Bab 16. Posisi Yang Tak Berdaya

1023 Words
"Apa yang membuatmu begitu senang hari ini?" Kahfi mempertanyakan ekspresi yang Atami tunjukkan selama perjalanan menuju kantor, hingga menunggu lift terbuka. Atami tak menjawab, hanya menoleh dan kembali menunjukkan senyuman. "Aneh," komen Kahfi pada akhirnya. Meski disebut aneh pun, Atami tidak peduli. Tubuh Atami diam sejenak, membiarkan Kahfi memasuki lift dahulu barulah dirinya mengikuti. Jujur saja, Atami dan Kahfi saat ini memakai lift khusus anggota ekslusif saja. Hingga tidak akan cemas pembicaraan akan terhenti tiba-tiba karena pintu yang terbuka oleh karyawan yang ingin naik lift. "Bapak tahu yang namanya senjata makan tuan?" tanya Atami. Kahfi langsung melirik. "Apa yang kamu lakukan di belakangku?" Atami kembali tersenyum. "Entahlah, saya juga belum tahu." Kahfi benar-benar merasa yakin kalau Atami melakukan sesuatu tanpa sepengetahuan dari Kahfi. Meski sangat ingin tahu, Kahfi memilih bungkam dan tidak bertanya lebih lanjut. Sementara, mata Atami melirik ke arah Kahfi yang berdiri di sebelahnya. "Kemarin malam, Bapak pulang dalam keadaan mabuk?" "Hm.'' Kahfi membenarkan posisi jam tangan. "Kenapa tanya?" "Ini hanya kicauan kecil, anggap saja tidak dengar kalau tidak ingin." Dia menoleh. "Kamu saja belum mengatakan apa pun, sudah memutuskan secara sepihak." Atami yakin betul, kalau Kahfi tertarik untuk bicara dengannya. Jadi, sudah saatnya bagi Atami untuk berkomentar panjang lebar. "Saya ingin Anda berhenti nongkrong, tidak lebih tepatnya berhentilah mengkonsumsi alkohol." Ucapan Atami benar-benar sebuah kicauan tak berharga, sampai mengundang Kahfi untuk menyeringai. "Kamu siapa? Berani sekali mengatur." Atami melirik. "Saya kan sudah bilang, ucapan saya tidak untuk didengar. Saya hanya sedang bicara saja." Bibir Kahfi mengulas senyum sinis kembali. Lantas, dia menyandarkan punggung pada dinding lift. Dia merasa tertarik dengan cara Atami menasihati. "Oh benarkah? Jadi, sekarang apakah kamu sedang bicara dengan tombol lift?" Atami tak menjawab, dirinya malah melanjutkan perkataan. "Katanya ingin punya anak, tapi masih mengkonsumsi minuman seperti itu." "Alkohol tidak berpengaruh soal keturunan," komen Kahfi. Kepala Atami mengangguk. "Kalau begitu saya juga akan mencobanya." Mendengar ucapan dari Atami, dia langsung menoleh dengan menunjukkan raut kaget. "Tidak waras, ya? Kamu kira alkohol baik untukmu." "Bapak saja merasa itu baik untuk diri sendiri, berarti itu membuktikan bahwa minumannya boleh untuk semua orang, termasuk saya." Kahfi tertawa kecil. "Kalau begitu, minumlah hanya di hadapanku dan hanya saat kita berdua saja." "Tawaran itu terpaksa harus saya tolak." "Kenapa?" Biar dia dengarkan ocehan kecil dari istri kedua ini. "Karena kita harus kembali bekerja," sahut Atami mulai keluar dari lift. Kahfi tersenyum, rupanya pembicaraan mungkin masih bisa dilanjutkan hanya jika mereka berdua berada di dalam lift. Kaki Kahfi mengikuti Atami dari belakang, sosok istri yang baru disentuh sekali tapi rasanya candu sekali. Sampai Kahfi ingin sering memasuki tubuh Atami. "Bagaimana kalau malam ini ikut denganku ke hotel, aku kenalkan kamu dengan teman--" "Selamat pagi Asisten Rian," potong Atami. Rian yang baru saja keluar dari lift lain sempat menunjukkan raut kaget, karena disapa lebih dahulu oleh Atami. Tentu saja Rian langsung mengulas senyum manis. "Selamat pagi juga Sekretaris Atami." Kahfi mendengkus kesal, merasa sepenuhnya diabaikan oleh Atami yang memilih menyapa Rian. Kahfi langsung mendahului Atami dan memasuki ruang kerja. Meninggalkan Rian yang memperhatikan Atami di kubik kerja, bahkan Rian pun memutuskan untuk mendekat. "Jangan mendekat, kita harus bersikap profesional," ujar Atami mengingatkan. Sayangnya, Rian tidak menurut. Pria tersebut berjalan makin dekat, lantas menyandarkan lengan pada kubik kerjanya. "Aku tahu kita harus bertingkah bukan keluarga di sini, tapi Atami ibu sedang sakit." Atami yang semula ingin menyalakan komputernya, langsung terhenti meski hanya sejenak dan ia melanjutkan kegiatannya memulai pekerjaan. "Tidak ada gunanya mengatakannya padaku, dia tidak akan sembuh." Rian menatap Atami yang berpura tidak peduli, padahal dari sorot mata terlihat jelas tidak fokus. "Aku mengenal kamu dengan baik, Atami. Ibu mencari kamu, bujuk dia untuk datang ke rumah sakit dan periksa." Mendengar rumah sakit, membuat kepala Atami terangkat. Matanya menatap pada Rian yang nampak senang karena dirinya cukup tertarik untuk bicara lebih panjang. "Sakit ibu tidak parah, tapi tetap harus ke rumah sakit untuk periksa." Setelah tahu ibunya tidak sakit parah, Atami melanjutkan pekerjaannya. "Bukankah kalian berdua anak kesayangannya, kenapa masih membutuhkan anak terbuang sepertiku?" Rian langsung diam, meski mata memperhatikan setiap ekspresi yang Atami tunjukkan. Rian mengangguk mengerti dan mulai meninggalkan Atami. "Kalau begitu selamat bekerja, Atami Sayang." Sebutan itu membuat Atami berhenti dari kegiatannya dan menghela napas kesal. "Sialan." Sementara itu, di dalam ruangan direktur. Terlihat Kahfi yang juga ikut menghela napas. Bukan karena dia mendengar percakapan mereka berdua. Tapi, dia mendapat kabar dari pembantu kalau Intan tidak bisa pulang ke rumah utama karena menderita diare. "Atami, dia sedang menggali kuburannya sendiri." Kahfi tahu, seberapa liciknya Intan sedari dulu. Namun, dia memilih diam bertahun lamanya karena harta. Sementara Atami malah secara tidak langsung ingin menentang Atami. "Bodoh, posisiku tidak terlalu kuat untuk perusahaan ini. Apalagi untuk melindungi kamu, Atami." Meski tahu kalau Intan sedang dalam kondisi yang tidak baik saja, tapi Kahfi sama sekali tidak merespon pembantu apalagi kembali ke rumah hanya untuk melihat Intan. Dia memilih terus bekerja dan mengabaikan Intan. Pada siang harinya, pintu ruangan kerja Kahfi diketuk dan mulai terbuka. Kahfi menatap pada Atami yang masuk padahal tidak ada pekerjaan atau tugas yang harus diberi tahukan. "Ada apa? Jam segini belum waktunya makan siang, Atami." "Begini, Pak." Melihat Atami yang meragu, membuat dia membenarkan posisi duduk untuk tegak. Biar dia dengarkan apa tujuan sebenarnya dari kedatangan Atami di waktu menjelang makan siang. "Saya ingin meminta izin, kalau saya ingin pulang lebih awal." Raut wajah Kahfi mulai berubah. "Kenapa? Kamu merasa tidak enak badan?" Kepala Atami menggeleng. "Ada urusan penting." Kahfi menatap serius. "Aku selain atasan, juga suami bagi kamu Atami. Apakah aku tidak berhak tahu?" "Jadi, saya diizinkan atau tidak, Pak?" Melihat Atami yang kekeh tidak ingin memberi tahu, sementara Kahfi juga ingin tahu ada urusan apa sampai Atami memilih izin. Namun, melihat sedikit kecemasan di mata Atami membuat Kahfi tidak tega. "Hm pergilah! Aku izinkan kamu pulang lebih awal." "Terima kasih, Pak." Begitu dapat izin, Atami langsung keluar dari ruangan kerja suaminya begitu saja. Kahfi semakin yakin, kalau memang ada sesutau yang terjadi dan Atami tidak mau mengatakan yang sebenarnya. Jadi, ketika mata Kahfi yakin bahwa Atami sudah pergi. Dia mengambil ponsel dan mulai menghubungi seseorang. "Ikuti seseorang, akan aku kirimkan fotonya. Sebentar lagi dia akan keluar dari kantorku."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD