Part 17

3024 Words
Part 17 Salma pun menunjukkan kepada Malvin sewaktu membatalkan blokiran nomor ponsel lelaki itu diponselnya. Malvin cengengesan lalu menyuruput teh hangatnya dan bersendawa pelan. Nasi pecel dan teh hangatnya telah habis. Malvin beranjak, mencuci kedua tangannya dan dari sana cowok itu menyuruh Salma ikut pergi dari sini. Salma memasang muka jengah sedangkan Malvin mencuri pandang ke arah Salma. "Kita duduk di pinggir jalan sana aja!" Ajak Malvin yang hangmya dibalas anggukan malas oleh Salma. Setelah mendapat tempat bicara empat mata yang dirasa aman-aman saja akhirnya Malvin mulai bercerita. " Ya gue emang tau dari bio lo, gue juga heran. Kenapa kakek sembunyiin bio lo di kantornya karena sebelumnya gue nanya ke guru tapi gak dikasih tau. Ya sudah gue nekat ke ruang kepala sekolah demi nyari bio lo, pas waktu itu gak ada kakek gue dan dalam kondisi pintu tidak terkunci." "Lancang banget sih, itu namanya gak sopan masuk ke ruangan tanpa izin dari si pemiliknya." Sarkas Salma menatap tak suka pada Malvin. "Ah iya gue emang lancang, lagian gue pengen tau aja. Bio lo itu isinya apa." "Lo gak tau kata 'Privasi'? Lo harusnya menghargai privasi orang." Salma berdecak sebal. "Biarin namanya juga penasaran, tenang aja itu bio sudah gue simpan baik di tempat asalnya. Gue gak bawa pulang kok." Malvin mengangkat kedua tangannya. "Tetap namanya privasi, hargai dong!" Salma mulai emosi dan kedua tangannya terkepal kuat. "Lo marah ya?" Malvin meringis merasa Salma kali ini emosinya memuncak. "Kecewa sama sikap lo yang gak bisa menghargai privasi gue, gue aja gak ngusik kehidupan lo." Salma berdiri dan napasnya menggebu-gebu karena merasa sakit hatinya kala privasinya tidak dihargai oleh seseorang. "Gue--" Malvin ikut berdiri dan wajahnya pucat mengetahui bukan saatnya menggoda Salma sebab Salma marah besar terhadap tindakannya yang dianggap tidak sopan dan tidak menghargai privasi gadia tersebut. "Lo gak ingat apa kemarin gue bilang kalau setelah gue lakuin syarat dari lo, lo bakalan menjauh dari gue? Lo lupa hah? Terus ngapain cari-cari masalah dengan mencari bio gue sampai masuk ke ruangan kakek lo." Salma menatap nyalang, seketika Malvin merasa bersalah atas tindakannya. "Maaf, gue telah melewati batasan." Hati Malvin mencelos, ia tidak tau bisa sampai membuat Salma marah besar kepadanya. Salma melengos pergi namun Malvin seger menahannya. "Sal, gue anterin pulang yuk!" "Enggak mau!" Salma menghempaskan tangan Malvin dan mendorong lelaki itu hingga hampir terhuyung ke belakang. "Sal!" "SAL MAAFIN GUE!" Teriak Malvin berulang kali namun tak membuat Salma menghentikan langkah lebarnya. Salma terus melangkahkan kakinya cepat dan ingin segera pulang ke rumah. "Malvin b******k!" umpatnya kesal. Di sisi lain, Malvin masih betah di tempatnya. Tempat mereka berdua tadi duduk sebentar dan berujung salah satu dari mereka pergi menyisahkan rasa menyesal dihati Malvin. Malvin duduk termenung dan tatapannya tertunduk ke bawah. Belum lagi merasakan sekujur tubuhnya yang sakit akibat perlakuan dari seseorang yang dirinya sayangi. Mengingat kejadian rumah saja membuatnya malas pulang padahal malam sudah semakin larut. Ponselnya di letakkan di sebelahnya dalam kondisi menyala tanpa ada suara deringan yang sengaja Malvin senyapkan namun tidak dengan layar ponselnya yang terus menyala menandakan ada beberapa pesan dan telepon dari seseorang berulang kali. "Gue cuman lihat alamat dan hobby di bionya. Gak lebih dari itu, Sal. Gue mau jelasin tapi lo keburu marah. Iya sih, sikap gue lancang banget ke lo. Maaf." Malvin mengusap wajahnya pelan lalu menyandarkan punggung ke kursi panjang yang didudukinya. "Jujur aja setelah ada lo di sisi gue, gue gak pernah merasakan senyum dan tertawa lepas hanya melihat berbagai ekspresi di wajah lo yang lo tunjukkan ke gue." Malvin bersedekap d**a dan membayangkan kebersamaannya bersama Salma yang tak bisa dirinya lupakan. Dipastikan kebersamaannya itu akan dikenang dihatinya. Sejak bertemu Salma, hatinya terasa menghangat. Entah itu perasaan apa tapi Malvin begitu menyukainya. Tak dibayangkan kalau benar ia akan dijauhi oleh Salma. Rasanya hampa hari-harinya tanpa menganggu gadis yang selalu memasang muka jutek kepadanya. Malvin menghembuskan napasnya berat lalu melirik ponselnya dan diraih kembali. Kakek: Cepatlah pulang, Nak Jangan keluyuran malam-malam Besok kamu harus sekolah Malvin: Aku tidak mau Tidak ada yang peduli padaku Kakek: Ada kakekmu Ya sudah kamu ke rumah kakek gih Malvin: Aku ke rumah teman saja Kakek: Asal jangan keluyuran Di rumah saja sama temanmu Malvin: Iya kek Malvin tersenyum miris, hanyalah kakeknya yang selalu peduli padanya. Keluarganya? Ah rasanya malas memikirkan mereka dan suasana hatinya semakin memburuk mengingat perlakuan orang tuanya kepadanya. Kesepian Setiap hari Malvin merasakannya tapi Salma membuat kesepiannya sedikit menghilang akhir-akhir ini. "Salma." Malvin menangkup wajahnya sebentar saat menyebut nama gadis itu yang selalu dibayangkannya setiap harinya ketika suasana hatinya menurun dan merasa lemah tak berdaya di malam hari ini. Malvin mengangkat ponselnya dan diarahkan ke sisi telinganya setelah menekan nama seseorang. "Gue ke rumah lo." ... Silma merasa sangat khawatir pada adiknya sebab firasatnya sedang tidak enak malam ini. Ia menunggu adiknya pulang di teras rumah dan berjalan bolak-balik sambil sesekali menggigit kuku jarinya. "Sal pulanglah, gue gak tenang nih." Silma menarik napasnya, dadanya terasa sesak dan tiba-tiba keluar air matanya tanpa bisa dicegah. "Lo kenapa?" Terlalu memikirkan Salma sampai Silma bisa merasakan apa yang dirasakan Salma malam ini. "Apa gue nyusul saja ya? Eh tapi kan gue gak tau dia di mana. Duhh gimana ini?" "Untung aja bunda sama ayah sudah tidur. Juna lagi main game." "Mana sudah larut malam." Silma melihat jam di layar ponselnya dan berulang kali menghubungi Salma namun tak ada jawaban sama sekali bahkan kondisi internet Salma juga tengah mati atau off. Saking tidak tenangnya karena adiknya tak kunjung pulang ke rumah akhirnya Silma memutuskan berjalan keluar dari area rumahnya tanpa memperdulikan tubuhnya yang sudah menggigil kedinginan. Beberapa langkah dari rumah, Silma melihat adiknya tak jauh dari sini lantas ia berlari ke arah Salma. "Sal!" Panggil Silma dan memegang pundak Salma. "Mata lo merah, lo kenapa? Siapa yang buat lo nangis?" Silma mendongakkan wajah adiknya. Salma langsung memeluk Silma erat dan menangis di dalam pelukan kakaknya. Silma terdiam sambil menepuk punggung adiknya beberapa kali. Adiknya lebih cengeng dibanding dirinya dan sulit menutup rasa kesedihannya kepadanya sedari mereka kecil. Membiarkan adiknya menangis daripada memukul seseorang. ... "Ini minum air putih." Silma masuk ke dalam kamar adiknya. Salma memposisikan tubuhnya duduk dan menerima gelas berisi air putih lalu diteguknya perlahan. "Beneran kan bunda sama ayah sudah tidur?" tanya Salma lagi. "Sudah, lo kenapa pulang-pulang nangis sih?" Silma menepuk puncuk kepala Salma sejenak. "Gue gak suka diusik apalagi sampai menyangkut soal privasi gue." "Karena Malvin?" Salma mengangguk malas. "Ah iya dia kan anak pemilik sekolah dan punya kakek juga jadi kepala sekolah. Emang privasi mana yang diusik sama dia?" tanya Silma penasaran. Salma berpikir terlebih dahulu sebelum menjawab. "Cuman hobby dan alamat rumah gue doang deh. Tadi seingat gue dia cuman nyebut itu saja." Salma mengangguk yakin. "Itu cuman wajar doang kok Sal, gak terlalu melewati batasan juga." "Enggak apanya, alamat rumah gue dan ah iya pekerjaan ayah kita. Dia tau juga." Salma memekik. "Cuman itu doang, biarin aja." "Lo gimana sih? Itu kan yang kita rahasiakan ke semua orang. Sampai kapan pun gue gak mau semura orang tau terutama teman-teman kita di sekolah. Orang-orang cuman deketin kita karena popularitas dan gue gak mau banget dekat sama orang yang munafik." Salma mendengus. "Iya sih, tapi sampai kapan kita sembunyikan ini? Semua juga bakalan tau." "Lo sekarang kok jadi aneh begini? Atau jangan-jangan lo frustasi gak punya teman terus jadiin alat pekerjaan ayah kita biar lo bisa dapat teman banyak karena lo anak yang popuker? Begitu kah?" Tebak Salma dengan nada kesalnya. "Bukan begitu kok, ya namanya hal ditutupi semakin lama terbongkar juga." "Intinya gue gak mau itu terjadi, biarlah menjadi rahasia keluarga kita dan gue nyaman begini saja." "Gue juga." Kalimat berbohong dikeluarkan Silma. Sebenarnya hati kecilnya menginginkan biarlah semua orang tau supaya dirinya mendapat teman banyak melalui popularitas dari ayahnya dan tak peduli banyaknya teman yang munafik kepadanya. Silma ingin menggunakan teman banyak biar bisa melawan Silvia yang sama latar belakang dengannya. "Tapi lo gak hajar dia kan?" Silma malah mengkhawatirkan Malvin juga. "Enggaklah, gue ngapain juga nangis kalau hajar dia." Salma merasa perih dimatanya terlalu lama menangis bahkan jam sudah menunjukkan waktu dini hari. "Besok kita tetap masuk sekolah?" "Mungkin, ini sudah jam dua pagi." Salma melihat jam dinding miliknya. "Ah gue ngantuk." Silma sudah mulai merasa berat matanya. "Bobok sama gue." Tawar Salma pada kakaknya. "Enggak usah. Besok aja ya kasih ide ke gue, lo kayaknya capek dan gak bisa mikir." Silma beranjak berdiri dan mengulum senyumnya. "Oh iya ide kencan ya? Haduh maaf Sil, gue lupa tadi." Salma merasa suasana hatinya memburu hingga lupa janjinya ke kakaknya soal rencana kencan Silma bersama kekasihnya. "Enggak papa, tidur gih." Silma menyelimuti Salma dan menepuk p****t adiknya. "Ihh geli Silma." Salma tertawa. Silma hanya tersenyum lalu kembali ke kamarnya. Sebelum tidur, ia ingin menulis perasaannya dibuku diarynya. Alfa Wajahmu selalu terbayang Kamu bawa perasaanku semakin terbang meninggi Kamu lelaki kedua setelah ayah yang kusayangi Betapa beratnya bersamamu Namun kutetap mempertahankan hubungan kita Kalimat terakhir yang ditulisnya, Silma langsung memejamkan matanya dan teringat Alfa yang bersama Silvia. Sangat besar rasa takut kehilangan Alfa dan itu menghantuinya tiap hari. Mengingat kata Sofi, jikalau Silvia bukanlah orang yang mudah menerima permintaan seseorang tanpa ada maksud tertentu. "Sepertinya ada sesuatu yang sengaja disembunyikan Alfa padaku, terus apa ya?" ... "Ya ampun, Vin. Tubuh lo panas banget dah." Darwin memegang dahi Malvin. Awalnya Malvin mengaku tubuhnya lemas sampai Darwin menjemput Malvin dan membawa temannya itu ke rumahnya. Motor Malvin dibawakan oleh sopir Darwin dan tepat saat itu Darwin sedang keluar rumah menghadiri acara keluarga besarnya dengan kendaraannya yakni mobil dan juga sopir pribadinya. Sepulang dari acara keluarga besarnya, Darwin ditelepon Malvin tiba-tiba dan disuruh menjemputnya. Akhirnya Darwin menjemput Malvin namun temannya mengaku tidak enak badan sehingga tak kuat mengendarai motornya. Darwin memanggil bibirnya dan menyuruh menyiapkan kompres, makanan serta obat-obatan. "Lo demam kayaknya." Darwin mengambil selimutnya lagi karena Malvin kedinginan dan tak lupa mengecilkan suhu AC kamarnya. Wajah Malvin begitu pucat dan merintih kedinginan. Terbaring lemas tak berdaya di kamarnya Darwin. Sebab kamar tamu rumah Darwin sedang direnovasi. "Lagian ya lo itu gak kuat sama hawa dingin, malah coba-coba keluyuran malam-malam." Darwin menggeleng dan bertepatan dengan itu pembantunya datang membawakan sesuai perintahnya. Darwin sudah kenal betul sosok Malvin meski teman barunya di SMA. Tapi sudah banyak waktu mereka berteman akrab bahkan sering main entah nongkrong atau liburan ketika sama-sama ada waktu luang. "Mana pake sewater doang, biasanya lo pake jaket tebal. Bocah satu ini nyusahin." Darwin meremas kain lalu diletakkan perlahan didahi Malvin. Malvin membiarkan Darwin cerewet seperti emak-emak yang sedang memarahi anaknya. "Nanti gue transfer deh, Dok." "Dok dok gundulmu." "Habis ini lo makan terus minum dan dilanjut tidur deh." Lanjut Darwin yang kemudian dia beranjak pergi dari kamarnya. Malvin menghembuskan napasnya perlahan, kepalanya terasa pening dan tubuhnya menggigil kedinginan. Fisiknya terlalu lemah dan mudah demam ketika terkena angin kencang di malam hari. Meskipun sedang mengalami demam yang tidak tinggi, Malvin masih terbayang raut wajah Salma yang kecewa terhadapnya. Rasa bersalah terus bersemayam dihatinya. "Salma maafin gue." Gumamnya sambil menatap layar ponselnya menampilkan profil Salma dikontaknya. Wajah Salma sangat datar ketika selfi tapi malah terkesan manis menurutnya. "Apa gue suka sama dia?" Malvin tidak tau pada perasaannya sendiri padahal awal-awal bertemu dengan Salma, ia tak menyukai gadis itu yang selalu galak kepadanya dan sangat bertolak belakang sifatnya dengan sosok tipe cewek yang disukainya. Mantan-mantannya dulu semuanya memiliki sikap manja, suaranya lembut, suka menggoda balik kepadanya, senyum-senyum malu dan lain sebagainya. "Dia bukan tipe cewek gue tapi dia yang bikin gue tersenyum dan tertawa lepas didekatnya. Argh gue jadi mikirin dia, dia pasti kepedaan. Emm dia marah ke gue jadi gak mungkin bersikap seperti itu. Dia sifatnya cuek, mana mungkin nanggepin gue." Malvin berbicara sendiri dan tersenyum lebar memikirkan Salma yang masih tercetak jelas dikepalanya terutama sikap juteknya yang bikin gemas baginya. Sifat-sifat Salma yang membuatnya semakin penasaran pada gadis itu namun Salma bukan cewek yang mudah didekat dan meluluhkan hatinya saja itu sulit sekali. "Apa yang harus gue lakukan agar dia suka sama gue? Gue rasa gue beneran suka sama dia." Malvin menggigit bibir bagian bawahnya dan tangannya sibuk scroll media sosialnya. Ia mencari media sosial milik Salma tapi sulit sekali menemukannya. "Ekhem, ada yang lagi jatuh cinta?" "Anjirr!" Teriak Malvin terkejut melihat temannya ternyata sudah kembali ke kamar dan duduk di sampingnya. "Salma ya?" Darwin menyengir kuda dan menggoda temannya dengan meninggikan lehernya agae bisa melihat jelas apa yang dilihat Malvin sampai membuat temannya itu bicara sambil tersenyum senang. "Cepet banget sih lo baliknya." Malvin pun duduk sembari meletakkan kain kompresnya di baskom. "Gue ambil meja kecil buat lo makan. Ya cepet dong." Darwin membantu Malvin menggunakn meja kecil untuk makan. "Makan sedikit aja ya gue buat minum obat." "Iya, lo kan sudah makan. Eh btw, beneran kan lo suka sama Salma?" tanya Darwin antusias. "Entah." "Kok gitu jawabannya, nangi nyesel lho." "Enggak ada urusannya sama lo." Malvin hanya melahap makanan sedikit saja. "Yaelah, gue kan penasaran. Jangan mengelak deh, katakan yang sejujurnya saja!" Malvin diam dan mengabaikan temannya yang terus bertanyanya kepadanya. Paham dirinya terabaikan, Darwin menyeletukkan kalimat yang membuat Malvin seketika menoleh ke arahnya. "Aha! Gue ingat sesuatu. Gue tebak, lo lagi kesusahan deketin Salma karena kehadiran lo bagi Salma itu pengganggu suasana hatinya." "Kok lo tau?" Malvin tidak menyangka Darwin bisa menebak apa yang dirasakannya kali ini. "Iya dong, gue pernah diposisi lo soalnya." Darwin tersenyum miring. "Terus?" "Berakhir ditolak lah." "Healah." "Iya karena gue nyesel dulu sih baru tau caranya deketin cewek jutek setelah gue ditolak. Harusnya gue terus deketin dia sih tapi gue menyerah aja. Yang deketin dia banyak soalnya." Darwin menghela napasnya pelan mengingat-ingat masa SMPnya sewaktu mencoba mendekati gadis yang cuek sekali padanya. "Lo emang mudah menyerah." "Ya makanya gue cerita ini biar lo gak mudah menyerah sama kayak gue. Nyesel banget pokoknya hadeh, malah ada cowok lain yang terus gencar deketin dia sampai dia luluh. Intinya deketin cewek cuek itu dengan kesabaran bukan paksaan. Lo pake cara yang mana? Pasti paksaan nih? " " Ya, benar tebakan lo. Gue memaksa agar bisa dekat dengannya." "Cara itu malah bikin dia risih. Lo coba dekatin dia pake cara sabar." "Gue bukan orang sabar, gue juga suka emosian sih." "Ya sudah kalau lo merasa begitu. Lebih baik cari cewek sesuai tipe lo itu." Darwin mengedikkan bahunya acuh. "Emm gue pengen yang lain." "Yang lebih menantang sih menaklukkan cewek cuek tapi tolong ya kalau sudah dapat dihargai, jangan ditinggalkan dan merasa bersyukur dapetin cewek cuek sih. Bener gelagatnya kayak acuh banget tapi dia punya sisi lembut dan perhatian tinggi ke pasangannya." "Kok lo tau sifatnya juga?" "Gue dulu sering memperhatikan si dia memberlakukan begitu manis ke cowoknya." "Apa dia juga galak ke cowoknya?" tanya Malvin yang makin kepo tentang cewek cuek seperti Salma. "Iyalah, sikapnya gak hilang tapi gue pernah denger suaranya yang lembut banget waktu negur gue saat gue melakukan kesalahan kecil asal gak ganggu dia sih. Kesalahan yang rugiin gue doang." "Ah yang bener tuh? Gue aja terus dibentaki sama Salma. Gue cuman maksa dia supaya dia manggil gue lembut tapi ujung-ujunh tetap kasar." "Kan pake cara paksaan, pastinya begitu." "Jadi pake cara kesabaran gue menghadapi Salma?" Malvin ragu melakukannya. "Iya, jangan berjuang setengah-setengah dan harus maksimal juga!" "Terus ada lagi?" Malvin mulai paham walau entah bisa melakukannya atau tidak mungkin itu urusan belakangan. "Ada, banyak juga sih tapi gue rinci deh." "Apa saja itu?" ... Besok paginya... "Kalian berdua kemarin begadang?" tanya Pandu pada si kembar yang berulang menguap lebar di meja makan. "Iya," jawab Salma. "Enggak," jawab Silma. Sadar jawaban berbeda, Salma dan Silma saling pandang. "Hayo yang mana yang bener nih?" tanya Zena yang tengah menatap sarapan pagi untuk keluarganya. "Siapa yang berbohong?" Pandu menatap mereka bersua secara bergantian. Suasana ruang makan mencekam bagi si kembar sendiri dan kali ini mereka tidak sekompak biasanya karena sama-sama dilanda rasa kantuk sekali. "Emm aku yah, Salma benar. Kita begadang semalaman." Salma akan membuka suaranya namun keburu kakaknya yang menjawab dan membenarkan jawabannya tadi. "Terus kamu kenapa berbohong, Silma?" Suara Pandu terdengar tegas dan membuat si kembar menundukkan wajahnya. "Sudah dibilangi berulang kali, jangan begadang tetap saja kalian lakukan. Sekarang kalian mengantuk kan? Masih muda itu dijaga pola tidurnya!" "Iya, Ayah. Maafkan kita, kita salah dan berusaha tidak akan mengulangi lagi," jawab Silma disusul oleh Salma juga. "Pantesan tadi dibangunkan susah sekali, ternyata kalian begadang malam kemarin ya." Zena menghela napasnya seraya duduk di tempatnya. "Tidur jam berapa kalian? Jawab jujur!" Zena menatap menyelidik pada dua putri cantiknya tersebut. "Jam dua pagi." "Astaga, kalian ngapain kok bisa tidur jam segitu?" tanya Zena yang kaget putrinya tidur di waktu dini hari. "Kita sulit tidur, Bun," balas Silma. "Alasan." Juna mencibir namun dipelototi Zena untuk tidak ikut campur. "Uang saku kalian dikurangi selama dua bulan ini." "Iya, Ayah." Tidak seperti Juna yang merengek ketika mendapat hukuman pengurangan uang saku dari Pandu. Si kembar langsung menyetujuinya karena merasa bersalah dan pantas dihukum. Itu adalah hukuman terkesan ringan namun Pandu lebih memilih hukuman pengurangan uang saku dibanding yang lain. "Sarapan gih, mumpung makanannya masih hangat." Akhirnya mereka semua sarapan pagi dengan hikmad. Selesai sarapan pagi, Zena menghampiri Salma yang tengah menali sepasang sepatunya di ruang tamu. "Salma." Panggil Zena pada putrinya itu. "Iya, Bun?" Salma pun mendongakkan wajahnya, menatap bundanya yang tiba-tiba menghampirinya. "Mata kamu kok bengkak? Kamu habis menangis semalaman ya?" Zena mengamati putrinya sedari tadi. "Emm iya." "Siapa yang membuatmu menangis?" "Itu, Bun---" "Salma habis nonton film sama Silma kemarin, Bun." Silma datang dan menjawab cepat pertanyaan dari bundanya. Menyelamatkan adiknya yang gelagapan. "Salma kan gak suka film melow-melow begitu." Dahi Zena berkerut bingung. "Iya, Bun. Aku yang paksa dia buat ikutan nonton film, kan gak asyik nonton sendirian." Silma terkekeh pelan meski merasa bersalah harus berbohong kepada orang tuanya lagi. "Kamu ini jangan suka paksa adiknya dong, kasian gitu kayaknya nangis kejer deh." Zena mulai menyisir rambut Salma dan menguncirnya sampai rapih. "Hehe lucu bun, gemes." Silma mencubiti pipi adiknya membuat Salma mendengus sebal. "Sudah-sudah tanganmu itu nanti bunda cubit juga!" Peringat Zena pada Silma yang senang sekali membuat Salma marah. "Oke, kita berangkat ya bun." Pamit si kembar kepada Zena setelah Zena mengurus keperluan mereka. "Iya, Nak. Hati-hati ya!" Zena mengangguk dan tersenyum menatap si kembar tengah mencium tangannya. Terakhir, Zena mencium pipi Silma dan Salma bergantian. ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD