
"Apa? Kalau seperti ini, aku tidak bisa bergerak. Lalu, bagaimana caraku memberikanmu kejutan?"
"Pikirkan! Aku bersedia menanti. Asalkan kamu tidak beranjak dari tubuh ini."
"Suara manja kamu itu, membuat aku lupa segalanya. Termasuk rasa lelah ini." Luna mengecup lembut seluruh bagian wajah Felix.
Felix membuka kedua matanya lebar, "Menurutmu, bagaimana dengan kecupan ini?" tanya Felix seraya menempelkan bibirnya pada leher Luna yang jenjang.
"Felix," desah Luna manja.
Felix terus memberikan sentuhan lembut kepada Luna. Saat ini, sama sekali tidak ada keinginan untuk membuat kekacauan dengan menyakiti kulit tipis milik gadisnya, apalagi sampai merobek (Melukai/memberi gigitan kasar).
Luna pun menerima sentuhan lembut tersebut dengan senyum. Tidak ada satu pun diantara mereka, yang mengerti pada hati dan perilaku mereka sendiri.
"Luna, apa yang ingin kamu lakukan sekarang?"
Luna menarik kedua sisi bibir dengan wajahnya yang ceria, "Membuat kamu tidak berdaya," bisik Luna yang masih kuat. Sebab, sejak tadi ia hanya berlaku sebagai penikmat, meskipun seharusnya Luna lah yang bekerja keras.
Felix dan Luna kembali memulai sentuhan dan belaian. Mereka sangat tahu bagaimana caranya untuk membahagiakan dan memuaskan pasangan.
Namun, tiba-tiba saja gerakan bibir Felix berhenti. Tubuhnya gemetaran dan ini merupakan pengalaman pertama bagi laki-laki bertubuh kekar tersebut.
"Felix, kamu baik-baik saja?" tanya Luna sambil menyeka tumpukan keringat lawan mainnya malam ini. "Jawab!" pintanya dengan suara yang penuh kekhawatiran.
"Ha ha ha ha ha. Iya, aku baik-baik saja. Tapi, rasanya sangat lapar."
"Kamu kehilangan banyak protein, Felix."
Felix tersenyum saat mendengar ucapan Luna dan ia langsung menarik wajah gadis tersebut. Kemudian, menempelkannya, tepat di dadaa yang tebal.
"Seumur hidup, baru kali ini aku begini," kata Felix sambil terus mendekap Luna.
"Emh, aku akan menelpon untuk memesan makanan."
"Nanti saja! Sepuluh menit lagi. Aku sangat suka saat menikmati keringat yang banyak menetes dari dadaa mulusmu, ke atas kulit tubuhku.
"Felix ... ."
"Ini benar-benar luar biasa." Felix menatap dengan cahaya lembut, begitu juga sebaliknya.
"Iya."
Felix menarik napasnya dalam. "Luna, terima kasih untuk semua keindahan dan kenikmatan," ucapnya yang terus menahan kepala Luna di dadanya. "Apa yang kamu rasakan saat ini?"
"Ketenangan," jawab Luna tidak berbohong.
"Rasanya sudah lama aku tidak merasakan hal seperti ini. Aku semakin tidak yakin bahwa kamu sebenarnya adalah seorang manusia. Mungkin kamu bidadari yang sesungguhnya." Felix mengatakan semuanya dengan sepenuh hati.
"Jangan mengejekku! Tidak ada bidadari kotor seperti diriku."
"Apa kamu bersedia jika aku ajak untuk mengelilingi dunia?"
"Entahlah. Rasanya, aku lebih suka berdiam diri di rumah saja."
"Apa itu benar? Biasanya gadis seperti dirimu suka shoping ke mana saja dan bersenang-senang."
"Iya kamu benar, tapi itu mereka. Bukan aku."
"Hemh," ucap Felix tanpa membuka mulutnya. Ia seakan tidak percaya bahwa Luna bukanlah golongan wanita yang suka bersenang-senang.
"Hei, sebenarnya apa kamu suka dengan pekerjaan ini?" tanya Felix penasaran.
"Jujur saja, tidak. Tapi, aku harus melakukannya atau mami akan menghancurkan kulit wajah dan tubuhku."
"Lari saja darinya!" timpal Felix terdengar serius.
"Tidak bisa."
"Kenapa?"
"Ada seseorang yang selalu bersamaku dan memata-matai gerakanku." Luna menarik napas dalam. "Jika aku mencobanya, mami akan memberikanku pada laki-laki itu. Aku tidak ingin melayaninya."
"Begitu ya?" Felix melipat dahi. "Lalu, apa orangtuamu tahu soal ini?"
"Aku tidak tahu," jawab Luna singkat. "Aku sama sekali tidak berbohong. Mungkin, kamu menganggapku pendusta. Tapi aku benar-benar tidak tahu, maaf."
Sebenarnya Felix sangat penasaran dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan Luna. Tapi tampaknya gadis ini juga bingung dalam menjawab setiap pertanyaan darinya.
Di dalam hati Felix berkata, 'Gadis ini seperti seseorang yang kehilangan jati dirinya. Apakah mungkin beban hidup membuat seorang wanita cantik kehilangan semangat hidup?'
"Menurutmu, mana yang lebih menyenangkan antara bercinta di tempat-tempat destinasi yang menyenangkan dan luar biasa mahal. Atau dengan sebuah ruangan biasa, namun bersih, tenang, dan rapi, serta bersama orang yang kamu cintai?"
"Bagiku yang terpenting bukan tempatnya atau suasananya, tetapi pasangannya. Seandainya aku mendapatkan seorang laki-laki yang bisa menerima aku apa adanya, meskipun dia hanya laki-laki biasa yang tidak memiliki harta berlimpah. Maka aku akan bersedia untuk ikut dan hidup bersamanya. Tidak perduli, walau hanya sebatas berkecukupan saja."
"Apa yang kamu pikirkan tentang hidup?" tanya Felix semakin ingin tahu.
"Entahlah, tapi rasanya bagiku hidup itu seperti sesuatu yang harus diterima dengan baik dan lapang dadaa. Walaupun terkadang yang kita dapatkan adalah hal yang tidak kita inginkan atau tidak sesuai dengan pikiran. Kita hanya pion di atas papan catur."
"Jika mendengar ucapanmu, sepertinya kamu hanya perempuan yang tidak sanggup untuk menghadapi hidup dengan tingkat kekerasan yang tinggi."
"Kamu salah kali ini, Felix. Menurut kamu, apakah seseorang yang harus membiarkan dirinya disentuh oleh siapa saja yang memiliki uang adalah manusia yang lemah? Kami bahkan melawan diri sendiri, hanya untuk melakukan semua perintah yang diberikan oleh mami."
Felix terdiam saat mendengarkan perkataan dari bibir ranum itu, kali ini. Sebenarnya, Felix sangat tidak tahu, apakah wanita-wanita yang sudah banyak menghabiskan waktu malam bersamanya, juga berada dalam posisi Luna.
"Lupakan semua pertanyaanku yang menyebalkan! Dan katakan padaku, apa yang paling kamu sukai, Luna?"
Luna menggeser tubuhnya dan menatap lurus ke depan. Ia tampak berpikir keras hanya untuk menjawab pertanyaan sederhana dari laki-laki yang sudah membeli keperawanannya.
'Benar-benar aneh.' Ucap Felix dalam hatinya.
"Aku tidak tahu," sahut Luna atas pertanyaan terakhir itu.
Setelah percakapan sederhana tersebut, Felix dan Luna saling pandang dalam waktu yang cukup lama. Ketika mata mereka bertemu, ada arus listrik halus yang menyengat manja dan semakin menaikkan asa.
Mereka terus saja saling pandang dan bersentuhan halus. Sesekali kecupan kecil melayang diantara kulit wajah mereka.
Senyuman hangat mulai menyoroti titik balik mata keduanya. Bahkan mereka mampu merekam semua aksi dan reaksi diantara keduanya dengan sempurna.
'Luna, tatapan cinta itu seperti kaca. Saat kamu melihatnya, maka kamu akan menemukan dirimu sendiri dengan segala kekurangan dan kelebihannya, bukan orang lain.' Kalimat itu terngiang di telinga Luna. Suara laki-laki tersebut terdengar lembut, ketika berbicara kepadanya.
Luna menahan kepala yang terasa sakit, "Agh," keluhnya, langsung hilang keseimbangan dan tergelincir dari tubuh Felix.
"Luna, kamu kenapa?" tanya Felix dengan wajah khawatir.
Kali ini, Felix lah yang cemas tentang kondisi Luna. Pada saat yang bersamaan, ia ikut memegang kepala Luna dan menyadari sesuatu.
Felix pun terus menyibak rambut indah dan terawat milik gadis itu. Sebab, ia merasakan seperti ada bagian, bagai sayatan yang timbul dan panjang, di sepanjang otak belakang Luna.
'Luka ini?' Kata Felix di dalam hatinya. 'Jangan-jangan.'
Felix terkejut, "Luna, apa sangat sakit? Ingin ke rumah sakit sekarang?" tanyanya tanpa henti.
Luna menggeleng perlahan. Tak lama, terdengar hisapan air hidung. "Tolong! Peluk saja," pintanya dalam ratap. Dari getaran di sekujur tubuhnya, terlihat sekali betapa sakitnya luka yang ia derita.
Bersambung ....