Bab 15

1339 Words
Zevanya yang tengah tertidur nyaman di kasurnya perlahan mulai terganggu karena cahaya matahari yang bergerak masuk melewati sela-sela jendela menyinari wajahnya. Silau dari cahaya matahari membuat wanita itu perlahan mulai bergerak membuka kelopak matanya itu sambil mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahay yang masuk ke mata. Ia meregangkan badannya yang terasa pegal setelah berjam-jam berbaring kemudian bergerak perlahan bangun dari pembaringannya. Setelah beberapa detik hanya duduk diam mengumpulkan kesadarannya, barulah Zevanya memperhatikan keadaan sekitar kamarnya. “Perasaan semalam aku ketiduran di mobil deh, kok tiba-tiba udah di kamar aja sih?” gumam Zevanya berusaha mengingat kejadian semalam saat perjalanannya pulang dari rumah Papanya ke apartemen bersama Daniel. “Jangan-jangan si cowo gila itu yang gendong aku ke kamar,” ujarnya dengan nada panik. Rasa kantuk langsung hilang seketika memikirkan tubuhnya kembali digendong oleh Daniel. Ia segera bergerak cepat turun dari tempat tidur dan berlari ke arah cermin untuk melihat kondisi tubuhnya. “Pakaian masih rapi,” ujarnya bernafas lega saat melihat pantulan dirinya di cermin. Zevanya kemudian bergerak lebih dekat dari cermin dan melihat area sekitar lehernya. Ia kemudian kembali bernafas lega saat tidak menemukan hal aneh di sana. Tidak ingin terlalu memikirkan hal yang tidak jelas, Zevanya memutuskan berjalan menuju kamar mandi untuk bersiap-siap ke hotel dan menjalankan rutinitasnya seperti biasa. Hanya butuh waktu lima belas menit bagi Zevanya untuk menyelesaikan kegiatannya di kamar mandi. Ia keluar dari dalam ruangan kecil itu dengan mengenakan bath drobe yang membalut tubuhnya dan berjalan menuju lemari. Beberapa menit kemudian Zevanya sudah kembali berdiri di depan cermin besar sambil memperhatikan pantulan dirinya di cermin. Saat ini ia mengenakan rok span berwarna biru navy dengan kemeja putih yang membalut tubuhnya dan dipadukan dengan sebuah jas berwarna senada dengan roknya. Rambutnya ia ikat tinggi dan menampilkan leher jenjangnya yang dipadukan dengan anting panjang berwarna perak yang memberikan kesan glamour. Zevanya tersenyum puas melihat penampilannya. Merasa sudah tidak ada yang kurang, ia segera meraih tasnya dan berjalan ke arah pintu. Namun, baru beberapa langkah, ia menghentikan langkahnya saat mengingat sesuatu. “Kalung dari Kak Alvin,” gumam Zevanya yang baru ingat bahwa kemarin malam sepanjang perjalanan pulang ia masih menggenggam kalung kesayangannya itu. Zevanya segera berbalik menuju ke arah ranjangnya. Belum sempat ia membongkar ranjang untuk mencari kalungnya itu, pandangannya langsung tertuju ke atas meja kecil samping ranjang dimana kalung itu terletak di sana. Ia tentu saja langsung meraih kalung tersebut dan menghembuskan nafas lega. “Syukurlah aku nggak ngilangin ini untuk kedua kalinya,” gumamnya yang merasa begitu lega dan senang. Zevanya kemudian segera memakai kalung tersebut di lehernya baru kemudian ia berjalan keluar dari kamarnya. ***** Daniel terlihat begitu telaten menuangkan adonan telur yang sudah ia bumbui ke dalam talenan yang ada di atas kompor. Ia mulai mengaduk-aduk adonan telur tersebut, lalu kemudian setelah hampir matang barulah ia mulai membentuk adonan tersebut menjadi sebuah omelet. “Perfect,” gumamnya dengan bangga kemudian segera meletakkan omelet yang berhasil di buatnya ke atas piring. Ia tersenyum puas setelah sudah menyelesaikan sarapan buatannya itu. Daniel segera meraih dua piring omelet yang abru saja dimasaknya dan ketika ia berbalik hendak berjalan menuju meja makan, ia cukup terkejut saat menemukan Zevanya yang berdiri di depan meja pantry dan tengah menatap tajam pada dirinya. “Anda sudah siap ternyata,” ujar Daniel yang kemudian berjalan santai menuju ke arah meja makan dengan membawa dua piring di tangannya. “Saya lihat beberapa hari ini kamu selalu ada di apartemen saya dari sebelum saya keluar kamar. Bukannya jam-jam segini seharusnya jalanan cukup macet.” Daniel tersenyum santai dan duduk di salah satu kursi yang ada di meja makan. Ia kemudian menunjuk ke arah pintu salah satu kamar kosong di apartemen tersebut. “Saya menginap di kamar itu. Cukup merepotkan untuk mengawasi anda dua puluh empat jam jika harus tinggal terpisah.” Jawaban Daniel tentu saja membuat Zevanya langsung melotot tajam. “SIAPA YANG MENGIJINKAN KAMU TINGGAL DI APARTEMEN SAYA,” teriak Zevanya marah. Daniel sama sekali tidak terpengaruh oleh amarah wanita dihadapannya ini. Ia nampak santai menikmati sarapan yang ia siapkan di meja makan. “Anda sepertinya lupa Nona Agatha. Apartemen ini disiapkan oleh Tuan Endiwarma untuk anda karena cukup dekat dari Gadi’s Hotel, jadi ini bukan apartemen milik anda seutuhnya. Selain itu, saya sudah mendapatkan ijin langsung dari Tuan Endiwama untuk tinggal di sini, anda tidak punya hak sama sekali untuk melawan,” jelasnya dengan nada santai. Zevanya menatap tajam Daniel yang tengah santai memakan sarapannya dengan tatapan tajam. Ia benar-benar ini mengamuk saat ini dan menghancurkan apa saja untuk meluapkan amarahnya, namun ia tentu saja masih ingin menjadi manusia waras. Perlahan Zevanya memejamkan mata dan menarik nafas untuk menghirup udara sebanyak mungkin agar dirinya bisa lebih rileks dan amarahnya bisa sedikit mereda. Merasa sudah lebih baik barulah Zevanya berjalan ke arah meja makan dan duduk di salah satu kursi yang berhadapan dengan Daniel. “Makanlah sarapan anda,” ujar Daniel. Yang entah kenapa terasa seperti sebuah perintah bagi Zevanya. “Saya nggak lapar. Cepat selesaikan makanan kamu dan kita langsung berangkat ke hotel,” jawab Zevanya dengan acuh. Suara dentingan keras terdengar karena Daniel yang membanting senduk yang ada di tangannya ke atas piring. Ia menatap lekat pada Zevanya dengan sorot matanya yang mengintimidasi. “Saya sudah menyiapkan anda sarapan Nona Agatha. Makan makanan anda baru kita berangkat ke hotel," perintah Daniel dengan nada tegas penuh penekanan. Zevanya tentu saja tidak terpengaruh sama sekali dengan tatapan pria di hadapannya ini, ia malah membalas tatapan Daniel tidak kalah tajam dan mengintimidasi. “Semakin hari sepertinya kamu makin melupakan posisi kamu yang sebenarnya. Kamu itu hanya seorang bodyguard, pria miskin nggak berguna yang dipekerjakan Papa saya. Jadi, punya hak apa kamu memerintah saya seenaknya?” “Baiklah, anda tidak perlu memakan sarapan yang sudah saya siapkan. Tapi, jangan salahkan saya jika ada laporan-laporan yang bisa saja saya laporkan pada Tuan Endiwarma dan itu tidak menguntungkan anda,” ujar Daniel dengan nada santai namun terdengar seperti sebuah ancaman bagi Zevanya. Perkataan Daniel tentu saja membuat tatapan Zevanya semakin tajam menatap pria itu. Ia menggertakkan giginya menahan amarah mendengar ancaman yang diberikan oleh pria itu untuk menakuti dirinya saat ini. Zevanya sejujurnya sama sekali tidak takut jika Daniel mau melaporkan hal-hal aneh yang membuatnya dimarahi oleh Papanya. Hanya saja, Zevanya takut kemarahan Papanya bukan hanya dilampiaskan pada dirinya tapi juga pada Mamanya. Ia tentu saja tidak mau jika wanita yang melahirkannya itu harus merasakan penderitaan karena sikap kasar dari Papanya. Dengan sangat terpaksa Zevanya akhirnya meraih senduk yang ada di samping piring kemudian mulai menyendokkan omelet yang dibuatkan Daniel. Ia mulai menyantap omelet tersebut dengan terpaksa dan ekspresi wajah enggannya. Daniel tersenyum puas melihat Zevanya yang akhirnya menuruti perkataannya. “Orang-orang pasti tidak menduga, CEO mereka yang terkenal tegas dan berwibawa ini ternyata begitu takut pada Papanya sendiri,” ujar Daniel dengan nada mengejek. Zevanya hanya diam dan fokus menghabiskan omelet di hadapannya tanpa mempedulikan ejekan dari Daniel yang duduk di depannya ini. Daniel yang tengah memperhatikan Zevanya yang makan tanpa sengaja melihat ke arah leher wanita itu. Zevanya terlihat mengenakan kalung perak yang ia genggam dengan erat di tangannya semalam. “Dilihat dari penampilan anda, sepertinya kalung yang anda kenakan itu tidak cocok dengan image anda,” ujar Daniel mengomentari. Perkataan Daniel tentu saja membuat Zevanya risih mendengarnya. “Apa saya meminta kamu untuk menilai penampilan saya?” tanya Zevanya dengan nada kesal. Daniel tersenyum sinis kemudian memberikan gelengan. “Anda memang tidak minta pendapat saya Nona Agatha, tapi setidaknya saya bisa melihat penampilan anda saat ini. Kalung yang anda kenakan itu benar-benar tidak cocok dengan karakter anda yang terlalu kasar dan bertemperamen tinggi,” jelas Daniel. Suara decitan keras terdengar karena Zevanya yang tiba-tiba mendorong kuat kursi yang didudukinya dan berdiri secara tiba-tiba sambil menatap tajam pada Daniel. “saya pakai kalung ini bukan untuk menunjang penampilan saya. Tidak peduli kalung ini cocok atau nggak sama saya, saya tetap akan memakainya dan kamu nggak punya hak untuk berkomentar apapun.” Setelah mengatakan hal itu Zevanya segera berjalan duluan menuju pintu keluar apartemen. Meninggalkan Daniel yang hanya terdiam setelah mendengar perkataan Zevanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD