Ibu Kuat akan menghasilkan anak kuat

1225 Words
Karina tampak terpekur sedih di samping tempat tidur Kanaya yang terbaring diam memejamkan matanya. Pikirannya melayang jauh, memikirkan bagaimana hidup Kanaya selanjutnya. Bayu, suaminya, telah menghancurkan suara merdu Kanaya dengan tindakan nekatnya. Hilang sudah mimpi Kanaya menjadi seorang penyanyi. Bagaimana mungkin seorang ayah bisa berbuat begitu kejam pada anaknya? Jika Bayu ingin mati, seharusnya dia mati sendiri, bukan mengajak anaknya ikut serta. Karina menyesal menikah dengannya dan menjadikannya ayah dari Kanaya. Sekarang, suara merdu Kanaya telah hilang, dia tidak bisa lagi bicara. Bagaimana hidupnya selanjutnya? Mengapa keputusasaan orang tua harus anak yang tanggung? "Apa yang harus aku lakukan? Mengapa Tuhan memberiku cobaan seberat ini?" gumam Karina dalam hati, penuh dengan kesedihan yang mendalam. Air matanya mengalir deras, dan tangannya mengelus-elus tangan anaknya dengan lembut. Ucapan maaf yang terus dibisikkannya terasa menggantung di udara seperti oksigen yang tak bisa dihirup oleh pasien sesak napas, hanya menggantung, dan menyesakkan d**a. Sesaat kemudian, pintu kamar rumah sakit terbuka, dan seorang dokter masuk bersama seorang petugas sosial. Karina mengangkat kepalanya dengan mata yang masih sembab. "Ibu Karina, saya dokter Intan. Ini ada petugas sosial dan pihak kepolisian dari direktorat perlindungan perempuan dan anak. Mereka ingin melakukan wawancara tentang apa yang terjadi." "Wawancara dengan saya?" jawab Karina dengan suara bergetar. "Iya Bu. Karena suami ibu telah melakukan kejahatan yang menyebabkan anak cacat, ini harus diproses meskipun dia sudah meninggal," kata petugas wanita dari kepolisian. Karina mengangguk, tidak tahu harus bagaimana, jadi lebih baik mengangguk saja dan mengikuti semua arahan dari mereka yang lebih pintar. Dia sama sekali tidak mengerti tentang hukum. Dia hanya tamat SMA, buruh yang bekerja di pabrik tekstil, bersuamikan seorang suami yang tidak kuat mental dan menyerah dari hidup ini dengan cara yang sungguh kejam. "Saat kejadian, Ibu sedang bekerja?" tanya petugas wanita kepolisian. "Ya..." jawab Karina singkat. "Ada tanda-tanda kah sebelumnya sebelum Anda berangkat kerja?" lanjut polisi wanita itu bertanya. Pertanyaan itu membuat Karina menangis, menangis sambil memukul dadanya. Hatinya sakit sekali, dengan suara bergetar, Karina berkata, "Suamiku... Bayu...." Dia menangis lagi, suaranya hilang. "Kami bertengkar saat saya mau berangkat kerja. Dia minta uang 100 ribu untuk berjudi. Tapi saya tidak punya uang dan berakhir dia... dia...." Karina menangis lagi. Hatinya penuh penyesalan. Seharusnya dia tidak meninggalkan Kanaya bersama Bayu , saat Bayu bilang dia akan mati. Kedua petugas itu bersabar menunggu Karina berbicara, mereka memandangnya dengan tatapan prihatin. Pasti beban yang ditanggungnya sangat berat sehingga dia tampak sangat sakit. Karina menghapus air matanya dengan tangan gemetar. "Bayu bilang kalau... kalau aku tidak memberinya uang, dia akan mati bersama Naya. Aku menjawabnya, kalau mau mati, mati aja sendiri jangan bawa-bawa Naya." Suaranya pecah, terisak dalam kepedihan yang tak tertahankan. "Ya Tuhan, mengapa aku tadi membiarkan anakku ini bersama Bayu? Mengapa aku meninggalkannya sendirian? Maafkan Mama, Naya... Maafkan Mama." Karina menangis histeris, suaranya bergema di ruangan yang sunyi, penuh dengan penyesalan yang mendalam. Naya yang mendengar keributan itu membuka matanya dengan rasa takut. Matanya yang besar dan penuh harapan sekarang dipenuhi ketakutan. Dia memandang mamanya yang menangis histeris. Lalu dia bangun dan memeluk mamanya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, seolah ingin menghapus segala kesedihan yang meliputi mereka. Mulutnya hendak berbicara, tapi tidak ada suara yang keluar. Naya ingin bilang pada mamanya, 'jangan menangis Mama... Jangan menangis.' Tapi suaranya benar-benar telah hilang, tenggelam dalam kegelapan yang dibawa oleh perbuatan kejam ayahnya. Dia hanya bisa memeluk mamanya erat-erat, menangis tersedu-sedu, merasakan ketakutan dan kehilangan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Naya merasakan kepanikan menjalar dalam tubuhnya. Ketika mulutnya bergerak namun tidak ada suara yang keluar, kepanikan semakin menjadi-jadi. Dia menatap mamanya dengan mata yang penuh air mata, berharap ada cara untuk mengembalikan suaranya, berharap semua ini hanyalah mimpi buruk yang akan segera berakhir. Tapi kenyataannya terlalu kejam. Di pelukan mamanya, dia hanya bisa menangis, merasakan ketakutan yang mendalam akan masa depan tanpa suara, sementara Karina terus terisak dalam penyesalan yang menghancurkan hatinya. "Maafkan Mama, Naya... Maafkan Mama," bisiknya berulang kali, seakan berharap kata-kata itu bisa memperbaiki semua kesalahan yang telah terjadi. Ibu dan anak itu menangis bersama. Petugas sosial dan Polisi wanita itu juga menangis. Kedua petugas itu meneteskan air mata melihat betapa kejamnya takdir tuhan mempermainkan hidup Karina dan Kanaya. "Ibu... semua sudah terjadi, jangan menyalahkan diri ibu," kata petugas sosial itu lembut, sambil menghapus air matanya. "Bagaimana aku tidak menyalahkan diriku, Bu. Kalau tadi aku tidak berangkat kerja, kalau tadi Naya ku ajak, kalau tadi aku tidak bertengkar, mungkin kejadian hari ini tidak akan terjadi. Aku bukan menangisi Bayu, kematiannya tidak akan saya tangisi, dia hanya lelaki pengecut, lelaki pemalas, lelaki tukang judi. Aku benci padanya" Jerit Karina dengan suara marah , lalu dia melanjutkan " Tapi.. tapi aku tidak bisa menghadapi Naya. Dia itu kepingin jadi penyanyi Bu. Suaranya sangat merdu. Dia uda bisa nyanyi banyak lagu, meskipun belum TK, karena kami tidak punya biaya," Karina menangis pilu. "Bu, kita tidak bisa memutar waktu. Sekarang yang harus kita lakukan adalah bagaimana agar Naya bisa menghadapi dirinya yang tidak bisa lagi bersuara agar dia bisa berkomunikasi meskipun tanpa suara. Meskipun tidak jadi penyanyi, Naya bisa jadi apa saja yang diinginkannya," kata petugas sosial dengan suara lembut. "Apakah mungkin?" tanya Karina pilu. "Mungkin Bu, pasti bisa. Naya bisa terapi wicara." "Di mana bisa terapi Bu? Mahalkah biayanya?" tanya Karina dengan suara lirih. Kedua petugas itu terdiam, mereka tahu biaya terapi wicara tak murah kalau dilaksanakan di klinik tumbuh kembang anak, pasti Karina tidak akan sanggup membayarnya. Dia hanya buruh harian pabrik tekstil, yang pendapatannya sehari hanya cukup untuk makan dan kontrakan. "Bu, dinas sosial ada sentra Kartini yang bisa memberikan terapi gratis, tapi itu baru ada di Temanggung dan saya tahu ibu pasti tidak mungkin pindah ke sana. Gimana dengan pekerjaan ibu kalau ibu pindah ke sana?" kata petugas sosial itu dengan suara simpatik. Karina hanya mengangguk, tak mungkin dia pindah sampai ke Temanggung sana. Sekarang dia hanya berdua dengan Naya, dia harus cari kerjaan baru yang bisa menjaga Naya tanpa meninggalkannya seperti saat dia kerja di pabrik. Lalu sang polisi wanita berkata, "Ibu ada suatu yayasan, milik seorang suster, letaknya di Bekasi. Di sana ada terapi wicara secara gratis. Ibu kalau pindah ke Bekasi bersediakah?" "Bersedia Bu. Saya pernah bekerja dan ngontrak di Bekasi, sebelum menikah dengan Bayu." Jawab Karina cepat. "Ibu juga bisa kerja di yayasannya. Di sana juga ada rumah singgah untuk wanita-wanita seperti ibu. Tapi nggak bisa selamanya tinggal di sana. Ibu harus meninggalkan rumah singgah itu, kalau sudah mampu berdikari, jadi sementara saja, selama ibu tidak ada tujuan. Jadi ibu tetap harus berusaha mencari nafkah sendiri, lalu pindah ke kontrakan setelah ibu ada cukup uang. Tapi Naya bisa dapat terapi gratis di sana," kata polisi itu dengan suara lembut. "Makasih Bu... Makasih. Saya bersedia. Saya akan berusaha cari pekerjaan agar bisa punya tempat tinggal baru. Yang terpenting bagi saya, Naya bisa diterapi agar dia bisa berkomunikasi meskipun dia tak ada suara. Saya... saya... sangat menyesal Bu." Karina kembali menangis tersedu-sedu. Petugas polisi itu menepuk-nepuk bahunya. "Jangan salahkan diri ibu terus-terusan. Ibu harus kuat, demi Naya. Masa depan Naya tergantung ibu saat ini. Dia bisa tetap jadi wanita hebat, kalau ibu juga hebat. Tidak ada gunanya terus menangis, karena tangisan dan penyesalan tidak akan membuat suara Naya kembali. Sekarang saatnya ibu berjuang demi Naya dan saya yakin suatu saat nanti, saya akan melihat Naya jadi wanita penuh prestasi," kata polisi wanita mengobarkan semangat Karina untuk berjuang demi Naya. "Bisakah saya Bu?" Tanya Karina dengan suara ragu
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD