Kebahagiaan Yang Sempurna

1247 Words
Setelah puas menangis akibat mulut pahit sahabatnya, Bunga memutuskan untuk pulang. Jarak antara pusat perbelanjaan tersebut cukup jauh dari rumah dan Bunga kembali berjalan kaki. Setelah melangkah kurang lebih 100 menit, Bunga tiba di muka rumah sederhana milik ibunya dan terduduk sejenak di teras yang hanya dihiasi kursi dari bambu. Sembari merebahkan pundak dan punggung di dinding berwarna kuning, Bunga menghela napas panjang. Ia baru saja menyadari bahwa kini dirinya hanya tinggal seorang diri. 'Tidak ada jalan lain.' Kata Bunga di dalam hati, seraya memandang kosong. Setelah menikmati udara sore hari yang sejuk, Bunga memutuskan untuk masuk ke dalam rumah dan mencari sesuatu. Sesampainya di kamar sang ibu, Bunga menunduk dan menarik map tulang yang terlihat rapi. "Ibu, maaf!" pintanya dengan kepala tertunduk dan mata yang sudah basah. "Saya akan menggadaikannya. Tapi saya berjanji, untuk menebusnya," kata Bunga seraya memegang surat tanah dan rumah, peninggalan dari almarhum ayah dan almarhumah ibunya. Harta ini memang tidak terlalu banyak. Namun jika dipakai dengan cermat dan pandai, Bunga yakin, ia akan bisa melakukan sesuatu untuk mengumpulkan pundi-pundi rezeki. Bukan hanya untuk makan dan hidupnya, tetapi juga mengambil kembali surat dan tanah ini dari pihak bank. Dengan begitu, Bunga dapat bekerja dan tetap berada di samping buah hatinya. Toko kelontong serba ada, merupakan tujuan dari usaha yang akan Bunga targetkan. Apalagi, di wilayah ini masih jarang sekali warung. Kemudian ia menyadari sesuatu, yaitu hanya untuk berbelanja bahan pokok saja, masyarakat harus menempuh jarak yang cukup jauh. *** Lima bulan berlalu, Bunga tampak lebih bersemangat dan siap untuk melanjutkan hidupnya. Hingga titik ini, semua yang ia rencanakan berjalan mulus tanpa hambatan. Wajahnya pun kian memerah dan senyumnya mulai merekah. "Bunga!" panggil seorang bidan yang jarak rumahnya hanya lima kotak saja. "Jangan lupa untuk USG, demi memastikan apa yang sudah saya katakan beberapa waktu yang lalu!" Bibir Bunga melengkung sempurna. "Pasti, Bu. Saya sudah menelepon, dan mengambil nomor antriannya. Mohon bantuannya ya, Bu?" "Iya, tenang saja! Malahan nih ya, bapak sudah bersiap sejak tadi dan menunggu kamu di rumah," kata perempuan berusia sekitar 50 tahun itu, bersama senyum tulus. "Wah, saya jadi malu karena merepotkan begini," kata Bunga yang masih belum mampu melepas senyumannya. "Makasih ya, Bu." "Saya harap, dugaan ini tidak meleset," timpal sang bidan sambil mengusap perlahan pundak Bunga yang tidak lagi mungil. "Iya, Bu. Saya juga sangat bersemangat, apalagi saat membayangkan, ada dua bayi di dalam rahim saya. Ini fantastik." Mata Bunga berkaca dan rasa syukur itu tidak pernah berkurang. "Kalau begitu, saya pamit dulu." "Iya, Bu. Terima kasih." Bidan Tari meninggalkan Bunga agar ia bisa bersiap. Bagi Bunga, beliau merupakan orang tua yang berarti. Ditambah lagi dengan keperduliannya selama ini, membuat Bunga merasa tidak sendiri lagi. Pukul 17.00 WIB, Bunga dan pak Ade melewati jalanan dengan mobil berwarna putih. Mereka hanya berdua saja karena bu Tari sedang melakukan tugas penting. Sejak tadi siang, ada seorang wanita yang sudah menunggu waktu untuk persalinan. Sebagai seorang bidan, beliau harus selalu siap siaga. "Kita pelan-pelan saja ya, Bunga?" "Iya, Pak. Lagi pula, jalanan ini licin dan berdebu." "Iya, Benar." Pak Ade memperhatikan hujan rintik yang menemani perjalanan mereka. "Apalagi saya sedang membawa ibu hamil dan dua bayi di dalamnya. Jadi, tidak boleh melakukan kesalahan!" Bunga tersenyum simpul, lalu tertunduk. "Pak, terima kasih atas segala bantuannya. Saya benar-benar merasa beruntung. Saya berdo'a, semoga Allah membalas setiap kebaikan Bapak dan juga ibu dengan mengabulkan doa-doa kalian." "Terima kasih ya, Bunga. Yang saya lakukan ini hanya hal kecil," jawabnya tidak terdengar angkuh. "Oh iya, bagaimana menurutmu mengenai persalinannya nanti?" "Tergantung keadaannya, Pak. Kalau saya sehat dan kuat, tentunya normal. Tapi kalau saya tidak mampu, mungkin operasi. Saya tidak ingin anak ini kehilangan ibunya, dan sebagai seorang ibu saya tidak ingin kehilangan anak-anak saya." "Bagus, itu yang terpenting. Kita hanya bisa berupaya dan memikirkan hal terbaik. Sisanya, berserahlah kepada Allah!" "Tapi, saya harap Bapak dan ibu akan tetap mendampingi. Walaupun akhirnya harus berada di meja operasi," pintanya dalam harap. "Tentu saja. Kami sudah membicarakannya, Bunga. Bagi ibu, kamu sudah seperti putrinya sendiri." Bunga kembali melengkungkan senyum, lalu mengangguk lembut. Sementara tangan kanannya, tidak lepas dari perut dan terus mengelusnya. Setelah menempuh perjalanan sekitar 40 menit, keduanya tiba di sebuah klinik untuk melakukan USG agar lebih jelas melihat calon buah hati. Bunga berharap, tidak ada parasit di antara keduanya. "Permisi, Mbak. Saya Bunga," kata Bunga yang sedang berdiri di meja seorang perawat yang mengatur jadwal konsultasi. "Oh, silakan duduk. Dua nomor antrian lagi, Anda bisa masuk!" "Baiklah, terima kasih." Bunga menuju kursi yang tak terlalu jauh dari meja jaga. Setelah 30 menit, Bunga dipanggil dan ia langsung masuk dengan wajah tampak cemerlang. Ini adalah kali pertama ia memeriksakan kandungannya, dengan menggunakan alat khusus seperti saat sekarang ini. "Silakan duduk!" pinta dokter wanita berhijab, sambil menyambut ibu muda yang satu ini. "Ada keluhan?" "Tidak, Dok. Semua sangat menyenangkan." "Termasuk rasa mual, dan lemas sepanjang pagi?" "Ya," jawab Bunga dengan sangat cepat. Dokter tersenyum lebar, kemudian beliau meminta kepada Bunga untuk berbaring di sebuah tempat tidur pasien, ukuran 120x200 cm. "Kita akan melihat, apakah dia juga bahagia seperti ibunya," goda dokter yang terkesan ramah tersebut. "Iya, Dokter." Dokter mengoleskan jelly (Clear Ultrasound Gel) yang berfungsi sebagai pelumas. Gel ini juga berguna untuk memperjelas suara obyek yang diperiksa, kemudian ditangkap oleh alat Doppler atau USG. "Ini yang pertama?" "Iya, Dok." "Oke. Agak sedikit dingin ya." Dokter memberi peringatan agar Bunga tidak terkejut. Perempuan berkulit putih itu memiringkan wajah. Saat ini, Bunga terus saja tersenyum. Apalagi ketika ia mulai melihat gambaran nyata dari layar monitor. "Anda kaya, Bu." Dokter kembali menggoda. "Lihat mereka! Mungil, tapi begitu sehat. Kepala, wajah, tangan, kaki. Sepertinya, tiga bulan lagi Anda akan ekstra sibuk." "Iya, Dokter," jawab Bunga yang kali ini hampir meneteskan air mata. "Hmmm, mengejutkan ini." Dokter tampak memfokuskan penglihatannya. "Ada apa, Dok?" "Sepertinya kembar sepasang." "Maksudnya?" tanya Bunga yang berusaha memperhatikan apa yang dokter itu lihat. Dokter mengangguk dalam senyum. "Mereka sepasang," katanya sekali lagi. "Ada anak laki-laki dan perempuan di rahim Ibu. Lengkap sekali." "Dokter?" Bunga tampak terharu dan matanya berkaca-kaca. "Selamat ya! Keduanya tumbuh dengan adil dan saling menyayangi. Ayahnya pasti suka mendapatkan kejutan ini." Bulir-bulir air mata Bunga langsung tumpah melalui kedua ekor matanya, sesaat setelah mendengar perkataan dari dokter tersebut. "Sayangnya, mereka hanya punya saya, Dokter." Senyum sang dokter pun, menghilang. "Sorry!" pintanya dan langsung mengalihkan pandangan. "Tidak apa, Dokter," kata Bunga yang paham bahwa sang dokter hanya ingin bercanda dan menghibur. "Hmmmh." Dokter menghela napas panjang. "Lalu bagaimana dengan persalinannya?" "Saya akan kembali berkonsultasi, di minggu pertama bulan kesembilan, Dokter." Dokter mengangguk. "Baiklah, saat itu baru kita akan menentukannya." "Iya, Dokter." "Yang terpenting, jaga pola makan agar tensi Ibu tetap stabil! Kita harus menghindari preeklamsi." "Apa itu, Dok?" "Komplikasi kehamilan. Ini berpotensi berbahaya, yang ditandai dengan tekanan darah tinggi. Pre-eklampsia biasanya dimulai setelah usia kehamilan 20 minggu pada wanita yang tekanan darahnya telah normal. Hal ini dapat menyebabkan komplikasi serius, bahkan fatal, bagi ibu maupun bayi," bebernya sambil membantu Bunga untuk turun dari tempat tidur. "Saya akan mengingat pesan Anda ini, Dokter." "Bagus." Dokter mengangguk dalam senyum. "Ini multivitamin yang sangat bagus untuk Ibu dan bayi. Jika ada masalah atau kendala, silakan menghubungi saya!" Dokter menyerahkan kartu nama. Sepertinya, ia memberi keleluasaan bagi Bunga untuk menghubunginya. "Terima kasih, Dokter." "Sama-sama." Bunga keluar dari ruangan bersama senyum yang merekah. Ia sangat bahagia karena apa yang dikatakan oleh bidan Tari mengenai kedua buah hatinya adalah benar. Bunga akan menjadi ibu dari sepasang putra dan putri. Bersambung. Jangan lupa untuk meninggalkan komentar, memberikan love, dan menekan tombol follow buat aku, makasih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD