Part 18

3176 Words
Part 18 "Rasa penyesalan tidak berarti bagi si penjahat, kecuali kalau mereka sudah mengalami kejadian buruk yang menimpa pada diri sendiri barulah mereka menyadarinya bahwa karma itu ada." - Salma- . . . Silma dan Salma sudah berada di dalam mobil. Keduanya sama-sama menghembuskan napasnya panjang. "Gila gila, jantung gue cepet banget temponya." Salma menepuk dadanya sebentar, merasakan debaran jantungan yang cepat seperti habis olahraga. "Sama, Sal." Silma mengatur napsnya yang tidak beraturan. "Kita tadi lupa enggak rencanain dulu, jadi begini deh." "Iya sih, duh tadi sebelum ke ruang makan kok gak ada kepikiran rencanan dulu gimana. Gue ngantuk banget." Silma menguap lebar dan matanya terpenjam. "Jangan tidur, ditahan dong. Gue ngantuk banget tapi gue tahan-tahan. Gue gak mau kena hukuman nanti di sekolah." "Kalau ngantuk dihukum kah? Gue cuman disuruh cuci muka dan bisanya sih ada yang keblablasan ke kantin." Silma terkekeh pelan dan membuka matanya meskipun rasanya berat sekali. "Dihukum, suruh berdiri di depan kelas. Rumpi juga begitu hukumannya. Dikit-dikit dihukum, jadi sulit cari masalah di sekolah sana haha." Salma tertawa pelan, sekolahnya SMA ini sangat ketat peraturannya dan rindu mencari cari masalah di sekolah seperti dirinya masih SMP dulu. "Di sekolahku agak longgar sih tapi ya begitu." Silma menundukkan kepalanya, mengingat tidak ada guru yang percaya bahwa sebenarnya banyak murid dari kalangan bawah dibully oleh para murid dari keluarga yang berkuasa di sekolah. Murid-murid dari kalangan bawah itu masuk jalur undangan SMA Louwis atau bisa disebut gratis karena mereka adalah murid-murid pilihan atau murid genius. "Ya begitu gimana Sil?" Salma menaikkan sebelah alisnya dan belum paham maksud ucapan kakaknya. "Eh?" Silma mengerjapkan matanya dan hampir saja keceplosan. Jujur saja bullying yang didapat di sekolah belum waktunya membicarakan ke adiknya dan masih ingin dirinha rahasiakan untuk saat ini. "Itu hukumannya longgar jadi banyak murid nakal meski sekolah gue terkenal paling favorit." Silma meringis di dalam hatinya harus membohongi Salma supaya adiknya tidak marah mengetahui dirinya kerap dibully oleh Silvia dan gengnya. "Murid nakalnya banyak jadi lo harus jaga diri baik-baik dan kalau ada yang berbuat ulah buruk ke lo. Bilang ke gue, gue sikat orangnya satu per satu." "Lo dihukum berat Sal, dapat scors atau dikeluarkan dari sekolah." Silma menatap khawatir ke Salma. "Gue enggak peduli hukuman apapun yang diberikan dari pihak sekolah. Asal gue puas melakukan pembalasan." Salma tersenyum santai dan yakin pada ucapannya sendiri. "Sadis." "Bisa dibilang begitu." "Jangan dong Sal, kasian mereka dan jangan gunakan asal ilmu bela diri yang lo punya. Nanti mereka juga menyesal kok." "Rasa penyesalan tidak berarti bagi si penjahat, kecuali kalau mereka sudah mengalami kejadian buruk yang menimpa pada diri sendiri barulah mereka menyadarinya bahwa karma itu ada." Salma mengulas senyumnya tipis. "Ah iya benar." "Emang selama ini lo sekolah di sana baik-baik saja?" tanya Salma penasaran. "Baik-baik saja kok, gue sudah mulai nyaman." Silma memaksakan bibirnya tersenyum meski ucapannya berbanding jauh dengan kenyataannya. "Baguslah, sudah punya teman kan?" "Sudah." Silma mengangguk cepat. "Cari teman yang banyak, apa-apa biar lebih mudah aja. Jangan lupa pilih teman yang tidak menjerumuskan ke hal-hal negatif." "Pasti itu." Silma mengacungkan jempolnya mantap dan tersenyum lebar. "Oh ya untuk rencana kencan minggu depan, gue udah punya ide nih, " ujar Salma. " Hust, kita gak cuman berdua doang lho. Ada sopir." Silma bersuara pelan seraya menunjuk sopir melalui lirikan matanya. "Eh iya. Jadi di rumah aja ya?" Silma mengangguk samar. ... Salma duduk tenang di hari ini, kabarnya Malvin tidak masuk sekolah dan cukup membuatnya lega tidak ada cowok itu. Salma menompangkan dagunya di atas lipatan tangannya dan mencoba tidur sejenak. Beberapa menit mata terpejam, terdengar suara seseorang memanggilnya berulang kali. "Salma!" "Sal!" "Emhh." Salma menegakkan tubuhnya sembari mengucek kedua matanya pelan. "Apa sih?" Matanya dipaksa terbuka dan melihat Cerry tengah berdiri di sampingnya. "Ada yang manggil lo di luar kelas." "Siapa?" "Temannya Malvin," jawab Cerry berterus terang. " Kenapa temannya dia nyariin gue?" "Enggak tau." Cerry menggeleng. "Haishh." Salma beranjak berdiri dan menggebrak bangkunya hingga menimbulkan bunyi cukup keras di kelas ini. Salma tak memperdulikan teman-teman sekelasnya menggosipinya soal sikapnya yang semena-mena di kelas layaknya kelas sendiri. Cerry di sampingnya ikut kaget dan segera memberikan jalan untuk Salma. Ia juga menyuruh teman-temannya supaya berhenti menggosipi Salma jika tidak ingin terkena masalah dari Salma. Setelah itu Cerry kembali duduk dan sejak Salma menerima dirinya menjadi temannya, Cerry memutuskan duduk di depan bangkunya Salma bersama Cika. Salma tidak seburuk apa yang dibayangkan Cerry dan Cika. Salma sudah berada di luar kelas dab ada tiga cowok tampan di sana tengah menunggunya. "Lo Salma kan? Masih ingat kita?" Darwin, teman Malvin maju lebih dulu sambil tangannya mengangkat sebuah amplop berwarna putih. "Gak usah basa-basi." "Bukan basa-basi mbaknya, kan maksud dia itu memastikan lo itu benar Salma apa enggak. Galak amat deh." Rery menatap sinis ke Salma. "Rery, bisa diem gak lo?" Teman di sebelahnya menepuk punggung Rery, David. Rery pun memilih duduk di koridor sembari menunggu dua temannya itu selesai bicara dengan Salma. Ia tidak suka melihat gadis songong tersebut. Salma berdecak sebal menatap Rery yang sama nyebelinnya seperti Malvin. "Kemarin dia sakit. Gue dititipin surat sama dia buat kasih ke lo." Darwin menyodorkan surat di hadapan Salma. "Terus kenapa ke gue? Kan bisa ke pengabsen." Salma bersedekap d**a dan memandang malas ke amplop yang masih ditangan Darwin. "Lo kan teman sebangkunya, ini sudah jadi tanggung jawab kalau teman sebangku tidak masuk sekolah," balas Darwin seraya menyunggingkan senyumannya lebar. "Bilang ke dia ya, gue gak mau dititipin surat." Salma membalikkan tubuhnya. "Dia lagi sakit, lo masih tega begitu?" tanya Darwin heran pada Salma. "Iya, gue tegaan orangnya." "Yakin tuh?" Ganti David yang bersuara. "Kenapa sih gak orangnya gak temannya suka ganggu gue? Gue nggak mau diganggu sama siapa pun!" Suara Salma makin meninggi dan berlalu pergi dari hadapan mereka. "Kita ini gak ganggu kok, cuman lonya aja yang merasa begitu dan kita tujuan kita di sini juga cuman titip surat. Lo nerima ini kita bakalan pergi, simpel kan?" Namun ucapan Darwin diabaikan Salma. "Galak banget ya," komentar Darwin. "Iya sudah titip ke murid lain aja." "Terus kita ngomong gimana ni sama Malvin? Pasti deh marah-marah." "Biarin, bikin riweh aja tuh bocah." David menghela napasnya kemudian merebut amplop dan diberikan kepada salah satu murid kelas ini yang akan masuk ke kelas. Kemarin malam... "Muka lo juga kenapa babak belur begini?" tanya Darwin heran pada Malvin setelah Malvin selesai minum obat, Darwin menahan Malvin agar tidak tidur lebih dulu sebab ingin mengobati beberapa luka di wajah temannya itu. Sebelumnya Darwin sudah mengambil kotak obat setelah membereskan alat makan Malvin. "Biasa." "Masalah adik angkat lo?" "Please, enggak usah sebut dia. Gue muntap rasanya setiap bahas dia." Malvin mengepalkan tangannya erat dan kejadian tadi kembali teringat. Darwin terdiam dan tidak membahasa hal yang tidak disukai Malvin. "Oh ya, lo besok masuk gak?" tanya Darwin bingung. "Enggak, dua hari absen aja deh." "Lo sudah bilang ke kakek lo?" Malvin menggeleng, jika dia bilang ke kakeknya pasti kakeknya langsung menyuruhnya pulang. "Gue buat surat izin gak masuk aja." Pungkas Malvin. "Oke deh, gue siapin besok." "Tolong titip ke Salma ya." Malvin lagi-lagi tersenyum menyebutkan nama seseorang yang membuat hatinya senang. "Yakin dia mau dititipi surat dari lo? Gue gak maksa dia ya kalau gak mau nerima suratnya." "Ya deh, tapi gue ingin dia." Malvin perlahan memejamkan matanya dan sesekali meringis merasakan luka diwajahnya yang tengah diobati oleh Darwin. ... "Cantik banget." Alfa tersenyum lebar setelah memasangkan bando ke puncuk rambut kekasihnya. "Makasih ya," kata Silma seraya tangannya meraba-raba rambutnya yang terdapat bando di sana. "Iya, Sayang." "Kamu pake behel?" "Tau aja kamu tuh, padahal bening warnanya. Iya, aku pake behel supaya gigiku lebih rapih." "Padahal kalau ada gingsulnya kan tambah manis senyumanmu." Keduanya melangkah beriringan di koridor kelas IPA dan Alfa mengantar Silma lebih dulu ke kelasnya. "Jadi aku gak manis ya kalau gingsulku menghilang nanti?" Alfa memasang muka cemberut. "Haha, enggak kok. Pacarku kan ganteng." Salma melingkarkan tangannya ke pinggang Alfa dan Alfa langsung merangkul pundaknya. "Ah masak sih?" "Fansnya aja banyak. Buat aku cemburu tiap harinya." "Fansku banyak, tapi cuman kamu yang tersangkut dihatiku haha." Alfa tertawa seraya mengapit hidung Silma. "Ihh Alfa." Silma tersenyum malu dan pipinya semburat muncul kemerahan sekilas seperti tomat. Kemesraan mereka berdua tak lepas dari pandangannya beberapa murid yang berada di sepanjang jalan koridor ini bahkan ada yang berbisik-bisik, mengatakan rasa tidam terima bahwa Alfa bisa-bisanya takluk pada Silma yang menurut mereka itu gadis yang tidak populer sama sekali. Tapi Silma bukanlah dirinya dulu yang takut jika Alfa diambil orang justru Silma berusaha mempertahankan hubungannya bersama Alfa. Ia rela konsekuensinya nanti dan yang terpenting Alfa menjadi miliknya. "Enggak nyaman ya rasanya kalau gigi berantakkan begitu?" tanya Silma. "Iya enggak enak aja gitu." "Katanya kalau gigi dibehel rasanya sakit?" "Banget, makanya kutahan. Kamu gak usah, gigimu sudah cantik." "Kamu muji-muji aku terus hari ini." Silma mendongakkan wajahnya menyamping, menatap kekasihnya yang tak berhenti memujinya. "Iya, kamu mah cantiknya kebangetan dan gak ada yang nandingin kamu di sekolah ini." Alfa mengangguk. "Kalau Silvia? Dia juga cantik dan bodynya lebih bagus dibanding aku." Silma mengulum senyumnya. "Kenapa jadi bahas dia? Gak penting," jawab Alfa bernada malas. "Hmm cantikan aku yah?" "Iya sayang." Alfa membelai rambut panjang kekasihnya yang memeluknya dari samping. Sesampainya di kelas, Silma masih betah memegang tangan Alfa dan rasanya masih belum terima kala Alfa berbeda kelas dengannya. Ada rasa takut juga mengingat Alfa sebangku bersama Silvia. "Nanti istirahat, aku yang jemput kamu ya. Jadi kamu gak perlu naik tangga ke sini," ujar Silma. "Enggak sebenarnya Sil, biar aku saja." "Enggak mau, aku ingin gantian aja. Besok kamu deh yang ke sini." "Oke, terserah kamu biar gak ngambek." Alfa mengangguk dan tersenyum. "Eh kok ditahan mulu, emang gak mau masuk kelas?" tanya Alfa heran karena tangannya masih belum dilepas oleh Silma. "Gak mau kamu pergi." Cicit Silma. "Kamu ini, sana masuk gih!" Suruh Alfa pada Silma supaya segera masuk ke kelas. "Ih." Silma mencebikkan bibir sebal lalu masuk ke dalam kelasnya. Alfa memastikan Silma sudah duduk di bangkunya kemudian ia berjalan gontai menuju kelasnya. Setelah sampai di kelas, Silvia sudah menyambutnya dan itu membuat Alfa memutarkan bola matanya malas. Alfa baru saja duduk, Silvia menempel ke tubuhnya bahkan mengecup pipinya tanpa ada rasa malu dilihat oleh beberapa murid di kelas. "Silvia, tolong jangan berlebihan." Alfa mengusap pipinya bekas kecupan dari Silvia. "Berlebihan apanya sih sayang." Silvia mendekap lengannya dan menyenderkan kepalanya dibahu Alfa. "Via, gui ingin belajar." Alfa berusaha melepaskan tangannya dari jeratan Silvia tapi gadis itu terus menempel ke tubuhnya. "Gue kangen kita dulu tau, kenapa lo macari gue aja sih." "Gue sudah bilang berulang kali, gue gak suka sama sifat lo." "Jahat banget sih." "Udah tau jahat kenapa masih nempel sama gue hah!" Alfa membentak Silvia membuat Silvia melepas tangan lelaki itu. "Sadarlah Vi, Alfa itu punya pacar dan lo seharunya hargai pacarnya. Main cium dan peluk aja sih. Lo punya harga diri gak?" Sarkas seseorang yang berada di belakang Alfa, Andrion. "Hargai diri?" beo Bondan lalu tertawa terbahak-bahak bersama Andrion. Dua lelaki itu merasa muak melihat Silvia di sini apalagi sekelas. "Harga diri? Bahkan harga diri kalian itu bisa gue beli ya." Silvia menunjuk dua teman Alfa bergantian. "Pake duit orang tua aja bangga. Apa jangan-jangan lo jual diri?" Tanpa menatap Silvia, Andrion yang tengah memainkan gamenya terus menghina Silvia agar gadis itu bisa diam dan tak mengusik ketenganan Alfa. "Ingat ya, beberapa tubuh lo ada yang oplas upss!" Bondan mendekap bibirnya sendiri. Mata Silvia berkaca-kaca dan bibirnya bergetar mendengar caci makian dari mereka berdua. "Sudah guys, kalian terlalu banget menghinanya." Lerai Alfa saat menyadari Silvia akan menangis. "Alfa, hiks hiks. Mereka jahat sama gue." Silvia memeluk manja dan menangis sejadi-jadinya. Alfa menarik napasnya dan menepuk punggung gadis itu pelan. "Nangis pura-pura aja. Main sinetron gitu, ku menangis membayangkan betapa kejamnya diriku.... "Bondan mulai menyanyi dengan suara fals andalannya. " Iya bener, Ndan. Dijamin deh, lo itu juara pertama waktu audisi." Andrion tak bisa berhenti menertawai kepura-puraan Silvia. "Alfa, temen lo itu kurang ajar banget." Silvia masih betah memeluk Alfa. "Lo bisa gak sih diam? Kalau lo diam, mereka juga bakalan diam dengan sendirinya." Alfa menarik bahu Silvia dan merasa pengap saja didekap sedari tadi oleh gadis itu. "Alfa kok lo bela mereka sih?" "Mereka teman gue." "Oh gitu, tapi suatu saat nanti gue bakalan bikin lo belain gue." Silvia tersenyum penuh arti. ... Bel istirahat sudah berbunyi, Silma bergegas hendak menghampiri kekasihnya di kelasnya yang letaknya di lantai dasar. Silma sedikit berlari ketika kondisi koridor lumayan sepi dan berjalan pelan saat ramai dengan wajahnya yang menunduk. Ada yang sesekali mencibirnya, mereka adalah orang-orang yang tidak terima Silma memiliki hubungan asmara dengan Alfa yang notabenenya most wanted semenjak sekolah di sini. Silma mencoba menguatkan hatinya meski ada rasa tak terima dicibir berulang kali. Namun Silma menahan diri untuk tidak emosi dan mengabaikan mereka. Toh nantinya juga capek-capek sendiri dan tinggal kita yang harus menebalkan telinga agar tak mudah baper mendengar ucapan mereka selagi tidak melewati batasan. Silma juga heran, mengapa mereka bersikap seperti itu kepadanya? Padahal jelas-jelas dirinya tak pernah berbuat onar atau berperilaku buruk di sekolah ini. Ia juga jauh-jauh sekali dari yang namanya murid bermasalah dan cenderung Silma menjadi murid yang lebih banyak diamnya. Teman pun tak usah ditanya berapa, dapat teman hanya satu saja sudah bersyukur sekali bagi Silma sendiri. Gadis berambut panjang dengan bando berwarna hitam pemberian dari Alfa seketika tersenyum lebar setelah sampai di kelas kekasihnya. Bertepatan dengan itu guru baru saja keluar kelas dan suara gemuruh di dalam kelas juga terdengar karena banyak murid yang kesenangan karena sudah waktunya istirahat. "Alfa!" Silma berteriak memanggil Alfa yang tengah mengobrol bersama dua temannya. Di saat berusaha memanggil Alfa, Silma terkesiap dan melangkah sedikit mundur dari ambang pintu tatkala Silvia dan gengnya keluar kelas dengan gaya angkuhnya masing-masing. "Alfa Alfa. Uluh uluh masih pagi sudah romantis aja." Silvia memainkan rambutnya sendiri dan teman-temannya yang berada di belakangnya tertawa bermaksud meledek. "Iya dong, karena Alfa pacar gue." Silma berusaha berani dan sedikit menaikkan dagunya. Tangannya dilipat di depan d**a. "Oh ya?" Silvia tersenyum miring. Silma menarik napa panjang. "Silakan kalau mau pergi, jalan masih luas." Silma mempersilakan Silvia dan gengnya pergi dengan tangannya diarahkan ke jalan sebelahnya. "Berani mengusir gue?" Silvia berkacak pinggang, suaranya terdengar tenang namun ada arti dibaliknya. "Kenapa harus takut? Kita manusia sama-sama makan nasi," ucap Silma tersenyum lembut dan menganggap pembicaraannya bersama Silvia kali ini terasa santai. "Ah iya." Silvia mengangguk beberapa kali dan langkahnya mendekat ke Silma. Silma bingung dan tak bergeming di tempatnya berdiri. Seketika Silma melebarkan matanya dan berteriak keras. Dug' Suara keras berasal dari maki Silma, gadis itu membungkukkan badannya sambil tangannya memegangi kakinya yang baru saja ditendang kuat oleh Silvia. Sontak saja Alfa tersentak kaget mendengar suara teriakan dari ambang pintu kelasnya dan ketika berdiri, ia tak percaya kekasihnya sudah berada di sana. "Silma!" Alfa berlari kecil menghampiri Silma yang meringis kesakitan dan masih memegangi kakinya. Mengetahui Silma tidak sendiri di sini, Alfa menatap nyalang Silvia dan gengnya. "Lo apain Silma hah!" Alfa merangkul dan membantu Silma yang sepertinya lemas dikakinya akibat tendangan yang terlalu kuat. "Cuman ngajak main doang eh dia keburu kesakitan." Silvia tersenyum seraya tangannya menepuk pipi Alfa meski harus terkena tepisan dari lelaki yang disukainya. "Oke deh selesai, bye bye kalian ya. Cepat putusnya eh langgeng emm gak dulu deh." Silvia mencium jauh ke Alfa namun Alfa mengabaikan gadis gila itu dan lebih memilih menatap kekasihnya. "Gadis gila." Umpat Alfa yang merasa geregetan sendiri apalagi melihat luka kemerahan di kaki Silma. "Sakit, Alfa." Silma memegangi tubhh Alfa dan tak kuat rasanya lama-lama berdiri kala salah satu kakinya merasa linu luar biasa sakitnya. "Aku gendong ya, kita ke UKS." Kemudian Alfa menggendong Silma dan mengantarkannya ke UKS supaya secepatnya diobati. Di sisi lain... "Ini gak seberapa, tunggu yang lain," ucap Silvia, merasa sedikit puas setelah menendang kaki Silma. "Keren deh, Vi." "Iya dong, Alfa harus membayar rasa sakit yang gue alami dulu ditinggal olehnya." Silvia menggertakan giginya sehingga berbunyi gesekan. "Bener, Vi. Jangan sampai kendor, terus ganggu Alfa sama pacarnya yang sok-sokkan ke lo." "Heem, gue gak terima atas apa yang Alfa lakuin ke gue dulu. Gue gak mau dia tenang begitu saja setelah menyakiti gue, gue gak terima dia senang-senang di atas penderitaan gue. Gue ingin dia bayar semuanya!" teriak Silvia keras, sampai-sampai para murid yang berlalu lalang ketakutan dan memberikan jalan untuk Silvia bersama gengnya. "Camkan itu!" Silvia meninju ke udara. ... Salma melirik kursi sebelahnya yang kosong disela-sela menyimak guru mata pelajaran pagi ini yang sedang menerangkan materi. Entah mengapa ada yang kurang rasanya padahal hari ini harusnya dirinya bahagia bukan? Tidak ada seseorang yang menganggunya seperti biasanya. "Ah kenapa gue jadi melow begini?" Salma menggeleng dan berusaha sadar kembali. "Mana masih ngantuk mulu." Salma membekap bibirnya dan dibalik tangannya itu tengah menguap lebar. Beberapa jam kemudian, Salma menghela napasnya lega mendengar suara bel istirahat berbunyi nyaring. Dua teman barunya itu mengajaknya dengan semangat menuju ke kantin. Tak lupa menghampiri Cindy terlebih dahulu. "Lesu banget deh lo." Cindy merangkul Salma dan menepuk pundak temannya itu. "Enggak, biasa saja." "Anu si Malvin gak masuk." Tiba-tiba Cika menyeletuk dan Cindy pun paham. "Apaan sih lo!" Salma mendengus sebal. "Ekhem, galau ya gak ada yang ganggu seperti biasanya?" Cindy menaik turunkan alisnya, menggoda Salma. "Berhenti deh kalian begini." Salma merasa kesal akhirnya berjalan mendahului mereka. Ketiga gadis di belakangnya malah ketawa cekikikan. Setiba di kantin, Salma masih memasang muka sebal dan melahap makanan dengan rasa ogah-ogahan. "Oh Malvin lagi sakit ya." Cindy baru saja diberitahu oleh Cika dan Cerry. "Bentar gue mau lihat WA dulu deh." Cindy membuka ponselnya dan mulai melihat tampilan chat di sana. Namun pandangan Cindy tertuju pada status yang baru dipasang beberapa menit yang lalu. "Eh Malvin habis buat status." Ucapan Cindy itu membuat Salma menatapnya heran. "Wah coba gue lihat, nomer gue gak disave soalnya." Cika dan Cerry sama-sama penasaran akhirnya Cindy menunjukkan kepada mereka. Tapi Cindy sempat bertanya pada Salma. "Lo mau lihat gak? Penasaran pasti." Cindy menahan senyumannya. "Gak jelas." Salma memilih menatap ke arah lain. "Kan Salma bisa lihat statusnya Malvin, mereka kan saling save nomer." Cerry menepuk pundak Cindy pelan. "Ah iya ya, gue lupa." Decak Cindy baru ingat. "Mana statusnya? Gue penasaran ini?" "Ini lho." Cindy menekan ikon berbentuk lingkaran dan terdapat nama Malvin di sana. "Sakit gengs, pengen cepat-cepat masuk sekolah sih. Bukan karena gue mendadak rajin tapi mendadak rindu sama seseorang. Hemm sbngku." Cindy membaca status Malvin yang disana menampilkan Malvin tengah berselfi dengan bertelanjang d**a. "Ganteng banget ya si Malvin." "Jangan bilang gitu, nanti ada yang cemburu." Cerry menegur Cika membuat Cika seketika tersenyum lebar mengarah ke Salma yang kebetulan menatapnya. "Eh eh gue salfok sama tulisan ini." Cindy memekik menbuat dua gadis itu melirik ke arah ponselnya lagj. "Apa-apa?" "Itu singkatan." "Iya, bentar gue pikir dulu. " "Itu kepanjangan, sebangku." Cerry langsung paham dan diangguki cepat oleh Cika. "Iya benar tuh." "Ekhem, ada yang sama-sama saling merindu nih." "Cie cie..." "Kalian kenapa sih? Bikin gue risih tau gak?!" Salma beranjak pergi dari kantin. Saat sedang melangkah tanpa tujuan, mendadak memikirkan status Malvin yang baru disebutkan oleh Cindy dan teman-temannya. "Ah enggak enggak, gak boleh baperan!" Salma berteriak kesal. "Gue benci sama Munyuk!" ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD