BOY POV
Aku melirik terus jam tanganku, hampir jam 12 siang, dan aku terjebak meeting soal rencana tayang acara ajang pencarian bakat menyanyi.
“Rating sharenya masih tinggi pak, menurut saya sih masih menjual kalo misalkan musim tayang berikutnya kita buat” kata salah satu sttafku.
Aku menghela nafas menatap data data yang di berikan mereka untuk jadi bahan pertimbangan keputusanku.
“Slot iklan juga sudah banyak yang bersedia isi, kalo memang ada rencana running. Tinggal dealing untuk sponsor utama pengiklan. Sudah ada tiga perusahaan yang berminat jadi sponsor utama dan itu bisa mengcover biaya produksi. Tinggal bapak putuskan yang mana, yang bersedia membayar nilai yang bapak mau” lanjut yang lain.
Aku menghela nafas lagi.
“Well, kita kerjakan!!, mulai tayang bulan depan. Promo di media cetak dan elektronik buat semenarik mungkin ,dan saya tunggu materi promonya seminggu dari sekarang” perintahku.
Mereka bersorak.
“Trus, kalian kerja sama dengan stasiun radio untuk promo juga, terutama stasiun radio yang memang punya acara top chart tangga lagu” perintah lanjutanku.
Mereka mengangguk.
“Lalu tambah lagi kota kota lain untuk melakukan audisi kalo memang pemasukan dari sponsor besar. Untuk menjaring lebih banyak bakat baru. Lalu….buka audisi online dengan cara kirim rekaman nyanyian peserta, mengingat range umur peserta audisi masih usia sekolah, takutnya jadi kesulitan untuk mereka ikut audisi yang pastinya memakan banyak waktu. Lalu….” aku diam.
Mereka diam menunggu.
“Saya gak mau dengar ada calo atau broker audisi, saya bisa menindak keras oknum yang lakukan itu. Kerjakan dan jalankan semua sesuai prosedur dan peraturan acara. Jangan karena pesertanya cantik atau ganteng atau menjual, tapi titik beratkan pada kemampuan mereka bernyanyi. Harus fair, ini acara pencarian penyanyi berbakat dan bukan ajang pemilihan gadis sampul atau cover boy. Kalo memang punya wajah menarik, tapi bisa nyanyi, baru gak masalah. Brifieng para juri artis yang terlibat untuk professional menjalankan tugas dan jangan berat sebelah. Mengerti?” tanyaku.
“Kalo yang sudah punya fanbase karena punya kontens youtube channel cover lagu gimana pak?” tanya salah satunya.
Aku diam sebentar.
“Asal memang beneran jago nyanyi gak masalah, itu hak mereka kalo memang sudah punya basic itu, keuntungan juga untuk kita, kalo sudah punya subscribe atau follower, bisa jadi ajang promo acara juga bukan?. Bukan salah mereka kalo sudah punya fans sebelum ikut audisi ini. Bisa jadi orang orang seperti itu memang punya kemampuan, untuk yang belum punya, seandainya lolos jadi peserta, bisa jadi daya saing sehat, walaupun terkesan peserta yang sudah punya basic fans menyolong start” jawabku.
Mereka mengangguk.
“Jadi okey ya pak?” yang lain memastikan.
Aku mengangguk.
“Lalu kembangkan lagi youtube chanel khusus acara ini, jangan upload potongan rekaman lebih dari 15 menit, orang pasti malas kalo videonya terlalu panjang, malah nanti tidak mau nonton, mengingat memakan quota yang mahal. Upload saja yang durasinya pendek, bisa jadi pemasukan lagi kan kalo channel itu menjaring banyak viewers atau subscribe. Kalo ada pemasukan dari youtube, cara kita menjaring vote untuk peserta tidak perlu lagi lewat hotline, tapi dari link lain yang intinya bisa menarik penonton aktif ikutan jadi juri. Bisa gak buat aplikasi khusus untuk melakukan vote?, kalo memang bisa, materinya saya tunggu juga seminggu dari sekarang, baru saya putuskan” jawabku.
Mereka kompak mengangguk.
“Masih ada pertanyaan?” tanyaku sambil bangkit.
Mereka menggeleng.
“Kita ketemu seminggu lagi, atau kalian atur jadwal meeting sama saya, sampai kalian siap dengan laporan untuk saya, saya mau laporan itu sudah matang supaya saya bisa langsung memutuskan kapan acaranya running, kalo kalian memang butuh masukan saya sebelum meeting, kasih sekertaris saya, nanti saya cek. Okey!!. Sampai sini dulu dari saya, selamat siang” pamitku menutup meeting.
“Selamat siang pak Boy!!’ jawab mereka serentak.
Aku tersenyum lalu beranjak keluar ruang meeting. Selesai juga hari ini. Aku masuk ruanganku, membuka dasiku lalu memhubungi supirku untuk bersiap ke bandara.
“Maaf pak, pesawat siap dalam sejam lagi, bagasi bapak sudah di mobil apa masih di aparteman?” tanya sekertrisku.
“Sudah di mobil, makasih ya…saya jalan dulu, kalo memang siap sejam lagi” pamitku jadi bangkit keluar ruanganku.
“Happy holiday pak!!” kata sekertarisku.
Aku tertawa sambil mengangguk. Di loby mobilku sudah siap lalu mengantarku ke bandara.
“Sayang!!!, kamu udah otw bandara belum?” suara Nadine terdengar saat aku mengangkat panggilannya.
“Kayanya gak jadi Yang, aku banyak kerjaan” gurauku.
“Aku putusin kamu sih” ancamnya.
Aku tertawa.
“Mau gimana lagi, pekerjaan menuntutku” dustaku lagi.
Terdengar helaan nafasnya.
“Baeklah…” desisnya pelan.
Hampir aku terbahak.
“Kok lesu gitu?” godaku.
“Andai kamu resek kalo aku izin pergi terbang untuk pekerjaanku, pasti aku ngamuk sama kamu. Sayangnya kamu selalu kasih izin aku pergi. So…aku gak adil kalo marah sama kamu” jawabnya.
“Good Girls..” desisku.
Baru dia tertawa lagi.
“Well, karena kamu gak jadi pergi, tetap jawab telponku ya…jangan gak ya Yang…aku putusin sih kalo kamu goshting” ancamnya.
Aku tertawa.
“Iya…hati hati ya” kataku.
“Iya sayang aku, love you, and miss you so bad” desisnya lalu panggilan terputus.
Aku tertawa setelah mengantungi lagi handphoneku. Bukan bermaksud bohong sih, hanya kalo aku bilang menyusul, pasti Nadine repot jemput aku di bandara, sementara pasti dia akan sibuk. Belum aku yang harus tidur dulu, melepaskan penat dan lelahku. Jadi lebih baik dia jangan tau aku menyusul dulu.Benar saja, tepat pesawat take off, aku sudah tidur karena lelah. Aku begadang hampir setiap malam untuk menyesaikan tumpukan pekerjaanku agar tidak mengganggu waktu holidayku dengan Nadine. Holiday?, kata yang mahal untukku. Kadang aku hanya menyusul Nadine lalu buru buru mengajaknya pulang karena pekerjaan. Nadine selalu menerima dan menurut aku ajak pulang. Ini rencana holiday bersama kami yang pertama. Semoga lancar dan tidak ada pengganggu.
18 jam sampai 20 jam perjalanan sampai akhirnya aku tiba di hotel yang aku booking. Aku langsung mandi dan makan lalu kembali tidur, subuh waktu Paris, aku punya waktu sampai jam 12 siang untuk tidur, sebelum datang ke acara perlombaan yang Nadine komandani bersama dua temannya. Telpon Nadine masuk lagi begitu aku bangun tidur. Aku biarkan kali ini, toh aku akan menemuinya. Aku makan lagi, mandi lalu bersiap ke tempat acara.
Suasana sudah ramai dengan banyaknya supporter dari berbagai negara yang bertanding. Aku memilih bergabung dengan orang orang Indonesia yang merupakan pejabat kedutaan besar.
“Boy Smith!!, apa kabar?” sapa atase kebudayaan kedubes Indonesia untuk Perancis.
“Baik pak, makasih untuk undangannya, jadi saya bisa masuk sini” jawabku membalas sambutan tangannya.
Dia tertawa.
“Saya pernah muda mas Boy, lagian mba Nadien bisa ngamuk kalo mas tidak dapat undangan masuk ke sini. Ayo silahkan duduk, ini istri saya” katanya memperkenalkan istrinya.
Aku menurut duduk setelah menyalami istrinya.
“Pak Dubes tidak datang?” tanyaku.
“Bapak banyak urusan, lagi pula apa gunanya atase kalo tidak di tugaskan” jawabnya.
Aku tertawa. Memang iya sih. Apa gunanya di tunjuk seorang atase kalo duta besar harus turun tagan juga. Setelah itu kami mengobrol sampai acara di mulai. Bagus bagus sih apa yang di tampilkan. Ada tari Salsa dari Kuba, balet dari Rusia, Tango dari Argentina, Waltz dari Autria, itu tarian yang hanya di bawakan dua orang dan bukan berkelompok. Beberapa pasti pernah kalian dengar atau malah kalian kuasai, karena banyak juga orang Indonesia yang tertarik belajar. Jadi aku tidak terlalu tertarik menontonnya. Aku sendiri bisa dansa Waltz karena mamiku juga belajar atas perintah papiku. Balet, apalagi, aku tidak tertarik, Acha keponakan Nadine ikutan les ballet waktu masih TK, entah sekarang.
Aku lebih tertarik waktu tarian kelompok setelahnya di gelar. Mulai tarian Balle dance, tari Samba Brazil, tari Kabuki dari jepang, sampai tari a thounsand Hands Guan Yin dari Thailand yang mendapat standing applause dari semua penonton. Keren banget soalnya. Saingan terberat utusan Indonesia. Aku akhirnya mengerti kenapa Nadine selalu menampilkan tari kecak atau tari saman. Bukan yang lain tidak bagus, tapi tarian berkelompok itu tingkat kesulitannya besar, dan itu jadi nilai plus penilaian juri lomba.
Kalo hanya membawa delegasi untuk tampil persahabatan atau pertukaran budaya, baru Nadine menampilkan tarian individu atau kelompok dari daerah lain di Indenesia. Kalo tari Saman memang sudah terkenal sekali di luar negeri, bersama tari kecak.
Sampai tiba waktu delegasi Indonesia untuk tampil. Aku berdiri dan tepuk tangan saat Nadine yang ikut jadi penari maju ke depan dan memperkenalkan diri juga menjelaskan tarian yang akan mereka bawakan. Dia terbelalak sebentar menatapku lalu tersenyum dan menyelesaikan tugasnya. Setelah dia bergabung mundur lagi dengan para penari baru aku duduk.
Mulailah pertunjukan di mulai dengan nyanyian seorang Syahi lelaki yang memegang rebana. Sudah mulai gerak penari walaupun mode slow. Gerak serentak ya, dan seragam mengikuti iringan hentakan rebana atau nyanyian syair lagu dari si Syahi. Penonton tidak ada yang bersuara. Hebatnya tarian Indonesia itu seperti itu. Punya aura magis yang membuat semua orang diam. Syair nya berisi pesan pesan moral dan petuah bijak, juga shalawat Nabi, yang sekali di sambut sahutan pada penari yang terus bergerak kompak dan dinamis. Belum kostum yang mereka pakai, memang mencolok mata warnanya, merah darah dan hijau, juga kuning. Tapi di perhalus dengan kain kain bercorak nusantara yang di lilitkan di pinggang penari. Juga head band yang mereka pakai dengan seragam dari kain kain nusantara.
Satu pertunjukan lengkap untuk menggambarkan gimana keberagaman negara kita. Kabuki Jepang bagus tapi apa ya…beda deh. Trus tarian Thailand yang tadi aku bilang keren juga begitu. Seperti kurang satu unsur tari itu sendiri sebagai seni gerak. Coba tari Saman, sesekali penari bergerak gemulai, lalu perlahan emosi si penari naik seiring naiknya lengkingan suara penyair. Itu bukti kerennya tarian Saman. Tanpa music pengiring kecuali tabuhan rebana sesekali, suara acapela penari yang bersautan dengan penyair, tepukan tangan dan jeritan bernada sama. Gimana semua orang tidak terhipnotis dengan pertunjukan tarian yang Nadine dan teman teman bawakan. Ada klimak saat penari semakin bergerak menggila dengan cepat, seragam dan kompak tanpa cela, tanpa sadar aku sudah berdiri untuk tepuk tangan lagi. Aku sampai malu walaupun beberapa orang melakukan hal sama. Aku duduk lagi supaya tidak mengganggu konsentrasi penari dengan antusiasku.
Lalu antiklimak, saat penari bergerak gemulai lagi walaupun tetap di posisi mereka yang duduk dan sudah merubah posisi duduk mereka. Ya satu lagi kelebihan tari Saman, bloking panggungnya tepat. Posisi mereka duduk itu bisa pas sekali dan enak di lihat. Padahal ya, kalo pertunjukan TV aja selalu ada tanda silang di panggung pertunjukan atau di bantu sorot tata lampu. Yang aku bingung kok ya bisa mereka bloking panggung tanpa bantuan itu, dan tepat posisinya. Keren abis pokoknya.
Standing applause dari seluruh penonton dan bertahan lama sampai Nadine berdiri lagi dan pamit pada semua, mereka masih tepuk tangan dengan antusias. Sisa pertunjukan lain sudah tidak minat lagi aku lihat. Aku pamit pada si atase dan istrinya juga pada teman temannya, untuk menyusul ke belakang panggung. Sorak sorai untuk merayakan kesuksesan mereka tampil terdengar saat aku menyelinap masuk dengan name tag yang di pinjemankan bapak atase karena tau aku akan ke belakang panggung.
“SAYANG!!!” jerit Nadine langsung berhambur memelukku.
Aku tertawa lalu membalas pelukannya.
“Bohong banget gak susul aku” keluhnya dalam pelukanku.
Aku tertawa lagi.
“Mau ngambek?” tanyaku.
Dia merenggangkan pelukan kami lalu mengadah menatapku.
“Keren gak tadi?” tanyanya.
Aku mengerutkan dahiku.
“Lumayan….” desisku.
Dia cemberut lagi.
“Tapi aku bohong, keren banget” lanjutku dan habislah pipiku di ciumi pacar cantikku.
“EH…suka lupa tempat kalo udah sama tuan muda” omel Opie sahabatnya yang memakai baju santai di ekori sahabat Nadine yang lain, Pipit.
Aku dan Nadine tertawa.
“Udah gue bilang, nih laki sultan bohong bilang banyak kerjaan. Pacaran bertahun tahun masih aja sih Mar kemakan hoax mas Boy” ejek Pipit.
Nadine tertawa sama sepertiku.
“Selamat ya…keren banget” kataku menyalami mereka berdua dengan Nadine masih memeluk pinggangku.
Keduanya tertawa.
“Biar elo gak ngerasa sia sia, jadi sponsor kalo punya prestasi gini” kata Pipit.
Aku tertawa.
“Yakin kita bakalan menang?” tanya Nadine.
“Yakin, walaupun bukan juara satu juga” kata Opie.
Kami tertawa.
“Kenapa gak yakin juara satu?” tanyaku.
“Harus ada space di antara harapan dan hilang harap. Gimana pun yang lain keren juga. Supaya mental juara tim terlatih. Kalo terlalu berekspektasi tinggi lalu kenyataannya tidak, malah akan buat drop mental. Mending berharap di tengah tengah, toh missi kita bukan untuk mengejar juara, tapi mau nunjukin sama dunia internasional, ini loh Indonesia, bukan cuma kenal Bali doang tapi Indonesia itu kaya raya akan keberagaman” jawab Opie.
Aku tersenyum.
“Kapan elo bego sih Pie?” tanya Nadine.
Opie tertawa.
“Kalo gue bego, bule gak akan naksir sama gue” jawabnya.
Kami menyorakinya.
“Eh anak anak kasih makan dulu deh, ada nasi kotak dari orang kedutaan kan?, gue ganti baju dulu. Kita kumpul di taman depan gedung aja, supaya rileks sambil nunggu pengumuman” kata Nadine.
Opie dan Pipit mengangguk lalu kami bubar. Aku menunggunya ganti baju, lalu menyusul yang lain di taman dan mereka sudah makan sambil bercanda gurau. Nadine juga ikut makan dan berbaur walaupun yang lain akhirnya sibuk minta foto fotoku dan Nadine.
“Saat berada di luar negri seperti ini, yang berbeda suku, rasanya jadi dekat ya” kataku menyadari kalo para penari itu bukan satu suku saja.
Ada sunda, jawa, padang, ambon, betawi, beragam deh, dari dialek mereka bicara, tapi satu kesatuan.
“Gitu deh, jadi lebih nasionalis banget, sesaat jadi menyingkirkan latar belakang budaya mereka demi tujuan bersama. Aku berharap akan terbawa trus saat kembali ke Indo. Itu yang aku suka mengawal lawatan ke luar negeri. Bangga aja saat orang orang luar nganga melihat aksi panggung atau saat lagu kebangsaan di kumandangan dan bendera kita berkibar. Lagu Indonesia Raya itu, 10 dari lagu kebangsaan yang di akui UNESCO sebagai lagu kebangsaan terbaik” jawab Nadine.
Aku tersenyum. Setelah makan bersama lalu kami bergerak masuk lagi ke gedung pertunjukan dan bergabung dengan orang orang kedutaan menunggu pengumuman pemenang. Satu persatu pengumuman pemenang di bacakan dan tim Nadine terlihat santai walaupun nama delegasi Indenesia tidak di sebut juga sebagai pemenang sampai juara 1 di umumkan.
“Kita bisa coba lagi nanti genks, SEMANGAT!!!” lolong Opie memberikan semangat.
Akhirnya semua bersorak heboh dan mengabaikan penguman lain dari MC di panggung.
“WAIT!!!” jerit Nadine
Semua diam.
“AND THE GRAND CHAMPHION ARE….” desis MC di panggung.
Semua mendadak hening.
“SAMAN DANCE FROM INDONESIA……” lanjutnya dan hebohlah semua sampai kompak menjerit dan lompat lompat di tempat lalu berpelukan.
Aku tertawa dan ikut terhanyut dengan euphoria mereka semua.
“AYO NAD!!” ajak Opie dan Pipit happy banget.
Aku melepas Nadine naik panggung dengan teman temannya dan tim tari. Jadi ada juara di atas juara 1 kalo mendengar penjelasan MC karena unsur tari Saman yang tadi aku jelaskan tadi. Aku bangga sekali. Apalagi saat lagu Indonesia raya di kumandangkan dan semua orang Indonesia yang di dalam gedung ikut bernyanyi dengan pose hormat sempurna. Bengong dong bule, tidak bisa bersuara.
“Indonesia raya… merdeka, merdeka, tanahku, negeriku yang kucinta….Indonesia Raya, merdeka…, merdeka…..Hiduplah Indonesia Raya….” Dan tepuk tangan bergemuruh lagi tepat lagu selesai.
Luar biasa rasanya, tidak bisa di lukiskan lagi dengan kata kata. Pak Atase aja terlihat bangga sekali naik ke Podium atas undangan Nadine untuk bicara di hadapan banyak orang dalam bahasa Perancis lalu Nadine menutupnya dengan manis.
“Negara kami beragam, tapi kami punya Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika, yang walaupun kami berbeda tapi kami satu ikatan. Salam damai dari kami delegasi Indonesia, piss and love” tutup Nadine lalu genk di belakang punggungnya mengangkat piala besar bersama sama.
“WE LOVE INDONESIA!!!!” lolong mereka kompak.
Tepuk tangan lagi dong penonton dan selesai sudah rangkaian acara lomba hari itu. Aku harus sabar menunggu saat pacar cantik dan pintarku di wawancara media asing, juga Opie dan Pipit yang mendampingi para penari yang juga di wawancara. Media memang sarana promosi terbaik. Jadi aku sabar menunggu mereka selesai.
“Bawa pulang deh mas Boy nona muda, paling cape hari ini. Nanti tepar. Gue udah nanti kirim baju dia ke kamar elo, elo kirim aja nomor kamar elo, pasti hotel yang samakan?” perintah Opie.
Nadine yang memang terlihat lelah hanya tertawa pelan.
“Ada jamuan makan dari panitia acara, bisa gue sama Opie tanganin, kita gak nari kaya Nadine jadi gak cape, mending elo berdua istirahat” kata Pipit.
“Pengertian sekali jadi teman” gurauku.
Mereka tertawa.
“Udah sana, honeymoon” usir Opie.
Aku tertawa berdua Nadine saat dua bebek itu menjauh.
“Aku mau berendam deh, cape banget dan gerah” katanya.
“Okey…” jawabku lalu merangkul bahunya keluar gedung.
Nadine sempat tidur di mobil dan aku biarkan, kelihatan cape sekali sampai kami tiba di hotel.
“Jalan atau gendong?” tanyaku.
Dia tertawa lalu menggeleng.
“Jalan aja, tapi rangkul aku biar gak oleng” pintanya.
Aku menurut lalu membawanya ke kamarku.
“Nad…” tegurku waktu dia santai melucuti pakaiannya begitu sampai kamar.
“Mau gabung mandi gak?” malah godain aku.
“Sana mandi, aku pesan makan” perintahku.
Dia tertawa lalu melenggang santai hanya menggunakan dalaman masuk kamar mandi. Nadine sepertinya berendam, sampai makanan datang, dia belum rapi mandi. Jadi aku makan sendirian, sampai dia menyusul dan ikut makan.
“Kamu bisa berapa lama di Paris?” tanyanya.
“Seminggu, mungkin” jawabku.
Dia bersorak.
“Bisa temenin aku shopping dong?” tanyanya dengan mulut penuh makanan.
Aku mengangguk dan dia bersorak lagi. Setelah makan yang buat aku repot.
“Yang….mau lihat pisang…” rengeknya sudah naik ke pangkuanku.
Aku tertawa dengan debaran jantung yang menggila. Nadine hanya pakai bathrobe dan polos di baliknya.
“Kamu cape…” jawabku.
Dia tertawa lalu menciumku. Hadeh mami…wangi banget. Aku menegang.
“Yang…jangan gini…kamu cape loh, bisa tepar kalo aku hajar” kataku lagi setelah ciuman kami terlepas.
Dia tertawa lagi.
“Gak kalo di kasur, apa kamu yang letoy?” ledeknya.
Aku tertawa.
“Ayo Yang…aku rindu…” rengeknya bangkit dan menarik tanganku ke kamar.
Aku menghela nafas kasar walaupun aku menurut. Sampai tepi ranjang dia membuka kancing kemejaku dengan gerakan menggoda. Aku trus menghela nafas.
“Ngos ngosannya nanti aja, kan belum mulai” ledeknya lagi.
Aku tertawa canggung.
“Aku aja” kataku saat dia berusaha membuka gesper celanaku.
“Okey….aku juga mau nonton kamu” jawabnya lalu dengan santai tiduran telentang di kasur.
Aku mengusap tengkukku yang meremang.
“Mau gak tanam pisang kamu?, kali jadi siap panen” godanya lagi.
Aku tertawa canggung. Hadeh mami…makan gak , makan, gak, bodo deh, dengan tergesa aku membuka celanaku sampai Nadine terbelalak lalu wajahnya merona.
“Wow….i’m your majesty…” bisiknya sambil membuka tali bathrobenya.
Kalo jadi aku?, lebih baik gimana?.