Bab 11

1468 Words
Seorang anak perempuan berusia kisaran delapan tahun tengah duduk di sebuah bangku taman bermain dekat rumahnya. Selama duduk, ia terus saja melihat ke arah sekitar seperti hendak mencari seseorang. “Kak Alvin kok lama ya?” gumamnya bertanya-tanya dengan ekspresi wajah sendu. “Agatha.” Mendengar namanya dipanggil membuat gadis kecil yang tadi berwajah murung langsung tersenyum lebar. Ia segera mengalihkan pandangannya ke arah asal suara tersebut. “Kak Alvin,” teriak gadis kecil itu sambil melambaikan tangannya pada seorang bocah laki-laki yang sedang berlari ke arahnya saat ini. Gadis kecil tersebut segera bangun dari bangku yang ia duduki sambil menatap seumringah pada bocah laki-laki yang saat ini sudah berdiri di hadapannya. “Kak Alvin kok lama sih? Aku udah nunggu dari tadi loh,” ujar bocah tersebut dengan nada manja. Bocah laki-laki yang dipanggil Alvin tersebut tersenyum lembut pada gadis kecil di hadapannya ini. “Maaf ya Agatha, kakak terlambat dateng buat main sama kamu hari ini soalnya kakak habis pergi ke mall tadi,” jawab bocah laki-laki itu. “Kakak ke mall ngapain?” tanya Agatha kecil. Sejak datang bocah bernama Alvin tersebut selalu meletakkan tangannya di belakang tubuhnya, namun setelah pertanyaan dari gadis kecil di hadapannya ini ia langsung membawa tangannya ke depan tubuhnya untuk menunjukkan sebuah benda yang ada di tangannya. “Kakak beliin kamu sesuatu,” ujar Alvin sambil menyodorkan sebuah kotak kecil pada Agatha. Wajah gadis kecil itu langsung terlihat begitu bahagia mendapati Alvin memberikannya sebuah hadiah. Ia segera meraih kotak yang disodorkan bocah tersebut. “Boleh aku buka sekarang nggak kak?” Tanya Agatha kecil sambil memasang wajah penuh harap. Alvin tersenyum lembut sambil memberikan anggukan. “Boleh dong. Kan kakak beli itu emang buat kamu,” ujarnya. Agatha tentu saja langsung bergerak membuka kotak pemberian Alvin padanya. Wajahnya nampak sumringah saat melihat isi di dalam kotak kecil tersebut yang ternyata adalah sebuah kalung cantik berwarna silver dengan mainan berbentuk bunga matahari. “Kalungnya cantik banget kak,” ujar Agatha tersenyum bahagia melihat hadiah yang diberikan Alvin. “Kamu selalu tersenyum dan ceria setiap hari seperti matahari yang bersinar di langit, makanya itu kakak beliin kamu kalung bunga matahari,” jelas Alvin. “Kamu suka?” lanjutnya bertanya. Agatha tentu saja langsung memberikan anggukan penuh semangat. “Suka banget kak,” jawabnya bersemangat. Alvin tersenyum puas mendengar jawaban gadis kecil tersebut. Ia kemudian segera mengambil kalung di tangan Agatha. “Ayok sini, kakak bantu pakein,” tawarnya. Agatha memberikan anggukan kemudian segera membalikkan badannya membelakangi Alvin. Setelah itu bocah laki-laki tersebut segera memasangkan kalung yang ada di tangannya pada leher Agatha. “Cantik banget,” puji Alvin setelah Agatha sudah mengenakan kalung pemberiannya. Gadis kecil itu tersenyum bahagia melihat kalung yang sudah melingkar di lehernya itu. “Aku bakal selalu jagain kalung pemberian kakak ini. Setelah besar Agatha bakal jadi wanita hebat dan pintar terus nikah sama kak Alvin.” Perkataan Agatha membuat bocah laki-laki di hadapannya itu tertawa kecil, ia kemudian mengusap lembut puncak kepala Agatha. “Masih kecil udah ngomongin nikah. Belajar yang bener dulu Agatha,” nasehat Alvin dengan nada lembut. “Zevanya Agatha.” Teriakan seseorang yang memanggil nama Agatha membuat dua anak kecil berbeda jenis kelamin itu segera mengalihkan pandangan mereka ke arah asal suara. Beberapa meter dari tempat mereka berdiri terlihat dua orang pria paru baya yang berdiri berdampingan memandang mereka. “Ayo ke sana Agatha,” ujar Alvin. Kedua bocah tersebut segera berlari menghampiri dua pria paru baya tersebut. “Papa,” panggil Agatha mendekati salah satu pria paru baya sedangkan Alvin juga menghampiri pria paru baya di sebelahnya. Papa Agatha menatap lembut putrinya itu. “Ayo sayang pulang, mainnya cukup dulu ya hari ini.” Agatha kecil memasang wajah kecewa mendengar perkataan Papanya. “Padahal Aku masih mau main sama Kak Alvin,” ujarnya dengan nada lesu. “Besok kakak pasti dateng lagi buat main sama kamu,” ujar Alvin berusaha menghibur Agatha. Perkataan bocah laki-laki di hadapannya itu membuat gadis keci tersebut kembali tersenyum senang. “Oke deh kalau gitu, janji ya besok nggak telat datengnya,” pinta Agatha yang langsung dibalas anggukan oleh Alvin. Dua pria dewasa yang melihat interaksi mereka hanya bisa memberikan senyuman. “Kalau gitu Om sama Kak Alvin pamit ya cantik,” ujar salah satu pria dewasa yang adalah Papa dari Alvin. Agatha kecil langsung memberikan anggukan pada pria dewasa yang berbicara dengannya itu. Dua pria dewasa yang adalah Papa dari kedua bocah tersebut saling menatap dan tersenyum formal satu sama lain. “Kalau begitu saya dan anak saya Alvin pamit dulu Pak Endiwarma. Untuk urusan lainnya kita bicarakan lagi di lain waktu.” Pria yang dipanggil Endiwarma memberikan anggukan. “Baik. Kita bicarakan urusan lainnya besok. Hati-hati di jalan.” Setelah selesai berpamitan Alvin bersama Papanya segera berjalan menjauh dari Agatha dan Papanya menuju ke arah mobil mereka. Agatha kecil hanya terdiam menatap kepergian Alvin sambil memegang erat kalung pemberian bocah tersebut yang saat ini melingkar di lehernya. ***** Karlina berjalan masuk ke dalam ruang kerja Zevanya sambil membawa beberapa berkas di tangannya. “Bu Zevanya, masih ada beberapa berkas yang harus anda tanda tangani,” ujar Karlina setelah ia berdiri di depan meja kerja Zevanya. Ia kemudian meletakkan berkas-berkas yang ada di tangannya di atas meja untuk diperiksa oleh atasannya itu. Karlina memicingkan matanya menatap bingung pada Zevanya yang nampak diam saja dan tidak menjawab pertanyaannya sama sekali. Wajah atasannya saat ini nampak begitu datar dan memandang kosong ke arah lain seperti tengah melamun. “Bu zevanya,” panggil Karlina dengan suara yang cukup keras. Suara Karlina tentu saja mengagetkan Zevanya yang memang tengah melamun saat ini. “Kamu sejak kapan ada di ruangan saya?” tanya Zevanya yang terkejut melihat sekretarisnya itu sudah berdiri di depan meja kerjanya saat ini. “Saya udah dateng dari beberapa menit yang lalu Bu, anda nggak sadar soalnya lagi melamun tadi. Mikirin apa Bu?” Tanya Karlina. “Nggak usah kepo kamu,” ujar Zevanya dengan nada sinis, “Ngapain masuk ke ruangan saya?” lanjutnya bertanya. Karlina langsung menunjuk ke arah berkas yang tadi sudah ia letakkan di atas meja. “Saya nganterin beberapa berkas yang harus anda tanda tangani Bu,” ujarnya. Zevanya mengangguk paham kemudian segera menarik berkas-berkas tersebut mendekat padanya untuk ia baca. “Udah kamu periksa semua kan sebelum diantar ke saya?” tanyanya memastikan. Karlina memberikan anggukan, “Sudah Bu,” jawabnya. Zevanya segera membuka lembar per lembar berkas yang dibawa oleh Karlina dan ia bubuhi tanda tangannya satu persatu. Sepanjang menunggu atasannya menandatangani berkas, Karlina memperhatikan ruangan Zevanya. “Pak Daniel dimana Bu? Dia tadi nggak nyusul ke sini ya setelah kita naik duluan ke ruangan Ibu?” ujar karlina bertanya. Zevanya yang tadinya fokus pada berkas di atas meja langsung menatap Karlina dengan tatapan tajam. “Ngapain kamu nanyain cowok gila itu?” Tanya Zevanya. “Ya nggak pa pa Bu. Cuma kan katanya tugas dia harus ngawasin Ibu selama dua puluh empat jam, masa sekarang dia nggak ada sih,” jelas Karlina. Zevanya mendengus kesal. “Baguslah kalau dia nggak ada, seenggaknya saya bisa sedikit bernafas lega beberapa saat. Kalau ada dia bawaannya sesak mulu,” ujarnya dengan nada kesal. “Tapi ngomong-ngomong, ngapain kamu manggil dia bapak? Emangnya dia itu atasan kamu apa?” lanjutnya bertanya. “Ya gimana ya Bu, masalahnya aura dia itu terlalu berkharisma terus tatapan matanya itu tajam dan penuh intimidasi. Orang yang berinteraksi sama dia kayanya bakal langsung ngerasa aura bos di diri dia deh Bu,” jelas Karlina. Zevanya mendengus kesal sekali lagi. “Aura bos apaan? Lebih tepatnya itu aura preman bukan bos,” ujar Zevanya dengan nada tegas. “Siapa yang anda bilang preman?” Karlina langsung berdiri tegak dan tanpa sadar menahan nafas saat mendengar suara berat dari Daniel yang tiba-tiba masuk ke dalam ruangan Zevanya. “Muncul juga kamu, saya kira udah nyerah buat ngawasin wanita yang nggak punya hati kaya saya ini,” ujar Zevanya dengan nada mengejek. Daniel berjalan santai menuju sofa yang ada di ruangan Zevanya dan duduk di sana. “Anda salah Nona Agatha. Malah semakin anda menunjukkan sifat asli anda yang buruk itu, saya semakin bersemangat mengawasi anda dan membuat anda merasa begitu terkekang,” ujarnya dengan nada santai. Tangan zevanya mencengkram kuat pulpen yang ada di tangannya untuk meluapkan kekesalannya saat ini. Jika saja ada laser di matanya, mungkin saja saat ini pria yang duduk di sofa dalam ruangannya itu sudah hangus terbakar. Merasakan kembali aura permusuhan diantara dua orang ini membuat Karlina tidak betah berlama-lama di tengah-tengah mereka. Ia segera meraih berkas yang sudah ditanda tangani oleh Zevanya. “Saya langsung pamit ya Bu, masih ada pekerjaan lain yang harus saya kerjakan,” ujar Karlina. Tanpa menunggu jawaban Zevanya, wanita itu langsung membalikkan badannya dan berjalan keluar dari ruangan zevanya. Meninggalkan dua insan manusia berbeda jenis kelamin yang saling membenci itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD