Part 19

3208 Words
Semoga hari esok, hari yang lebih baik dari sebelumnya -Silma- Part 19 "Gue kayaknya salah deh pilih sekolah, di sini peraturan sekolah ketat banget padahal pengen sesekali cari masalah." Salma terus berjalan dan matabya menyapu ke sekitar koridor. Namun tak sengaja mendengar nama seseorang yang dibencinya dipanggil dengan nada semangat bahkan namanya juga ikut disebutkan. Tentu Salma bingung dan menatap kemana asal suara tersebut. "Mereka kan temannya si munyuk?" Salma menyipitkan matanya begitu mengetahui tiga cowok tengah duduk santai di koridor sana lebih tepatnya di persimpangan jalan. "Woyy Malvin ngorok mulu!" Mereka bertiga berteriak begitu keras. "Badan gue gak enak." "Dicariin sama cewek lo." "Kalian bohong pasti!" "Beneran." Mereka bertiga melirik sekilas ke arah Salma. Tanpa disadari oleh Salma, mereka sengaja mengeraskan suaranya supaya menarik perhatian gadis yang tengah disukai temannya yang tidak masuk sekolah karena sakit demam. "Siapa? Dia kah?" Dari seberang sana, Malvin yang tadinya rebahan kini duduk dengan menyederkan punggungnya ke kepala kasur. "Salma." Salma menyipitkan matanya menatap mereka bertiga dari kejauhan namun suara mereka sangat terdengar begitu jelas. Ia kembali berjalan pelan sampai berhenti lagi ketika berada di dekat mereka hanya berjarak beberapa meter saja. "Kalian ngomongin gue kan?" Salma masih berdiri dan menyenderkan tubuhnya belakang di dinding serta kakinya dinaikan ke tempat duduk koridor. "Kenapa? Masalah?" Rery beranjak berdiri disusul yang lain. "Masalah lah, gue gak nyaman dengernya apalagi kalian sengaja keras-kerasin suara. Cari perhatian ke gue kan? Sama kayak temen lo itu," ujar Salma, bersuara ketus. "Emang," jawab Darwin, menahan senyumnya. "Berhenti sangkut pautin gue sama temen lo, gue gak ada hubungannya sama dia dan gue males ya jadi pusat perhatian orang-orang hanya karwna embel-embel Malvin di belakang gue." Pinta Salma kepada mereka bertiga. "Gue gak sangkut pautin lo sama teman gue sih cuman si Malvin tidur mulu, jadi gue bangunin pake sebut nama lo nah jadi bangun kan sekarang. Dia malas sarapan juga, mana badannya lemes mulu kata nyokap gue." Darwin menunjukkan ponselnya yang masih menyala video callnya bersama Malvin. Salma terkesiap menatap Malvin yang tengah bertelanjang d**a dan wajahnya yang nampak pucat. "Salma!" teriak Malvin sektika ponsel Darwin mengarah ke Salma. "Sal, Halo!" Seperti anak kecil, Malvin melambaikan tangannya ke arah kamera dan tersenyum sumringah menatap wajah sebalnya Salma. "Ihh singkirin!" Salma berdecak dan mengarahkan ponsel itu ke si empunya. "Kan kan dia itu suka sama lo, buktinya langsung semangat lihat lo." Darwin tersenyum miring begitu juga dengan yang lain. "Bulshit!" Salma melengos pergi meninggalkan mereka bertiga di tempat. "Malvin jilat ludahnya sendiri." Darwin mematikan video call bersama Malvin tadi secara sepihak. "Haha iya tuh, dia malah suka sama itu cewek." Rery tertawa. "Semangat banget dia cuman kamera mengarah ke Salma." Sambung David. "Orang lagi jatuh cinta emang begini ya, bawaannya seneng mulu hanya lihat wajah orang yang disukainya. Tapi heran saja sih, bisa-bisanya Malvin suka sama cewek yang jauh sekali sama tipenya dulu." Rery menggosok dagunya. "Dapetin cewek cuek lebih menantang dan gak mudah. Mungkin Malvin ingin beda dari yang dulu," kata David. "Gue tebak sih, Malvin bakalan susah meluluhkan Salma yang hatinya sekeras batu. Ya kalau Malvin betah, bakalan bisa dapetin Salma. Gue dulu gak kuat soalnya jadi mundur deh dapetin cewek yang sifatnya hampir sama seperti Salma." "Lo juga kasih tips ke Malvin?" "Sudah, dia terlalu semangat buat masuk sekolah besok lusa." ... Salma berjalan gontai menuju mobil jemputannya dan pintu mobil terbuka otomatis seketika Salma sudah berdiri di depan sana. Gadis itu masuk ke dalam mobil dan sedari tadi memasang muka betenya. Hari ini begitu menjengkelkan, teman-temannya begitu senang menggodanya padahal harusnya waktunya merasa tenang tanpa kehadiran lelaki itu bukan? Eh ternyata tak sesuai ekspetasinya. Setelah duduk, Salma malah menunduk dengan kedua tangannua meremas roknya. Menahan rasa emosinya yang kian memuncak, rasanya ingin menghilang dari bumi dan hidup sendirian di planet mars. Eh? Salma menggelengkan kepalanya dan perlahan mobilnya berjalan dengan laju sedang. "Sal, lo gak papa kan?" tanya Silma, memandang adiknya heran. "Dia gak masuk aja tetep bikin gue kesal," jawab Salma sejujurnya. "Malvin? Adik gue mau punya pacar nih." Silma terkekeh pelan dan tangannya membelai rambut Salma yang baru saja kuncirnya dilepas. "Sil." Salma melirik tajam ke kakaknya. Silma tersenyum, dibalik merasa biasa saja sebenarnya ada lagi yang sengaja disembunyikan yaitu kakinya yang ditendang kuat oleh Silvia dan sekuat tenaganya Silma menahan agar air matanya tidak jatuh di depan Salma. Ia tak bisa seperti adiknya yang bisa mengeluarkan unek-uneknya, memedam sendiri adalah jalannya agar adiknya tidak marah kepada Silvia dan gengnya. Silma tidak mau adiknya bermasalah nantinya. Ketika sudah sampai ke rumah, mereka berdua kompak keluar dari mobil dan Salma terkejut mendengar kakaknya merintih sakit bahkan hampir terjatuh kalau saja tangannya tidak memegangi badan mobil. Salma segera ke sisi kiri dan menarik tubuh kakaknya lalu didekap kuat. "Sil, kaki lo!" Salma memekik tatkala baru mengetahui salah satu kaki kakaknya bagian tulang kering memerah dan ada sedikit warna kebiruan. "Enggak papa kok, Sal." "Enggak papa gimana maksud lo? Jelas-jelas kayak gitu warnanya, habis kena apa sih?" Salma agak meninggikan suaranya karena saking khawatirnya melihat kondisi kaki Silma yang jauh dikata baik. "Jatuh, gue ceroboh tadi." Silma merasa bersalah dan terpaksa mengatakan kebohongan kepada Salma. "Haishh kenapa ceroboh sih? Bikin panik aja!" Salma pun membantu kakaknya berjalan. Saat memasuko rumah mereka, Juna menatap heran kepada dua kakaknya yang rangkulan. "Kaki Mbak Silma napa tuh?" Juna tengah mengunyah makanan dan tak sengaja menatap kondisi kaki Silma. "Jatuh." "Ouh." Juna hanya mengangguk saja lalu pergi dari hadapan mereka. "Cuman nanya doang, bantu enggak." Salma menyindiri adiknya sedangkan Juna merasa santai saja dan keluar dari rumah untuk pergi bermain. Malam harinya, kaki Silma diobati oleh Zena setelah makan malam. Silma makan malam di kamarnya ditemani Salma meski Salma juga awalnya disuruh Silma untuk ikut makan malam bersama orang tua mereka. Namun Salma kekeuh ingin menemani Silma karena makan sendirian menurutnya tidak enak. "Kamu itu lho kok bisa-bisanya ceroboh sampai jatuh dari tangga, untung aja kepalamu tidak kenapa-napa. Tapi kalau ada gejala lain, diperiksa ke dokter ya. Bunda khawatir banget," kata Zena yang selesai mengompres kaki anaknya dengan es. "Dingin, Bun." Silma merintih. "Iya, besok dikompres lagi pake es terus besoknya lagi dikompres air hangat. Semoga segera sembuh." Zena memeluk Silma sebentar. "Semoga saja secepatnya." "Amin, besok gak sekolah?" tanya Zena. "Emm gak masuk dulu deh, Bun. Sakit banget." "Baiklah, bunda siapin surat izin kalau begitu." Zena beranjak berdiri dan membereskan baskom serta kain yang tadi digunakan mengompres memar di kaki Silma. "Terima kasih, Bun." Silma menyunggingkan senyumnya lebar menatap bundanya yang merawatnya meski raut wajah Zena nampak kelelahan sehabis pulang kerja. "Sama-sama." Zena tersenyum lalu keluar dari kamar Silma. Tak berselang lama, Salma masuk ke kamar Silma dan duduk di samping kakaknya di atas kasur. "Masih sakit kah?" tanya Salma penasaran. "Sakitnya campur dingin," balas Silma. "Kata bunda, besok gak masuk sekolah?" "Iya, masih sakit Sal." Silma merengek manja dan mendusel ke adiknya. "Ah gak mau! Risih Silma!" Salma menjauhkan tangannya kakaknya yang suka bergelayut manja dilengannya. "Kakaknya sakit gini harusnya dimanjain." "Manja-manja sama pacar lo aja deh." Salma yang sudah merasa risih sekali akhirnya memilih duduk di sofa single tak jauh dari tempat tidur Silma. "Eh Sal, ingat gak tadi pagi kita bicara apa?" Silma mencoba mengingatkan janji Salma tadi pagi. "Ah iya gue baru ingat." Salma langsung duduk tegap dan memikirkan sesuatu. "Idenya apa nih?" tanya Silma yang sudah penasaran sekali. "Jadi gini, biar orang tua kita enggak tau mending kita berdua sama-sama keluar dan izin main gitu. Gimana?" "Gitu doang?" "Iyalah, coba kalau lo izin keluar sendiri pasti dicuragai sama bunda dan ayah. Emang mau dikasih ribuan pertanyaan sampai lo bener-bener jawab jujur? Enggak kan?" tanya Salma lagi. "Enggak mau lah, tapi masak lo ikit kencan gue?" "Hihh ya enggak dong Sil, kita nanti pisah juga di jalan. Makanya sekarang tentuin tuh lo ketemuan di mana sama pacar lo nah sebelum lo mau ketemu si dia, gue pergi entah kemana deh. Gue juga gak mau kali jadi obat nyamuk." Salma mencebikkan bibirnya sebal. "Eh kirain mau ikut gue kencan haha." "Ngapain? Kayak gak ada tempat gue pergi aja. Mungkin gue mau ngajak Cindy deh nongkrong kan kita keluarnya waktu malam minggu." Salma menghela napasnya pelan. "Kenapa gak ngajak Malvin aja? Kita bisa couplean yipii!" Silma bertepuk tangan dan kegirangan membayangkan itu terjadi. "Lo bahas munyuk, gue keluar aja deh." Salma beranjak berdiri. "Uluh uluh mulai ngambek adik kecilku." Setelah keluar dari kamar Silma. Tiba-tiba pikiran Salma tertuju pada luka memar di kaki Silma. Entah mengapa dirinya merasakan kejanggalan dan dari kemarin-kemarin pula kakaknya selalu mengaku ceroboh di sekolah. Pikirannya mulai mengarah ke hal negatif namun Salma berusaha mengenyahkan pikirannya tersebut. "Mbak Salma kok melamun di situ?" tanya Juna heran saat melintas di depan Salma, kakaknya berdiri di depan pintu kamar saudara kembarnya. "Eh enggak apa-apa." Salma sadar dan menghampiri adiknya. Tangannya terulur meminta toples yang tengah dibawa Juna. "Ini punya gue kan?" Juna menggeleng dan berusaha menyembunyikan toples berisikan cemilannya. "Heh ayo ngaku! Gue hajar lo ya!" "Enggak!" Juna memilih kabur dan berlari kencang sekuat tenaganya. "Juna! Dasar maling!" Salma yang merasa capek, tidak mengejar adiknya yang kabur. "Bener-bener punya adik gak ada akhlak!" Geram Salma dan mulai melangkah menuju kamarnya sendiri. ... Esoknya... Salma berangkat sekolah sendirian di kursi penumpang, Silma memutuskan tidak masuk sekolah karena kakinya tak kuat berjalan lebih lama. Hari ini pula, sosok lelaki yang tiap harinya selalu membuatnya kesal masih tidak masuk dan katanya tubuhnya belum turun panasnya. Anehnya, Salma merasa lelaki itu saat ini duduk di sebelahnya bahkan ia enggan menyentuh kursi Malvin yang biasa diduduki apalagi sisi mejanya. Sesekali pula Salma melirik bangku sebelahnya, ada bayangan lelaki itu tersenyum ceria sewaktu menggodanya sampai membuatnya marah tidak jelas dan berakhir ditegur guru karena suka berteriak. "Argh kenapa jadi mikirin dia sih? Gue malah seneng dia hilang gitu aja dari muka bumi ini." Salma tidak bisa konsentrasi mengerjakan tugas mata pelajaran jam ini. Saat istirahat pula di kantin, Salma sudah tidak lagi digoda oleh teman-temannya meski ada yang sesekali menyeletuk menyebut nama Malvin ketika mereka semua sedang mengobrol. Salma menjadi tim menyimak saja sambil makan jajannya. Namun tiba-tiba ada tiga orang yang berada tak jauh dari bangku kantin yang di tempati para gadis tersebut. Mereka ialah teman Malvin dan tengah melakukan video call bersama seseorang. "Malvin Malvin bangun woy udah siang, tidur mulu." Salah satu dari mereka sengaja meninggikan suaranya dan ada yang melirik ke arah Salma yang bertepatan juga Salma menatapnya. "Gue pusing anjim." Suara serak khas orang bangun tidur juga Salma mendengarnya. "Sal, mereka video call sama Malvin." Cindy menyenggol lengan Salma yang duduk di sebelahnya. "Bodo amat." Salma meraih ponselnya dan mulai scroll tak jelas. Ia berusaha mengabaikan tapi suara mereka tetap terdengar jelas dari sini. Cerry dan Cika malah asyik memuji tiga cowok teman Malvin. Mereka berdua sangat semangat membicarakan cowok tampan dan terkenal di sekolah ini. Tapi mereka sering diabaikan dan memilih sama-sama menyukai dalam diam saja. "Kayaknya meteka sengaja bersura keras deh." Bisik Cindy di sisi telinga Salma. "Dari kemarin juga begitu, gue sudah tau." "Kok lo gak cerita sih." Cindy menepuk pundak Salma. "Gak penting banget diceritain." Salma menyesap kopi s**u hangatnya. "Ih kan gue penasaran." Cindy merajuk namun diabaikan oleh Salma. "Malvin, lo besok masuk sekolah kan?" tanya Darwin seraya melirik Salma yang pura-pura acuh tapi jauh dari lubuk hatinya juga penasaran sebenarnya. "Iya, gue masuk sekolah. Gue udah kangen berat sama dia." Malvin terkekeh dari seberang sana. Salma mengembungkan pipinya dan menyembunyikan wajahnya di antara lipatan tangannya di atas meja. "Si dia yang huruf depannya S kan?" Rery nampaknya memancing temannya untuk mengatakan nama seseorang bukan sebutan 'dia' saja. "Sudah tau ngapain pake nanya segala." Suara Malvin terdengar makin rendah, mungkin lelaki itu merasa malu. Cerry, Cika dan Cindy mengucapkan nama Salma tanpa suara. Salma mendengus memperhatikan sikap teman-temannya yang juga ikut-ikutan seperti tiga cowok di sana. "Terus gitu sampai puas," ucap Salma yang lama-lama kebal juga digoda teman-temannya. "Yang belakangnya hurufnya A kan?" Darwin terus memancing temannya. Salma dan teman-temannya masih mendengar meski Salma mengelak, tak membuat dirinya tidak mendengarkan suara para lelaki di sana. "Kalian diam deh, kalian di kantin kan?" tanya Malvin bingung. "Iya," jawab Rery. "Emang ada dia juga di sana?" Malvin berharap sekali. "Ada, makanya katakan namanya biar dia juga tau dan merasa senang denger suara lo sebut namanya!" Sahut David. "Salma." Sontak Cindy, Cerry dan Cika berteriak heboh serta bersorak senang mendengar nama Salma disebut Malvin di telepon. Salma merasa hawa panas menyergap tubuhnya dan bulu kuduknya naik membuatnya mengusap lengannya bergantian. "Setan!" umpatnya. ... "Cewek lo gak masuk?" Silvia menghampiri Alfa yang berada di kantin sendirian. Silvia juga sendiri tanpa ditemani teman-temannya. "Lo tendang kakinya kemarin, sikap lo buruk banget dan tidak secantik muka lo." Alfa merasa geram atas kelakuan Silvia kepada Silma kemarin dan Alfa meruntuki dirinya yang bisa-bisa tidak merasakan kehadiran Silma di kelasnya, malah sibuk asyik mengobrol bersama teman-temannya. "Utu utu gue cantik ya? Haduh baper deh dipuji sama lo, Sayangku. Maaf ya kemarin nendang kakinya, habisnya dia bikin gue marah kalau saja dia diam doang dan gak nanggepin gue, pastinya gue gak berbuat seperti itu. Terakhir, lo jangan menghindari gue dan gue bisa berbuat lebih kejam lagi ke cewek lo," ucap Silvia santai dan meraih tangan Alfa lalu diciumnya. Di sisi lain, Alfa merasa bersalah dan belum siap kedepannya membohongi Silma walau itu demi kekasihmya supaya baik-baik saja di sekolah. 'Silma, maafin gue. Gue pencundang'--batin Alfa. "Gimana, Alfaku? Mau kan di sisi gue kalau gue butuh apa-apa ke lo?" "Iya tapi gue ada permintaan." Alfa menarik napasnya panjang. "Apa? Kalau soal Silma, jelas dia nggak akan gue ganggu atau perlu teman? Eh Silma kan sudah punya teman tuh si cupu, tetangga lo alias pesuruh gue." Silvia menggengam tangan Alfa dan diletakkan punggung tangan lelaki itu dipipinya. 'Gue kangen begini haha'--ucap Silvia dalam hatinya. "Kasih gue waktu dua minggu baru gue akan turuti kemauan lo," Pinta Alfa pada Silvia. "Lama banget sih, kan gue gak sabar mesra-mesraan sama lo begini." Silvia memeluk Alfa dari samping dan para murid di sekitar kantin tidak ada yang berada menatap ke Silvia. Takut tertangkap basah dan berakhir menjadi sasaran empuk Silvia di sekolah. 'Anak-anak miskin yang menyedihkan'--pikir Silvia dan tertawa di dalam hatinya, melihat mereka ketakutan bahkan ada yang tidak jadi ke kantin. "Tolong lah, Via. Kasih gue waktu, gue baru aja pacaran sama Silma." Alfa sebenarnya merasa tak nyaman dipeluk Silvia. Tubuh Silvia yang berisi dan pakaiannya pula sangat ketat memperlihatkan lekuk tubuhnya yang sengaja dipamerkan. "Dan selama itu tolong jangan gangguin Silma. Gue mohon banget." Alfa tentu saja mengkhawatirkan kekasihnya dan berharap setelah ini Silma merasa aman di sekolah. "Banyak banget pemintaannya sih." "Gue bakal bales itu, gue turutin ucapan lo." "Kalau gitu ke hotel mau? Anu bareng di sana." Silvia membelai pipi Alfa dengan jari jemarinya. Alfa terdiam dan wajahnya pucat pasi mendengar ucapan Silvia yang terus menggelitik perut dan memusingkan kepalanya. "Pucat langsung nih haha." Silvia tertawa terbahak-bahak menatap perubahan ekspresi di wajah Alfa. "Sil, pergilah! Gue ingin sendiri." Alfa melepaskan tangan Silvia yang memegangi tangannya lalu ia meneguk minumannya hingga habis tak tersisa. "Padahal dulu kita---" "Sil, berhentilah. Gue gak mau ingat-ingat itu lagi." Suara Alfa merendah. Ia tak mau mengingat hal-hal buruk yang dilakukannya di masa lalu bersama para mantannya. "Baiklah, gue pergi kalau gitu." Silvia berdiri tapi ia tak langsung pergi. Gadis itu menangkup wajah Alfa dan mengecup lembut bibir lelaki itu yang sudah dirindukannya sejak lama. ... Hari yang membosankan Menurut gadis cantik yang tengah duduk termenung sendirian di dalam kamarnya. "Gue jadi kangen Alfa tapi gue gak mau ganggu dia sekolah." Gadis itu ialah Silma yang memutuskan tidak masuk sekolah dikarenakan kakinya sakit. Silma mengusap lembut kakinya yang sudah perlahan sembuh. Sudah lelah pula menangis ketika keluarganya sudah berangkat melakukan aktivitas masing-masing. "Kenapa mereka sangat jahat? Gue aja gak pernah ganggu mereka. Gue cuman ingin tenang tanpa bayang-bayang menakutkan dari mereka terutama Silvia." Silma tersenyum kecut dan meratapi nasibnya di SMA yang tidak sesuai ekspetasinya. Hatinya begitu sakit diperlakukan buruk oleh mereka tapi ia tak bisa mengadu ke siapapun dan memilih bungkam dengan seribu kebohongan terlontar dari mulutnya sebagai alasan. "Apa gue harus nangis lagi?" Silma menyapu air matanya yang terus mengalir deras keluar. Silma menghabiskan waktu sendirinya hanya untuk menangis dan tidak lupa pintu kamarnya wajib dikunci. Takutnya pembantunya mengetahui dirinya menangis lalu mengadu ke orang tuanya. "Perasaan dulu gue gak pernah berbuat buruk ke siapa pun tapi mengapa malah saat ini gue kena bullying? Emang gak ada kerjaan lain apa selain membully orang?" "Sebenarnya gue ingin identitas bunda sama ayah diketahui semua orang biar gue gak begini tapi Salma melarang dan gue gak bisa apa-apa karena kalau kekeuh pun Salma pasti curiga juga sama gue." Silma menganggap identitas orang tuanya terbongkar secepatnya karena bisa dijadikan alat baginya dan tidak lagi yang berani membullynya. Bahkan Silma juga bisa merasakan memiliki banyak teman meski mereka punya maksud tertentu mengajaknya berteman yakni kepopuleran dan hartanya. Silma mendongakkan wajahnya dan menghela napasnya berat, berat seperti hidupnya yang sekarang. Baginya, masa-masa SMP lebih indah dibanding SMA. Kemudian Silma tak sengaja menatap buku diarynya yang sudah lepek karena terkena air waktu itu dirinya disiram oleh Silvia dan gengnya. Mengingat saja membuatnya marah tapi ia tak bisa melakukan apa-apa selain memendam. Meraih buku diarynya dan sudah terdapat pena yang diletakkan dipinggiran buku. Silma mulai menuliskan tentang perasaannya kali hari ini. Tentunya buku diary ini bersifat rahasia dan melarang keras seseorang membukanya. Akan cemas pula jika seseorang mengetahui isi buku ini. 'Perasaan gue hari ini campur aduk. Gue gak bisa bilang ke siapa-siapa seperti kejadian yang kemarin-kemarin, gue lemah dan lebih cengeng dari Salma. Yang bisa gue lakuin cuman meratapi nasib dan memendam perasaan gue sendiri. Gue gak mau orang lain tau karena gue ingin merasa gak ada masalah apa-apa. Entah sampai kapan gue bakal terus begini, rasanya mau marah, nangis, menjerit sekarang. Gue udah lakuin semua keculai menjerit hehe gue takut pembantu gue denger. Gue dari kemarin terus terkena bully ketika gak ada Alfa di samping gue. Itu alasan gue, Alfa. Alasan gue ingin berada di samping lo terus upaya mereka tidak melakukan gue buruk. Maaf terkesan gue itu tergantung sama lo tapi gue mau berlindung ke siapa lagi kalau bukan ke lo? Gue harap suatu saat lo mengerti sendiri kelakuan mereka ke gue. Kemarin, kaki gue ditendang sama Silvia. Sebelumnya Alfa gak denger panggilan dari gue dan sibuk mengobrol sama temannya. Jadinya gur ketemu Silvia sama gengnya dan kaki gue jadi sasaran empuknya setelah rambut gue disiram beberapa kali. Maafin aku juga buat keluargaku, aku sayang kalian jadi aku tidak mau keluargaku ikut campur masalahku. Aku tidak mau menyusahkan mereka semua. Tapi apa mungkin gue bisa begini terus? Gue juga gak tau kedepannya akan seperti apa lagi kejutan yang diberi Silvia ke gue. Gue cuman bisa pasrah dan berdoa semoga hari esok hari yang lebih baik dari sebelumnya. Itu yang selalu ada dipikiran gue. Gue juga mencoba ingat-ingat kembali, apa gue itu pernah melakukan kesalahan di masa lalu? Tapi gue merasa gak pernah.' "Ah capek." Silma merasa lelah berpikir berat soal masa lalunya. "Apa juga yang perlu diingat lagi? Gue gak pernah menanam hal buruk tapi harus mengalami hal buruk sekarang." "Sungguh konyol sekali hidup gue ini. Menyedihkan dan melelahkan." "Entah sampai kapan gue bisa kuat dari bullyan mereka." "Gue juga takut kalau Salma tau apa terjadi sebenernya pada diri gue sendiri. Dia nekatan soalnya." Silma memijit pelipisnya dengan lembut. ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD