Maaf ya kalau masih ada typo
(Silma & Alfa itu pakai Aku-kamu)
Part 12
"Silma!" Alfa melepas tangannya yang merangkul pundak Silvia lalu berjalan cepat menyusul langkah Silma yang tiba-tiba pergi.
Mereka berdua menjadi tontonan murid-murid yang berada di sekitar lapangan basket. Silvia dari jarak jauh, melipat tangannya di depan d**a dan tersenyum sinis memperhatikan mereka berdua.
"Aku jelasin." Alfa berhasil menghentikan langkah Silma dan kini keduanya saling berhadapan.
"Aku gak papa kok, kamu lanjutin aja senang-senangnya sama temanmu. Mungkin kamu lagi jenuh sama aku, maaf ya." Raut wajah Silma yang tadinya sekarang berubah drastis menjadi lebih santai dan bibirnya melangkungkan senyum yang lebar.
"Sil, dengerin aku dulu. Aku sama Silvia hanya berteman kok, aku tau kamu cemburu tadi. Maaf ya dan gak ada maksud apa-apa kok. Mereka hanya berteman sama aku karena satu kelas juga." Alfa memegang pundak Silma dan menatap lekat mata kekasihnya.
"Ah makasih kamu peka sama perasaanku." Silma merasa senang mendengar nada kekhawatiran Alfa dan terlihat lelaki itu nampak takut kehilangannya.
'Alfa sepertinya sudah berubah, kalau cuman main-main doang pasti gak peka deh'---batin Silma.
'Sangat mudah membujuknya supaya tidak marah, aku masih ingin bersamanya'---ucap Alfa dalam hatinya dan perasaannya menjadi lega.
"Iya, Sayang. Maaf ya, kamu begini demi kamu juga."
"Demi aku?" tanya Silma yang belum paham.
"Aku mencoba mendekati dan mengajak Silvia berteman biar kamu gak diganggu lagi sama dia." Alfa menangkup pipi Silma dan jempolnya mengelus pipi kekasihnya itu.
"Tidak usah repot-repot sampai begitu sih, Alfa. Aku itu gak papa."
"Enggak, gak bisa tenang. Kamu saja tidak pernah cerita ke aku kalau masih sering dibully sama Silvia. Kemarin kamu diguyur air keruh dan kita tidak tau kedepannya seperti apa. Gadis itu gila, Silma." Alfa menggeleng dan menginginkan Silma selalu aman di sekolah. Ia juga selalu teringat ayahnya Silma yang mengharapkan dirinya bisa berteman bahkan melindungi Silma di sekolah. Pandu mengkhawatirkan sekali keadaan Silma sampai sekarang pun juga sering menghubunginya untuk menanyakan keadaan Silma dan apa saja yang dilakukan anaknya di sekolah kepadanya.
"Jangan berkata seperti itu pada Silvia, dia pasti sakit hati kalau mendengar ucapanmu." Kemudian Alfa berjalan beriringan bersama Silma dan keduanya bergandengan tangan. Alfa yang menggandeng erat tangan Silma.
"Mau dikatain apapun dia gak mempan, Sil. Percuma. Aku tidak tau kelemahannya dan mungkin kalau tau pasti aku bisa membuatnya takut padaku. Aku hanya pasrah saja kalau berhadapan sama cewek kecuali ada cowok yang ganggu kamu pasti aku hajar dia habis-habisan." Alfa ikut tersenyum melihat Silma yang ketahuan memandangnya sedari tadi.
"Kamu makin manis aja kalau senyum-senyum malu begini." Alfa merasa gemas pada Silma yang mulai manja kepadanya layaknya anak kecil.
"Emang aku lebih cantik dari Silvia kan?" tanya Silma yang sudah berani tanpa malu ketika ditatap murid-murid yang berlalu lalang di sekitarnya. Hanya saja Silma tak kuat memandang Alfa kalau lelaki itu juga ikut memandangnya. Lelaki tampan seperti Alfa dan mendengar ucapan Alfa baru saja yang bikin dirinya semakin terbang tinggi disertai kebuncahan rasa kebawaperasaan.
"Cantik kamu lah. Kan kamu pasti tau jawaban dariku."
"Ya bisa jadi kamu lebih lirik dia."
"Enggak kok. Kamu cemburu tadi?"
"Iya, langsung nyesek aja lihatnya. Ngapain sih main rangkul-rangkulan segala." Silma mencebikkan bibirnya sebal.
"Reflek tadi Sil, aku beneran tidak ada apa-apa sama dia dan berteman doang saja." Alfa berusaha meyakinkan Silma.
"Harus ya sampai rangkulan segala?"
"Reflek, Sil. Maaf. Sini deh ganti kamu kurangkul biar bekasnya dia menghilang. "
" Nanti kalau ada guru lewat gimana? Gak usah deh."
"Halah tinggal lepas rangkulan doang. Lagian di hatimu sebenarnya ingin kan? Ngaku aja." Goda Alfa pada kekasihnya.
"Ihh." Silma menepuk bahu Alfa beberapa kali.
....
*Flashback On*
Seorang lelaki remaja tengah memasuki kelas barunya yang kini dirinya telah resmi menjadi murid SMA Louwis. Bukannya merasa lega namun hatinya gelisah memikirkan seseorang yang baru saja meninggalkannya hanya karena sulit menjawab pertanyaan darinya.
"Apakah aku itu penting bagimu, Sil. Kalau penting, harusnya kamu tidak menyembunyikan tentang dirimu yang sebenarnya." Sosok lelaki tersebut ialah Alfa dan dia menatap layar ponselnya yang menampilkan foto Silma yang waktu itu pernah meminjam ponselnya untuk berselfi ria.
Di saat Alfa mengeluhkan sikap Silma yang suka pergi begitu saja, datanglah sosok gadis berambut pirang lalu duduk di sebelahnya.
"Ngapain lo duduk di sini?" tanya Alfa heran menatap Silvia, orang yang masih suka mengusik kehidupannya.
"Gue mau bilang ke lo, kasian banget deh dan kayak gak bahagia banget pacaran sama si cupu."
"Jaga mulut lo ya!" tegur Alfa.
"Oupss ya ya, sok banget ingin berubah eh sekali berubah malah disia-siakan."
"Silma gak sia-siain gue ya, gue yang buat dia marah makanya sikapnya begitu ke gue." Alfa tentu sadar kesalahannya tadi yang terkesan mrmaksa Silma menjawab pertanyaannya.
"Duh masih dibela aja, dulu gue gak gitu tuh."
"Sekarang beda."
"Kenapa? Kenapa gak gue aja waktu lo sekarang ini sudah mulai berubah. Kenapa harus dia, Alfa!" Suara Silvia meninggi dan ia tak memperdulikan tatapan mengherankan dari para murid di kelas ini.
"Gue suka sama Silma bukan lo, Silvia. Gue deketin lo cuman buat main-main doang, ya gue akui gue memanglah salah dan gue sudah berulang kali bilang kata maaf sama lo. Gue risih tau gak sih, lo ngikutin gue mulu." Alfa tak suka ada Silvia di sini.
"Gue sekelas sama lo, Alfa. Sedih tau dengerin ucapan lo yang sangat nyakitin perasaan gue banget, gue sampai saat ini masih sayang sama lo cuman lo gak peka terus." Manik Silvia mulai berkaca-kaca dan kedua tangannya terkepal begitu kuat.
"Silvia, gue sudah bilang maaf ke lo."
"Maaf saja tidak cukup, Alfa."
"Terus lo mau apa?"
"Gue ingin temenan sama lo dan jangan menghindari gue lagi. Gue ingin dekat sama lo kayak kita dulu."
"Tapi sekarang sudah beda, Silvia. Gue itu menjaga perasaan Silma dan membatasi berteman sama cewek. Gue gak kayak dulu lagi, gue sudah capek main-main dan Silma memanglah pilihan gue karena gue kenal dia dari SMP. Menurut gue, sekarang lebih suka cewek pendiam seperti Silma. Dia tidak suka berbuat ulah soalnya." Alfa menghembuskan napasnya perlahan saat tangan Silvia berusaha menggenggam tangannya. Inilah yang tidak disukai Alfa, sikap Silvia sangat agresif bahkan tidak tau tempat pula.
"Gur juga bisa kayak dia, Alfa. Cuman diam dan tidak berbuat ulah."
"Lo itu tukang bully, gue benci melihat lo suka menyiksa orang terutama Silma. Tolonglah berhenti buat ganggu Silma, gara-gara lo itu semua jadi takut deketin Silma. Lo benar-benar keterlaluan." Tuding Alfa pada Silvia, seseorang yang pernah dirinya dekati dulu.
"Gue bisa kok berhenti gak gangguin kekasih lo, asal...." Silvia tersenyum miring dan berusaha menempel tubuhnya ke Alfa. Berbeda dengan Alfa yang menahan bahu gadis itu agar tak bisa terlalu dekat di sampingnya.
"Apa?"
"Lo gak nolak kalau gue minta apa-apa ke lo."
"Hilih mungkin lo mau minta aneh-aneh ke gue, secara sifat lo itu buruk banget." Sarkas Alfa.
"Enggak, Alfa sayang. Gue cuman mau lo nemenin gue dan gak nolak gue kalau gue lagi butuh banget sama lo."
"Tapi gue sudah punya pacar, Silvia. Gue lebih mentingin Silma dibanding ke lo."
"Ya sudah, terserah deh. Gue bakalan terus gangguin Silma dan asal lo tau kemarin Silma habis kena guyuran maut dari gue lho. Nih lihat." Silvia menunjukkan layar ponselnya yang menampilkan foto Silma yang basah kuyub oleh minuman campuran berwarna keruh dan foto itu diambil dari jarak jauh.
"Silma kok gak cerita sama gue," gumam Alfa.
"Ya iyalah, cewek yang lo suka tapi tidak menganggap lo penting. Kelihatannya, dia itu bakalan terus begini karena cewek modelan Silma sulit buat diajak saling mengerti, apa adanya dan lain-lain lah terus kekurangan dari sifatnya itu tadi juga masih banyak banget. Dipikir dulu deh sebelum lo bener-bener serius sama dia." Silvia di dalam hatinya tertawa jahat kala melihat Alfa seketika terdiam dan seolah tengah berpikir keras.
'Alfa, Alfa jangan sok berusaha keras buat berubah kalau memang playboy ya playboy aja deh. Kayaknya bakalan seru memporak-pondakan mereka berdua. Balas dendam dimulai'---Silvia mengeluarkan seringai liciknya tanpa diketahui oleh Alfa yang pandangannya kali ini tertuju ke jendela luar kelasnya.
"Sudahlah, Silvia. Sudah cukup ganggu hidup gue dan juga jangan ganggu Silma. Gue yang salah bukan Silma, Silma jangan disangkut pautkan masalah sakit hati lo ke gue."
"Sayangnya gak bisa Alfa sayangku. Gue sudah terlanjur kecewa sama lo dan syukurlah sih gue masih punya rasa sama lo jadi gak sampai menggila. Mungkin nanti-nanti gue bakalan menggila kalau situasi sudah tak mengenakan di hati gue." Kini Silvia merapikan kerah serta dasi Alfa yang nampak sedikit berantakan.
Terakhir, Silvia mengusap d**a bidang Alfa yang disertai tepukan yang lembut.
"Masih ingin serius sama cewek? Diingat-ingat lagi sifat Silma ke lo kayak gimana, gue sih khawatir lo bakalan disakitin sama dia nantinya apalagi lo juga gak mau disakiti kan?"
"Gue gak papa kok disakitin sama dia, mungkin itu karma karena dulu gue sering nyakitin seseorang terutama lo." Alfa berusaha bersikap tenang meski dadanya berdebar tak karuan sebab belum siap merasakan sakit hati dan jauh di lubuk hatinya pula tak mau dirinya yang lebih sakit hati di dalam suatu hubungan.
"Uh manis sekali sampai-sampai gue gak percaya sama ucapan lo itu." Silvia mulai membelai perlahan pipi tirus Alfa dan Alfa tidak ada niatan menolak sentuhan yang diberikan dari Silvia.
"Kalau gue mau menerima permintaan lo, lo gak bakalan ganggu Silma kan?"
"Huum."
Alfa masih bingung sebab kedepannya dirinya bakalan mencari kesibukkan pula dan takutnya teledor tak bisa menjaga Silma dari aksi Silvia yang suka membully kekasihnya itu. Alfa tak bisa melawan Silvia karena keluarga Silvia itu bukan orang biasa. Perusahaan tempat kerja ayahnya adalah milik ayah Silvia.
"Kalau gue minta juga boleh kan?"
"Boleh sih, tetep aja gue pikir juga. Emang mau minta apa sih, Sayang?" Silvia tertawa pelan dan menoel dagu Alfa.
"Tolong berikan teman untuk Silma, gue ingin dia ada temannya selama gue sibuk dan kalau bisa sama-sama pendiam."
"Iya, mudah itu." Silvia pun memeluk Alfa namun Alfa membiarkan saja tanpa membalas pelukan dari gadis itu.
Flashback off
....
"Ouh jadi kalian korban bullying." Salma mengangguk mulai mengerti maksud dua gadis yang duduk di seberangnya.
"Hanya itu saja? Beneran?" yanya Salma yang belum yakin.
"Emm." Cerry dan Cika saling pandang lagi dan ekspresi mereka menunjukkan raut ketakutan.
"Apa kalian ingin meminta perlindungan ke gue? Cih, makanya jadi murid yang berani dan jangan mau dipandang lemah." Salma menarik napasnya.
"Bukan begitu, kita gak lemah tapi kalah sama kekuasahaan. Kita dari kalangan bawah."
"Harus ya merendahkan diri hanya karena dari kalangan bawah? Semua manusia derajatnya sama dan harga diri tidak tergantung sama kalangan entah itu bawah, menegah dan atas. Kalau merasa direndahkan itu dilawan deh dan jangan lapor ke guru sih, percuma juga meski masih ada guru yang peduli tapi nantinya bakalan kalah sama uang."
"Nah itu masalahnya, kita kalah sama uang."
"Kalau memang kalah sama uang. Kalian berdua belajar bela diri biar bisa melindungi diri sendiri. Matahin tangan kakinya kalau bisa biar balas dendam kalian terpuaskan." Salma mengecap rasa manis minumannya dan kembali melahap gorengan tentu dibarengi cabai/lombok. Tanpa cabai rasanya akan hambar baginya ya mungkin bagi orang lain juga.
"Lo mah ngajarin jelek ke mereka." Bisik tepat di sisi telinga Salma.
"Gue emang buruk sifatnya, ya salah mereka yang ingin berteman sama gue dan gue ngajarin aja apa yang gue lakukan."
"Tapi ini beda Salma oon."
"Gue gibeng ya lho."
Cindy hanya tertawa saja sebab itu hanyalah candaan Salma saja berbedan dengan Cerry dan Cika yang terlihat takut dan menganggap candaan itu adalah kenyataan.
"Rata-rata pembully itu orang kaya. Lo mah bilang begini karena gak pernah merasakan namanya dibully deh." Cindy menepuk kasar pundak Salma.
"Ya gimana lagi? Gue kan bukan bodyguard dan ogah lah melindungi. Emang kalian mampu bayar gue?" tanya Salma pada Cerry dan Cika.
"Mampu kok." Cerry dan Cika mengangguk kompak.
"Heleh, gak usah deh. Gratis." Sanggah Cindy yang ikut-ikutan.
"Gue gibeng beneran deh lo."
"Sttt sabar." Cindy tertawa lagi, menggoda Salma sampai marah menurutnya itu seru. Lawan Silma bukanlah mereka.
"Oh ya, sampai gue lupa kenalan. Gue Cindy ya guys."
"Ya, Cindy. Salam kenal."
"Oke, kalian gak usah takut sama Salma. Dia emang sedikit sinting orangnya." Cindy meledek Salma yang tengah fokus pada makanannya.
"Kok lo berani banget sih ngatain Salma segitunya?" tanya Cerry heran.
"Mentalnya sekuat baja dia, gue udah temanan lama banget sih jadi biasa aja kalau kita bercandaan begini. Ya maaf ya mungkin bagi kalian terdengar kasar, aslinya mah cuman gini-gini doang," ucap Cindy menjelaskan.
"Ah gak papa kok, gue kira beneran begitu hehe."
"Santai aja sama gue dan Salma. Kalau kalian punya niatan baik ingin berteman ya kita gak masalah sih."
"SALMA, KAMU DI MANA ZEYENK!" teriak seorang laki-laki yang baru saja memasuki kantin.
Seketika Salma tersedak mendengar suara seseorang yang dikenalinya.
'Geli banget anjirr'--pekik Salma dalam hatinya.
...