Part 28

2008 Words
Terima kasih yang masih membaca cerita ini dan akan banyak pelajaran yang kalian dapatkan setelah cerita ini tamat ^^ Part 28 Gue cuman anak beruntung yang dilahirkan oleh keluarga yang berkecukupan dan dari situ gue gak mau melebih-lebihkan harta keluarga gue. Gue masih jadi beban orang tua dan gak ada yang perlu dibanggain - Salma- "Hiks hiks." Suara isak tangis seseorang menggema di dalam kamar mandi. Melampiaskan semuanya dengan menangis adalah pilihannya jika dirasa menahan itu sudah tidak mampu lagi. Di kamar mandi suasana sepi karena bel masuk sudah berbunyi sedari tadi namun gadis itu tidak kunjung masuk ke dalam kelas dan memilih menyendiri di sini. "Gue cinta banget sama lo, Alfa. Lo berbicara tentang cewek seksi di grub bersama teman-teman lo dan gue dihina teman-teman lo karena gue gak cocok sama lo. Tapi lo malah gak belain gue dan ganti topik pembicaraan yang lain. Harusnya lo tegur mereka, ucapan mereka yang menghina tubuh gue itu menyakiti gue sekali. Apalagi gue itu dibanding-bandingkan sama Silvia. Jelas gue beda, gue sadar Silvia lebih cantik dari gue dan setiap orang itu tidak sama. Jangan hina tubuh gue, gue tau gue pendek, kulit gelap, perut agak buncit, muka tidak semulus Silvia." Dialah Silma yang tengah melampiaskan emosinya di kamar mandi dan tangannya memukuli wastafel. Mengabaikan tangannya yang sudah memerah dan rasa linunya tak seberapa dengan rasa yang bercokol di dalam hatinya. Inikah yang namanya cinta? Tak ada yang menyukainya semenjak menjadi pacar Alfa bahkan adiknya sudah menyuruhnya meninggalkan lelaki itu. Apa benar ucapan adiknya? Jikalau pacaran itu membuat semua hal menjadi lebih rumit seperti apa yang dirinya rasakan sekarang ini. Silma merasa pusing dan menghentikan tangisannnya. Ia mencepol rambutnya asal lalu menyalakan kran air dan mulai membasuh wajahnya. Hidungnya memerah dan masih sesenggukkan. Matanya samar-samar nampak sembab dan jika dilihat lebih jelas pun orang tau dirinya baru saja menangis. "Gue gak bisa ninggalin lo, Alfa. Gue cinta banget sama lo dan nggak mau kehilangan lo juga." Berat bagi Silma sebenernya memutuskan hubungannya dengan Alfa yang masih seumur jagung. "Apa gue harus diet? Apa gue harus suntik putih? Gue gak tau sih, tapi gue ingin kayak Silvia. Gue ingin cantik, muka gue emang kucel, jelek dan b***k sekali. Gue pendek, tubuh gue yang agak gemuk apalagi perut gue yang kelihatan buncitnya. Gue ingin pinggang yang ramping, tubuh yang cantik dan mulus. Banyak yang kurang dari tubuh gue ini." Silma terus memikirkan isi percakapan di dalam grub Alfa bersama teman-temannya. Ucapan mereka itu membuatnya kepikiran dan rasa percaya dirinya menurun drastis. "Silma!" Lantas Silma menoleh saat mendengar suara seseorang memanggil namanya. Seorang gadis berkepang dua dan berkaca mata itu menghampirinya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Sofi." "Kamu ternyata di sini? Ya ampun aku mencarimu kemana-mana lho di sekolah ini terutama perpustakaan kuubek-ubek mencarimu. Kamu kenapa tidak masuk kelas dan bolos di sini?" tanya Sofi heran. "Percuma aku masuk kelas Sof, enggak bakalan fokus sama mapel jam ini. Aku pusing." "Kalau kamu sakit ya izin ke guru bukan ke toilet. Itu kamu habis nangis? Ayo aku antar kamu ke UKS!" ajak Sofi dan menarik tangan Silma. Mereka keluar dari kamar mandi dan menuju ke ruang kesehatan si sekolah ini yang letaknya dekat kelas 11. Mereka harus menyeberang ke gedung depan. "Kamu disuruh sama guru mapel ini kan?" "Enggak, aku izin ke kamar mandi sebenarnya tadi dan kugunakan waktu izinku untuk mencarimu. Kamu tau sendiri kan di sekolah ini terlalu longgar hukumannya. Jadi guru di sini membiarkan muridnya tidak masuk kelasnya itu sudah biasa." "Dan tadi ada ulangan." Sambung Sofi menjelaskan. "Ada ulangan?" tanya Silma tak bersemangat. "Iya, jadi kan sebelum ulangan dikasih waktu buat belajar nah aku ambil izin keluar dan mencarimu ke sana kemari, tau-taunya malah di kamar mandi. Tau begitu tadi aku ke kamar mandi dulu dan tidak sampai keringetan begini." Sofi menujuk dahinya yang sudah dibanjiri keringat membuat Silma terkekeh pelan. "Ya nanti di UKS kan ada AC-nya. Kamu bisa ngadem juga." "Aku ya nggak bisa dong, Silma. Aku harus ikut ulangan dan kalau tidak ada di kelas pasti guru sosiologi itu nanyain aku. Soalnya tadi absen dulu." Sofi menghela napasnya pelan. "Oh iya ya. Aku lupa, Sof." Tibalah di ruang kesehatan dan Silma segera merebahkan tubuhnya di atas brankar. Namun Sofi tak langsung pergi dan ingat sesuatu saat menatap wajah temannya itu. "Kamu habis nangis ya?" tanya Sofi penasaran. Silma mengulas senyum tipis dan mengangguk. "Kamu punya masalah kah? Boleh kok bagi cerita ke aku, sapa tau aku bisa membantumu." Sofi mengambil kursi dan duduk di samping brankar. "Alfa." "Kenapa lagi dia? Sampai bikin kamu nangis dan bekak tuh mata." Sofi menaikan sebelah alisnya. "Aku masih belum yakin dia itu serius atau enggak sama hubungan ini. Di grub, banyak temannya yang hina gue waktu Alfa post foto selfi sama gue dan gue dibilang gak pantes inilah itulah. Mereka pada suka kalau Alfa sama Silvia." "Teman sekolah dia?" "Bukan, teman di luar sekolah dan aku tidak pernah ketemu sama mereka. Cuman kata-kata mereka itu yang bikin percaya diriku turun dan marah tak jelas begini." "Kamu sudah bilang ke Alfa? Tapi kamu sering ya cek grub dia?" "Aku cuman bilang kalau Silvia lebih cantik dari aku. Ah entahlah, kepalaku tambaj pusing ingat-ingat lagi dan soal cek grub, aku seringkali cek paksa ponselnya dia," balas Silma. "Kamu tidak menghargai privasi orang, Silma. Sikapmu itu bisa bikin Alfa marah sebenernya. Kamu terlalu posesif." "Ya wajarlah aku begini, kan sebagai pacar juga harus tau lah." ucap Silma begitu yakin apa yang dilakukannya benar. "Emang kamu sudah ada izin darinya?" "Dia biarin aku cek ponselnya jadi sama saja sudah diizinkan bukan?" tanya Silma balik. Sofi menepuk dahinya pelan lalu menggelengkan kepalanya. "Itu namanya tidak sopan. Bagaimana pun kamu harus minta izin dulu. Iyalah dia biarin kamu, lha sifatmu begini." Sofi menghela napasnya pelan. "Apa yang aku lakuin itu benar, Sofi. Coba kalau tidak dicek malah aku tidak tau apa-apa. Sudahlah, aku mau tidur dulu dan jangan lupa izin kan aku ke guru mapel jam ini ya!" pinta Silma kepada Sofi. "Nanti kamu balik lagi kah ke kelas?" tanya Sofi seraya beranjak berdiri. "Mungkin kalau kepalaku sudah reda pusingnya." "Ya sudah, istirahatlah." Sofi pun melangkah keluar dari ruang kesehatan sekolah. Begitu Sofi telah benar-benar pergi dari sini. Silma duduk termenung dan masih terbayang kalimat-kalimat dari teman-teman Alfa. ... "Ekhem yang habis duduk berduaan sama Malvin auranya kok beda ya, lebih adem seger gitu," sindir Cindy begitu melihat Salma datang ke kantin dan menghampiri bangku yang ditempatinya. "Iya nih, haduh sekarang kita enggak lihat mereka berantem lho dan diganti yang uwu-uwu." Cerry dan Cika cekikikan menimpali ucapan Cindy dengan tujuan menggoda Salma yang sudah berbeda auranya. "Malvin keren banget deh kemarin, iyalah super heronya Salma." Cindy juga mengetahui ada Malvin di kantin dan tengah berada di bangku dekat stand penjual makanan ringan. "Terus deh terus begitu." Salma meneguk minuman dingin milik temannya yang baru saja diantarkan ke sini. "Salma, itu kan punya gue." Cindy berdecak kesal. "Minta dikit doang elah," ucap Salma tanpa ada rasa bersalahnya seraya menyodorkan botol mineral kepada si empunya. "Jadi lo sama Malvin berteman kan?" tanya Cindy memastikan. "Iya, kalian terlalu melebih-lebihkan deh. Cuman temenan doang, biar dia seneng dan gue gak dihantui rasa bersalah. Karena tangan dia sakit juga gara-gara gue." Salma mengangguk santai. "Temen juga lama-lama jadi anu!" sahut Cika antusias. "Kalian berdua itu seneng gue bisa deket sama Malvin karena suka sama teman-temannya kan? Hidih numpang." Salma menatap sinis ke Cika dan Cerry bergantian. Namun Cika dan Cerry tidak merasakan sakit hati mendengar ucalan Salma yang terbilang sarkar dan sadar sifat Salma memang begitu setelah beberapa hari ini berteman. "Iya dong tapi percuma sih, kita kan jelek dan mereka juga pasti nyarinya yang goodlooking." Cerry pun hanya bisa pasrah dan sadar diri. "Mending lo tidak usah cari cowok deh, biarlah cowok yang kejar-kejar lo." Salma menali kembali rambutnya yang berantakkan dan bikin risih saja jika tidak segera dirapihkan. "Emm bagi kita sih suka aja gitu lihatin cogan dan kita sudah siap sama penolakan karena tidak berharap sekali," sanggah Cerry. "Iya deh yang suka cogan." Salma meraih mangkuk Cika yang masih utuh dan si pemiliknya sibuk mempotret para cowok yakni teman-temannya Malvin. "Salma.... "Rengek Cika saat baru sadar mangkuk siomaynya diambil Salma. "Gue males pesen makanan, itu gue ganti. Laper gue." Salma melahap siomay milik Cika yang telah resmi menjadi miliknya. Berselang beberapa menit kemudian Malvin datang menghampiri bangku mereka dan tentunya duduk di samping Salma. "Hai semuanya!" sapa Malvin kepada teman-temannya Salma. "Hai juga cogan." Cerry dan Cika bersemangat. Sedangkan Cindy hanya tersenyum tipis saja. Salma melirik Malvin sekilas dan kembali fokus pada makanannya. "Kalian berdua suka sama temen gue kan? Lo Cika, suka banget foto-fotoin temen gue." Malvin menunjuk ke arah Cika. Cika langsung tersedak dan Cerry reflek mengambilkan temannya itu minum. "Kok lo bisa tau?" tanya Cika dengan suaranya terbata-bata. "Taulah, gue peka sama sekitar dong apalagi peka sama perasaannya Salma, aciee." Malvin menaik turunkan alisnya menatap Salma yang sedang makan. "Ciee ciee, kalian emang serasi kok." Cindy tertawa melihat Salma yang mulai jengah. "Semoga ya haha." Malvin juga ikut tertawa. Akhirnya bel masuk berbunyi dan mereka semua kembali ke kelasnya masing-masing. Terutama Salma dan Malvin yang sudah duduk sebangku di kelaa. "Tangan lo?" tanya Salma heran melihat Malvin yang mengibaskan tangannya yang diperban itu secara perlahan. "Linu." "Coba gue lihat." Salma menarik pergelangan tangan Malvin dan memerhatikan perban yang melingkar ditelapan tangan lelaki tersebut. Malvin menyunggingkan senyumannya lebar tatkala tangannya dipegang Salma dan benar kata Darwin, kalau cewek cuek sekalinya peduli rasanya menghangatkan hatinya. "Lukanya apa parah banget?" tanya Salma lagi dan sebenarnya juga merasa khawatir. "Enggak kok kan tidak sampai dioperasi. Sudah tidak apa-apa." Malvin menggelengkan kepalanya. "Tetap saja ini parah. Kalau ada gejala berlebihan atau menjanggal segera dibawa ke klinik," ucap Salma mengingatkan. "Pastinya." Malvin mengangguk mengerti. Kemudian Salma mulai mengeluarkan buku yang sesuai jadwal jam ini. "Terima kasih ya, Sal." "Terima kasih untuk apa?" Salma menatap Malvin bingung. "Lo sudah perhatian ke gue." Malvin memandang Salma sendu membuat hati Salma tersenyuh. "Sama-sama." "Emm gue boleh nanya nggak? Tapi lo jangan marah ya!" pinta Malvin. "Apa?" "Lo kenapa sembunyiin identitas lo? Maaf ya gue nanya ini soalnya penasaran banget dan kalau memang tidak bisa menjawab, tidak apa-apa." Malvin menunjukkan dua jari di kedua tangannya. Ia sangatlah penasaran dari kemarin sewaktu mengetahui Salma bukanlah dari kalangan sembarangan. Namun penampilan Salma begitu sederhana sekali hingga Malvin menganggumi sosok gadis yang suka menguncir tinggi rambut indahnya yang berwana hitam. "Dari SMP gue memang sengaja sembunyikan ini dan gue enggak mau terlalu menonjol. Jadi murid berada di kalangan biasa itu mengasyikkan sebab gue cari yang asyik saja bukan suka pamer dan sebagainya. Gue sadar, kekayaan itu dari ayah dan bunda. Gue cuman anak beruntung yang dilahirkan oleh keluarga yang berkecukupan dan dari situ gue gak mau melebih-lebihkan harta keluarga gue. Gue masih jadi beban orang tua dan gak ada yang perlu dibanggain." "Tapi lo anak berprestasi, Sal. Gue lihat hobby lo yang futsal itu sudah dapat juara dimana-mana bahkan di luar kota dan benar juga sih, gue masih jadi beban orang tua. Lingkungan pertemanan gue malah gak harus sama rata kalangannya sih." Malvin menggaruk lehernya pelan. "Iya, maksud ketika gue sukses nanti baru deh itu yang namanya banggain orang tua. Gue masa sekolah juga buat senang-senang, coba deh kalau semua tau gue itu pemilik pengusaha sepatu dipastikan gue dituntut sama netizen buat jadi anak yang bla bla bla dan salah dikit aja langsung hujat. Gue sudah nyaman begini saja." Salma tersenyum memandang ke arah jendelan luar yang suasana luar kelas sudah sepi dan mungkin hanya beberapa orang yang berlalu lalang di depan kelasnya. "Apa yang lo ucapin itu benar banget dan terjadi di kehidupan gue." "Kehidupan lo?" Lantas Salma menoleh ke Malvin. "Gue dituntut ini dan itu karena latar belakang gue, lo tau sendiri lah." "Makanya jaga sikap aja." "Enggak bisa dong, gue kan emang anak bandel." Malvin malah bercanda padahal Salma sudah menanggapi dengan serius. "Lo santai banget deh." "Iyalah gue santai. Gue juga gak mau dibawa serius tentang keluarga gue. Keluarga gue sudah lawak semua soalnya." 'Tapi suara lo itu bukan bercanda melainkan luka'---pikir Salma. Luka batin. ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD