"Tolong, cepat!" pinta Felix bersama getaran suara yang begitu ketara. Ia benar-benar takut kali ini. "Luna, please!" Tangan lebar itu menekan kuat sumber kebocoran di perut gadisnya.
"Kita tiba!" ucap orang yang sudah bersedia memberikan tumpangan dan pertolongan. "Sebentar!" sambungnya yang segera turun dari dalam mobil berwarna hitam.
Saat itu, dari dalam mobil, Felix dapat melihat petugas medis bergerak cepat ke arah mereka. "Di sana!" tunjuk orang asing tersebut.
"Luna!" panggil Felix sekali lagi, sayangnya Luna tidak mampu menjawab. Ia seperti tengah tertidur pulas, di atas selimut bulu angsa yang lembut dan hangat.
Ruang IGD menjadi saksi ketakutan Felix yang selanjutnya. Ia bahkan tidak dapat merasakan detak jantungnya sendiri dan bayangan usaha Luna ketika melindunginya, terulang kembali.
"Lukanya dalam, sebaiknya kita segera mengambil tindakan!" kata dokter yang langsung menulis berita acara di dalam kertas berwarna putih dalam ukuran yang cukup panjang.
Felix terus menatap ke arah para medis yang berusaha bekerja dengan cepat. Lalu ia menatap kedua telapak tangan yang sudah bersimbah darah dan terus bergetar.
"Tuan, kita harus melaksanakan operasi. Bagaimana?"
"Tolonglah!" jawab Felix dengan bibir yang juga sudah bergetar kecil dan cepat.
Bukan tanpa alasan, trauma itu kembali muncul. Bahkan ia dapat melihat wajah mamanya yang meregang nyawa di atas jalanan aspal besar.
Iya. Felix adalah saksi hidup kecelakaan (Tabrak lari) yang sudah memisahkan dirinya dan sang mama. Sejak saat itu, ia hidup di dalam kegelapan jiwa. Sedangkan sang papa, hanya bersenang-senang dengan wanita muda lainnya.
"Baik, silakan bersihkan tangan Anda!" pinta perawat, sambil menunjuk ke arah kamar mandi.
Roda-roda kecil itu berlari cepat, diiringi langkah kaki senada dari para medis. Felix pun mengikuti gerakan itu dengan cepat, meskipun napasnya terasa semakin berat.
"Maaf! Anda harus menunggu di luar," kata suster sambil menahan tubuh Felix yang kokoh, tetapi begitu mudah jatuh, ketika hanya di dorong dengan ujung jari. "Maaf," pintanya sekali lagi.
Felix berdiri sambil terus menahan berat tubuhnya yang selama ini terasa ringan. Luna sudah membuatnya terseret ke dalam rasa yang tak pernah ia ketahui sebelumnya.
"Tuhan, aku mau dia. Tolonglah ... ." Felix meminta. Padahal selama ini, ia lupa menyebut nama Sang Pencipta dengan sepenuh hatinya.
Setelah empat jam menunggu dalam kebingungan, dokter akhirnya keluar dari ruang operasi dan memberikan kabar gembira kepada Felix.
"Pasien selamat, operasinya berjalan lancar tanpa hambatan."
"Terima kasih, Dokter."
"Kita akan memindahkannya ke ruang perawatan."
"Iya, terima kasih." Felix terus menahan kolam kecil bening yeng terlanjur tercipta, di dalam kelompok matanya.
Kemudian, Felix berdiri menunggu Luna keluar dari dalam ruang operasi. Tak lama, ranjang perawatan yang membawa gadisnya, tampak nyata dan Felix segera mengikuti langkah para medis.
"Kamar terbaik ya, Sus!" pintanya dengan suara tipis.
"Baiklah," jawab wanita berambut pendek tersebut, sambil mengangguk.
***
"Mas, ini tas mbaknya dan ponselnya berdering terus sejak tadi," ucap laki-laki yang sudah menolong Luna dan Felix sejak tadi. "Saya permisi dulu."
"Terima kasih, Pak. Ini kartu nama saya," kata Felix sambil memberikan apa yang ia bisa. "Dan ini ... ." Felix mengeluarkan sejumlah uang, sebagai rasa terima kasihnya.
"Tidak, Mas. Jangan seperti itu! Saya ikhlas membantu. Lagi pula, kasian sama mbaknya. Wajahnya itu seperti bulan yang begitu lembut. Saya jadi teringat kepada putri saya yang telah tiada," ujar laki-laki tersebut membuat Felix tersentuh.
"Baiklah, terima kasih."
Setelah sang penolong pergi, Felix langsung masuk ke dalam ruang perawatan. Dari pintu yang terbuka lebar, ia menatap wanita kesayangan yang terbaring tidak berdaya.
'Luna!' panggil Felix tanpa suara. Lalu ia duduk di kursi tak jauh dari Luna, demi dapat menikmati wajah gadisnya.
Rambut Luna yang panjang, terurai manja di atas bantal dan tempat tidur perawatan. Wajahnya yang begitu cantik, terlihat tenang tanpa beban.
Felix pun semakin terpukau akan pesona dan keindahan wanita yang telah ia nikmati keperawanannya. "Kamu memang cantik, Luna. Sangat indah," pujinya dalam bisik penuh kasih sayang.
Tak lama, suara ponsel kembali berdering dan Felix memutuskan untuk mengangkat panggilan tersebut. "Mami?" gumamnya sambil menarik napas deras, seraya membaca nama sang pemanggil.
Telepon diangkat dan Felix memutuskan untuk mendengar, tanpa berbicara. "Luna! Ke mana kamu? Jangan macam-macam ya!" ancamnya lalu terdengar suara teriakan kesakitan dari seseorang, di balik suara kasar sang muciikari.
"Mami nggak mau tahu. Pokoknya, kamu harus pulang sekarang juga dan jalani hukuman dari Mami!"
"Ampun, Mami!" suara wanita lain yang menangis sejak tadi, kembali memekakkan gendang telinga Felix.
"Eh kamu, Gundo!" panggilnya terdengar kasar. "Bawa Mala ke gudang belakang dan pasung dia! Besok pagi, umpan dia pada anjiing jalanan!"
"Siap, Bos," jawab laki-laki asing dan suara Mala semakin kencang untuk memohon pertolongan, kemudian menghilang.
Emosi Felix naik hingga ke ubun-ubun. Ia membayangkan bagaimana mami memperlakukan Luna selama ini. Lalu dengan cepat, ia mengatakan sesuatu kepada wanita yang sudah berbicara banyak dalam ancaman sejak tadi.
"Dengar!" bentak Felix yang berhasil menghentikan ocehan dari mulut kotor mami. "Luna mengalami kecelakaan. Sekarang, sedang di rawat. Kirimkan nomor rekening Anda! Aku akan menebusnya." Felix menggenggam kedua tangannya erat dan ia tampak begitu marah.
"Siapa kamu?" tanya mami kaku.
"Felix. Felix Vincent," jawab Felix dengan angkuhnya. Sebab di kota ini, tidak ada yang tak mengenali nama belakang tersebut. Menyadari bahwa wanita nakal itu terdiam, Felix melanjutkan perkataannya. "Berapa pun, akan aku bayar."
Tiba-tiba saja, suara mami menghilang. Tetapi, ponselnya masih aktif. Felix bingung sambil mengerenyitkan dahinya. Kemudian ia kembali mengancam dengan gaharnya.
"Coba saja kalau kamu berani macam-macam! Aku akan meruntuhkan istanamu, hingga rata dengan tanah!" Felix membentak dengan penekanan suara yang terdengar, tak main-main. Lalu saluran telepon genggam tersebut, tiba-tiba terputus.
***
Subuh hari, ketika udara semakin menusuk hingga ke tulang. Luna terbangun dalam gerakan kecil dan tenang. Saat itu, Felix sedang termenung, seraya menatap jari-jemari tangan Luna yang lentik dan indah.
Laki-laki pemilik lesung dagu ini, tidak pernah terlelap sejak kepergian Luna. Meskipun matanya memerah karena kantuk, tetapi ia tetap tidak bisa memejamkan kedua matanya.
Luna memiringkan wajah dan menatap sisi kanan Felix yang rupawan. Bibirnya tersenyum tipis, ketika menyadari bahwa laki-lakinya, dalam keadaan baik-baik saja.
"Felix?!" Luna menyapa dengan suara yang samar-samar terdengar. "Hei!" panggilnya sekali lagi dan kali ini, Felix menyadarinya.
Mata Felix teralihkan pada manik mata bercahaya milik Luna. Bibir itu kembali bergetar dan matanya berkaca.
"Kamu?" Felix bertanya dalam senyum. Ia tidak mampu mengatakan apa-apa lagi, selain kata itu.
"Aku Luna," jawab Luna sambil tersenyum seperti biasanya.
Felix menatap Luna dan menangis terguguh. Seperti bocah kecil yang begitu ketakutan. "Luna ... ." Ketakutan terpancar jelas di dalam gelombang suara sayup tersebut.
"Kenapa menangis?" tanya Luna. "Itu tidak cocok!" godanya karena tubuh besar milik Felix, hanya sesuai untuk marah, bukan mengiba.
"Kamu membuatku takut," ujar Felix yang semakin erat meremas jari-jemari tangan wanita favoritnya. Bahkan meskipun begitu rindu, Felix tidak sanggup untuk menikmati kedua bola mata bulat milik Luna.
"Kemarilah!" pinta Luna sambil menarik lembut tangan Felix. "Aku tidak menyangka, kalau kita akan bertemu kembali," sambungnya dan terdengar masih lemas.
"Apa masih sangat sakit?" tanya Felix yang merasa hilang kata-kata.
Seandainya keadaan di dalam pertemuan kali ini berbeda, pastinya ia akan menggendong Luna dan menikmati waktu dengan percintaan hebat seperti sebelumnya.
Bersambung.