Bab 13

1687 Words
Zevanya berjalan masuk ke dalam rumah milik Papanya, terlihat beberapa pelayan tengah sibuk membersihkan rumah yang begitu besar ini. Setiap kali berpapasan dengan pelayan, mereka tentu saja menunduk hormat dan menyapa Zevanya. Walau disapa oleh beberapa orang, Zevanya sama sekali tidak menghiraukan mereka dan memilih berjalan tersu menuju ke arah kamar yang berada paling belakang dari rumah ini. Sampai di depan pintu sebuah kamar, Zevanya berhenti sebentar dan berusaha mengontrol ekspresi wajahnya agar terlihat lembut baru kemudian ia meraih gagang pintu dan membuka pintu tersebut. "Ma,” panggil zevanya setelah bergerak masuk ke dalam kamar tersebut. Suasana kamar yang dimasuki Zevanya itu nampak begitu gelap dan sepi. Ia segera berjalan menuju saklar dan menyalakan lampu di kamar tersebut agar bisa melihat lebih jelas keadaan di dalam kamar itu. Setelah kondisi kamar tersebut sudah lebih terang dan Zevanya dapat melihat dengan jelas, ia mengerutkan kedua alisnya merasa bingung karena tidak menemukan keberadaan Mamanya di dalam kamar tersebut. “Mama dimana?” gumam Zevanya yang mulai khawatir dengan keadaan Mamanya. Ia segera berjalan ke arah kamar mandi untuk melihat apakan Mamanya berada di sana. “Mama,” panggil zevanya sambil mengetuk pintu kamar mandi. Setelah menunggu beberapa detik, sama sekali tidak ada jawaban dari kamar mandi. Ia pun segera meraih gagang pintu tersebut dan membukanya. Begitu pintu terbuka lebar, Zevanya mendapati bahwa area kamar mandi juga nampak kosong dan tidak ada keberadaan Mamanya. Semakin merasa khawatir, ia segera berjalan keluar dari kamar. Sampai di depan pintu kamar Mamanya terlihat seorang pelayan tengah lewat. Zevanya tentu saja langsung menghentikan langkah pelayan tersebut. “Dimana Mama saya?” tanya Zevanya. “Nyonya Yuliana sedang ada di taman belakang Non,” jawab pelayan tersebut. Setelah mendengar jawaban tersebut Zevanya langsung berlari ke arah taman belakang untuk menemukan keberadaan Mamanya. Ia baru bisa bernafas lega saat berhasil menemukan Mamanya yang saat ini tengah duduk di salah satu bangku taman. Zevanya melangkah pelan menuju ke arah wanita yang begitu ia sayangi itu. “Ma,” panggil Zevanya dengan nada lembut. Yuliana Rastanti yang tengah duduk menatap langit langsung menoleh ke arah samping saat mendengar suara lembut putrinya yang memanggil dirinya. “Zeva sayang,” panggil Yuliana. Zevanya segera duduk di samping Mamanya itu. “Aku nyariin Mama di kamar tapi Mamanya nggak ada, ternyata Mama duduk di sini,” ujar Zevanya. “Mama lagi pingin hirup udara segar sayang, rasanya terlalu menyesakkan kalau hanya berada di dalam kamar,” ujar Yuliana. Zevanya menghela nafas berat sambil menatap sendu pada Mamanya. “Aku tahu Mama pasti bosen kalau terlalu sering di dalam kamar. Tapi, Cuma itu satu-satunya cara untuk melindungi Mama. Cara supaya nggak terlalu disiksa oleh Tante Natalia dan papa hanya dengan mengurangi interaksi bersama mereka,” ujar Zevanya menjelaskan. Yuliana memberikan anggukan paham. “Mama ngerti sayang, Mama juga selalu berusaha kok buat mengurangi interaksi sama mereka di rumah ini,” ujarnya menjelaskan. Ia kemudian mengangkat tangannya mengusap lembut pipi Zevanya yang masih menatap sendu padanya. “Jangan terlalu mengkhawatirkan Mama nak, kamu juga harus mikirin kesehatan kamu sendiri,” nasehat Yuliana pada putrinya itu. Zevanya baru saja akan menjawab perkataan Mamanya, namun ia mengurungkan niatnya saat pandangannya tanpa sengaja melihat sedikit lebam yang muncul dari balik lengan baju milik wanita yang melahirkannya itu. Ia segera meraih tangan Mamanya kemudian menggulung lengan baju tersebut. “Ini kenapa Ma?” tanya Zevanya dengan nada panik melihat begitu banyak lebam di kedua lengan Mamanya. “Nggak Pa pa sayang, nggak usah terlalu dipikirin,” ujar Yuliana berusaha menarik tangannya dari Zevanya. Zevanya tetap menahan tangan Mamanya dengan pandangan yang menatap lurus pada wanita paru baya dihadapannya ini. Matanya mulai berkaca-kaca. “Kenapa Mama selalu menyembunyikan siksaan yang dilakukan Papa dan tante Natalia dari Zeva Ma?” tanyanya dengan nada bergetar. Melihat putrinya yang nampak rapuh membuat Yuliana merasa begitu hancur. Ia kembali mengusap lembut pipi Zevanya yang saat ini sudah basah dialiri air matanya. “Jangan sedih sayang, Mama beneran nggak pa pa. Sekasar-kasarnya Papa kamu, dia nggak akan bikin Mama sampai sekarat apalagi membunuh Mama,” jelas Yuliana. Zevanya segera berdiri dengan memasang ekspresi marah. “Tapi, dia sendiri udah janji nggak akan menyiksa Mama lagi kalau aku mau bekerja dengan baik. Aku harus bicara sama dia,” ujar Zevanya penuh tekad. Yuliana tentu saja panik mendengar Zevanya yang ingin berbicara dengan Papanya. Ia segera memegang kuat kedua tangan putrinya itu. “Sayang, Mama mohon nggak usah membahas hal ini dengan Papa kamu lagi. Mama benar-benar nggak mau Papa kamu menyakiti kamu sayang,” ujar Yuliana memohon pada putrinya. “Mama dipukuli karena kesalahan Mama yang tidak sengaja memecahkan vas bunga kesayangan tante Natalia. Kalau Mama nggak berinteraksi sama mereka, sebenarnya Mama sama sekali nggak disiksa sayang,” jelas Yuliana berusaha menenangkan putrinya itu. Zevanya benar-benar tidak sanggup menatap mata Mamanya yang tengah memohon pada dirinya saat ini. Ia akhirnya hanya bia menghembuskan nafas berat kemudian kembali duduk di samping mamanya. Airmata masih belum berhenti mengalir membasahi pipinya saat ini. “Lebamnya ini udah diobatin?” tanya Zevanya dengan suara serak sambil melihat dengan seksama kedua lengan Mamanya yang lebam ini. Yuliana tersenyum lembut sambil memberikan anggukan pada Zevanya. “Udah sayang, pelayan udah ngolesin salep ke lebam ini kok,” jawab Yuliana, berharap jawabannya bisa membuat tenang putrinya itu. Zevanya akhirnya hanya bisa terdiam menatap lebam di tangan Mamanya dengan wajah sedih. Melihat airmata putrinya, Yuliana segera mengusap lembut pipi Zevanya untuk membersihkan airmata tersebut. “Udah, nggak usah sedih lagi sayang, kita jarang bertemu loh nak. Masa sekalinya bertemu hanya dihabiskan dengan nangis aja sih,” ujar Yuliana berusaha menghibur putrinya itu. “Kalau kehidupan kita baik, kita pasti akan selalu bertemu dengan senyuman Ma. Masalahnya kehidupan yang kita miliki saat ini, bahkan neraka lebih baik,” gumam Zevanya. “Nggak ada yang bisa disesali nak, kita hanya bisa menjalaninya,” ujar Yuliana. Zevanya dengan cepat memberikan gelengan. “Nggak Ma, semua pasti ada jalan. Aku akan berusaha sebaik mungkin untuk lepas dari Papa dan bisa membawa Mama pergi dari rumah penuh penderitaan ini. Setelah aku berhasil, kita akan menjalani hidup bahagia hanya berdua tanpa pria brengs*k itu dan juga tante Natalia dan anaknya,” ujar Zevanya penuh keyakinan. Yuliana memberikan anggukan sambil tersenyum lembut. “Apapun yang kamu lakukan, selama itu tidak membahayakan kamu Mama pasti mendukungnya sayang.” Zevanya tersenyum mendengar perkataan Mamanya. Ia segera menarik tubuh wanita yang melahirkannya itu dan memeluknya erat sambil menghirup puas aroma tubuh yang selalu ia rindukan ini. “Oh iya sayang, Mama punya kejutan buat kamu,” ujar Yuliana sambil melepaskan pelukan putrinya itu. Zevanya menatap bingung. “Kejutan apa Ma?” Tanya Zevanya. Yuliana merogoh saku celananya kemudian mengeluarkan sebuah benda berwarna perak yang ia tunjukkan pada Zevanya. Eskpresi wajah Zevanya tentu saja langsung terkejut saat melihat benda apa yang ditunjukkan oleh Mamanya saat ini. Benda di tangan Mamanya itu adalah sebuah kalung berwarna perak dengan mainan bunga matahari yang begitu cantik. “Mama berhasil nemuin lagi kalung kesayangan kamu yang hilang lima tahun lalu. Ternyata ada di dalam tumpukan kotak-kotak perhiasan lama kamu waktu masih kecil dulu sayang,” jelas Yuliana. Dengan tangan bergetar Zevanya meraih kalung yang dipegang Mamanya itu. Ia menatap lekat sambil tersenyum bahagia melihat benda yang sangat dirindukannya ini. Lima tahun yang lalu Zevanya menghilangkan kalung kesayangannya ini saat ia memutuskan pindah dari rumah Papanya ke apartemen. Zevanya kembali memeluk erat Mamanya. “Makasih banyak udah nemuin kalung ini lagi Ma.” “Iya sayang,” jawab Yuliana yang tersenyum senang melihat Putrinya yang begitu bahagia saat ini. “Kamu pasti sangat merindukan Kak Alvin kan?” Tanya Yuliana. Zevanya memberikan anggukan sambil terus menatap lekat kalung di tangannya itu. “Pasti Ma. Sampai kapanpun aku selalu merindukan dia,” ujar Zevanya dengan nada sendu. Kalung yang ada di tangannya ini adalah pemberian teman masa kecilnya. Ia adalah anak dari salah satu kolega bisnis Papanya dulu. Mereka berdua dulu sangat akrab dan sering bermain bersama di taman dekat rumah lamanya saat ia masih berusia kisaran delapan tahun. Dulu zevanya masih terlalu kecil sehingga tidak tahu jelas nama lengkap teman masa kecilnya it, ia hanya tahu nama pria itu adalah Alvin. Sudah dua puluh tahun mereka berdua tidak pernah berkomunikasi lagi, yang Zevanya ingat hanyalah Alvin mengalami kecelakaan bersama kedua orangtuanya dan membuatnya jadi anak yatim piatu. “Aku benar-benar penasaran Ma, gimana kondisi Kak Alvin sekarang? Aku selalu berdoa semoga dia hidup dengan baik,” ujar Zevanya penuh harap. “Seingat Mama, anak bernama Alvin itu adalah anak yang baik dan pintar. Mama yakin, dia sudah tumbuh menjadi pria yang hebat sekarang dan sedang berusaha untuk mencari kamu saat ini,” hibur Yuliana. “Melihat kamu yang begitu merindukan dia, Mama yakin Tuhan akan segera mempertemukan kalian.” Zevanya tersenyum tipis kemudian menggenggam kuat kalung di tangannya itu dan mendekapnya di dadanya. “Aku juga berharap bisa segera bertemu dengan kak Alvin ma,” ujarnya. ***** Setelah hampir satu jam berada di dalam ruangan Endiwarma Gadi, saat ini Daniel sudah berjalan keluar dari ruang pria paru baya itu. Ia kemudian menghampiri seorang pelayan yang tengah berjalan dan menghentikan langkahnya. “Dimana Nona Agatha?” Tanya Daniel pada pelayan tersebut. “Maksud anda Nona Zevanya?” Tanya pelayan memastikan. Daniel segera memberikan anggukan. “Nona Zevanya sedang bersama dengan Mamanya Nyonya Yuliana di taman belakang rumah ini,” ujar Pelayan tersebut memberitahukan keberadaan Zevanya. Daniel segera berjalan ke arah taman belakang untuk menemukan Zevanya sesuai dengan informasi yang dikatakan oleh pelayan. Langkah Daniel perlahan berhenti begitu ia menemukan keberadaan Zevanya. Saat ini ia berdiri beberapa meter dari tempat Zevanya dan Mamanya tengah duduk dan mengobrol. Pandangan Daniel menatap lekat pada wajah Zevanya saat ini. Ia mengerutkan alisnya, nampak bingung melihat bagaimana raut wajah wanita itu. Daniel sama sekali tidak menyangka bahwa ekspresi wajah Zevanya bisa begitu berbeda saat berinteraksi dengan Mamanya. Raut wajah tegas dengan sorot mata tajam dan aura mengintimidasi yang dimiliki wanita itu sekaan sirna saat bersama dengan Mamanya. Zevanya nampak seperti orang yang berbeda saat ini, dengan sorot mata yang begitu lembut serta raut wajah yang nampak begitu ramah dan polos. “Kenapa dia seperti memiliki dua kepribadian?” gumam Daniel yang terlihat begitu bingung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD