Kenyataan Pahit

1071 Words
Sinar mentari mengusik wajah cantik Bunga yang tengah berbaring karena lelah. Baru empat jam ia terlelap dan berhasil renggang dari duka bertubi-tubi yang datang menghampiri hidupnya. Perlahan, Bunga mengangkat kelopak mata yang besar dan indah. Namun bibirnya tidak lagi dapat tersenyum, seperti biasanya. Rasanya, ada duri tajam yang tinggal dan menancap sempurna di dalam hatinya. Pukul 08.00 WIB. Bunga berusaha untuk bangkit kembali, dengan sia-sia tenaga dan harapannya. Ia juga mengatakan kepada diri sendiri, bahwa semua ini hanyalah cobaan yang akan segera berakhir. 'Aku harus mencobanya kembali! Aku tidak boleh menyerah! Aku harus tetap hidup dan berjuang, demi putraku!' Kata Bunga di dalam hatinya. Wanita yang satu ini, sama sekali tidak mengutuk mertuanya, ataupun meratap atas nama suaminya. Ia hanya terus memompa semangat atas nama cinta. Setelah merasa cukup kuat, Bunga bangkit dari tempat tidurnya dan mulai membersihkan diri. Ia sadar bahwa uang di kantongnya sama sekali tidak cukup untuk bertahan untuk hari-hari berikutnya. Sementara hingga saat ini, ia masih belum memiliki kesempatan untuk bekerja. "Baiklah, pagi ini kita sarapan seadanya ya, Sayang!?" ucapnya pada diri sendiri, sembari mengusap perutnya yang masih ramping. "Siang nanti, Mama akan membeli sesuatu yang lezat untukmu." Bunga duduk di sebuh kursi kayu dan menikmati nasi putih dingin, dengan tekstur yang keras. Ini adalah makanan sisa kemarin yang masih layak makan, meskipun rasanya sedikit berubah. Lalu ia menambahkan kecap manis sebagai topping, agar rasa nasi dingin yang dipenuhi oleh kerak ini, bisa terasa sedikit enak. 'Tidak! Aku tidak akan membuat putraku hidup seperti ini! Aku berjanji, mereka tidak akan makan makanan seperti ini lagi selama aku masih bernyawa.' Bunga menguatkan hati dan semangatnya. Setelah merasa kenyang, Bunga bergegas untuk kembali mengukir jalanan demi mendapatkan pekerjaan. Hari ini, ia menjelajah tiga sampai empat toko pakaian dan sepatu. Akhirnya, setelah hampir tengah hari, Bunga bertemu dengan seseorang yang sangat ia kenali. "Amara!" panggil Bunga sambil tersenyum. Kemudian ia mendekati sahabatnya itu, dengan langkah cepat. "Ini aku, Bunga." Amara berdiri di muka pintu utama sebuah toko yang berjajar, di dalam sebuah swalayan besar. Di sisi dadaa kirinya, terdapat papan nama yang bertuliskan namanya "Amara". "Kamu?" tanyanya seperti orang asing yang tak bersahabat. Bunga masih tersenyum hangat, sebab Amara merupakan teman dekat yang biasa ia ajak tukar pikiran, sedari dulu. Meskipun, semenjak menikah dengan Lucky, Amara terkesan menjauh. "Iya, ini aku." Bunga terus saja mempertahankan senyumnya. Amara menatap tajam, dari ujung rambut hingga ujung kaki. Lalu ia menatap jauh ke belakang, seolah sedang mencari seseorang yang jauh lebih penting, dibandingkan dengan sahabatnya itu. "Di mana Lucky?" tanyanya tanpa memanggil nama ataupun menatap sahabatnya tersebut. Senyum Bunga, menghilang. Kepalanya tertunduk, demi menahan air mata. "Sa-saya tidak tahu, Mara." "Hah?" Amara memperlihatkan raut wajah mengejek. "Kami terpisah dan saya tidak tahu di mana Lucky," kata Bunga seraya memejamkan matanya. "Amara, ini jam makan siang. Bisakah kita mengobrol sebentar saja?" "Sorry! Tapi aku sedang sibuk banget. Ada meeting setelah ini dan aku nggak mungkin tetap di sini." Amara mencari alasan untuk menolak. Bunga memperhatikan wajah sahabatnya baik-baik. Ia pun menyadari sesuatu yang aneh. "Kenapa?" tanyanya dengan suara yang lirih. "Apa saya telah melakukan kesalahan?" Amara menekuk kedua sisi alis mata, tepat di tiang hidungnya yang mancung. "Apa yang kamu inginkan, Bunga?" tanyanya dengan suara yang kian tidak bersahabat. Bunga yang sensitif, pura-pura tidak mengerti arti dari tatapan dan nada suara sahabatnya itu. "Sa-saya butuh pekerjaan, Mara." Bunga kembali tertunduk dan menahan kesedihannya. "Tolong saya!" pintanya bersama punggung yang semakin membungkuk. "Aku tidak ingin membantumu, Bunga." Bunga kembali menatap Amara. "Kenapa? Bukankah selama ini kita saling membantu?" tanya Bunga yang sering memberi bantuan kepada Amara, terutama dalam hal menyelesaikan tugas kuliah, termasuk skripsi miliknya. "Apa kamu meragukan saya?" "Tidak!" jawab Amara cepat karena memang bukan itu alasannya. "Tapi semenjak kamu menikah dengan Lucky, persahabatan kita pun berakhir," timpal Amara ketus dan sama sekali tidak memperdulikan kondisi Bunga. "A-apa?" Amara melangkah untuk menjauhi toko sepatu yang ia pimpin. "Iya. Kamu sangat jahat, Bunga. Aku yakin, sejak awal kamu sudah tahu, kalau aku menyukai Lucky." "Tapi, kamu bilang dia seperti sosok kakak yang luar biasa bagimu. Kamu tidak pernah mengatakan bahwa kamu jatuh cinta kepadanya." "Heh." Amara kembali mencemooh Bunga. "Bukankah kamu pernah melihat, saat aku mencium bibir Lucky, ketika kita camping bareng? Tapi kamu pura-pura buta." Bunga memegang tangan kiri sahabatnya yang terus menjauh. "Tidak, bukan begitu. Melainkan saya percaya kepadamu, Amara." Bunga mengatur napasnya dengan baik. "Kamu bilang Lucky seperti seorang kakak dan saya terus mencatat itu di dalam otak dan hati saya. Tidak perduli seberapa besar rasa cemburu itu memukul. Semua karena saya tidak ingin kehilangan kekasih dan juga sahabat." "Oh, kalau begitu kamu lah bidadarinya. Puas?" Amara semakin sinis. "Sekarang, pergi dari sini!" Bunga melipat kedua tangan di depan d**a. "Mara, tolong! Saya menggangtungkan harapan yang besar kepadamu. Setidaknya, bantu lah saya untuk memberikan kehidupan bagi anak ini," bisik Bunga yang sudah tidak kuat lagi. "Kamu hamil?" Bunga mengangguk dan matanya tampak sudah membentuk kolam kecil yang bening. "Ya." "Dan Lucky tidak tahu entah di mana?" "Iya, kamu benar." "Mungkin, itulah yang disebut dengan karma. Rasa sakitku, mungkin lebih besar dari itu. Selamat siang," kata Amara menutup perbincangan, seraya tersenyum puas dengan wajah yang jahat. "Amara ... ." Bunga kecewa dan terluka. Amara menghentikan langkahnya. "Satu lagi, Bunga." Amara menatap wajah Bunga, tanpa memutar tubuhnya. "Tidak ada tempat untuk wanita hamil di kursi mana pun. Coba saja sendiri!" ejeknya sekali lagi. "Heh." Amara terus mencibir, hingga bulir-bulir air mata Bunga meleleh tak tertahankan. "Apa salah dan dosaku, Tuhan?" gumam Bunga dalam tanya. Lalu ia menatap ke lantai dasar, sambil menyelesaikan air matanya. "Sayang ... ," ujarnya lirih, sembari memegang perutnya. Lebih dari 40 menit terdiam dalam genangan air mata, Bunga yang sejak tadi diperhatikan oleh beberapa orang yang lalu lalang, memikirkan mengenai perkataan Amara. Bunga tahu bahwa sahabatnya itu hanya ingin melukai dan menghancurkan harapannya. Tetapi, perkataannya itu juga tidak sepenuhnya salah. Tiba-tiba, ia teringat mengenai sesuatu yang tidak pernah terlintas di otaknya selama ini. Walaupun dipenuhi dengan kesedihan, tetapi ia percaya bahwa rencananya akan bisa membantunya bangkit. "Iya, saya tidak boleh lagi seperti ini! Saya harus melakukan sesuatu untuk tetap hidup!" Bunga yang lembut, ternyata memiliki hati yang kuat. Ia tidak mundur sedikit pun, apalagi putus asa. Baginya, seribu luka yang ia dapatkan saat ini. Sebanding dengan karunia yang Tuhan berikan kepadanya. Bersambung. Apa yang akan Bunga lakukan? Terus ikuti ceritanya yang pahit di awal, tapi manis di akhir. Jangan lupa untuk meninggalkan komentar, tab love, dan follow aku ya, makasih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD