Part 16

2515 Words
Part 16 "Eh sudah pulang, Mbak?" Juna tersenyum sumringah menatap kakaknya yang baru saja pulang ke rumah dan tepat saja ia berada di depan rumah. "Lo ngapain di situ?" tanya Salma heran melihat adiknya duduk santai di teras dan tangannya memegang sepatu sekolahnya. "Disuruh bunda, semir sepatu sendiri." "Ini pasti lo buat ulah ya." "Enggak kok, bunda mau gue melakukan ini sendiri dan apa-apa gak mau tergantung ke orang. Btw, mbak pulang sendirian? Mana mbak Silma?" tanya Juna bingung. "Bareng sama temennya," jawab Salma berbohong demi melindungi saudara kembarnua tersebut sebab Juna sulit diajak kerja sama. "Ouh, sudah punya teman ya ternyata?" "Iya begitulah, gue mau masuk dulu." "Iye." Juna pun melanjutkan kegiatannya menyemir sepatu sekolahnya. Salma melangkah gontai memasuki rumahnya yang nampak sepi. "Ah bunda sekarang makin sibuk aja." Salma mendengus, sejak neneknya meninggal dan bundanya yang menggantikan posisi pekerjaan neneknya dulu akhirnya berimbas pada keluarga kecilnya ini. Zena semakin sibuk dan meluangkan waktunya sebentar saja seringkali batal di tengah acara liburan. Tanpa diketahui Zena sendiri, anak-anaknya merasakan sedih namun tak ada dari mereka menunjukkan raut wajah kekecewaannya sebab Zena masih sesekali memberi perhatian kecil kepada mereka. Salma merogoh saku rok sekolahnya saat merasa ponselnya bergetar di sana. Mata Salma membulat seketika membaca pesan dari seseorang yang sudah ia tebak siapa orang tersebut. (Nomor tak dikenal): Salma zeyenk, sv yaw "Argh gue baru ingat." Salma teringat tadi sebelum masuk ke kelas, ia menitipkan ponselnya ke Malvin karena akan pergi ke toilet. Ditambah waktu itu ponsel dalam kondisi menyala atau bisa dikata tidak terkunci. Salma mengabaikan pesan dari Malvin dan berlari secepat kilat menuju kamarnya. Di dalam kamar pula, ponselnya berbunyi berulang kali dan Silma jengah mendengar suara bising akhirnya tanpa babibu lagi memblokir nomer ponsel Malvin. "Ini bocah kenapa ya sehari aja gak bikin gue kesel? Suka banget ganggu orang lagi tenang-tenang juga." Salma meletakkan ponselnya di meja rias. "Badan lengket semua, cuss mandi. Kalau rebahan dulu malah males mandi." Pikir Salma begitu melihat kasurnya yang sangat menggoda dirinya. Selesai mandi, Salma memotong kuku tangan dan kakinya di balkon rumah sambil menunggu kakaknya yang masih dalam perjalanan pulang ke rumah. Tadinya Silma menanyainya soal Pandu dan Zena. Apakah orang tua mereka sudah pulang atau belum. Mengetahui orang tua yang masih belum pulang, Salma menyuruh kakaknya itu langsung saja di antar sampai rumah daripada berjalan jauh dari gerbang perumahan ke rumah mereka yang lokasinya pula lumayan jauh. Mendengar suara motor ninja berhenti di depan rumahnya, lantaw Salma beranjak berdiri dan melihat dari lantai dua siapa orang yang berada di depan gerbang rumahnya. Benar saja dugaannya, itu adalah kakaknya bersama kekasihnya. "Silma, Silma. Ya sudahlah ya, ini kebahagiaannya." Salma terpaksa harus berbohong pada orang tuanya kalau kakaknya memiliki pacar. Melihat raut wajah kakaknya di sana yang sedang memberi perpisahan singkat ke pacarnya membuatnya ikut merasa senang seperti apa yang dirasakan Silma sekarang. "Asal dia bahagia sih walau resiko besar nanti pasti ada." Salma menghembuskan napasnya perlahan, entah berapa lama mereka akan berbohong pada orang tuanya. Mengetahui kakaknya sudah masuk ke dalam rumah, Salma kembali ke kegiatan semula tadi sambil menunggu orang tuanya pulang. Tidak lama pintu kamarnya terbuka dan terdengar suara Silma memanggilnya. "Salma!" teriak Silma disertai tawa girangnya. Silma memeluk Salma tiba-tiba saat berada di balkon kamar adiknya itu. "Yoi, astaga Sil jangan cekik gue!" Salma melepas tangan kakaknya yang melingkar dilehernya membuatnya merasa tercekik saja. "Maaf ya, gue terlalu senang dan bersemangat." Silma mencium pipi Salma dan Salma mengusap bekas kecupan dari kakaknya. "Hihh jangan cium-cium begini, risih Silma." Gerutu Salma sembari menepuk pundak kakaknya. Mereka berdua duduk bersebelahan, bedanya Silma masih betah memeluk adiknya dan senyum-senyum bahagia terpancar indah di raut wajahnya sekarang. "Gila lo lagi kambuh kah? Dari tadi senyum-senyum gak jelas, mandi sana!" Suruh Salma pada kakaknya. "Gue lagi kasmaran malah dikatain gila, iya sih gila tapi gila cintanya Alfa haha." Silma tertawa lagi lalu tak memeluk Salma karena adiknya merasa risih. "Bentar deh, gue gak mau mandi dan mau cerita sebentar ke lo," ucap Silma lagi. "Cerita apa?" tanya Salma yang sudah paham Silma bercerita tak jauh-jauh tentang Alfa, kekasih kakaknya itu. "Besok gue diajak kencan sama Alfa, gue seneng banget eh gue ingat orang tua kita. Gimana ya caranya gue bisa keluar rumah tanpa dicurigai mereka?" tanya Silma meminta saran pada adiknya. "Pikir dulu deh." Salma memikirkan saran yang tepat untuk kakaknya. Silma malah tidak ikut mikir dan memilih memakan cemilan milik Salma yang berada di meja dekatnya. "Sulit juga ya." Gumam Salma yang mencoba berpikir keras tapi kakaknya malah menghabiskan cemilannya dan itu membuatnya berdecak sebal. "Silma hih, makanan gue jangan dihabiskan semua. Dahlah males mikir gue." "Eh enggak-enggak, ya ini gue diem." Silma mengangkat tangannya dan menunjukkan dua jarinya sambil tertawa kecil melihat adiknya yang marah padanya. "Kemarin lo kan juga dibeliin sama ayah masak nyerobot punya gue juga." Salma memajukan bibirnya seperti bebek dan memeluk tiga toples cemilannya yang hampir habis. "Maaf dong, jangan marah nanti kalau lo bisa cari ide. Gue beliin cemilan yang banyak. Adik kecilku jangan ngambek." Silma mencubit pipi Salma dan menggoyangkan ke kanan san ke kiri. "Gue bukan anak kecil ya, enggak mau ah nanti kena tipu sama lo." "Enggak, Salma ya." "Iya iya, sudah deh jangan cubit-cubit pipi gue kan jadi sakit." "Iya sayangku, nanti kalau lo bisa kasih ide yang bagus. Gue bakalan ngerjain PR lo, gimana?" Silma menaik turunkan alisnya dan menyunggingkan senyumnya lebar. "Baguslah, nanti malam aja ya setelah makan malam. Gue lagi gak bisa mikir serius sekarang." "Oke deh." ... "Salma gimana sekolahnya? Gak buat ulah kayak SMP dulu?" tanya Pandu penasaran pada Salma setelah selesai makan malam. "Enggak dong, aman aja masihan." Salma menerima sekotak brownis dari bundanya dan nantinya akan dibawa ke kamar untuk menjadi cemilan sewaktu nonton film nanti. "Jangan bikin ulah, ayah sudah tua. Mau bikin ayah sakit gara-gara tingkah nakalmu itu?" "Eh enggak ayah, Salma sayang banget sama ayah." Salma memeluk ayahnya yang baru saja beranjak berdiri. "Ayah juga sayang banget sama kamu, sekolah yang benar ya--" "Dan jangan pacar-pacaran, nanti bisa berimbas di masa depanmu. Fokus saja sama karier dan banyakin teman tapi jangan salah pilih pergaulan juga." Zena tiba-tiba ikut nrimbung pembicaran mereka dan ucapan Zena itu membuat Salma reflek menatap kakaknya yang tengah senyum-senyum sendiri di bar dengan matanya fokua menatap layar ponselnya. "Sebenarnya sih gak papa kok Zen, kalau anak kita punya pacar lagian kita percaya mereka gak akan aneh-aneh. Mungkin pacaran bisa diartikan berteman saja." Pandu kurang setuju jika Zena terus mengekang anak-anaknya untuk tidak berpacaran. Salma tercengang mendengar ayahnya yang dikira setuju kalimat yang diucapkan Zena tadi malah justri menolak. "Lho Mas kok malah setuju sih? Dulu menentang mereka pacaran." "Iya, setelah aku pikir matang-matang, Zena. Mereka butuh kebebasan tapi gak bebas-bebas banget dan masih dalam pengawasan kita. Masih remaja, mereka pasti merasa penasaran apa yang namanya cinta ini bukan cinta ke keluarga melainkan merasakan cinta, mencintai orang yang bukan keluarga kita. Semakin dilarang, mereka semakin menjadi-jadi dan berakhir punya pacar tapi disembunyikan. Anak jadi makin tertutup juga." Pandu menjelaskan maksudnya. "Enggak, Mas. Justru lebih baik mereka fokus sekolah aja dan cinta-cintaan itu buang-buang waktu mereka." Salma menjauhi orang tuanya yang tengah memperdebatkan masalah pacaran di usianya. Salma menghampiri Silma dan Juna yang berada di bar. Dua saudaranya itu tak tau orang tua sedang berdebat karena fokus menatap layar ponsel masing-masing. "Sil, ayo ke kamar! Dan Juna, jangan lupa belajar!" Ajak Salma yang tanpa pikir panjang langsung menarik tangan mereka berdua dan mengajak mereka masuk ke kamar masing-masing lewat jalan lain. "Kok lewat sini sih? Kan gue males pakai lift." Bibir Juna cemberut dan sesekali meringis merasa kakaknya terlalu mencengkram kuat lengannya. "Enggak papa." Salma tersenyum simpul dan tetap memaksa mereka ikut dengannya. "Terus ayah sama bunda? Mereka---" "Mereka sedang berbincang, jangan ikut campur urusan orang tua ya!" peringat Salma ke Juna. Salma melirik Silma yang masih saja fokus pada ponselnya dan abai situasi sekitar. Ia menghembuskan napasnya perlahan melihat perubahan kakaknya setelah memiliki kekasih. Kakaknya yang dulunya giat belajar dengan membaca beberapa buku ilmu pengetahuan kini lebih sering berkirim pesan ke Alfa. Sebab pertama kalinya Silma merasakan jatuh cinta dan berpacaran. Salma mengantarkan Juna lebih dulu barulah menuju ke kamar Silma. "Sil, jangan terlalu fokus sama hp!" Tegur Salma saat kakaknya hampir terjatuh karena tersandung kakinya sendiri. "Ah iya." Silma mengangguk cepat dan akhirnya mau berjalan tanpa melihat ponsel seperti tadi meski berulang kali ponselnya bergetar tandanya mendapat pesan dari seseorang. Sesampainya di kamar Silma, Salma menahan kakaknya sebelum pergi ke kamarnya sendiri. "Napa Sal?" tanya Silma heran melihat raut wajah Salma yang serius menatapnya. "Sil, lo boleh pacaran tapi tolong bagi waktu dan jangan terlalu terlena sama Alfa." "Iya tenang aja, lagian gue sama Alfa gak cinta-cintaan mulu kok isi chatnya. Gue lagi bahas kerja kelompok minggu depan. Oke adik kecilku yang paling gue sayang." Mengetahui Silma akan menciumnya lantas Salma berlari menghindar dari kakaknya. "Enggak mau!" teriak Salma sambil menutup kedua pipinya. "Haha. Dicium aja gak mau sama kakaknya sendiri aishh." Silma tertawa renyah menatap Salma yang menolak kecupan singkat darinya. "Padahal gue kan emang sayang banget sama dia, hadeh." Silma menggeleng kemudian masuk ke kamarnya dan memekik kegirangan saat Alfa mengajaknya video call untuk membahas tugas sekolah tadi pagi. ... Salma meraih ponselnya dan melepas juga charger yang tertancap diponselnya. Dahinya berkerut bingung melihat pesan dari Cindy yang jumlahnya juga tidak sedikit. "Ngapain nih bocah chat gue banyak banget." Gumamnya. Lalu Salma menjatuhkan diri di atas kasur dan mulai membaca pesan dari temannya. Cindil: Sal Lo gak blokir nomernya malvin? Haduh Lo tuh ya Dia itu sebenarnya mau ke rumah lo Dia udah tau semuanya Salll Bales dong Lo kemana sih? Mata Salma seketika membulat dan seolah tak percaya apa yang dikatakan Cindy. Salma: Beneran? Cindy: Iya Sal Kayaknya lagi otw deh ke rumah lo Entah katanya sih begitu Salma: Cin, jangan bohongi gue deh! Cindy: Enggak Sal, pokoknya cepetan keluar rumah sebelum orang tua lo tau Cindy memang sudah tau kalau temannya itu tidak diperbolehkan pacaran bahkan jarang dan hampir tidak pernah si kembar membawa teman cowok ke rumah mereka saking takutnya orang tua mereka marah kepadanya. Salma: Tadi dia chat lo berarti? Cindy: Iya, mungkin udah ke sana Sal Lo lupa ya dia itu berkuasa di sekolah? Ya pasti mudah lah nemuin identitas lo Dia juga sudah tau kalau lo itu anak dari pengusaha sepatu yang sedang tren sekarang Sudah gak ada waktu lagi, intinya lo harus cari dia sebelum orang tua lo tau dia duluan Salma: Baiklah (emot marah) Tubuh Salma melompat, ia berganti baju secepat kilat dan tak lupa mengenakan topi serta jaket tebal kebeasaran kesukannya. Menguncir kuda rambutnya sebelum memakai topi kemudian keluar rumah dengan langkah yang buru-buru. "Sil, lo mau kemana?" tanya Silma yang bertepatan membuka pintu kamarnya. Ia melihat saudaranya melintas di depannya. "Gue ada urusan mendadak!" seru Salma yang tak berniat menghentikan langkah lebarnya. "Terus ide tadi gimana?" Suara Silma meninggi supaya Salma dapat mendengar jelas. "Nanti ya! Ini penting banget!" Saat turun dari tangga, Salma sempat bertemu Zena dan segera berpamitan pada bundannya tersebut. "Kamu mau kemana?" "Temanku tersesat, Bun." Ide berkata berbohong adalah keputusan utamanya dan itu sudah dipikirkan secara matang oleh Salma saat sebelum keluar dari kamarnya. "Tersesat? Kok bisa? Emang mau kemana?" tanya Zena terkejut mendengar alasan putrinya yang mendadak akan pergi keluar rumah malam ini. "Enggak tau, Bun. Dia gak kenal daerah sini." "Ya sudah susul temanmu ya, kasihan." Zena menepuk pundak putrinya dan Salma merasa lega di dalam hatinya karena bundanya tak banyak bertanya. Salma pun keluar rumah dengan berjalan kaki begitu cepat dan sesekali berlari. "Haduh tadi habis makan, jangan lari." Salma teringat tadi habis makan dan jika terus dipaksa berlari nantinya takut perutnya menjadi sakit. Di tengah perjalanan, Salma juga celingukkan mencari sosok laki-laki yang tiap harinya membuatnya kesal dan malam ini tiba-tiba Malvin kembali berulah sampai-sampai Salma keringat dingin. Takutnya Malvin berkunjung ke rumahnya dan hal-hal nekat bisa dilakukan oleh Malvin. Salma tak bisa membayangkan itu terjadi nantinya. Maka sebelum Malvin ke rumahnya, secepatnya dirinya harus bisa menemukan keberadaan lelaki itu. Semilir angin malam menerpa tubuhnya membuat Salma mendekap tubuhnya sendiri sebab merasa kedinginan meski sudah mengenakan jaket tebal. "Enggak ada nih, apa Cindy nipu gua ya?" Salma pun mengirim pesan ke Cindy, menanyai keberadaan Malvin namun belum sampai merogoh ponselnya, terdengar suara seseorang memanggil namanya dari arah samping. "Zeyeng!" Salma membuka mulutnya lebar melihat Malvin duduk-duduk santai bersama satpam di pos satpam dan Salma sekarang sedang berdiri di gerbang perumahannya. Malvin mendekati Salma seraya tersenyum tengil dan mengerlingkan matanya ketika sudah berada di depan Silma. "Lo ngapain sih di sini!" Terial Salma kesal dan memukul bahu lelaki itu kasar hingga Malvin meringis. "Haduh santai dong." Malvin mengelus pelan bahunya yang masih terasa sakit akibat pukulan keras dari Salma dan Malvin baru tau dari bio Salma yang ditemukannya di ruang kepala sekolah bahwa Salma mempunyai hobby yaitu petinju dan suka bertarung. Tapi Salma merasa ada yang aneh di wajah Malvin, ada bekas pukulan dan tamparan di wajah lelaki pemilik senyum manis tersebut. 'Dia kenapa sih? Eitss jangan pedulikan dia, nanti kegeeran'--batin Salma yang mengenyahkan rasa khawatir bersemayam dipikirannya saat memandang lekat wajah Malvin. "Terus ngapain lo datang kemari?" "Idih sok merendah deh." Salma merasa di sini tidak aman untuk berbincang bersama cowok itu lantas mengajak ke tempat lain tapi anehnya Malvin malah mengajaknya makan di warung dan Salma terpaksa menuruti Malvin sebab Malvin sudah tau semua tentangnya. Salma juga ingin tau seberapa taunya Malvin tentangnya. Maka dari itu, dia menunggu Malvin menyelesaikan makan malamnya. 'Kelihatan kelaparan banget ini bocah'--komentar Salma dalam hatinya begitu melihat Malvin tengah makan dengan lahap sekali. "Lo orang kaya mau makan di warung?" tanya Salma heran, biasanya lekaki seperti Malvin senang diajak di cafe dan restoran. "Gue kalau nongkrong juga di warung, jarang kalau di cafe dan enak aja. Lagian di cafe kan gak boleh rame-rame banget dan terbatas. Enaknya di warung, looss joss." Malvin mengacungkan jempolnya mantap. "Ouh." Salma beroh ria saja, membiarkan Malvin makan sampai habis dulu dan setelahnya diajak berbicara serius. Salma hanya memasang jeruk hangat saja karena sudah makan malam. Posisi Malvin duduk di seberangnya. "Argh." Malvin tiba-tiba meringis dan memegangi bibirnya dirasa kegigit tepat dilukanya. Reflek Salma mengambilkan tisu dan meletakkan di ujung bibir Malvin. Seketika Malvin melongo menatap raut wajah kekhawatiran Salma terhadapnya. "Aslinya lo perhatian ke gue kan?" Malvin menaik turunkan alisnya namun malah mendapat jitakan dari Salma di keningnya. "Aw, kok malah dijitak sih? Harusnya disayang dong, ya nggak?" Malvin menahan senyumnya dan kembali melanjutkan makannya. Salma hanya diam saja dan enggan menatap lelaki itu. Malvin tidak tau saja, Salma memiliki sifat perhatian pada semua orang yang berada di dekatnya meski wajahnya terbilang begitu cuek dan acuh tak acuh pada sekitar. "Tolong, jangan sebarkan bio gue ke semua orang. Biarkan ini menjadi rahasia atau gue yang bongkar sendiri," ujar Salma dan merasa berat harinya kalau semua orang tau jika dirinya adalah anak pengusaha tajir melintir. Ia malas diusik oleh orang-orang yang pura-pura berteman dengannya hanya karwna sebuah popularitas semata. "Tapi batalkan dulu nomer gue yang lo blokir." Malvin tersenyum miring. "Iya nanti." "Sekarang, gue pengen lihat langsung!" Suruh Malvin pada Salma. "Bikin kesel gue mulu deh, heran gue." "Gue suka aja." ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD