Rencana Felix

1120 Words
Manik mata penuh cinta, berkilauan dan terus menyala. Kedua insan manusia, dipertemukan dengan cara yang tidak biasa. Namun entah bagaimana, hati itu dapat terpaut erat, seolah tak mungkin lagi dipisahkan. Sinar matahari mulai menyinari bumi. Luna yang melihat Felix sudah tidak lagi ketakutan seperti sebelumnya, terus membujuk agar laki-laki kesayangannya itu terlelap. Felix menolak karena masih sangat ingin menikmati cahaya indah dari mata wanita yang sudah ia cari, selama beberapa hari terakhir ini. Tetapi Luna lebih keras kali ini dan Felix harus mengikutinya. 'Ternyata, aku kalah jika dihadapannya.' Kata Felix tanpa suara. 'Jika dia menjadi kekasihku, dia pasti akan menjadi wanita yang galak.' Sambungnya, lalu mengulum senyum. "Apanya yang lucu?" tanya Luna yang memergoki Felix menahan tawa. "Tidak ada. Hanya sedang membayangkan sesuatu yang menyeramkan saja." "Seperti apa?" Luna semakin penasaran dan ingin tahu. Felix tersenyum, "Rahasia," jawabnya dalam tawa dan beban jiwa yang semakin berkurang. "Dasar, awas ya! Tunggu saja sampai aku sehat dan bisa berlari." Luna mengancam dengan tatapan yang pura-pura kejam. "Ha ha ha ha ha, aku menunggunya," tantang Felix yang sudah merasa nyaman hatinya. "Hei!" Luna memecah tatapan hangat Felix. "Ya?" jawab Felix bersama mata rindu yang dalam. "Butuh kecupan?" goda Felix karena memang begitu ingin. "Apa? Felix, kamu memang nakal." Luna mencubit sayang sambil menggelengkan kepala. "Kemarilah dan tidur bersamaku!" pinta Luna dengan suara mendayu. Felix sama sekali tidak berniat untuk menolak. Malah ia begitu bahagia karena dapat menyatukan kulit dengan Luna. Sekarang, ia menyadari bahwa dirinya benar-benar rindu pada sosok elok wanita bayarannya. "Di sini?" tanya Felix seraya menunjuk ke sisi kiri Luna. "Iya, jika kamu mau. Aku tidak berani untuk memaksa. Soalnya, bisa saja kamu merasa jijik kepadaku." Felix menatap dengan matanya yang memerah dan berkaca, "Apa maksudmu?" "Aku hanya seorang perempuan nakal, Felix. Aku sadar diri." "Bagaimana kalau aku mengurungmu hingga kamu tidak bisa lagi berbuat nakal?" tanya Felix tampak sungguh-sungguh. Luna melipat dahi untuk menelaah perkataan Felix. "Maksudnya?" Felix memutuskan untuk naik ke atas tempat tidur dan berbaring di sisi Luna. Kemudian, ia memiringkan tubuh dan wajahnya agar dapat menikmati kecantikan wanitanya. "Aku akan menarik kamu dari neraka dunia itu dan menjadikanmu bagian dari rumahku." Felix terlihat serius dan Luna langsung berdebar. "A-apa?" Luna sangat bahagia, sesaat setelah mendengar perkataan dari bibir Felix. Meskipun ia tidak tahu pasti, mengenai arah dan tujuan ucapan laki-laki tampan tersebut. 'Apakah ini sebuah lamaran atau hanya tawaran sederhana untuk menyenangkan hati dan memenuhi hasratnya?' Tanya Luna tanpa suara, seraya menatap laki-laki yang semakin dalam merogoh hatinya. "Aku sudah mengatakannya. Maksudku, kepada mami," kata Felix sambil menatap dari jarak yang begitu dekat. "Aku akan menebusmu, Luna!" sambungnya seraya menikmati mata penuh binar cinta. Seketika, bulir-bulir air bening menetes di ujung mata kiri Luna. Aliran air itu seperti tetesan hujan di dinding yang putih dan bersih. Ia terlalu bahagia, hingga tak mampu mengatakan apa-apa. "Felix ... ." "Ya ... ?" Felix membalas dengan lembut. "Jangan lagi pergi dariku, apa pun yang terjadi!" pintanya dalam permohonan yang dalam kepada Luna. "Iya," jawab Luna bersama anggukan yang manis. Felix memegang sisi pipi kanan Luna dengan lembut, "Janji?" "Janji," jawab Luna bersama air matanya. Suara tarikan air hidung, terdengar jelas dari keduanya. mereka benar-benar bahagia setelah dapat berbincang sederhana dalam kalimat cinta. "Aku akan menjagamu mulai detik ini," janji Felix dengan sepenuh hatinya. "Terima kasih ... terima kasih ... terima kasih ... ," ujar Luna tanpa henti. Hingga bibir Felix menghentikan kalimatnya tersebut. Felix mengunci bibir Luna sembari melumatnya dengan lembut. Rasa rindu yang sudah beberapa hari terakhir ini bersarang dan menyiksa di dalam dadanya, pecah di mulut hingga menimbulkan rona wajah yang terus memerah. Felix melepaskan kecupannya, "Sepertinya, aku bakalan betah di rumah," kata Felix sambil menyentuhkan ujung hidungnya pada hidung Luna yang tidak terlalu mancung. Luna mengulum senyum dan tidak lagi merasakan sakit pada perutnya, ia terlanjur bahagia dan merasa di cinta. "Tapi, bagaimana jika keluargamu menentang?" tanya Luna yang tiba-tiba khawatir. Felix menatap Luna dengan lembut, "Keluarga yang mana? Aku tidak memiliki siapa pun. Hanya bayangan mama, mama, dan mama," jelasnya sambil memaksakan senyum. "Felix ... ." Luna akhirnya menyadari bahwa Felix begitu kesepian dan menderita, meskipun ia bergelimang harta. "Tapi sekarang tidak lagi. Sudah ada kamu, Luna." Felix kembali menyegel bibir Luna dan tidak berniat untuk melepaskannya, sebelum puas. Napas terengah-engah tampak jelas dari keduanya. Rindu itu bertemu dan berhasil melebur lara. Di mana duka dan luka? Mereka pergi entah kemana. Itulah yang keduanya rasakan, ketika bersama. Luna menyelipkan ibu jarinya demi menahan serangan bertubi-tubi dari bibir Felix. Lalu ia mengelus pipi bersih dan dihiasi sedikit bulu halus nan rapi. "Tidurlah!" pinta Luna dengan suara lembut dan napas yang hangat. Lalu disambung dengan kecupan manis di seluruh bagian wajah laki-laki kekar tersebut. Felix berubah menjadi bocah besar yang penurut. Dengan mudahnya ia mengikuti ucapan Luna untuk memejamkan mata. Dia sangat mengantuk, jadi dengan cepatnya langsung tertidur pulas. Suara dengkuran kecil itu kembali terdengar di telinga Luna. Tetapi ia sama sekali tidak merasa bising dan keberatan. Luna tersenyum lebar sambil menatap laki-laki yang sudah membuatnya berharga. Hanya saja, ia masih belum percaya bahwa mami akan melepaskannya begitu saja. Semua itu karena, hingga detik ini, tidak ada satu pun dayang-dayang mami yang dapat keluar dari istananya dalam keadaan hidup. Namun, Luna berusaha untuk menyerahkan segalanya kepada seorang Felix Vincent. *** Sekitar pukul 10.00 WIB. Dokter beserta perawat, masuk ke dalam ruang perawatan Luna. Saat itu, empat orang tersebut terlihat terkejut karena mendapati pasien dan penjaganya tertidur dalam posisi romantis di atas ranjang perawatan yang sama. Bibir Felix menyentuh pipi kiri Luna. Tangan Felix menggenggam jemari tangan kiri Luna. Bahkan, mereka berbagi selimut kecil yang sama. Pemandangan tersebut, berhasil memancing senyum simpul dari sang dokter yang sudah berusia sekitar 47 tahun. Para perawat pun, ikut terkekeh sembari menggelengkan kepala mereka. "Maaf, permisi." Seseorang menyapa dari pintu luar. "Maaf, saya Leo. Asisten pribadi tuan Fe ... ." Belum sampai ucapannya, Leo terdiam dengan bibir menganga. "Tampaknya mereka sangat lelah dan nyenyak," kata dokter yang terlihat sangat pengertian. "Kami akan kembali lagi, sekitar 60 menit dari sekarang!" "Baik, Dok. Terima kasih dan mohon maaf atas semuanya," ujar Leo sambil menundukkan kepalanya. "Permisi!" Dokter dan yang lainnya masih tersenyum simpul. Sementara Leo, ia tidak habis pikir dengan apa yang dilihat siang ini. 'Bagaimana bisa?' Kata Leo di dalam hati, sambil menatap tuan muda yang selama ini seperti tidak memiliki rasa cinta. "Tuan ... ?" gumam Leo dalam tanya dan ia terus memperhatikan keduanya dengan jarak yang tidak terlalu jauh. "Semoga Anda mendapatkan kebahagiaan itu, Tuan." Tiba-tiba saja, Leo menitikkan air mata. Hatinya terharu dan sikap cengengnya menguasai jiwa. Bagi Leo, semua ini benar-benar di luar nalar, di luar ekspektasinya. Ia pun berharap, Felix akan mendapatkan kebahagiaan yang sempurna bersama Luna. Bersambung. Jangan lupa tab love, tinggalkan komentar, dan follow aku ya, makasih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD