BOY POV.
“Pak Boy… soal kesiapan acara talkshow yang di buat mba Opie, sudah bapak putuskan belum untuk pakai siapa sebagai pembaca acara sekaligus moderator” tanya salah satu staff kreatif di perusahaan stasiun TV milik papiku yang nantinya akan jadi punyaku juga.
“Nanti deh saya kabari, saya belum menemukan sosok yang pas” jawabku lalu menandatangani berkas laporan izin tayang suatu program acara.
Setiap produser suatu program acara, harus dapat tanda tanganku, selain untuk dapat dana untuk syuting, dapat jadwal studio, juga untuk program itu dapat slot jam tayang. Nah kalo sudah dapat kepastian jam tayang program acara tersebut, baru ekskutif produser harus mencari sponsor acara dalam bentuk iklan sebagai masukan untuk perusahaan. Kalo acara sinetron ya beda lagi cara kerjanya. Bagian rumah produksi yang kerjakan, bisa dari anak perusahaan stasiun TV milik papaku, atau Production House milik luar. Cara kerjanya, PH PH itu memasukan dulu sinteron buatan mereka ke stasiun TV lalu aku akan memutuskan, akan beli hak siarnya,atau tidak. Kalo sudah aku beli, tinggal cari sponsor iklan juga, untuk mengganti biaya aku beli sinteron itu, agar perusahaanku dapat keuntungan. Nah di sini rating acara berperan, kalo ratingnya bagus, pasti banyak iklan, berarti banyak juga keuntungan perusahaanku. Jadi gak usah heran kalo tiba tiba ada sinetron yang tiba tiba berhenti tayang karean ratingnya jelek, itu semua karena pemasukan dari iklannya sedikit dan tidak bisa menutup modal membeli sinetron atau suatu program acara.
Perusahaanku memang sudah mulai, membuat program acara sendiri, dan jarang beli program acara dari PH. Kalo sinetron masih beli, mengingat buatnya ribet. Kalo macam program reality show, talk show, sampai acara komedi situasi, PH perusahaanku sendiri yang buat. Lebih leluasa aja buatnya. Aku juga suka buat program acara, toh materinya bisa di kerjakan anak buahku dan proses syutingnya, juga begitu, anak buahku yang kerjakan. Aku hanya bagian, membuat konsep acaranya di bantu tim kreatif perusahaan.
“Makasih pak Boy” pamit kepala tim kreatif lalu keluar ruanganku.
Saat ini aku masih berada di bawah komando papiku, jabatanku CEO perusahan TV, salah satu anak perusahaan SMITH Enterprise. Papiku yang masih punya jabatan tertinggi di perusahaan SMITH Enterprise. Perusahan yang membawahi banyak anak perusahaan dalam bidang media cetak, eletronik, dan internet karena aku mulai membuat juga, surat kabar dan tabloid online juga TV kabel. Tapi fokusku yang utama tetap di stasiun TV sesuai mata kuliah yang aku ambil di UCLA Amerika Serikat. Aku lulusan sinematografi dan magisterku di bidang penyiaran dan manageman pertelevisian. Aku memang tertarik dan bukan semata mata pilihan atau paksaan papiku.
Gak tau ya, mungkin karena semenjak kecil aku sudah sering berkeliaran di studio di temani mamiku yang dulu suka sekali ikut papiku kerja. Alasannya apa lagi, kalo bukan karena takut papiku tergoda dengan artis artis yang jadi talent di program acara TV yang papi buat. Aneh sih mami tuh, masih aja tidak percaya kalo papiku cinta mati. Buktinya rumah tangga mereka bertahan sampai aku umur 26 mendekati 27 tahun. Papiku selalu bilang kalo beliau bosan dengan wanita wanita cantik glamor karena pekerjaannya, jadi jatuh cinta pada sosok mamiku yang sederhana dan cerewet.
Mami yang orang Indonesia asli, selalu saja ragu akan kesungguhan papiku. Mami bilang papi tuh bule keceh yang pasti selalu tertarik pada wanita cantik, apalagi papiku kaya raya. Kadang kadang perempuan selalu merasa insecure dengan sesuatu yang belum tentu kejadian. Beda sekali dengan pacarku. Gadis yang aku pacari semenjak aku kelas 11 SMA. Gadis cantik, putri seorang konglomerat yang selalu percaya diri. Mana ada pacarku rendah diri, atau merasa terancam dengan kehadiran gadis cantik lain di sekelilingi dirinya.
“Aku punya kelebihan, walaupun gadis lain mungkin lebih cantik dari aku. Lalu seperti gadis cantik lain yang punya kekurangan, aku juga punya kekurangan. Jadi buat apa merasa insecure. Syukuri aja kelebihan dan kekurangan diriku, santai aku mah” katanya kala itu.
Apa pacarku cantik?, tentu saja. Apa dia pintar? tentu saja. Dia selalu bisa menempatkan diri dan bisa memanfaatkan kekayaan ayahnya yang memang setaraf sultan karena punya perusahaan kontraktor dan kontruksi jalan dan termasuk 5 perusahaan pengembang besar dan bonafide di Indonesia. Nadine Zalea Syahreza nama pacarku. Kami sudah 10 tahun lebih pacaran, dari kami masih sama sama sekolah SMA sampai akhirnya meniti karir kami masing masing. Aku yang meniti karier sebagai CEO di perusahaan keluargaku, Nadine yang punya passion pada seni dan budaya, mendedikasikan dirinya jadi pemimpin duta duta budaya keliling dunia untuk melakuan lawatan.
Tentu saja aku dukung usahanya dan kerja kerasnya. Kami sama sama komitmen untuk saling dukung pada karier dan kesibukan kami. Lalu hal lain jadi di kesampingkan dulu. Kami yang menikmati pekerjaan kami selepas kuliah, akhirnya memilih menunda rencana penikahan kami sampai kami merasa siap. Bukan kami tidak saling mencintai, hanya menunda sampai kami merasa siap untuk berumah tangga.
“BOI…..”
Aku mengangkat wajahku dan menemukan mamiku masuk ruang kerjaku di kantor di ekori papiku yang pasti mami jemput di ruangannya. Aku bangkit mendekat pada mamiku.
“Kirain gak datang” kataku sambil mencium pipinya.
Mami cemberut.
“Mana mungkin mami gak datang atuh Boi…udah mah ribet kudu mesti lapor sekretaris kamu cuma buat ketemu, sekalinya dapat jadwal ketemu, masa mami gak pakai” keluhnya.
Aku tertawa berdua papi lalu kami mengekor mami ke sofa ruanganku setelah aku mencium tangan papiku.
“Pih, kudu na papi bilang atuh sama sekretaris Boi, masa mami mau ketemu Boi, mesti tanya tanya jadwal Boi” omel mami lagi.
Papi sudah tertawa lagi tepat dia duduk di sofa. Aku bergabung dengan mami di sofa panjang. Mamiku asli sunda jadi jangan kaget kalo dia bicara dengan dialek sunda kental.
“Lagi kenapa mami gak telpon aku atau datang ke ruanganku langsung” kataku.
Dia berdecak.
“Percuma, kadang kamu gak di tempat, kalo mami telpon kadang kamu gak angkat. Tong silence atuh handphone teh. Masa mami mesti telpon Nad Nad dulu supaya telpon kamu, baru kamu angkat telpon mami” keluhnya lagi.
Aku tertawa. Ya pasti aku angkat, pacarku kan telpon ke nomor khusus yang handphonenya hanya ada nomor kami berdua, jadi selalu aku tetap biarkan menyala kalo aku sedang kerja, aku khawatir dia butuh aku. Lagipula pacarku itu kadang ngambek kalo aku tidak menjawab telponnya, persis mami yang tidak percaya papi kalo aku hanya sayang dia.
“Ayo buru nikah atuh Boi, biar mami ada teman. Gak kamu gak calon mantu mami, sibuk terus. Kapan mami punya cucu” lagi lagi dia mengeluh.
Papi sudah memijat keningnya.
“Bukan mami baru dapat cucu?” gurauku.
“Ti mana?” tanyanya yang artinya dari mana.
“Itu, ikan cupang mami bukan abis beranak” ledekku lagi.
Dia semakin cemberut maksimal.
“Pih, ngomong apa pih, suruh kek bujang papi nikah. Punya pacar cantik malah di biarin keluar negeri trus” mulai mode merajuk mami.
“Boy dan Nadine masih muda, biar aja mereka puaskan bekerja, baru nikah” jawab papi santai.
“Muda dari mana?, Boi udah mau 27, harusnya udah punya anak 3” jawab mami galak.
Aku tertawa.
“Boi..atuh buat cucu dulu aja atuhlah buat mami, baru nikah” kata mami.
Aku berdecak.
“Apaan sih mami” protesku.
“Itu kamu dua duaan terus sama Nad Nad di penthousemu, kenapa gak jadi jadi” kata mami lagi.
Aku berdecak lagi.
“Bobo barengkan?” cecar mami.
Aku sudah memijat keningku.
“Mih…urusan Boy sama Nadine soal itu. Mereka sudah dewasa. Lagipula semenjak umur Boy 18 tahun, dia sudah berharap mutuskan arah masa depannya, dan kita tidak bisa ikut campur” bela papi.
“Papi kaya gak pernah muda. Mami udah gak sabar, Boi sama Nad Nad nikah, nanti ada apa apa” keluh mami lagi.
Aku menghela nafas.
“Kamu mau susul Nadinekan ke Paris?” tanya mami.
Aku mengangguk.
“Tapi percuma juga sih kalo gak bobo bareng, tetap lama nikah” lanjut mami.
“Astaga….” desis papi dan mami cemberut.
Mamiku kenapa jadi gesrek gini ya?, mungkin dia mulai bosan menyuruh aku dan Nadine nikah dari aku dan Nadine lulus kuliah.
“Sok atuh Boi dengar atuh jerit hati mami yang kesepian”
“Lebay…” desisku tertawa dan papi ikutan.
“Ih…te percaya kalian berdua mah kalo mami teh kesepian sampe ikan cupang mami ajak ngobrol” protesnya.
Aku dan papi tertawa lagi.
“Udah ayo ah makan siang, aku laper” kataku bangkit.
Mami menurut bangkit. Memang tujuan mami mengajak aku dan papi makan siang bareng, jadi aku mengosongkan jadwalku sampai jam 3 siang hari ini untuk itu.
“Ngahindar trus aja Boi…kalo udah mami ngomong soal nikah sama cucu” omelnya beranjak.
Lagi lagi aku dan papi tertawa.
“Eh Boy, tapi benar kamu belum tidurin Nadine?, payah!!” ejek papi.
“Pih…” protesku.
Beliau terbahak lalu menyusul mami keluar ruanganku. Aku mengekor setelah menghela nafas.
Mana mungkin aku meniduri Nadine sebelum kami manikah. s*x itu candu, dan sumber masalah kalo di lakukan before merried, itu penilaianku. Bukan aku tidak tertarik atau Nadine tidak menggairahkan. Tapi lebih ke…gimana ya…kalo aku ketagihan gimana?, kami hanya akan terus mengulang kesalahan. Lagipula esensi cinta jadi tidak murni lagi kalo sudah melakukan s*x sebelum nikah. Tidak ada yang kami kejar, dan buat kami penarasan lagi, kalo sudah tau rasanya. Pas malam pertama pasti tidak ada lagi yang di cari, kalo malam berikutnya baru benar, kan yang pertamanya sudah di ambil sebelum waktunya.
Lagipula aku menghargai Nadine sebagai perempuan. Kalo sekedar s*x sih, aku bisa bayar perempuan lain, itu kalo aku mau, masalahnya aku gak mau, yang aku mau cuma Nadine. Jadi biar Nadine tetap indah sampai tiba waktunya kami menyatu. Aku memilih bersabar untuk itu. Kalo sudah nikah, kami bisa melakukannya kapan saja dan dimana saja. Kalo ketagihan jadi tidak repot. Persis pasangan abang tertua Nadine dan istrinya, yang gesrek sekali. Mereka mesra di mana pun walaupun sudah punya anak tiga.
“Nih ya Boi, kamu teh keceh persis mami, belum kamu mapan, anak mami high quality, masa milih jadi bujang lapuk" omel mami lagi padahal sudah mulai makan di resto dekat kantor.
Aku hanya tertawa.
“Jangan ketawa. Moal sempurna hidup kamu kalo gak nikah” protes mami lagi.
“Iya mih….sabar aja” jawabku.
Habis omelan mami ya cuma sekitaran aku nikah dengan pacarku, gak ada hal lain lagi yang dia khawatirkan selain itu.
“Mami gak haus apa ngomel terus?” ledek papiku lalu terbahak melihat mami cemberut.
“Bapak sama anak samanya, te perduli jeritan hati mami” keluhnya lebay lagi.
Aku dan papi terbahak. Kami melanjutkan makan dan omelan mami aku abaikan dengan aku menjawab telpon pekerjaan. Kalo aku masih sekolah pasti dia lebih ngomel dengan aku yang sibuk dengan handphone. Aku sudah kerja aja, jadi dia gak bisa ngomel. Yang bisa dia lakukan cuma menyuapiku, seakan aku anak kecil setelah aku selesai menjawab telpon dan sibuk membalas pesan.
“Buka mulut!” perintahnya seperti pacarku kalo aku sibuk dengan urusan pekerjaanku.
Aku tersenyum lalu menyuap.
“Gak ada Nad Nad, siapa yang suapin dan ingetin kamu makan” tambah mami.
Aku hanya tersenyum lagi setelah menatapnya sekilas dan focus dengan handphoneku. Jadi kangen Nad Nad…
“Masalah?” tanya papi.
Aku menggeleng lalu makan sendiri lagi setelah mengantongi handphoneku lagi.
“Aku cuma belum memutuskan jam tayang program acara pemilihan bakat nyanyi itu loh pih” jawabku.
Papi mengangguk.
“Tidak di buat seperti tahun lalu di hari senin dan selasa di jam Prime time?” tanya papi lagi.
“Mungkin…” jawabku.
Aku belum putuskan karena aku berniat membuat jam tayangnya sama dengan program acara serupa di stasiun TV lain, untuk tau respon pasar terhadap program acara pencarian bakat di stasiun TV ku. Kalo rating share nya masih tinggi walaupun bersaing dengan program acara sama di jam tayang sama. Aku jadi bisa jadikan patokan kalo acara itu masih di minati, walaupun sudah banyak season. Kalo ternyata rating share nya turun, bisa buru buru evaluasi, apa ganti host, ganti jam tayang, atau apa pun, agar acara tetap punya greget setelah melakuan penyegaran. Kalo konsep acara beli dari PH franchise asing, konsepnya tidak bisa di rubah, karena harus seragam dengann acara sama yang tayang di berbagai negara lain. Sudah ada kontrak untuk itu. Masalahnya, sponsor utama acara itu, agak keberatan dengan usulanku soal jam tayang, wajar sih mereka takut tidak berhasil menjaring konsumen untuk produk iklan mereka atau branding. Aku mesti meeting lagi dengan team survey independent atau tim survey perusahaan, untuk memutuskan. Itu cara terakhir untuk memutuskan, hasil survey lapangan, walaupun cuma sekadar data sample dan bukan menanyakan banyak orang. Kerennya lembaga survey terpercaya ya begitu, data statistic mereka bisa jadi patokan perkembangan pasar.
“Kumpulan data dari tim survey independent jangan hanya data tim survey perusahaan” saran papi seperti yang aku rencanakan.
Papi pasti tau maksudku, dia sudah pengalaman. Kadang papi juga mencoba peruntungan dengan gas terus buat suatu program acara, berpatokan pengalaman dan naluri bisnisnya di bidang penyiaran televise. Dan rata rata berhasil. Pengalaman itu guru terbaik bukan?. Aku belum seberani papi sih, aku masih hijau di bisnis ini dan masih butuh banyak belajar. Sambil nunggu naluri bisnis dan pengalamanku bertambah, aku memlih sibuk belajar bagaimana buat program acara keren, yang tidak hanya menguntungkan dari sisi bisnis tapi berguna untuk penonton.
“Bisa gak berhenti bicara soal kerjaan?, mami masih ada” keluh mami menjeda.
Aku dan papi tertawa. Mami tuh ampun deh, tukang ngomel, tukang ngeluh, tukang ngambek. Persis pacarku. Tapi di satu sisi perhatian dan penyayang. Itu yang membuatku dan papi berdamai dengan sifat dan sikap mami.
“Boi…gak ada Nad Nad yang ingetin kamu makan dan tidur, jaga kesehatan ya!!, mami suruh tinggal sama mami, kamu gak mau” pesan mami sebelum berlalu pulang di loby kantor sepulang kami makan siang.
“Iya Mih…” jawabku lalu memeluk dan mencium pipinya.
Mami tersenyum lalu mengusap pipiku.
“Pih jangan telat pulang, mami tunggu papi di rumah, kalo Boi udah sibuk, papi jangan sibuk juga, kan papi bilang Boi bantu papi banget” pesan mami pada papi yang bersiap memeluk dan mencium pipinya.
“Iya Mih…sok pulang, istrirahat, biar pas papi pulang mami bisa ngomel lagi” ledek papi setelah mencium pipi mami.
Mami tertawa lalu masuk mobil. Berlalulah mami di awasi papi dan aku.
“Yuk!!” ajak papi.
Aku mengangguk lalu kami jalan beriringan masuk gedung. Para karyawan menyapa kami, sampai kami masuk lift.
“Setahun Boy, waktu paling maxsimal yang bisa papi kasih untuk kamu dan Nadine seperti ini trus” tegur papi.
Aku diam.
“Papi mulai malu pada keluarga Nadine seakan papi tidak menegurmu soal ini. Sudah cukup kamu kasih Nadine waktu juga. Nadine sudah lewat 25 tahun, sudah waktunya dia berhenti wara wari, dan kamu sibuk kerja. Bisa di lanjutkan setelah kalian menikah. Soal anak, mamimu pasti mau bantu urus kalo kalian akhirnya punya anak. Apa yang kamu dan Nadine khawatirkan?. Komunikasikan semua, pasti ada titik temu” lanjut papi.
Aku mengangguk, kalo papi sudah angkat bicara, berarti ini serius.
“Papi hanya takut, kamu dan Nadine ketemu titik jenuh hubungan. Terlalu lama kalian pacaran. Itu termasuk bagian papi mengabaikan soal kamu dan Nadine yang mungkin sudah kelewat batas” kata papi lagi.
“Pih…” desisku protes.
“Loh!, kenapa protes?, papi sedang bicara dari sudut pandang kamu. Kamu dan Nadine masih muda, berduaan trus, kesempatan besar, umur kalian cukup, papi hanya berusaha tutup mata soal ini. Papi percaya kamu dan Nadine bisa bertanggung jawab. Papi rasa keluarga Nadine juga menyadari soal ini, atau malah bersiap seandainya Nadine muntah muntah” jawab papi.
Aku mengusap tengkukku. Masa iya aku cerita kalo Nadine masih perawan. Papi mana mungkin percaya. Kalo pun kemungkinan percaya, paling patokannya Nadine yang belum menunjukan tanda dia hamil. Respon papi yang bisa aku tebak seandainya jujur, pasti meragukan kejantananku, seperti teman teman Nadine dan teman temanku. Bijaknya sih diam mendengar ceramah papiku.
“Pikirkan kata kata papi” pesannya sebelum keluar lift saat kami tiba di lantai kantor kami.
Aku menghela nafas lalu keluar lift. Lalu aku berbinar mendengar dering handphoneku yang khusus untuk Nadine menghubungiku. Aku buru buru masuk ruanganku dan menutup pintu lalu menjawab panggilan pacarku. Aku rindu.
“SAYANG!!!’ serunya riang.
Aku tertawa menjawab panggilan videonya.
“Good landing?” tanyaku setelah aku tiduran di sofa ruanganku.
Dia mengangguk.
“Aku udah di hotel, kamu cape ya?” tanyanya melihatku tiduran.
“Hanya rindu!!” jawabku.
Dia tertawa.
“Jadi susul aku?” tanyanya.
Aku pura pura lesu.
“Lihat nanti ya, aku sibuk banget” jawabku berdusta.
Padahal aku pasti susul. Aku tidak bisa terlalu lama pisah dengannya, paling lama seminggu, pasti aku jemput.
“Kamu sih gitu, aku juga lindu” keluhnya.
“Itu sih kamu berangkat trus, bukan temanin aku kerja di kantor, kerja sambil mangku kamu kayanya seru” gurauku.
Dia terbahak.
“Percuma bokongku cuma kamu anggurin. Paling mulutku yang kamu sedot trus, kram Yang…malas senam mulut” jawabnya.
Gantian aku terbahak.
“Susul aku ya!!, aku sewa kamar penthouse, ranjangnya luas, ala ala kamar sultan. Kita bisa guling guling sambil cari obat rindu. Tertarik gak sama tawaranku?” tanyanya menggoda.
Aku manggut manggut.
“Lumayan…” jawabku.
Dia tertawa lagi.
“Apa mau sekalian panen pisang sunpride sekalian?, aku mau kok” guraunya lagi.
Aku tertawa juga mendengar tawa genitnya.
“Makasih ya kartu saktimu, guna sekali di Paris, jadi kamu mesti susul aku, biar aku kasih reward karena bebas gesek gesak kartu saktimu” katanya menggodaku lagi.
“Kamu seperti sales kartu kredit” ejekku.
“Mana mungkin sama Hunn…tuh sales cuma kasih bonus diskonan makan yang pasti gak kamu pakai, karena gesek gesek kartu kredit. Bedalah sama aku” jawabnya.
“Bagian mana?” tanyaku tertawa.
“Hei…mas Boi lupa, kalo nona muda lagi kasih reward” keluhnya cemberut.
“Aku mendadak amnesia” jawabku.
Dia kontan cemberut.
“Bisa ya…amnesia, setelah aku sering kasih reward dengan aku ajak bobo bareng?, lupa kamu sering remes yang lembek sampe kenceng, trus masa lupa juga tuh pisang sunprise berubah jadi pisang tanduk yang panjang dan besar trus berkedok kaya cupang?” ejeknya.
Aku ngakak sampai bangun terduduk. Aktifitas ranjang kami memang sampai situ paling top. Aku selalu hentikan selama aku masih waras.
“Kecewa Nona?” ejekku.
Pacarku melengos dengan wajah jutek.
“Dengar aku Yang!!, kalo kamu gak susul aku, aku gak mau pulang sebelum aku borong tas Louis Vuitton, FENDI, sampai Hermes, sama saudara saudaranya sampai kamu bangkrut” ancamnya.
Aku ngakak lagi.
“Borong aja, aku tinggal bayar tagihannya” jawabku.
Dia cemberut maksimal dan aku terbahak lagi.
“Awas aja aku cari bangsawan Perancis biar kamu yang bangsawan Inggris kalah” ancamnya.
“Jangan dong Yang…masa aku jagain jodoh orang doang bertahun tahun” jawabku.
“Itu sih” protesnya.
“Aku susul kamu, jumat siang, sabar ya, aku kerja dulu, biar gak ganggu acara kawal kamu gesek gesek kartuku. Heran aku tuh, masa kartunya punya aku, malah aku jadi b***k jajahan kamu” gurauku.
Pacarku gantian ngakak.
“Emang pacar kesayangan” jawabnya.
Aku tersenyum.
“Cium Yang!!” rengeknya.
Aku menggeleng.
“Hm…awas aja cium aku” ancamnya.
Aku tertawa lalu memberikan ciuman jauh dengan tanganku.
“Gak mau, maunya kaya ajaran Acha yang bunyi ciumannya trus nempel di layar handphone biar makin keren cipokan virtualnya” rengeknya.
Aku ngakak lagi, ingat kelakuan keponakannya yang centil.
“Mana bibirmu!!” pintaku.
Dia menurut memonyokan bibirnya di depan layar handphone. Aku ngakak lagi.
“Kaya ikan mas koki” ledekku.
Dia cemberut.
“Iya…ayo buruan!!” ajakku.
“Kamu duluan” gantian dia meminta.
Aku menurut daripada ngambek. Aku mengerucutkan juga bibirku di depan layar handphone.
“Lebih dekat!” rengeknya.
Nurut lagi aku, dengan benar benar mencium layar handphoneku.
“Yang bunyi!!’ perintahnya lagi dan aku sudah tidak tau apa dia melakukan hal sama atau tidak.
“MUACH!!!” cetusku dan dia bersorak saat aku selesai melakukan perintahnya.
“Sayang aku, sayang aku, sayang aku” rafalnya berkali kali mencium layar handphone miliknya.
Aku terbahak setelah dia selesai.
“Aku bobo dulu ya, nanti aku telpon lagi, di sini masih subuh Yang, tidur di peswat 18 jam tetap aja aku cape” keluhnya.
Aku mengangguk.
“Love you Boi…” desisnya menatapku.
“Love you too…Nad…Always be my darling…” balasku sebelum panggilan di tutup dan dia melambai lalu panggilan benaran terputus.
Aku menghela nafas. Aku sepertinya mesti dengar kata kata Papi soal batas maksimal untuk Nadine berhenti wara wari. Aku selalu kalah dengan rasa rindu, kala kami harus berjauhan.