Kehilangan Pengasih

1169 Words
Suara tangisan seru terdengar di rumah sederhana milik Bunga. Pagi ini, kedua bayi miliknya terlihat begitu bersemangat untuk menyapa dunia. Sesaat setelah mendengar suara putra putrinya, Bunga langsung bergegas keluar dari dalam kamar mandi dan segera menggendong keduanya. Ia tahu, mereka hanya ingin minum ASI dan kembali mendapatkan dekapan hangat. Sebelumnya, ketika proses persalinan terjadi. Bunga melakukannya bersama bidan Tari dan di pantau oleh sang dokter. Karena kuat dan stabil, ia dapat melewati fase ini secara normal. Sang putra lahir lebih dulu, ia diberi nama Luka Sanur, sementara sang adik yang seorang perempuan bernama Luke Sanur. Keduanya memiliki warisan dari Lucky, papa mereka. Yaitu belahan dagu yang tegas, dan dalam, serta hidung mancung dengan bagian ujung seperti terbelah atau terbagi dua. Ketika melihat putra putrinya, Bunga merasa begitu bahagia dan kuat untuk menghadapi dunia. Ia tidak ingin kedua buah hatinya hidup menderita. Apa pun akan ia lakukan, demi memenuhi kebutuhan anak-anaknya. "Bunga!" Bidan Tari menyapa dan mengintip dari kaca jendela. "Semua baik-baik saja?" "Iya, Bu," jawab Bunga bersama senyum, walaupun dari matanya tampak jelas kelelahan yang besar. "Buka pintunya! Biar Ibu bantu." Bunga mengangguk dan masih tersenyum. "Iya, Bu." Lalu berjalan ke arah pintu utama, sembari menggendong keduanya. Dengan susah payah, Bunga membuka pintu karena di tangan kanannya, berada Luka yang sedang menangis hebat. Bayi laki-laki yang satu ini, memang sangat kuat menyusu. Tetapi Bunga sering meletakkannya di bagian terakhir, agar Luke tetap kebahagian. "Ya ampun, suaranya ... ." Bidan Tari langsung mengambil Luka yang sudah memerah wajahnya. "Kita jemur dulu ya! Biar Mama mimikin Luke dulu!" Kemudian bidan Tari membawa si tampan untuk menikmati cahaya matahari. Bukan seorang bidan senior namanya, jika tidak mampu menenangkan seorang bayi. Bersama kasih sayang dan ketelatenan, Luka kembali tenang seraya menikmati hangatnya cahaya dunia. "Nggak boleh nakal, Luka! Kasihan sama Mama dong." Bidan Tari tahu bahwa Luka sama sekali tidak nakal. Ia hanya ingin merasakan dekapan dan aroma tubuh mamanya lebih banyak lagi. Namun, Bunga melakukan semuanya seorang diri. Tidak depresi saja, sudah hebat baginya. Beliau menimang-nimang Luka bersama lagu kanak-kanak yang menyenangkan. Meskipun bayi tampan itu tidak memahaminya, tapi ia tampak tenang dan kembali bermimpi indah di dalam senyum kecil yang memesona. "Coba tebak! Nenek yakin sekali bahwa kamu akan menjadi laki-laki yang kuat dan tampan," katanya sembari memegang kedua sisi dagu Luka dan berharap. "Saat itu, semua wanita yang berada di sekelilingmu, akan mencuri pandang dari sudut matanya." Kemudian bidan Tari mencium pipi kanan Luka. Setelah 40 menit, Bunga keluar dari dalam rumah dan mendekati bidan Tari. "Bu!" "Luke sudah tidur?" "Sudah." "Ini!" Bidan Tari kembali menyerahkan Luka kepada mamanya. "Usahakan untuk lebih lama, Bunga! Dia anak laki-laki dan biasanya lebih rakus." "Iya, Bu." "Sudah sarapan?" "Sudah. Pokoknya, pagi-pagi sekali, yang Bunga kejar adalah masak, makan, dan membersihkan popok mereka. Sesuai dengan ajaran Ibu," kata Bunga yang begitu pandai menghargai orang lain. "Yang kuat dan sabar ya, Nak!" Bidan Tari mengusap rambut Bunga. "Kamu tidak boleh stres, ingat itu!" "Iya, Bu." Bunga melebarkan senyumnya. "Lagi pula, Bunga masih punya Ibu yang selalu memberikan support dan bantuan. Bunga merasa tidak sendiri kok." "Dengar, Bunga! Ada ataupun tidak ada orang lain yang membantumu, kamu harus kuat dan mandiri! Jangan bergantung kepada orang lain!" "Bunga mengerti, Bu. Terima kasih," kata Bunga, yang terus memperhatikan wajah pucat dan bibir biru dari bidan Tari. "Ibu baik-baik saja?" "Iya." Beliau menghela napas panjang. "Hanya perlu istirahat sejenak." "Maaf, sudah ngrepotin ibu!" sesal Bunga yang sadar bawa wanita yang satu ini, begitu peduli. "Suuut. Jangan mengatakan yang tidak-tidak dan selalu ingat pesan Ibu ya!" "Baik, Bu." "Kalau begitu, Ibu pamit dulu. Sampai jumpa Luka!" Ciuman hangat kembali mendarat di kedua pipi Luka yang merona. "Makasih, Nek," jawab Bunga dengan suara lirih. Sebab, tiba-tiba saja ia merasa sesuatu yang tidak menyenangkan akan terjadi. Bidan Tari berjalan lamban menuju kediamannya. Sementara Bunga, ia juga langsung masuk ke dalam rumah untuk menyusui Luka. Ketika berada di dalam pelukan mamanya, Luka terlihat tidak ingin diganggu. Tetapi ini adalah waktunya untuk meminum ASI, sehingga Bunga memaksa putranya bangun, dengan berbagai cara. "Sayang, bangun ayo!" kata Bunga sembari membuka bedong yang menyelimuti tubuh mungil putranya. Tak perlu menunggu waktu yang lama. Luka terbangun dan Bunga langsung menyerahkan ujung pintu gudang makanan dan minuman segar ntuk putranya. Pada saat yang bersamaan, Luka langsung menyambut dan menikmati dengan rakusnya. Senyum Bunga merekah, ketika melihat kedua pipi putranya mengempes dan mengembung dengan cepatnya. Semua ini memperlihatkan hasrat makan seorang bayi yang besar. Bunga berharap, Luka dan Luke dapat tumbuh dengan maksimal. Sehingga ia tidak akan pernah menyesal, apalagi sampai mengutuk dirinya sendiri. *** Malam menyambut, sekitar waktu mendekati azan magrib. Terdengar suara pemberitahuan dari mesjid. Ini bukan merupakan panggilan untuk shalat, tetapi sebuah pengumuman yang menyebarkan berita duka. "Innalillahi wainnailaihi rojiun. Innalillahi wainnailaihi rojiun. Innalillahi wainnailaihi rojiun." Terdengar suara lantang, sebelum azan berkumandang. "Telah meninggal dunia, ibu Tari Waziah di kediamannya, RT 23, Kelurahan Suka Hati, sekitar pukul 18.15 WIB. Sekali lagi di beritahukan bahwa, telah meninggal dunia, ibu Tari Waziah di kediamannya, RT 23, Kelurahan Suka Hati, sekitar pukul 18.15 WIB. Terima kasih." Tar! Gelas yang Bunga pegang, jatuh berserakan di lantai. Kedua matanya berkaca-kaca, dan tubuhnya bergetar hebat. "Ti-tidak! Ya Allah ... jangan." Bunga tidak mampu mengendalikan dirinya dan menangis dengan keras. Selang beberapa menit, terdengar suara ketukan pintu dan Bunga bersusah payah untuk membukanya. Bukan tanpa alasan, kedua kakinya terasa tak bertenaga dan ia begitu sulit untuk menggerakkannya. "Permisi, Mbak Bunga!" panggil seseorang dari luar, sembari mengetuk berulang. "Iya, sebentar!" sahut Bunga yang sangat lamban bergerak. Setibanya di sisi dalam pintu utama, ia langsung membukanya. "Iya?" tanya Bunga, bersama rintik air mata yang masih deras. Seorang pemuda tanggung, memberikan secarik kertas kepada Bunga. "Ini dari eyang kakung untuk Mbak Bunga. Mbaknya?" "Iya, saya Bunga." Lalu Bunga langsung membuka surat selembar tersebut. "Kalau begitu, saya pamit, Mbak." Bunga tidak lagi dapat menjawab. Pandangan dan konsentrasinya tertuju pada surat tersebut. 'Bunga, Ibu sudah nggak ada. Namun sebelum pergi, beliau berpesan supaya kamu tidak menyentuh ataupun melihat jasadnya! Ibu tidak mau terjadi hal yang tak diinginkan pada Luka dan Luke. Sebab, sawan mayat itu sangat sulit untuk disembuhkan. Ibu sayang kepada kalian semuanya, Bunga. Tolong mengertilah!" pesan pak Ade yang masih kental dan begitu menjujung adat kejawen. "Ya Allah ... ." Bunga menangis semakin keras. tubuhnya juga tampak meleleh dan jatuh terduduk di sisi lantai, tak jauh dari pintu. Luka hatinya mendalam dan ia sangat menderita. Baginya, ini adalah kehilangan yang begitu menyakitkan. Setelah ini, siapa lagi yang akan tersenyum dan memberi nasihat kepadanya. "Ibu ... ," ratap Bunga, terbayang akan pertemuan terakhir antara dirinya dan bidan Tari, pagi tadi. Selang beberapa menit, terdengar suara tangis keras dari kedua buah hatinya. Bunga masih lemah, tapi ia tidak mau kedua anaknya menitikkan air mata tanpa dirinya. Dengan usaha, Bunga merangkak menuju ke dalam kamar untuk memeluk keduanya. "Ya Allah, Sayang. Nenek sudah pergi, beliau sudah tiada." Bunga masih meratapi nasib hidupnya. Bersambung. Bagaimana perjalanan hidup Bunga dan kedua buah hatinya setelah ini? Ikuti terus ceritanya dan jangan lupa untuk meninggalkan komentar, tab love, dan follow aku, makasih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD