Firasat

1129 Words
Enam tahun setelah kehilangan sosok yang begitu menyayanginya. Beberapa malam ini, Bunga sering bermimpi tentang Lucky. Di alam bawah sadar, ia seakan mendapat kasih sayang yang selalu suaminya berikan semasa pernikahan mereka. Bunga tidur ini, membuatnya rindu, dan ingin sekali melihat rumah megah yang dulu pernah ditempati, hanya untuk mengusir kerinduannya. Di depan cermin lama ukuran besar, Bunga menatap dirinya sendiri yang begitu terluka. Lalu menolehkan kepala untuk menatap wajah-wajah lucu yang sangat menggemaskan. Saat ini, si kembar sedang tidur siang di atas ranjang yang sama. "Mama rindu sekali dengan papa kalian," kata Bunga sambil menghisap air hidungnya. Mata indah nan bulat itu pun, tampak berkaca-kaca. "Mama ... ," sapa Luka seraya mengucek kedua matanya, secara bergantian. "Kenapa, Ma?" Lalu ia berjalan mendekati sang mama. Anak laki-laki Bunga ini, sangat hangat dan penyayang. Sifat ibu dan ayahnya, mengalir deras di dalam darahnya. Bunga menyisir rambut lebat putranya yang berantakan dengan tangan kanannya, sesaat setelah jarak keduanya begitu dekat. "Mama cuma kangen sama papamu, Sayang." Selama ini, Luka sama sekali tidak pernah mempertanyakan mengenai papanya. Berbeda dengan Luke yang kerap kali menangis, sembari memeluk foto sang papa. Luka memegang tangan mamanya dari atas kepala, dan menggenggamnya penuh cinta. "Kalau begitu, ayo kita cari papa, Ma!" ajaknya dalam senyum dan tatapan kuat. "Luka, Luka juga ingin melihat papa," ujarnya, lalu menundukkan kepala. Kalimat dari bibir Luka, membuat bulir-bulir air mata Bunga runtuh seketika. Padahal, ia telah berusaha untuk menahannya sejak tadi. Bukan tanpa alasan, selama enam tahun putranya bernapas, ia sama sekali tidak pernah mengatakan hal seperti ini. "Sayang!" Bunga menarik lembut putranya, lalu memeluk dengan erat. "Maafin Mama ya, Sayang!? Kamu memang anak yang kuat, putra yang tangguh. Terima kasih, Luka." Sang putra membalas dekapan mamanya. "Mama jangan bersedih hati lagi!" pinta Luka dengan suara yang bergetar. "Luka sayang, dan akan selalu menjaga Mama. Luka janji, akan menjadi laki-laki yang hebat dan bisa Mama banggakan." "Sayang ... Mama percaya kepadamu." Bunga mengusap wajah putranya, dari dahi ke kedua pipi bagian bawah. "Terima kasih, Luka Sanur." Luka mengangguk sambil memaksakan senyumnya. "Sekarang, Mama jangan nangis lagi!" Luka membasuh air mata Bunga, dengan jari jemari tangannya yang mungil. "Iya, Sayang." Kemudian Bunga berdiri untuk melakukan sesuatu di dapur, demi melupakan pikiran, dan perasaannya terhadap Lucky. Baru beberapa langkah. "Mama!" panggil Luka, ketika mamanya baru tiba di sisi pintu. "Iya, Sayang?" "Kapan kita akan pergi untuk mencari papa?" "Saat kamu libur sekolah nanti, Sayang." "Em," jawab Luka bersama satu anggukan dan senyuman, yang menandakan bahwa ia setuju. Anak kelas satu Sekolah Dasar itu pun tampak ceria. Selain itu, tiba-tiba saja jantungnya berdegup kencang. Luka bingung hingga harus memegang dadanya. Sebab, ini kali pertama, ia merasakan hal seperti ini. Rupanya, tanpa disadari, Luka memiliki keinginan dan kerinduan yang sangat besar terhadap sang papa. Hanya saja, ia selalu menyembunyikannya. 'Nanti, setelah bertemu dengan papa. Aku akan meminta kepadanya, untuk mengantarkanku ke sekolah. Supaya, tidak ada lagi teman-teman yang bertanya, apalagi mengejekku!' Kata Luka tanpa suara. Ternyata, ia juga terluka akibat ucapan beberapa anak yang kerap kali dijemput, ataupun di antara oleh ayah mereka, ketika sekolah. Hal ini memancing rasa sakit, dan kecewa di dalam tubuh mungil itu. Namun, Luka tak pernah mengutarakannya kepada sang mama. Sebab, ia sering kali memergoki mamanya menangis di malam hari, sembari memandang foto papanya. "Kakak!" panggil si bungsu yang jarak lahirnya tidak terlalu jauh dari Luka, hanya beberapa menit saja. "Kenapa?" Luka menatap adiknya dalam-dalam. "Tidak. Cuma ingin memikirkan cara untuk membangunkanmu. Tapi ternyata, aku gagal. Kamu bangun tepat waktunya, Ke. Coba terlambat sedikit saja, kamu pasti akan terkejut, dan menangis seperti biasanya." "Aaah, Allah menjagaku dari kakak yang nakal dan usil. Ha ha ha ha ha." Tawa seru kembali terdengar dari sepasang saudara yang selalu tampak kompak dan ceria. "Ini hanya kebetulan saja," gumam bocah laki-laki yang ketampanannya sudah tercetak sejak dini. "Lihat saja besok." "Hi hi hi hi hi. Tapi besok, mungkin saja akulah yang akan berteriak kencang di telinga Kakak. Ha ha ha ha ha." Luke terdiam, setelah tertawa karena melihat Luka termenung. Tampak jelas, bahwa ia sedang memikirkan sesuatu, tanpa dirinya. "Mama di mana, Kak?" Luka tersentak. "Ada di dapur," jawab Luka yang langsung tersenyum. "Kenapa? Apa mama marah sama Kakak?" tanya Luke yang ingin tahu. Sebab, wajah Luka berubah drastis setelah mereka tertawa beberapa menit tadi. "Kemari!" Luka menggenggam tangan adiknya, dan mengajak Luke ke sisi sekat dapur, untuk mengintip mamanya. Saat ini, Luke hanya mengikuti langkah kaki yang ukurannya lebih besar dari pada kakinya. "Ada apa, Kak?" bisiknya dalam tanya, sambil memperhatikan wajah kakaknya. "Suuut!" Luka meletakkan jari telunjuk, di ujung bibirnya. Luke mengangguk patuh, dan mengikuti instruksi dari sang kakak. Lalu keduanya mengintip sang mama yang rupanya sedang membuat adonan tepung untuk cemilan. Awalnya, tidak ada yang aneh dari pemandangan itu. Namun ketika Luke melihat ke arah wajah mamanya, ia baru menyadari sesuatu. Sebab, ekspresi layu itu, tidak dapat ditutupi. Luka mengangguk, bertanda mereka harus menjauh. Setelah berada di ruang tamu, Luka mengatakan tentang apa saja yang tadi sang mama utarakan. Seketika, wajah Luke memerah. Selain itu, senyum di bibirnya juga terlihat mengembang. "Akhirnya ... kita ketemu sama papa juga ya, Kak?" Luka kembali mengangguk. "Iya, tapi ... ." "Apa?" "Kenapa mama dan papa tidak bersama sejak dulu?" tanya Luka yang tidak berani mempertanyakannya secara langsung, kepada mama mereka. "Tidak tahu," jawab Luke dengan lugunya. "Dengar! Seandainya kita berhasil, dan bertemu dengan papa. Terus, jika kamu di suruh memilih antara tinggal bersama papa atau mama, kamu pilih yang mana, Luke?" Luke menunduk, dan ekspresi wajahnya berubah drastis. Ia terlihat bingung, dan tak tahu jawabannya. "Aku ... ." Luke memikirkannya dengan serius. "Aku ingin keduanya, Kak." Luke mengangkat wajah dan matanya tampak berkaca-kaca. "Mana boleh seperti itu," kata Luka sambil memegang kedua pundak adiknya. "Inikan pilihan!" "Kalau Kakak?" "Aku tetap memilih mama," tukas Luka tegas, tanpa ragu. "Kalau begitu ... aku juga sama mama." "Kenapa jadi ikut-ikutan begitu?" "Kalau aku sama mama, itu artinya ada Kakak juga, kan?" Luka terhenyak mendengar sang adik berkata. Tak lama, kolam air mata pun tercipta di dalam kelopak matanya yang bulat tebal. Kemudian, keduanya saling memeluk dan menenangkan. "Sudah-sudah! Sebaiknya, jangan menangis lagi! Nanti mama jadi bingung." "Iya, Kak," jawab Luke yang masih membenamkan wajahnya di daada Luka. Kesedihan macam apa yang dunia ciptakan untuk anak sekecil mereka, sehingga air mata dan luka terus saja mengalir di dalam sungai kecil pada tubuh keduanya? Iya, sungai yang disebut dengan darah. Kali ini, apakah si kembar akan benar-benar dapat menyentuh wajah sang papa yang mereka rindukan? Sementara di kediaman tuan Sanur, memang sudah ada Lucky bersama mamanya, dan orang-orang yang diperintahkan untuk berjaga. Rupanya, firasat Bunga bukanlah hisapan jempol semata. Kerinduan, dan keinginannya untuk kembali melihat rumah megah milik tuan Sanur, adalah pertanda bahwa suaminya berada di sana. Bersambung. Jangan lupa tinggalkan komentar, tab love, dan follow aku ya. Makasih...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD