Boy POV.
Aku lelaki dan normal, sudah pasti aku tidak tahan dengan pemandangan lekuk tubuh wanita. Apalagi Nadine bukan lagi gadis remaja, tapi wanita dewasa walaupun karakternya manja. Dadanya, leher mulusnya, dan perutnya yang rata terpampang nyata di hadapanku. Astaga…pih….mih…
“Yang…” rengeknya menggeliat manja.
Aku mendekat setelah menarik nafas berat.
“Kok kamu?...” dan aku bungkam mulutnya dengan ciumanku.
Dia merespon ciumanku, begitu juga tubuhnya merespon pergerakan tanganku yang mengusap paha, pinggul juga bokongnya. Sempurna!!. Sudah pasti. Nadine nona muda yang tau bagaimana merawat diri dengan perawatan skin care dan salon. Wanginya tubuhnya membiusku, geliat tubuhnya apa lagi. Rasanya…isi kepalaku sudah jungkir balik saat tangan Nadine juga meraba lembut punggungku dan meremas bokongku. Gairahku lebih terbakar lagi. Ini s*x. Layaknya seni paket komplit. Suara desahan pelan Nadine dan deru nafasku seperti nyanyian yang membentuk harmony yang selaras walau bersautan. Geliat tubuh Nadine dan tubuhku seperti tarian, walaupun pergerakannya kontans, lambat tapi penuh penghayatan. Lalu seperti sebuah lukisan, karena menggambarkan cinta dan kasih sayang tanpa perlu lagi di ungkapkan dengan kata kata.
Aku mendadak seperti pujangga, karena keintiman kami.
“ADUH!!” jerit Nadine dan membuatku berhenti.
Aku menatapnya dengan nafas tersengal.
“I hurt you?” tanyaku bodoh.
Tentu saja sakit, pacarku perawan. Aku yang terlalu memaksa masuk karena gairahku. Dia menggigit bibirnya sebagai jawaban. Aku menghembuskan nafas kasar lalu menatap ke arah bawah. Lalu aku sadar, aku hanya akan jadi pecandu kalo aku lakukan sekarang dan aku akan tersiksa di saat aku sakaw, sementara Nadine tidak mungkin ada di sampingku terus kalo kami belum menikah. Yang ada aku hanya akan jadi b***k atas nafsuku sendiri.
“Yang…” desisnya saat aku melepaskannya dan telentang tidur di sebelahnya.
Aku menoleh menatapnya.
“Kalo batal, kamu marah gak?” tanyaku takut.
Bisa jadi sebuah penghinaan bagi seorang wanita, saat dia sudah menyerahkan dirinya. Nadine tertawa pelan lalu menarik selimut dan menyelimuti tubuh polos kami berdua.
“Kamu kenapa?” tanyanya setelah berhasil memelukku.
Aku menggeleng.
“Takut jadi pencandu” cetusku.
Dia tertawa walaupun aku melepaskan pelukannya lalu tidur meringkuk menghadapnya.
“Aku baru tau kamu pemakai” jawabnya ikutan meringkuk menghadapku.
Gantian aku tertawa.
“Kamu lagi kenapa sih?” tanyaku sambil menyingkirkan rambut yang menutupi wajah cantiknya.
Dia tertawa lagi.
“Kamu yang kenapa?, kok berhenti trus malah ngaku jadi pecandu” jawabnya.
“Hm… takut Nad..” desisku hampir berbisik.
Nadine mengerutkan dahinya.
“Aku takut ketagihan, sedangkan kita jarang bisa berduaan, nanti kalo aku sakaw, aku harus bercinta sama siapa?” lanjutnya.
Malah ngakak pacarku.
“Nad…” protesku.
Dia masih tertawa lalu tidur terlentang sampai selimutnya melorot. Aku menghela nafas kasar lagi saat dadanya terlihat.
“Sering remes juga” ledeknya saat aku memperbaiki selimutnya.
“Bukan berarti sering lihat. Ini aja aku langsung ngefans” jawabku.
Dia ngakak lagi.
“Aku juga mendadak ngefans sama pisang sunpridemu sayang” ejeknya tepat aku ikutan tidur telentang sepertinya.
Gantian aku tertawa.
“Kamu aja sering remas, jadi ngefanskan?, jadi jangan protes kalo aku tutupin” kilahku.
Nadine tertawa pelan kali ini.
“Yang…kita selama ini pacaran, kamu bete gak sih, sering di tanya kapan kita nikah?” tanyanya.
“Kamu?” tanyaku balik.
Dia menggeleng pelan saat aku menoleh sekilas ke arahnya.
“Aku gak pernah bete, karena aku pikir, kamu masih punya hal yang harus kamu kejar. Ada tanggung jawab yang harus kamu penuhi pada keluargamu. Ada harapan besar yang harus kamu wujudkan. Kamu juga masih harus berterima kasih pada papi dan mamimu, yang sudah sekolahkan kamu sampai kamu bisa mengenyam pendidikan tinggi di luar negeri, dan gak semua orang dapat kesempatan itu. Aku sadar banget Boi, yang aku cintai bukan lelaki sembarangan” jawabnya.
Aku menghela nafas.
“Kamu udah jadikan aku bagian masa depanmu, itu cukup buatku bertahan menunggu. Toh di jeda waktu aku menunggu, kamu memberikan aku kesempatan melakukan banyak hal” lanjutnya.
“Itu sih kamu berusaha kasih aku tanggung jawab lain” keluhku.
“Tanggung jawab apa?” tanyanya menoleh.
“Kalo kita make love, bukannya aku harus bertanggung jawab kalo kamu hamil” jawabku.
Malah tertawa.
“Nad…” rengekku.
“Kamu lupa kalo aku punya dua teman yang mulutnya comberan?” tanyanya.
Aku mengerutkan dahiku menatapnya walaupun Nadine tidak membalas tatapanku.
“Mereka panasin aku trus. Dengan asumsi mereka, kamu gay, karena aku baik baik aja, walaupun kita sudah pacaran lama. Jadi aku cari tau, untuk bungkam mulut mereka soal kamu yang gay” jawabnya menyebalkan.
“Are you kidding me?” protesku sewot.
Tambah ngakak pacarku. Astaga…gak sadar kalo sudah menyerempet bahaya. Resek banget.
“Nad!!, kalo sampe beneran gimana?” protesku lagi.
“Lah itu, aku jeda iklan dengan aku teriak ADUH” jawabnya.
Aku melotot ke arahnya yang memang menoleh ke arahku.
“Aku tau kamu sayang aku, mana mungkin kamu teruskan kalo aku mengaduh, walaupun emang sakit banget Boi….kok ya bisa tuh pisang jadi gede banget” rengeknya.
Aku menggeram dan menyentil dahinya.
“Mikir sih Nad, kalo aku kalah dengan gairahku, trus tetap berusaha masuk gimana?” tanyaku.
“Buktinya gak. I’m fine!!” jawabnya.
Aku mendengus kesal.
“Seandainya, kalo kita berandai andai, kalo aku akhirnya nidurin kamu gimana?” tanyaku.
Dia menatapku.
“Kamu kok tahan sih Yang?, aku gak nafsuin ya?. Kadang aku mau ketawa sendiri deh dengan asumsi orang di luar sana, yang pastinya mikir kita udah sering ena ena, karena kita sering berduaan, entah berlibur, atau kamu nyusul aku pulang. Kamu sadar gak sih kalo kita dekat sekali?” tanyanya.
Aku menghela nafas kasar.
“Aneh ya perempuan, kalo lelaki lempeng, malah mikir macam macam, nanti aja kalo aku bersikap bastart, salah lagi akunya. Heran!!” omelku dan pacarku tertawa lagi.
Aku jadi malas menanggapi obrolannya karena berpotensi mengejekku terus.
“Ambekan ih!!” ledeknya saat aku beringsut turun dari ranjang dan memakai bokserku.
“Papi kasih aku waktu sampai tahun depan, untuk kita tetap seperti ini, setelahnya kita harus nikah!!. Kamu gimana?” tanyaku sambil tolak pinggang di depannya yang masih tiduran.
“Kalo aku gak mau?” tanyanya.
Aku menggeram.
“Aku hajar deh kamu sekarang, sekali juga cukup buat kamu cari aku lagi, karena efek candu setelah kita bercinta. Apa aku harus begitu supaya kamu setuju menikah tahun depan?” tantangku.
Dia tertawa lagi.
“Yuk!!’ ajaknya bersiap menyingkap selimut lagi.
“Nad…” rengekku dan dia tertawa lagi.
“Beneran ambekan sekarang tuh tuan muda Smith” ejeknya.
Aku berdecak dan mengacak rambutku.
“Mandi sana!!, gak kangen aku apa?, ayo buruan!!, trus kita bobo sambil cari obat rindu” rengekku lagi.
Dia tertawa lagi lalu dengan santai turun dari ranjang dengan kondisi bugil.
“Astaga…bunuh aku aja deh hunn….” keluhku tepat dia berdiri di hadapanku.
Dia terbahak.
“Come to join me my Lord!!” jawabnya sambil melangkah anggun ke kamar mandi.
“Not now, but soon” tolakku.
Dia tertawa lagi lalu menutup pintu kamar mandi. Aku menghela nafas lelah setelah tidur telentang lagi di ranjang. Kadang kadang orang selalu mikir kejauhan deh. Benar Nadine sih. Zaman sekarang pacaran lama, berduaan trus, dan sudah dewasa, pasti orang mikir sudah melakukan s*x before married. Gak sepenuhnya salah sih. Kebanyakan pasangan begitu. Orang tuaku aja berpikir begitu, pasti orang tua Nadine juga. Padahal aku dan Nadine pengecualian.
Jadi buat orang berasumsi juga aku gay karena pacarku baik baik saja. Anehkan ya orang orang zaman now. Yang lempeng malah di pikir belok. Soal teman teman Nadine, sudah semenjak dulu, selaku kepo soal Nadine dan aku. Dulu sewaktu pacaran, kami belum berciuman aja, ribet juga. Sekarang sudah tidak terhitung banyaknya aku dan Nadine ciuman, pelukan sampai tindih tindihan, malah kepo lagi aku dan Nadine yang belum bercinta. Ampun deh.
“Yang…sana gantian mandi!!” suara Nadine sudah selesai mandi.
“Okey!!” jawabku sambil bangkit.
“Lah basah amat Yang” gurauku.
Dia berdecak.
“Ya kamu bikin aku becek, walaupun cuma grepe, mandi basahlah!!” jawabnya dan membuat aku terbahak saat masuk kamar mandi.
Aku bergegas mandi.
“Lah, kok pakai kaosku?” tanyaku meledek.
“Dua bebek belum antar bajuku, kamu mau aku bugil?, malas kalo cuma kamu anggurin” jawabnya.
Aku ngakak lagi lalu pakai baju yang dia siapkan di kasur. Dianya sibuk dengan handphone.
“Besok ngapain Nad?” tanyaku.
“Spending time with you!!” jawabnya sambil menaruh handphonenya lalu beringsut tiduran di ranajang.
Aku menyusulnya tiduran.
“Shopping?” tanyaku.
“Kamu gak tidurin aku, nanti kamu kesel kalo aku habisin uangmu” jawabnya.
Aku ngakak.
“Biasanya gak gitu, santai aja kamu gesek gesek kartuku” kataku.
Gantian dia tertawa.
“Aku shopping dari aku ngerti pakai kartu, udah mulai bosan. Belum lemari di rumahku yang mulai kehabisan tempat untuk menampung hasil buruanku. Malas ah minta ayah buat kamar lagi hanya untuk menampung hasil foya foya” jawabnya.
Aku tersenyum lalu menarik tangannya supaya bisa aku peluk.
“Udah semakin cocok jadi calon istri nih kayanya” ejekku tepat aku memeluk tubuh mungil Nadine.
“Mana mungkin, aku berhenti shopping, udah habbit. Hanya rehat, sampai aku jadi nyonya Smith, pasti kamu beli rumah besar dan siapin kamar besar untuk hasil aku shopping, apalagi aku pasti ngangkang buat kamu tanam pisang di kebunku, sebagai ganti aku gesek gesek kartumu” jawabnya.
Aku ngakak dan menciumi pipinya.
“Makin siap jadi istri kamunya” ledekku.
Dia memutar matanya.
“Lupa ya aku pinter?, aku jadi bisa mengamati kelakuan suami sultan dari kakak kakak iparku, after mereka senang senang di luar. Sampai rumah, tetap aja, mesti menyenangkan hati suami sultan mereka supaya dunia perbelanjaan lancar jaya sayang” ejeknya.
Aku ngakak lagi.
“Tawa terus ih” omelnya.
“Ya habis kamu lucu” bantahku.
Dia tertawa pelan.
“Yang!!” cetusnya saat aku memeluk kepalanya dan memejamkan mataku.
“Hm..”
“Gak raba rabaan dulu?” tanyanya.
“Cape gak?” tanyaku jadi membuka mataku lagi.
Dia melepaskan pelukanku di kepalanya lalu mengadah menatapku.
“Kangen…ciuman yuk!!” ajaknya lucu.
Aku tertawa lalu beringsut menindihnya.
“Percuma keramas itu mah” ejekku.
Dia tertawa.
“Ih biar wangi” sanggahnya dan aku menciumnya.
Petting bolehlah, atau saling meraba. Bergumullah kami di kasur, seperti biasanya, hanya pergerakan tangan saling raba, dan sedot sedotan, dan berakhir dengan kami yang ngos ngosan.
“Udah ah cape!!” kataku menjeda.
Dia tertawa.
“Pasti udah, udah nembak” ejeknya meraba bagian depan celana piamaku.
Aku ngakak.
“Sok tau!!” ejekku.
“Aku telanjangin nih!!” ancamnya.
Aku mencekal tangannya lalu memeluknya supaya dia tidak leluasa bergerak.
“Udah ah, ngantuk” kataku.
Masih aku dengar tawanya saat aku memejamkan mata dan memeluknya.
“Night Boi…” desisnya.
“Night Nad…” balasku lalu benar benar terlelap.
Hanya Nadine yang selalu berhasil membuatku benar benar terlelap. Saat dia berada dalam pelukanku dan yang aku rasa hanya kedamaian. Aku tak butuh hal lain lagi.
Aku terjaga esok paginya karena gelak tawa di luar kamar. Aku beringsut bangun dan menyusul keluar kamar.
“Morning mas Boi…” sapa dua teman Nadine dari meja makan dan Nadine sudah sarapan.
Aku langsung tolak pinggang di hadapan dua temannya.
“Gak ada bosennya racunin Nadine buat jadi setan” omelku.
Mereka bertiga ngakak.
“Baru percaya gue Nad, elo molor bareng doang, gak ada acara penggenjotan” ejek Opie.
Aku menggeram ke arahnya yang terbahak lagi dengan Nadine dan Pipit.
“Pantes Nad Nad gak mandi basah” celetuk Pipit.
Aku sudah mau ngamuk lagi, tapi Nadine menepuk bangku di sebelahnya.
“Udah ah, ambekan jadi laki, duduk, bukan kasih morning kiss aku, malah ngomel” katanya.
Aku menurut duduk lalu ikutan sarapan.
“Jarang jarang kita kasih kesempatan elo tidur sekamar. Biasanya elo tetap tidur sendiri kalo jemput nona muda pulang” kata Opie masih saja sambil makan.
“Elo niat banget jadiin bos elo pecandu s*x!!, kali elo bisa gue jadiin serep kalo sakaw make love trus Nad Nad gak ada” omelku lagi.
Mendadak aku jadi kesal pada dua teman Nadine. Bukan mikir malah ngakak lagi mereka berdua. Pacarku santai aja urus sarapanku.
“Lah kalo elo mau poligami gue sama Nadine sih gak apa, gue ngakang bos di meja meeting buat elo” balasnya.
Pipit ngakak parah.
“Udah elo sama bule Unicef aja, mas Boi udah hilang minat duluan sama elo sih, mati kartu, mulut elo gahar” ejek Pipit.
Gantian Opie ngakak.
“Jarang lo bule soleh, mas Boi doang, dimana mana otaknya bule apa separo bule, gak jauh dari kobel kobel cewek apa remes remes t***t, emang mas Boi doang yang otaknya nasionalis Pancasila” jawab Opie.
Kalo dua yang lain ngakak, aku mengerutkan dahiku.
“Mana ada sih Pie otak nasionalis Pancasila?” ejekku.
Dia berdecak.
“Lah lupa sila pertama, Ketuhanan yang maha esa. Berarti otak elo soleh karena ingat Tuhan” jawabnya.
Baru kami ngakak bersama.
“Otak orang bule mana tau Pancasila, yang mereka tau soal kebebasan dan hak asasi manusia, itu pun gak benar. Hak asasi tanpa di batasi norma, berpotensi melanggar hak orang lain. Negara bule bebas LGBT, dengan alasan itu hak setiap orang, padahal tau itu salah. Coba kenal Pancasila dan norma kaya di Indonesia tercinta. Pasti akan di pikir ulang untuk dukung. Memang hak setiap orang menentukan orientasi sek mereka, tapi sebagai teman, saudara atau sebagai sesama warga negara berkewajiban mengingatkan soal kesalahan. Mau jadi apa, kalo pedang sama pedang kewong?, main anggar?. Atau lobang sama lobang kewong, mau gesek gesak doang sama jual beli ketimun?” katanya.
Kami ngakak lagi dengan mulut juara Opie.
“Belum dampak psikologis yang timbul untuk diri sendiri atau lingkungan sekitar. Buat diri sendiri, sudah jelas harus dapat silence bullying dari orang orang yang gak sefaham, di diamkan seakan ada dan tak ada. Untuk lingkungan, bukan gak mungkin remaja remaja labil, ikut tertular. LGBT itu soal penyimpangan prilaku, kalo bergaul terlalu lama aja sama banci, lama lama ikutan ngondek. Percaya sama gue” kata Opie lagi.
Kami mengangguk saja, emang benar kok.
“Makanya mas Boi, kalo lagi kerja, jauh jauh sama lelaki bertulang lunak, udah mah orang curiga, Nadine gak muntah muntah padahal udah elo pacarin lama banget, bisa bisa elo di anggap satu species sama mereka. Secara zaman sekarang banyak laki sterek dan keluar masuk gym, tapi belok” ejeknya padaku.
Kali ini aku cemberut walaupun Nadine dan Pipit terbahak.
“Eh, tanya tuh Nadine semalam gue gimana?” tantangku dan aku sesali.
“Nadine bilang sih pisang elo langsung letoy, padahal di peram di balik bokser sampe tahunan” ejek Pipit.
Rasanya mau aku ceburin mereka berdua di bak mandi.
“Yang kamu sih….” Keluhku pada Nadine yang masih tertawa.
“Ya elah, ambekan ih, gak suka ah!!” jawabny tidak membantu.
Jadi tertawa mengejek lagikan dua teman bebeknya.
“ Elo berdua mau kemana habis ini?” tanya Nadine mengalihkan pembicaraan.
Aku menghela nafas lega, lepas dari obrolan yang mengejekku terus.
“Mau balik tidurlah, biar yang lain pergi sama tur guide, kan dananya ada dari hadiah lomba. Seperti biasakan kasih mereka yang lomba untuk uang saku, jelong jelong Paris?” jawab Opie.
“Gimana mas Boi?” tanya Pipit padaku.
“Orang kedutaan gak ribet soal hadiah lombakan?” tanyaku.
Nadine yang menggeleng.
“Kasih aja kalo gitu, bagi rata supaya mereka happy karena merasa jerih payah mereka di hargai” jawabku.
Mereka bertiga bersorak.
“Kadang miris juga ya, gak ada dana untuk apresiasi kerja duta budaya kalo bukan dari sponsor. Kalo bidang olah raga masih dapat, itu pun dari cabang yang memang sudah terbukti memberikan prestasi, kalo gak memberikan prestasi, tetap hanya bisa berharap dari sponsor” keluh Pipit yang memang mengurus administasi.
“Iya…ingat gak lo, pembalap yang sibuk cari sponsor karena dia tembus F1 yang harus bayar uang pendaftaran lomba yang gede banget sekali dia tanding?” tanya Opie.
Kami mengangguk.
“Nasibnya sekarang jadi melempem ya. Padahal dia hebat bisa tembus F1” keluh Opie.
Kami kompak menghela nafas.
“Mau gimana lagi, negara kita tidak mengalokasikan dana ke urusan itu. Sudah habis untuk dana pendidikan dan kesehatan, itu pun masih belum maksimal” jawab Pipit.
“Bisa seandainya swasta bergerak memberikan bantuan dengan jadi sponsor. Ini malah lebih tertarik sponsorin acara dangdutan” jawab Opie.
Kami tertawa miris.
“Harusnya pemerintah menggerakkan bidang ekonomi kreatif macam Korea Selatan” aku bersuara.
Ketiganya kompak menatapku.
“Loh benar dong. Siapa yang gak kenal BTS, BLACKPINK, EXO?, seluruh dunia demam Korea, karena pemerintahnya pintar membaca peluang. Di kasih dukungan jor joran dalam industry ekonomi kreatif. Mulai youtube channel, tik tok, instgram, dengan mereka yang gue sebut tadi sebagai icon. Pada akhirnya mendongkrang branding produksi dalam negari karena memakai artis artis tadi sebagai icon. Zaman sekarang bukan perang angkat senjata yang menyeramkan, tapi perang digital yang menyeramkan. Anak muda apa sih yang gak di kejar kalo berhubungan dengan korea?, handphone buatan korea laris manis, sampe online shopping luar aja rame terus pembeli karena pakai icon mereka. Tanpa pernah sadar kalo kebiasaan kita membeli barang jadi mereka pelajari. Tinggal tunggu korea keluarin gamis, apa udah ya?, dengan banyak passion korea macam maxi panjang yang dikit lagi jadi trend. Trus produsen gamis Bandung dan Tasik, kalo gak buru buru bebenah, ya kelar sudah” kataku.
Nadine langsung memeluk kepalaku dan menciumi pipiku.
“Sayang aku pinter banget sih?” pujinya.
Aku tertawa karena dua temannya juga mengangguk setuju dengan perkataanku.
“Hanya belajar dari pengalaman kerjaku. Aku sering bekerja sama dengan tim survey independent yang sering cerita, gimana antusias masyarakat kita pada ecommerce yang sekarang banyak sekali. Perputaran uangnya Nad, banyak sekali di situ. Atau dari oplah penjualan tabloid keluaran SMITH enterprice, itu masih kalah dengan pendapatan dari channel youtube perusahaanku atau dari aplikasi membaca dan nonton digital perusahaanku. Jadi aku bisa menarik kesimpulan, kalo zaman sekarang, yang digital yang lebih laku, karena bisa di akses dari smart phone. Zaman Now, kebutuhan orang pada pulsa handphone melebihi kebutuhan orang akan sembako. Gak sadar aja gitu, klak klik layar handphone mereka, itu sama aja, buang uang” kataku lagi.
“Trus yang tambah tajirun elo dong ya?” ejek Opie.
Aku terbahak.
“Gue cuma berusaha mengambil peluang, repot juga kalo gue gak tajir, nona muda kebutuhannya banyak” gurauku.
Mereka kompak menyorakiku. Apa aku bisa marah pada teman teman Nadine yang kadang otak mereka belok sedikit dengan memanasi pacarku untuk berbuat belok juga?. Tentu saja tidak bisa, Opie dan Pipit itu tipe perempuan perempuan pinter, jadi pacarku juga ikutan pintar bergaul dengan mereka. Apa yang mereka kerjakan selalu positif, walaupun aku harus merelakan banyak uang untuk kegiatan mereka. Tapi ya itu…harus selalu ada pengorbanan untuk sebuah mimpi besar. Gak melulu soal kerja keras, tapi butuh support materi dan moril. President Amerika, John F Kennedy says.
“Jangan tanya apa yang telah negara berikan padamu, tapi tanya apa yang sudah kamu berikan untuk negaramu”
Aku pertanyakan itu pada diriku sendiri. Apa yang telah aku berikan pada negaraku?, kalo negaraku sudah memberikan banyak. Stasiun TVku maju pesat karena adanya penonton dari orang orang di negaraku, sampai aku di berikan gadis cantik asli warga negaraku sebagi pacar dan on the ways jadi istri. Jadi…wajarlah, kalo dari sepersekian persen dari penghasilanku di pakai untuk memajukan negaraku. Jadi jangan meragukan nasionalismeku hanya karena aku warga negara keturunan Inggris.
Yang buat aku pening cuma satu, setelah dua teman Nadine pamit ke kamar mereka untuk tidur lagi. Apalagi kalo bukan kelakuan pacarku yang santai buka kaos yang dia pakai di hadapanku karena berniat mandi.
“Bunuh aku aja Nad…” rengekku geram dan dia malah terbahak.
Coba negara bantu aku bagian ini, bisa gak?. Buat kek aturan kalo setengah bugil di depan pacar itu melanggar undang undang.