Part 26

1499 Words
Alurnya tidak lambat ya teman-teman Memang begini jalan ceritanya, santai tapi jelas (^_-) Part 26 "Silma, kemarin kamu kok kayak marah-marah gitu habis pulang daei sekolah. Kamu kenapa?" Zena membuka pintu Silma yangs sedikit terbuka dan masuk ke kamar putrinya yang di sama terlihat Silma sedang duduk di meja rias. "Gak papa, Bun." Silma menoleh sekilas ke Zena. "Bunda itu khawatir lho sama kamu kemarin, pintu juga dikunci dan kamu enggak mau keluar kamar." Zena berdiri di samping Silma. "Bunda tidak usah peduli lagi sama aku, bunda urus pekerjaan bunda saja." "Tetap saja anak-anak bunda yang bunda perhatian lebih dulu." "Aku sudah besar kok, Bun." Silma beranjak berdiri dan meraih tas sekolahnya yang diletakkan di tempat khusus tas. Zena tersenyum saja sebagai jawaban. Ia memerhatikan Silma yang tengah memeriksa buku-buku mata pelajarannya dan mengeluarkan beberapa buku mata pelajaran kemarin yang masih nyempil di dalam tasnya. "Bunda ke sini." Zena dan Silma menoleh ke belakang mendengar suara Salma yang juga ikut masuk ke kamar kakaknya. "Eh anak bunda yang satu ini sudah siap." Zena memegang puncuk kepala Salma. "Ayo Silma, kita turun ke bawah!" ajak Salma kepada kakaknya. "Kalian turun duluan aja," balas Silma dengan suara yang tidak semangat. "Bareng-bareng kan enak, iyakan bun?" "Iya. Perlu bantuan bunda kah?" tawar Zena pada Silma. "Enggak, aku sudah besar dan aku tidak butuh perhatian lebih dari bunda. Bunda urus pekerjaan bunda aja," ujar Silma. "Sil--" "Sudah, ayo keluar Salma. Kakakmu ingin sendiri." Zena mengangguk paham dan menggandeng Salma keluar dari kamar Silma. Salma bisa melihat jelas raut khawatir di wajah Zena. Ia menghembuskan napasnya, tak habis pikir perkataan kakaknya juga menyakiti hati bundanya padahal Zena berusaha mungkin memberikan kasih sayang terhadap anak-anaknya di sela-sela kesibukannya. "Bunda, jaga kesehatan ya. Kantung mata bunda kelihatan jelas." Salma memegang pipi Zena membuat Zena tersenyum lembut menatap balik ke putrinya. "Iya, Nak. Bunda selalu utamakan kesehatan." "Bunda kayak kecapekan begitu. Ucapan Silma tadi tidak usah di ambil hati ya, Bun. Maafin Silma, dia kurang ajar sama bunda." "Hust, enggak boleh ngomong begitu. Silma mungkin lagi capek aja." "Harusnya bunda tegur sih." "Bunda selalu negur dan bunda akan menegur di saat suasana hati anak-anak sedang baik." "Ah jadi makin sayang sama bunda." Salma memeluk manja ke Zena dan Zena mencium pipi putrinya gemas. Ketika sudah turun, di ruang makan sudah ada Juna dan Pandu yang tengah menunggu Zena serta si kembar. "Salma, kamu kemarin habis marahan sama Silma?" tanya Pandu to the point pada Salma yang baru saja duduk. "Iya, Yah." Salma melirik Juna yang tengah menaik turun alisnya ke arahnya. Sudah ketebak siapa yang membocorkan soal kemarin ke ayahnya. "Bun, kenapa kemarin tidak cerita kalau anak-anak lagi berantem?" Sekarang Pandu ganti bertanya ke Zena. "Cuman debat doang kok, mereka sudah akur sekarang. Biarlah mereka belajar menyelesaikan masalah sendiri selagi itu masih kategori sepele." Zena bersama dua pembantu sedang menyajikan sarapan di meja. Pandu menghembuskan napasnya pelan mendengar ucapan Zena dan berat rasanya jika berdebat lama dengan Zena. "Silma mana? Belum turun juga." Pandu merasa anaknya kurang satu di ruang makan dan sarapan dimulai di saat semuanya keluarga kecilnya lengkap formasinya. "Itu, Yah," ucap Juna memberitahu Silma yang sudah menuju ke ruang makan ke ayahnya. "Maaf pasti nunggu aku lama." Silma berjalan cepat dan duduk di samping Salma. "Tidak apa. Yuk semua makan!" perintah Pandu kepada keluarga kecilnya. Beberapa menit yang lalu... Selepas kepergiaan Zena dan Salma. Silma buru-buru membuka ponselnya dan melihat sebuah notifikasi pesan masuk di sana. "Alfa," gumam Silma tanpa sadar. Alfa: Aku jemput kamu di tempat kayak kemarin waktu jemput kamu ya "Ah gue gak bisa marah lama-lama sama dia tapi kalau ingat kemarin isi chat grubnya sama teman-temannya bikin sakit hati." Silma menghela napasnya kasar dan memasukkan ponselnya ke dalam tas. Ia tidak berniat membalas pesan dari kekasihnya. "Hemm apa gue salah ya bicara begitu sama bunda? Tapi maksud gue kan nyindir bunda biar keluar dari pekerjaannya. Atau restoran milik nenek dijual aja deh." Seketika Silma masih terngiang-ngiang perkataannya yang terucap kepada bundanya. ... "Bun, kita berangkat dulu ya." Salma menghampiri Zena yang sedang membuatkan s**u untuk Juna. "Iya, tunggu bunda ya. Bunda ingjn lihat kalian sampai di depan." Zena menoleh dan menghentikkan aktivitasnya tadi yang mengaduk s**u agar segera menerima cium tangan dari si kembar. "Juna, susunya diminum." Zena mengikuti putrinya dari belakang. "Iya, Bun." Juna sedang sibuk menghapal rumus yang katanya akan ada ulangan harian nanti di sekolah. "Bun." "Mas, aku kaget lho." Zena mengelus dadanya tatkala dari arah samping tiba-tiba Pandu merangkulnya dan mengecup pipinya. "Kamu kelelahan sayang, jangan lupa minum vitamin," ujar Pandu mengkhawatirkan keadaan istrinya. "Iya, lihat mereka ya." Pandu hanya mengangguk. Ketika sudah sampai di teras rumah, Silma dan Salma mencium tangan Pandu lalu mereka dipeluk sebentar oleh sang Bunda. "Hati-hati di jalan ya, jangan lupa berdoa," ucap Zena mengingatkan. "Kalian tidak terlalu terlambat kayak kemarin, jadi santai aja." Pandu membelai rambut putri kembarnya yang akan melangkahkan kakinya mendekati mobil yang sudah terparkir sedari tadi di depan teras rumah. "Siap bunda, ayah. Kita berdua berangkat sekolah dulu!" Salma dan Silma melambaikan tangannya kompak ke arah Pandu dan Zena. "Hati-hati, selamat sampai tujuan sayang!" teriak Zena semangat melambaikan tangannya ke arah mobil yang melaju dengan kecepatan sedang. Mobil itu sudah pergi namun Zena masih betah berdiri di sini. "Anak kita sudah besar." Pandu merangkul pundak Zena dan mengusap lembut pundak istrinya. "Emm aku melihat mereka masih bayi, anak-anakku yang imut dan menggemaskan. Rasanya aku belum siap mereka menjadi orang yang lebih dewasa nanti. Kenapa waktu begitu cepat?" Zena berkaca-kaca matanya kemudian. Pandu yang merasa istrinya sedang bersedih hatinya, langsung didekap erat. "Mau tidak mau, kita harus menerima pertumbuhan mereka yang begitu cepat rasanya." "Sehat-sehat selalu keluarga kecilku, bagaimana pun keadaannya. Aku selalu berdoa yang terbaik untuk kalian," ujar Zena yang melepaskan pelukan dari suaminya. Pandu pun menyeka air mata istrinya dan menangkup wajah sosok ibu dari anak-anaknya tersebut. "Kamu belum membuka kado dariku." "Aku sudah menebak, pasti isinya lingerie kan?" Rasa sedih Zena tadi menghilang dan digantikan rasa kesal mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut suaminya baru saja. "Emm." Pandu tersenyum jahil. "Mas, kita itu sudah tua." "Enggak dong, Sayangku. Kita itu masih muda hih." Pandu mencubit pipit Zena gemas. ... "Sal, lo diamin gue?" tanya Silma pada adiknya sambil menusuk jari telunjuknya ke lengan Salma. "Gue emang pengen diam aja." "Lo marah soal tadi? Gue emang sengaja begitu biar bunda sadar dan segera keluar dari pekerjaannya." "Hmm ya terserah lo aja." Salma melirik sekilas ke kakaknya. Silma tau kalau adiknya tengah marah kepadanya tapi sengaja diam supaya mereka tidak berantem lagi dan Salma berusaha menahan diri agar tidak mengucapkan kalimat yang bisa menyakiti hati sang kakak. Beberapa menit kemudian tiba-tiba Salma menyuruh sopir pribadinya menghentikan mobil ini dan sopirnya mencari tempat aman memarkirkan mobilnya. "Lo mau turun dari mobil?" tanya Silma panik lalu memegangi lengan Salma. "Tuh lihat ada pacar lo. Dia nungguin lo." Salma menunjuk dengan dagunya mengarah ke seseorang yang tengah memegangi ponsel dan duduk cemas di atas motor. "Hah?" Silma pun melihat apa yang ditunjukkan oleh adiknya dan benar seseorang sedang menunggunya di tempat biasanya. "Tapi gue gak mau bareng dia." "Masih soal kemarin?" Silma mengangguk lesu. "Ya sudah putusin aja, ribet amat." Salma memijit keningnya pelan. "Gue gak mau putus." "Terus mau lo apa? Jangan bikin gue ikutan puyeng mikirin lo." Salma geregetan rasanya pada sikap Silma yang membingungkan. "Gue mau dia sadar lah," ucap Silma. "Gimana mau sadar, lo aja gak bilang terus terang ke dia. Mana ada cowok peka?" Salma terkekeh seraya menggelengkan kepalanya. "Ada lah, dia pasti peka. Dia takut banget kehilangan gue soalnya," balas Silma yang yakin pada ucapannya sendiri. "Siapa yang bilang?" "Dia sendiri." "Terus lo percaya banget sama ucapan dia?" tanya Salma lagi. "Iya lah, gue percaya." "Oke, silahkan keluar." Salma membukakan pintu untuk jalan keluarnya Silma dari mobil. "Lo gak ngerti maksud gue?" tanya Silma kesal. "Gue mengerti, Sil. Emang lo tega gitu biarin dia sendirian nungguin lo sampai terlambat ke sekolah?" "Gue bisa tega kok." "Teganya lo keterlaluan sih, lihat dulu dong situasinya. Dia aja gak tau salahnya apa, lo main marah-marah gak jelas begini." "Sifat gue beda sama lo. Lo sih masih bisa bilang apa yang buat lo marah ke orang tapi enggak bagi gue." Silma sebenarnya juga khawatir, memandang Alfa duduk sendirian dari kejauhan dan ingin rasanya memeluk tubuh kekasihnya itu. "Sil, tolonglah jangan egois begini. Keluar sekarang!" usir Salma. "Gue gak mau, Sal." "Kalau lo gak mau bilang ingin sendiri ke dia lewat pesan." "Tapi dia kekeuh ingjn jemput gue." "Kan kan makin ribet." Rasanya saat Salma ingin berteriak di depan wajah kakaknya tapi ia masih berusaha menahan perasaan menjengkelkan pada dirinya saat ini. "Nona, bagaimana? Waktu sudah semakin siang dan tinggal lima belas menit lagi diperkirakan gerbang akan ditutup," ucap seorang sopir yang sedari tadi diam saja menyimak berdebatan mereka berdua. "Iya, Pak. Sebentar lagi." Salma menatap ke kakaknya lagi. "Keputusan gue tetap sama, Sal. Gue gak mau, gue marah sama dia." Silma tidak berubah pikiran dan menganggap keputusannya ini benar. "Okelah, ya sudah pak jalan lagi mobilnya." "Baik, Non." Sedangkan di sisi lain... "Malvin, bangun!" teriak seseorang dari luar kamarnya. Lelaki yang tengah terlelap, mulai bergerak tidak nyaman saat mendengar suara seseorang meneriaki namanya serta gedoran pintu yang cukup keras. "Engh, apa sih? Masih malam juga." Suara parau Malvin yang masih memejamkan matanya dan kedua tangannya direntangkan ke atas. "Malvin!" teriak seseorang berkali-kali hingga membuat Malvin memaksa membuka matanya perlahan-lahan. "Iya ya gue bangun anjim, mengganggu!" umpat Malvin kesal seraya mendudukkan tubuhnya. "Kamu berkata kasar ya ke kakek? Kakek tidak kasih uang saku ke kamu hari ini." Seketika Malvin membuka matanya lebar dan memegang bibirnya. Ia memandangi kamarnya yang menjadi tempat tidurnya dan benar, ia salah ucap ke seseorang yang seharusnya dirinya hormati. "Maaf kek!" jerit Malvin penuh kepanikan dan tambah gelisah karena tidak ada jawaban dari luar. Malvin buru-buru masuk ke kamar mandi. Selesai mandi, Malvin mengenakan seragamnya dan meraih tasnya. Ketika sudah berada di ambang pintu, baru sadar ada yang tertinggal. "Hp!" Malvin melompat ke kasurnya dan mengambil ponselnya yang tergeletak di meja yang beradai di samping kasurnya. "Kemarin tidur tumben gak malem banger sih." Malvin melupakan data internetnya yang masih menyala dan memang semalam ketiduran. Sadar tidur lebih awal, tak seperti biasanya. Dia menggeser ke kanan untuk melihat status di aplikasi hijau dan matanya tertuju pasa status Salma. Salma memposting sepasang sepatu berwarna hitam bertali warna putih dan kaos kaki bermotif kotak-kotak warna hitam putih. Hanya itu saja mampu membuat Malvin menyunggingkan senyumnya lebar. Malvin melihat statusnya sendiri dan siapa yang staker statusnya. "Salma lihat status gue?" "Kiyaaaa!" teriak Malvin kegirangan. "Malvin!" tegur seseorang yang sudah menunggunya sedari tadi. Malvin menoleh ke belakang dan menyengir menatap kakeknya yang sudah berkacak pinggang di sana. "Arghh." Malvin baru sadar tangan kanannya yang terluka masih terbungkus perban. Malah digunakan menggenggam ponselnya dan reflek melepar kasur. "Bocah satu ini." Leo menggelengkan kepalanya melihat tingkah ceroboh Malvin. "Ayo sarapan!" ajaknya pada sang cucu yang masih meringis kesakitan. "Iya, Kek." Malvin keluar kamar dan tidak lupa menutup pintunya. Ia berjalan gontai di samping kakeknya menuju ruang makan di lantai dasar. "Kamu memaksa masuk sekolah?" tanya Leo heran pada putranya. Padahal sehabis pulang dari rumah sakit, Lea sudah menyiapkan surat tidak masuk dikarenakan sakit. "Iya, Kek. Kenapa sih? Dari kemarin nanya mulu." "Lha kamu biasanya seneng kalau gak masuk sekolah." "Aku baik-baik saja, Kakek. Tidak usah terlalu mengkhawatirkanku." "Terus kamu kalau nulis pakai tangan kiri?" Leo menjadi bingung sebab telapak tangan Malvin lukanya cukup parah. "Malvin bisa urus sendiri." "Kamu ini semangat banget sekolah." Leo menepuk pundak Malvin. "Iya dong, Kek. Cucu kesayangan kakek yang paling pintar." "Hakah ngeles kamu, pasti gak betah lama-lama di rumah kan? Pengen memantau pacarmu dari dekat?" "Doain aja jadi pacarku, nanti aku bawa ke rumah kakek dan kukenalkan." "Nanti pacarmu yang kepincut ke kakek." Leo terkekeh pelan dan sudah hapal betul cucunya "Kakek mau cari anak remaja ya? Horor banget." "Hahah ya enggaklah, mendiang nenekmu cantiknya tidak ada yang menandanginya." "Kakek sudah tua masih bucin aja." "Bucin itu apa?" tanya Leo tak paham. "Bagi uang dulu nanti aku jelasin, Kek." "Minta ditampar lambemu itu." ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD