Part 27

1232 Words
Author Niwi kasih sedikit dalam satu part itu supaya nanti kalau sudah terkunci, harganya tidak mahal Part 27 Salma berjalan gontai menuju kelasnya dan kurang beberapa langkah sampai. "Pagi, Sal." Sapa seseorang di sampingnya. Lantas Salma menoleh ke samping dan terkejut melihat sosok lelaki itu yang mengedikkan mata sebelahnya ke arahnya. Salma buru-buru kembali fokus ke depan seraya berjalan cepat mendahului Malvin. Di belakangnya, Malvin hanya tersenyum saja memandang sosok gadis yang masih saja tidak menyukai kehadirannya. Di dalam kelas, Seperti biasa Salma langsung terpaku pada ponselnya dan bermain game sebentar. Selang lima menit, Malvin sudah duduk di sampingnya. "Vin!" Panggil temannya yang berada di seberang sebelahnya. "Apa?" tanya Malvin bingung. "Dulu lo SMP suka telat sekarang berubah pesat ya lo. Makin rajin aja." "Iya, gue tobat telat." Malvin mengangguk. "Syukurlah, teruslah begini ya." "Iye." Malvin melirik Salma yang sekarang menidurkan kepalanha di atas lipatan tangan yang digunakan bantalan. "Gue minta maaf dulu bikin lo kesal. Lo mau gak jadi teman gue?" Malvin harap-harap cemas mengajak Salma berbincang. Salma menatapnya dan posisinya masih sama. Dia hanya diam saja dan memejamkan matanya. Malvin melihat itu seketika tersenyum masam, mendapat hati Salma sungguh tidak mudah seperti apa yang dibayangkan dan Malvin menundukkan kepalanya memandang luka di telapak tangannya yang dibalut perban cukup tebal tapi disembunyikan dibalik jaketnya yang sebelumnya lelaki itu melepas jaketnya dari gerbang sekolah. Bel masuk sekolah sudah berbunyi dan seluruh murid di sekolah Leander segera masuk ke dalam kelasnya masing-masing. Guru-guru mulai berjalan keluar dari kantor guru menuju kelas yang sesuai jadwal mata pelajaran yang mereka ajarkan pagi ini. Di kelas 10 IPS 3, Salma dan murid lain sudah menyiapkan mata pelajaran pagi ini. "Pagi anak-anak." Sapa seorang guru sejarah memasuki kelas mereka. "Pagi juga, Bu." "Ayo berdoa dulu lalu berdiri dan menyanyikan lagu Indonesia Raya." Titah Guru sejarah bernama Ninik. Selesai melakukan kewajiban sebelum pelajaran di mulai, Bu Ninik menjelaskan secara rinci dan singkat tentang 'Kehidupan Awal Masyarakat Indonesia'. Setelah menjelaskan semuanya, Bu Ninik memberi tugas untuk merangkum apa yang dijelaskannya baru saja kepada murid-muridnya di kelas ini. Seluruh murid di kelas ini mulai mengerjakan tugas dari Bu Ninik. Namun tidak bagi Malvin, ia menahan rasa linunya saat tangannya memegangi penanya dan tidak lama dijatuhkan ke meja. Padahal tadi Malvin benar-benar serius menyimak Bu Ninik dan tinggal menulis saja karena ia telah menggarisbawahi buku LKS tentang materi hari ini. Malvin bergumam dan menghembuskan napasnya kasar. Ia mencoba lagi tapi tetap tidak bisa dan berujung telapak tangannya sangat linu sekali. "Gue gak bisa pakai tangan kiri," gumam Malvin, memang tadi ia menggarisbawahi menggunakan tangan kiri namun sayangnya menulis sederet kalimat tidak bisa dilakukannya karena ia bukan kidal. Malvin melirik ke Salma dan melihat pekerjaan Salma sudah hampir separuh. Sedangkan dirinya masih kosong kertasnya. Ia bingung harus bagaimana sebab kalau meminta tolong temannya pula ia juga harus bersabar menunggu temannya selesai. "Gue gak bisa," ucapnya tanpa sadar dan Salma dapat mendengar jelas ucapan Malvin. Salma diam-diam menatap Malvin yang sedang memandang sendu ke tangannya. 'Benar, dia terluka karena kemarin nolongin gue'--batin Salma yang baru sadar tangan Malvin diperban tebal padahal kemarin Malvin masih banyak tingkahnya di kantin tanpa luka difisiknya. Salma menghela napasnya pelan, membaca tugasnya yang selesai secata teliti. Lalu ia melirik Malvin lagi yang masih memaksa tangannya menulis. "Gue aja yang ngerjain." Salma meraih buku milik Malvin. "Emm ga--" Malvin terkesiap mengetahui bukunya dibawa oleh Salma. "Apa?" "Tangan lo pasti capek." Malvin melihat tugas Salma yang tulisannya sampai selembar. "Enggak," balas Salma ketus, namun suara ketus yang dilontarkan sekarang sangat berbeda bagi Malvin. Suaranya yang terdengar menggemaskan khas sosok gadis itu. Malvin menahan diri untuk tidak menggodanya yang nantinya bisa membuat gadis itu malah jengkel. Anggap saja ini adalah tingkat pertama menjadi lebih dekat dengan Salma. Salma peduli padanya saja, hatinya terasa menghangat. "Lo gak numpuk buku dulu? Biar dapat nilai plus. Biar buku lo difoto dan dicontek lewat hp." Mata Malvin saat ini tertuju pada Salma yang sedang membantu mengerjakan tugasnya. "Enggak." Malvin mengulum senyumnya dan diam-diam memotret wajah Salma ketika menampilkan raut wajahnya yang serius. "Cantik," ucap Malvin. Salma menoleh, Malvin menggelengkan kepalanya cepat. "Emm maksud gue, tulisan lo cantik dan tangan lo juga." Malvin meringis ditatap sinis oleh Salma dan takut saja gadis itu marah besar kepadanya. 'Gue kira gue yang dipuji, taunya.... '--ucap Salma dalam hati. "Btw, terima kasih ya. Lo sudah bantu gue." "Emm, nanti kita bicara." "Nanti?" Malvin berteriak kencang dan Salma pun menarik telinga lelaki itu. "Kalian berdua keluar kalau berisik di kelas!" Bu Ninik menegur mereka berdua tatkala suaranya yang memekakan telinganya. ... Malvin tersenyum tengil dan sesekali menyeruput es jeruknya. Tentu saja dirinya senang istirahat kali ini duduk berdua bersama Salma. Namun yang membuat Malvin agak kesal adalah Salma menjaga jarak beberapa meter darinya. Mereka berdua berada di belakang sekolah dan Malvin sempat mengusir para siswa dengan memberikan mereka uang satu per satu langsung mereka ngacir dari tempat ini. Semua dilakukan atas permintaan Salma dan Malvin yang merasa dirinya adalah lelaki terbaik untuk Salma pun menurutinya. "Mau bicara apa, Sal?" tanya Malvin penasaran. "Gue mau berterima kasih sama lo. Gak bisa gue bayangin kemarin kalau beneran kena jam dinding itu." Salma memandang lurus ke depan dan kedua kakinya di ayunkan ke depan. "Sama-sama." "Maaf juga." "Iya." "Tangan lo jadi terluka gara-gara gue. Gue paling gak suka sebenarnya nyusahin orang. Lo jadi kesulitan mau ngapa-ngapain." Akhirnya Salma mau menatap Malvin lebih lama dan bukan sekilas seperti biasanya. "Lo gak usah ngerasa bersalah kok, gue emang niat banget nolongin lo." Malvin tersenyum lembut, seketika Salma salah tingkah dan memandang ke arah lain. 'Kalau diam begini, kenapa dia ganteng banget sih?'--pikir Salma. "Salma." 'Hmm." "Sebagai tanda lo terima kasih ke gue, gue ingin ngajak lo berteman." Malvin harap-harap cemas lagi takut ditolak seperti tadi. Salma berpikir sebentar sebelum menjawab, "Bukannya lo niat pengen buat gue jadi suka sama lo terus lo tinggal?" "Enggak." Malvin tertawa pelan. "Enggak apanya?" "Yang ditinggal itu." "Yang jelas dong!" "Gue sih ada niatan bikin lo suka sama gue tapi gue gak maksa kok. Gue emang niat banget pengen mengenal lo lebih dekat." Malvin menggelengkan kepalanya. "Kita aja sebangku kan sudah dekat." Salma mendengus sebal. "Bukan itu maksud gue. Gue pengen kenal lo lebih dalam lagi sih. Tapi awal-awal berteman begini kan enak, gue gak punya temen cewek dan rata-rata mantan gue, musuhan sama gue." "Baiklah." "Lo mau temenan sama gue jadinya?" Malvin tak menyangka harapannya terwujud sekarang. "Hmm." Malvin buru-buru memeluk Salma erat dan Salma reflek memukul lengan Malvin. "Argh sakit sakit." Malvin memegangi tangannya yang habis dipukul Salma. "Main peluk-peluk saja." Salma beranjak berdiri seraya membersihkan debu di bagian belakang rok seragamnya. "Habis jarak kok jauh banget sih kan gue juga pengen deket sama lo." "Berlebihan." "Iya emang." "Gue mau nanya." "Nanya apa zeyeng?" "Lo baca bio gue---" "Itu sumpah gue salah ya gue akui itu salah, maaf." Malvin berdiri di depan Salma dan menjulurkan tangannya di hadapan gadis itu. Bermaksud meminta maaf. "Lo tau apa aja di bio gue?" "Alamat rumah, pekerjaan orang tua dan hobby lo doang," jawab Malvin jujur. "Itu saja?" "Iya." ... "Sil, Silma!" Alfa mengejar langkah Silma yang cepat saat melewati dirinya yang tengah nongkrong bersama teman-temannya di lapangan basket. " Apa sih!" sentak Silma menghempaskan tangan Alfa yang menahannya. "Aku tadi jemput kamu di tempat biasa, kamu kok gak ke sana sih?" tanya Alfa yang memasang raut wajah memelas menatap Silma. "Aku enggak lewat ke sana," jawab Silma berbohong. "Jangan berbohong Sil!" "Lagian kamu juga berbohong ke aku." Mata Silma mulai berkaca-kaca, mendongakkan wajahnya supaya lebih jelas menatap kekasihnya. "Berbohong apa, Sil?" Alfa panik namun mencoba bersikap tenang. Takutnya Silma tau tentang rencananya nanti bersama Silvia sekisar dua minggu lagi. "Aku bukan tipemu." Deg' Alfa menelan ludahnya susah payah dan masih memilih diam. "Harusnya kamu bilang saja kalau dulu kamu suka sama cewek-cewek nakal termasuk Silvia. Tubuhnya yang bagus dan mudah--emm hiks hiks." Silma tak kuat melanjutkan kata-katanya dan menangis. Mereka berdua menjadi tontonan murid-murid yang berada di sekitar lapangan basket. Dari kejauhan sama tampak segerombolan gadis berpakaian ketat tengah asyik menikmati pemandangan yang lebay menurut mereka sambil memakan cemilannya masing-masing. "Aku tidak yakin kamu benar-benar menyukai cewek pendiam kayak aku. Aku tidak bisa percaya sepenuhnya ke kamu, Alfa. Bahkan sampai sekarang, aku dirundung kecemasan kalau nantinya kamu meninggalkanku disaat aku benar-benar sudah nyaman padamu." "Silma, dengarlah. Aku itu sudah berhenti main-main soal pacaran dan aku ini serius sama kamu." Alfa memegang pundak Silma tapi ia juga tidak tau apakah ucapannya itu bisa dilakukan atau tidak kedepannya. "Bohong. Aku enggak percaya." "Beneran sayang." Alfa mengeluarkan suara lembutnya dan membuat Silma sedikit tenang. Tanga lelaki terulur, menghapus jejak-jejak air mata kekasihnya di pipinya. "Percaya sama aku, aku juga akan mempercayaimu." Alfa menunjukkan jari kelingking di depan wajah Silma. Tapi Silma mengabaikannya karena masih dilanda emosi. "Ayo kita ke tempat lain, gak enak disini dilihati orang!" Alfa mengajak Silma di area sepi, dekat parkiran murid. "Pertama kali ini aku merasa cinta dan takut kehilangan seseorang orang. Jangan kamu hancurkan rasa cintaku ini kepadamu, Alfa." "Enggak bakal." Alfa menyenderkan kepala Silma ke bahunya dan membelai lembut rambut panjang kekasihnya. "Janji?" "Iya." "Kamu bilang ke teman-temanmu nanti kalau tipemu memang sudah berubah dan itu aku. Aku yang paling cantik dimatamu," ucap Silma menggebu-gebu. "Iya, Silma." "Sekarang di grub." "Sil, bisa nanti aja?" "Emm aku tau." Silma menundukkan wajahnya dan dadanya makin terasa sesak saja. "Sil maaf." Alfa memegang tangan Silma dan lagi-lagi dihempas kuat oleh gadis itu. "Kalau memang pacaran bikin sedih begini, mending aku pergi aja, Alfa." Silma beranjak berdiri disusul oleh Alfa. "Sil, jangan gitu dong!" teriak Alfa dan masih ingin mempertahankan hubungannya dengan Silma. "Aku butuh waktu sendiri, jangan tahan langkahku!" ucap Silma sebelum pergi meninggalkan Alfa yang masih berdiri mematung di tempat tersebut. Melihat Silma sudah menghilang di persimpangan koridor sana, Alfa berdecak kesal dan mengacak-acak rambutnya sendiri. "Gue sayang sama lo tapi kenapa sih lo gak ngertiin gue dulu, Sil?" Suara Alfa begitu parau dan kembali duduk. "Alfa, Sayang. Haduh jangan sedih gitu dong, aku ikut sedih jadinya." Seorang gadis tertawa cekikikan melihat Alfa yang terpuruk di dekat tempat parkiran murid. "Kenapa sih lo ngikutin gue!" Teriak Alfa kesal melihat Silvia duduk di sebelahnya dan mengalun manja dilengannya. "Lagi marah-marah nih, ulu-ulu sayangku." Silvia mengusap dagu Alfa sekilas. Alfa mengabaikan Silvia dan mencoba menenangkan pikirannya setelah itu nanti masuk ke kelas karena sebentar lagi waktu istirahat di sekolahannya telah habis. "Gimana rasanya pacaran sama cewek manja kurang belaian seperti dia?" Silvia meledek. "Jangan hina dia, Via!" sentak Alfa yang tidak terima Silma dihina. "Padahal mengalah itu bukan diri lo Alfa, lo lempeng amat sih sama Silma, hm? Enak lah sama gue dari dulu kan?" Silvia menggenggam telapak tangan Alfa meski genggamannya tidak dibalas oleh lelaki itu. Alfa diam saja dan merasa percuma membentak Silvia. "Apa sih yang lo cari di dirinya? Masih sekolah aja jangan sok serius pacaran, kita kan masih main-main." "Yakin bisa serius? Lama-lama lo juga tergoda sama gue. Lo dari dulu tukang manja ke gue dan ndusel-ndusel ke tubuh gue. Terus apa lagi ya? Apa perlu aku sebut apa yang sudah kita lakukan bersama sewakti masih pacaran rh sekarang juga pacaran kok." "Gue udah bilang ke lo, Via. Dua minggu lagi. Sekarang jangan gue maupun hubungan gue sama Silma. Gue sayang sama dia asal lo tau." Alfa melepas genggaman dari Silvia. Bukan Silvia namanya jika diam saja berada di dekat Alfa. Gadis itu memeluk Alfa dari samping dan tangan Alfa diletakkan dipundaknya. Seakan-akan Alfa merangkulnya mesra. "Iya gue tau, tau cuman bohongan doang dari mulut lo yang kelewat manis. Hmm dua minggu rasanya lama sekali, kamu gak sabar kah berduaan bareng aku lagi kayak dulu? Ckck sampai dihitung sendiri sama kamu." Silvia memainkan kancing atas seragam Alfa. "Sil, ini di sekolah dan jaga sikap lo." Alfa memegang tangan Silvia saat gadis itu mulai membuka kancing seragamnya. "Ya sudah nanti pulang sekolah ke hotel." "Stress ya lo! Gue udah gak mau ingat-ingat mimpi buruk itu!" Alfa menatap Silvia nyalang. "Kok mimpi buruk? Itu masa indah kita bersenang-senang bersama lho." Silvia mencebikkan bibirnya sebal. "Sudah-sudah kepala gue pusing denger suara lo yang makin ngelatur kemana-mana. Itu sudah yang lalu bagi dan sampai kapan pun gue gak berharap ke lo. Dasar pengemis cinta!" pungkas Alfa dan berlalu pergi dari sini. "Pengemis cinta? Wow gue suka sebutan dari lo." Silvia mengepalkan kedua tangannya kuat hingga merasakan tajamnya kuku dijari-jarinya menusuk ke kulit telapak tangannya. Teringat masa lalu yang buruk, Alfa telah membuangnya seenaknya setelah lelaki itu sudah bosan dengannya. Alfa memainkan cinta tulusnya dan bermain di atas rasa sakit hatinya. ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD