Ayah Tanpa Hati Nurani
Di sebuah rumah kontrakan sederhana di pinggir kota Tangerang, Bayu duduk terpekur di atas kursi reyot di dapur. Matanya nanar, wajahnya gelap, dan di genggamannya, sebuah botol cairan serangga berwarna hijau yang mematikan. Pikiran-pikirannya berkecamuk, tenggelam dalam lautan keputusasaan yang tak berujung. Dunia terasa begitu kejam, dan beban hidup yang menghimpitnya semakin tak tertahankan.
Bayu merasa sudah tak mampu lagi melawan badai kehidupan yang terus menerpanya. Ia telah mencoba berbagai cara untuk keluar dari jerat kemiskinan, namun selalu gagal. Tak punya pekerjaan bertahun-tahun, membuatnya menghabiskan waktu mencoba peruntungan dengan bermain judi . Dia pikir dia bisa menang, tapi kemenangan tak pernah dia dapatkan, malah yang ada dia terlilit hutang. Kebiasaan buruknya telah membuatnya terjerat banyak masalah. Tekanan-tekanan dari debt collector yang datang tanpa henti membuatnya putus asa. Di benaknya yang kusut, ia berpikir bahwa jalan keluar dari segala derita ini adalah mengakhiri segalanya bersama anaknya , Kanaya. Bayu merasa, dengan kematian mereka, istrinya, Karina, akan bebas dari beban dan dapat menjalani hidup yang lebih baik tanpa mereka. Dia bisa menikah lagi dengan pria yang lebih baik dari dirinya, kalau tidak ada anak yang dibawanya.
Di sampingnya, Kanaya, gadis kecil berumur empat tahun, sedang bernyanyi dengan suara merdunya.
‘Satu-satu aku sayang ibu, dua-dua juga sayang ayah. Tiga-tiga sayang adik kakak, satu dua tiga sayang semuanya’
Lagu itu terdengar begitu manis, namun ironi menghujam hati Bayu. Ia mencintai putrinya, namun keputusasaan dan teror dari debt collector telah mengaburkan rasionalitasnya. Dia pikir ini jalan terbaik bagi mereka semua.
Dengan tangan bergetar, Bayu mengambil sebotol limun dari lemari. Ia menuangkan cairan berwarna kuning cerah itu ke dalam dua gelas. Tangannya gemetar saat ia membuka tutup botol cairan serangga. Suara gemericik cairan yang dituangkannya ke dalam gelas terdengar seperti derak pintu neraka yang terbuka. Perlahan-lahan, ia mencampurkan cairan mematikan itu ke dalam minuman Kanaya.
Bayu memandang Kanaya yang masih bernyanyi, suaranya yang merdu seolah-olah mengiris hati Bayu menjadi serpihan kecil. Ia meraih tangan Kanaya dengan lembut, memandangi wajah polos gadis kecil itu dengan air mata yang mengalir di pipinya.
“Kanaya, minum limunnya dulu, Nak. Nanti Ayah juga minum,” katanya dengan suara yang dipaksakan tenang.
Kanaya, dengan kepolosan dan kepatuhannya, mengambil gelas itu. Ia memandang ayahnya sejenak, lalu meminum limun itu. Baru beberapa teguk, ia mulai terbatuk-batuk, wajahnya berubah pucat, dan mulutnya berbusa.
“Pa... pa...,” suara kecilnya terdengar lirih dan penuh kesakitan.
Air mata Bayu semakin deras mengalir. Dalam kepedihan yang teramat sangat, ia mengambil gelasnya sendiri dan meminum limun yang telah dicampur cairan serangga itu. Rasa pahit yang menyiksa segera menyergapnya, membuatnya terbatuk-batuk hebat. Namun ia terus minum hingga tidak ada satupun tetes air yang tersisa dalam gelas bunga-bunga itu.
Kanaya jatuh di lantai, memegang lehernya yang terasa panas membara. Dalam kesakitan yang tak terperi, Bayu mendekap Kanaya. Ia merasa tubuhnya semakin lemah, kepalanya berputar, namun di hatinya masih tersisa penyesalan yang begitu mendalam. Ia ingin meminta maaf, ingin mengucapkan kata-kata terakhir, namun mulutnya tak mampu mengeluarkan suara. Matanya mulai terpejam, dan dunia mulai menggelap di sekelilingnya.
Di saat yang sama, di pabrik tekstil tempat ia bekerja, Karina istri Bayu, segera menyelesaikan shift kerjanya. Pikirannya melayang pada suami dan anaknya di rumah. Kecemasan tiba-tiba menghantuinya, mengingat tadi pagi saat dia keluar bekerja, Bayu dan dirinya bertengkar hebat.
“Kemana gajimu, Rin? Beri aku 100 ribu!” jerit Bayu sambil mencengkeram lengan Karina kuat.
“Uangnya harus bayar kontrakan -Bayu, kalau nggak Bu Narto akan mengusir kita,” jawab Karina, berusaha menahan air matanya.
“Kenapa kamu nggak bayar setengahnya saja,” jerit Bayu lagi.
“Bu Narto tidak mau, bulan lalu kita sudah bayar setengah. Tolonglah Bayu. Tolong! Hentikan kebiasaan judimu. Pergi cari kerja, kerja apa aja agar waktumu tidak hanya dihabiskan dengan main judi dan main gaplek sama pemuda-pemuda itu.”
“Ah! Cerewet kamu! Aku nggak mau tahu, pokoknya kalau nanti pulang kerja, kamu nggak beri aku 100 ribu aku mati aja bersama Kanaya,” kata Bayu mengeluarkan ancamannya.
“Sudah! Kalau kamu memang mau mati, mati aja sana! Tapi jangan ajak Kanaya. Kamu mati sendiri aja ” kata Karina marah dan menepis tangan Bayu.
“ Kalau aku mati sama Kanaya kan kamu bebas, bisa nikah lagi. Janda tanpa anak lebih mudah laku daripada janda punya anak!” Jerit Bayu dengan mata merah menahan kemarahan.
“ Bayu! Jangan gila kamu. Kalau kamu mau mati, mati aja sendiri.” Karina menangis. Tapi saat melirik jam tangan kecilnya yang talinya sudah lusuh , dia tahu dia tak boleh lagi melanjutkan pertengkaran ini, shift nya sudah mau dimulai, dia tidak mau terlambat dan tidak mendapatkan upah hariannya.
Karina lalu mencium anaknya, Kanaya, dengan wajahnya yang penuh air mata. Berbisik di telinga anaknya itu, “Kanaya, mama berangkat kerja ya. Baik-baik sama papa.”
Karina pun melangkahkan kakinya keluar dari rumah kontrakannya untuk berangkat bekerja, air mata masih terus mengalir.
Pertengkaran seperti tadi pagi sudah biasa terjadi antara dia dan Bayu, tapi mengapa hari ini pertengkaran tadi begitu menghantuinya? Di sepanjang perjalanan pulang, hatinya berdegup kencang. Dia bahkan sedikit berlari untuk mencapai rumah kontrakan kecilnya.
Ada firasat buruk yang menyergapnya. Ketika ia membuka pintu rumah, dalam remang-remang cahaya lampu dapur, ia melihat pemandangan yang membuat darahnya membeku. Bayu dan Kanaya tergeletak di lantai, mulut mereka berbusa.
“Ya Tuhan! Bayu! Kanaya!” jeritnya parau.
Tanpa pikir panjang, Karina menggendong Kanaya yang sudah tak bergerak, sementara air matanya mengalir deras. Tanpa sepatu dan alas kaki apapun , ia berlari keluar rumah, tak peduli kakinya kotor kena tanah becek karena hujan semalam. Karina terus berlari menuju rumah sakit terdekat. Jalanan malam itu terasa begitu panjang, setiap langkahnya adalah perjuangan antara hidup dan mati. Karina berlari sekuat tenaga, merasakan seakan waktu berjalan lambat, setiap detik adalah penyiksaan.
Di ruang gawat darurat, Karina menyerahkan Kanaya ke tangan para dokter.
“Dokter.. Dokter… tolong anakku…. “ Jeritnya panik
Hatinya berkecamuk antara doa dan harapan, memohon mukjizat dari Tuhan. Ia menunggu dengan cemas di lorong rumah sakit, berharap ada keajaiban yang menyelamatkan putrinya.
Setelah beberapa jam yang penuh ketegangan, dokter akhirnya keluar dengan wajah serius namun ada secercah harapan di matanya.
“Anak anda selamat, Bu. Tapi ada kabar buruk... Pita suaranya rusak parah. Dia tidak akan bisa bicara lagi,” kata dokter itu dengan hati-hati.
Karina terhenyak, air matanya mengalir deras, dunia terasa runtuh menimpanya. Mengapa Takdir begitu kejam? Di antara rasa syukur dan kesedihan, ia mendekap Kanaya yang baru saja sadar, merasakan kepedihan yang tak terperi. Kanaya memandang ibunya dengan mata yang bingung, bibirnya mencoba mengeluarkan suara, namun hanya kesunyian yang keluar.
Karina duduk di samping ranjang Kanaya yang terbaring lemah, menatap putrinya dengan penuh cinta dan air mata yang terus mengalir. Hatinya hancur melihat wajah polos itu, wajah yang tak lagi mampu mengeluarkan suara merdu yang dulu sering menghiasi kontrakan kecil mereka. Ia tahu bahwa ia harus menjelaskan kepada Kanaya mengapa suaranya hilang dan tak lagi bisa bernyanyi.
Dengan suara bergetar dan hati yang penuh luka, Karina membelai lembut rambut Kanaya. Ia mencoba merangkai kata-kata yang begitu sulit untuk diucapkan.
“Kanaya, sayang... ada sesuatu yang Mama harus sampaikan,” ucapnya perlahan, menahan isak yang tak terbendung. “Ada kejadian buruk yang terjadi, sesuatu yang tidak pernah Mama bayangkan akan menimpa kita. Suaramu, Nak, suaramu yang indah... telah hilang.”
Kanaya memandang ibunya dengan mata yang penuh tanya, bibir kecilnya bergerak seolah mencoba berbicara, namun hanya keheningan yang menyapa. Karina merasakan hatinya remuk, setiap kata yang ia ucapkan seakan mengiris jiwanya sendiri. “Mama tahu, ini sulit... ini sangat tidak adil. Ayahmu, dia... dia membuat kesalahan yang sangat besar. Ntah apa yang ada di otaknya , Ntah mengapa dia mencari jalan keluar dari masalahnya dengan langkah pintas ini.Mama minta maaf Naya. Mama sungguh minta maaf" Karina menangis tak bisa lagi berkata-kata.
Karina terus menggenggam tangan kecil Kanaya, mencoba menyalurkan kekuatan yang ia miliki. “Tapi Mama berjanji, Mama akan selalu ada di sini, akan selalu mencintaimu, meski tanpa suara. Kita akan belajar bersama, berjuang bersama, dan menemukan cara baru untuk berkomunikasi. Kamu tetap anugerah terindah dalam hidup Mama.”
Dalam kesunyian yang menyelimuti, pertanyaan besar menghantui pikiran Karina sanggupkah ia membuat kehidupan Kanaya lebih baik, meskipun dia tanpa suara?