Takdir Pertemuan Tak Terelakkan

1363 Words
Selama dua hari di rumah sakit, Karina menghabiskan waktunya dengan membaca buku di perpustakaan mini yang ada di rumah sakit. Salah satu buku yang menarik perhatiannya adalah tentang terapi wicara bagi anak-anak yang tidak bisa berbicara karena terganggu pendengarannya. Ia membacanya dengan cermat sambil terus berjaga di samping Kanaya, yang masih terbaring lemah di tempat tidur. Dalam keheningan itu, seorang suster yang baik hati memberinya nomor kontak Gema Learning Center, tempat di mana Karina bisa mencari tahu lebih lanjut tentang terapi yang tepat bagi Kanaya. Sekolah ini didedikasikan untuk membantu anak-anak seperti Kanaya supaya tetap bisa berkomunikasi. Dengan hati yang sedikit ragu, Karina menghubungi Ibu Sanny, pemilik Gema Learning Center yang ada di BSD. Awalnya, ia khawatir teleponnya tidak akan diangkat atau permintaannya dianggap sepele. Namun, demi Kanaya, Karina menyingkirkan keraguannya dan memberanikan diri. Ternyata, Ibu Sanny sangat ramah dan penuh empati. Karina menceritakan masalah yang dihadapinya, dan Ibu Sanny dengan sigap memberikan saran mengenai terapi yang sesuai untuk Kanaya. Dia menjelaskan bahwa langkah pertama adalah belajar bahasa isyarat, setelah itu belajar baca tulis, diikuti dengan latihan gerakan bibir untuk membantu Kanaya mengkomunikasikan perasaannya meskipun tanpa suara. Tak hanya memberikan saran, Ibu Sanny juga mengobarkan semangat Karina. Ia meyakinkan Karina bahwa dengan dukungan terapi dari para ahli di yayasan di Bekasi, tempat Karina dan Kanaya akan tinggal setelah keluar dari rumah sakit juga tentu dengan kemauan keras, Karina pasti bisa mengajari anaknya sendiri. Ibu Sanny juga menekankan bahwa Karina tak perlu ragu untuk menghubunginya kapan saja jika ada pertanyaan atau kekhawatiran. Karina merasa benar-benar bersyukur. Di tengah cobaan berat ini, ia merasa beruntung bisa mendapatkan bantuan dari begitu banyak orang baik, mulai dari petugas polisi, petugas sosial, suster, hingga dokter-dokter yang turut bersimpati dan memberikan dukungan. Di balik segala kesulitannya , Karina menyadari satu hal kalau Tuhan masih sayang padanya dan pada Kanaya dengan mempertemukan mereka dengan orang-orang baik yang dengan tulus membantunya. Karina dan Kanaya bersiap meninggalkan rumah sakit, membawa dua koper kecil yang berisi seluruh harta benda mereka—pakaian dan beberapa barang yang tersisa dari hidup mereka yang telah hancur. Dengan hati yang berat, mereka meninggalkan kota Tangerang menuju Bekasi, tempat Yayasan Kasih Bunda, milik seorang suster yang penuh belas kasih, berada. Suster itu telah memberi mereka izin untuk tinggal di dalam yayasan selama tiga bulan. Setelah itu, Karina harus mencari tempat tinggal sendiri, meski terapi gratis untuk Kanaya akan tetap diberikan sampai Kanaya menguasai dan bisa berkomunikasi. Tiga bulan, waktu yang singkat namun sangat berharga bagi Karina. Dalam waktu itu, dia harus menemukan pekerjaan baru, apa saja, selama itu bisa menghidupi dirinya dan Kanaya. Pekerjaan yang tidak terlalu jauh dari yayasan agar Kanaya tetap bisa menjalani terapi sampai ia mampu berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Karina menatap Kanaya yang masih tampak lemah, wajahnya begitu polos namun penuh beban yang seharusnya tak perlu ia tanggung di usianya yang begitu muda. Hati Karina terasa perih, rasa bersalah menggigitnya tanpa henti. Sebagai seorang ibu, ia merasa telah gagal melindungi anaknya, membiarkan Kanaya kehilangan suara dan masa depan yang seharusnya cerah. Sekarang, hidup mereka harus pindah ke tempat lain dan mereka berdua harus memulai dar awal dan menutup lembaran kelam di Kota Tangerang. Mereka akan naik KRL menuju Bekasi, satu-satunya transportasi murah yang masih bisa dijangkau dengan sisa uang di dompet Karina yang hanya tersisa 100 ribu rupiah saja. Jumlah yang sedikit itu harus ia hemat, cukup untuk bertahan sampai ia menemukan pekerjaan baru. Karina tahu, ini adalah perjalanan menuju ketidakpastian. Namun, dengan segala kesedihan dan ketakutan yang menyelimuti hatinya, ia bertekad untuk bangkit, demi Kanaya, demi masa depan yang masih bisa diperjuangkan. Air mata Karina menetes saat kereta mulai bergerak, meninggalkan kota yang pernah ia sebut rumah, membawa mereka menuju kehidupan baru yang semoga saja berisi harapan bukan berisi kecemasan. Karina menggandeng tangan Kanaya saat mereka berjalan pelan menuju peron untuk berganti kereta di Stasiun Jatinegara. Siang itu, stasiun tampak sepi, jauh dari hiruk-pikuk jam sibuk. Sambil menunggu kereta ke arah Bekasi datang, pandangan Karina tertuju pada seorang wanita muda yang duduk di samping mereka, menggendong bayi sekitar empat sampai lima bulan. Wajah wanita itu tampak bingung dan linglung, dengan mata sembab seolah baru saja menangis. Karina merasakan dorongan kuat untuk bertanya, untuk menawarkan sedikit penghiburan, tetapi dia tahu dirinya sendiri sedang berada di ambang kehancuran. Hidupnya sudah penuh dengan masalah yang terasa tak tertanggungkan, dan dia merasa tak punya kekuatan untuk memikul beban dan menghibur orang lain. Dengan perasaan bersalah dan sedih, Karina hanya bisa menatap wanita itu dengan penuh iba, seolah berkata, "Maaf, aku tak bisa menghiburmu... aku sendiri sangat butuh dihibur saat ini." Ia menarik Kanaya lebih dekat ke pelukannya, mencoba menenangkan hatinya yang resah dan gelisah, meski ia tahu, pelukan itu tidak cukup untuk mengusir semua rasa sakit yang sedang mereka rasakan. Tiba-tiba, suara seorang lelaki pecah dari arah belakang tempat duduk mereka, menghancurkan keheningan stasiun yang mencekam. "Ida... Ida... Mari kita pulang. Kamu ini kenapa? Kenapa bawa anak kita ke stasiun,katamu kamu mau ke rumah orang tuamu? Apa yang kamu lakukan?" Suaranya penuh dengan keputusasaan, bergetar oleh rasa amarah yang terpendam. Wanita yang dipanggil Ida itu tiba-tiba bangkit, dengan mata yang penuh keputusasaan, seolah tak ada harapan tersisa. "Jangan mendekat, Mas Edwin! Aku nggak mau pulang! Aku mau mati saja bersama Emma!" teriaknya histeris, melangkah mundur mendekati tepi platform yang berbahaya. Detik itu juga, suasana berubah menjadi lebih tegang. Karina merasakan jantungnya berdetak kencang. Petugas stasiun mulai bergerak mendekat, tapi mereka tampak ragu, takut gerakan mereka akan memicu tragedi yang lebih besar. Kanaya mulai menangis, ketakutan yang teramat sangat menguasainya, mungkin masih terguncang oleh trauma yang baru-baru ini dialaminya. Karina bisa merasakan kepanikan mulai menyelimuti dirinya, namun dia tahu, dia tak punya pilihan selain bertindak. Ida semakin mundur, hampir mencapai garis batas aman. Suara kereta api arah Bekasi semakin mendekat, gemuruhnya menghantam udara dengan keras, seolah memberikan peringatan akan bencana yang akan terjadi. Lelaki itu, yang tak lain adalah suami Ida, tampak membeku di tempatnya, ketakutan melumpuhkannya. Wajahnya dipenuhi keputusasaan yang mendalam, takut mendekat, khawatir bahwa langkah sekecil apapun akan mengirim istrinya melompat ke rel. Saat Ida melangkah lebih dekat ke tepi platform, bayangannya tampak oleng, hampir terjatuh bersama bayinya. Detik itu, Karina tahu dia harus bergerak cepat. Dengan dorongan dari rasa takut yang mendalam, Karina berlari dan memeluk Ida dengan sekuat tenaga, menariknya menjauh dari ambang kematian. Mereka berdua jatuh terduduk di lantai platform, napas terengah-engah, sementara suara kereta yang melintas dengan kecepatan tinggi di samping mereka menambah ketegangan yang memuncak. Suami Ida segera berlari, menggendong anaknya yang menangis dengan suara yang mengiris hati, sementara Ida sendiri terduduk di lantai, tubuhnya gemetar hebat, terguncang oleh apa yang hampir saja terjadi. Tangisannya pecah, lebih deras daripada sebelumnya, mencerminkan ketakutan dan keputusasaan yang mendalam yang menguasai jiwanya. Di dekat Karina, Kanaya masih menangis, matanya membelalak dengan penuh ketakutan yang tak terkatakan. Dalam hitungan hari, Kanaya telah menjadi saksi dari tindakan para orang tua yang seharusnya melindungi, tetapi malah memilih jalan yang kelam, memilih mengakhiri hidup mereka bersama anak-anak yang tak berdosa. Karina, dengan tangan yang masih gemetar, menggenggam erat tangan Kanaya dan segera naik ke kereta yang berhenti di depan mereka. Ketika kereta perlahan mulai melaju menuju Bekasi, Karina melirik keluar jendela dan melihat suami Ida, yang menatapnya dengan penuh rasa syukur dan mulutnya membentuk kata terima kasih tanpa suara. Karina hanya mampu mengangguk lemah, sementara perasaan campur aduk memenuhi hatinya. Dalam hatinya, Karina berharap dengan segenap jiwa bahwa Ida tak lagi berpikir untuk mengakhiri hidupnya, dan bahwa suaminya akan menjaga istrinya dengan lebih baik. Beban yang dipikul wanita itu mungkin sangat berat, tapi Karina tahu bahwa dia tak bisa memikirkan lebih jauh masalah orang lain, hidupnya sendiri penuh luka dan tanggung jawab yang belum terselesaikan. Perjalanan ini sudah cukup sulit bagi dirinya dan Kanaya, dan Karina ingin percaya bahwa pertemuan mereka dengan pasangan itu akan menjadi yang terakhir. Namun, benarkah demikian? Apakah takdir benar-benar akan membiarkan mereka melanjutkan hidup tanpa pertemuan yang tak terduga di masa depan? Ataukah mereka akan kembali dipertemukan oleh nasib yang tak terelakkan? Trigger Warning: Bab ini hanya fiksi dan mengandung deskripsi tentang tindakan bunuh diri. Harap berhati-hati saat membaca. Jika kamu atau seseorang yang kamu kenal sedang berjuang dengan pikiran untuk bunuh diri, segera cari bantuan dari profesional atau orang yang kamu percaya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD