Part 5

1482 Words
Info hanya di ig saja @believe_nw ¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬ Part 5 "Kita terkunci?" Malvin juga menggedor berulang kali pintu gudang tersebut dan tenaganya perlahan habis. Malvin menyerah dan duduk kembali ke tempatnya tadi dengan napasnya yang memburu. Sama seperti Salma yang ikut duduk di sebelah Malvin. "Haus banget." Salma mengibaskan tangannya ke arah wajahnya, karena berteriak keras sampai tenggorokannya terasa kering dan terbatuk-batuk sekarang. "Gak cuman lo, gue juga." "Tapi ini gara-gara lo, lagian kenapa sih lari ke sini?" "Gue reflek aja. Gue juga gak tau kalau pintu ini ternyata rusak, mana gak bawa ponsel juga. Ah sial hari ini!" decak Malvin kesal. "Ya intinya ini gara-gara lo, coba lo gak geret gue juga dan cuman lo doang di sini." "Gue reflek kali, namanya juga gak sadar. Ah jangan dong kalau gue di sini sendirian, pasti lo tinggal kan gue takut." Malvin mendekap tubuhnya sendiri dan menggeser duduknya lebih dekat ke Salma. "Ih ngapain sih deket-deket ke gue. Makanya jangan nakut-nakuti kalau memang diri sendiri penakut, ketebak sih lo sok-sokan jadi orang kan jilat ludah sendiri." Salma juga tidak membawa ponsel karena dipinjam Cindy yang kehabisan kuota internetnya. "Coba kalau lo gak geret gue, gue ya ninggalin lo lah terus ledekin lo di luar sana." lanjut Salma. "Bales dendam itu ceritanya, gue gak penakut amat kok kan kalau ada temannya gini enak." "Idih siapa juga yang mau temenan sama lo? Kalau emang takut sih takut aja, tetep ngeles mulu." Salma enggan menatap balik ke Malvin yang sedari menatapnya apalagi posisi duduknya yang menghadap ke arahnya sedangkan pandangan Salma tertuju pada pintu gudang yang tetutup rapat. "Galak banget deh." Lagi-lagi Malvin mencibir Salma. "Kalau tau gue ini galak ngapain cari masalah ke gue? Buang-buang waktu aja gue sama lo ini. Harusnya ini tadi sudah beres dan tinggal santai-santai di kelas." Salma berulang kali menghembuskan napasnya berat dan merasa sangat emosi hari ini terutama kejebak di gudang karena lelaki itu tapi Malvin tidak merasa bersalah sama sekali dan terus mencibirnya. Malvin menahan senyumannya, melihat gadis di depannya ini sedang marah-marah dan sengaja Malvin makin membuatnya kesal. Hatinya mendadak senang saja melakukannya. "Lo ngapain sih duduk begitu, menghadap ke depan bisa gak?" Salma lama-lama merasa risih dipandangi sedari tadi oleh Malvin. "Oke tapi ada syaratnya." "Tinggal duduk hadap ke depan aja ada syaratnya juga. Ribet amat." "Gue mau denger lo manggil nama gue dengan suara yang lembut bukan segalak ini dari kemarin." Malvin tersenyum penuh arti. "Ogah!" tolak keras dari Salma dan bergidik geli membayangkan dirinya memanggil Malvin dengan suara lembut. Salma saja meski punya adik seperti Juna tak pernah dirinya memanggil adiknya dengan suara lembut dan suka membentaknya tapi ia tetap menyayangi adiknya tersebut karena Juna menghormatinya sebagai kakak walau suka dibuat kesal tingkahnya. "Ya sudah gue tetap begini terus." Malvin malah mendekatkan tubuhnya ke Salma dengan posisi yang jelas-jelas masih menghadap ke gadis itu yang duduk miring. Meja yang mereka duduki masih layak pakai dan tidak rapuh hanya saja banyak coretannya yang akan dihapus nantinya oleh tukang kebun. "Gue risih!" Salma pun menatap Malvin dan raut wajahnya menunjukkan rasa kesalnya hampir satu jam terjebak di dalam gudang. "Cuman manggil nama gue, apa susahnya sih? Karena dari kemarin-kemarin lo manggil gue munyuk." "Oke gue manggil nama lo. Malvin, sudah puas kan?" "Enggak dong, sama suaranya yang lembut. Selalu ketus banget deh manggil gue pake nama hewan pula." Malvin yang merasa tak ada kerjaaan selain menggoda Salma hari ini. Salma terdiam beberapa saat lalu menarik napasnya dan dihembuskan secara perlahan. "Malvin." Saking lirihnya sampai Malvin mengernyitkan dahinya sembari mendekatkan wajahnya ke sisi telinga Salma. "Enggak kedengeran gue, lagi dong!" suruh Malvin. "Lo ini!" Geram Salma. "Iya ya gue di sini--aws kok malah ditampar?" Malvin memegang pipinya setelah ditampar oleh Salma meski tak terlalu keras. "Jangan main-main ya lo, gue bisa lebih dari tamparan biasa kayak gini!" "Iya deh ya," balas Malvin mengalah. "Ayo dong!" Malvin tak sabaran mendengar suara lembut dari Salma. "Gue gak mau ulangi lagi, kupingnya itu dipasang yang bener." "Sudah ada di sini sejak lahir." Malvin memegang telinganya sejenak. "Ck! Iya ya." "Oke." Malvin pun menyimak antusias dan bibirnya berkedut supaya tidak menertawakan Salma yang tengah gugup akan mengeluarkan suara lembutnya. "Malvin. " Salma langsung menutup wajahnya dan berteriak kesal setelah bersuara lembut tadi. "Ekhem." Malvin berdehem dan tersenyum samar baru saja mendengar suara Salma yang enak saja kalau lembut tadi. "Tepatin syarat lo!" "Iya ya." Malvin mengganti posisi duduknya kini sama persis seperti Salma dan keduanya kini bersebelahan. Salma mendesah lega akhirnya lelaki itu tak menghadapkan tubuhnya ke arahnya. Ia merasa tidak nyaman saja jika dilihat terus menerus apalagi Malvin yang terlihat meledeknya. Benar-benar rasanya ingin segera keluar dari sini. "Andai ada jendela, di sini cuman ada ventilasi doang." Mata Salma menyapu ke segala penjuru gudang ini dan hanya menemukan ventilasi itupun letaknya begitu tinggi sekali. "Kemungkinan sampai sore, lagian osis pendamping kita juga gak balik lagi dan cariin kita." "Emang kelas lain gak ada gitu yang dihukum disini." "Kan waktunya bergilir, jadi gak ada lah." "Aih pokoknya ini gara-gara lo." Salma masih kesal saja mengingat tadi ikut digeret masuk ke gudang dan berakhir kejebak serta tak bisa dibuka pintu gudang sekolahnya. "Ya kalau tadi lo nolongi gue waktu ketakutan ada tikus bukan malah ketawain gue doang pasti gak sampai kejebak begini." "Situ masih menyalahkan? Gak ada rasa bersalahnya ya lo, minta maaf ke gue aja kagak dan bikin emosi sih iya." Tangan Salma mengepal kuat dan ingin rasanya menghajar Malvin sekarang juga. "Sama-sama salah." Malvin menjulurkan lidahnya dan matanya juling seperti tadi mengecek Salma. Salma mengelus dadanya dan berusaha bersabar kali ini. Mungkin nantinya kalau sudah kelewat batas membuatnya emosi, Salma tentu tidak tinggal diam. Beberapa menit kemudian, mata Salma sudah berat ketika dibuka dan ingin dipejamkan sekarang. Sesekali menguap lebar dan hampir saja jatuh kalau tak sadar. Malvin pula mengetahui kalau Salma sedang mencoba menahan rasa kantuknya sampai hampir terhuyung ke depan. "Lo ngantuk kah?" tanya Malvin memastikan. "Sudah tau masih nanya aja sih." Saura Salma menjadi serak seraya memejamkan matanya dan kedua tangannya memegang kuat ujung meja yang didudukinya. "Eh!" pekik Malvin yang reflek mendekap tubuh Salma saat melihat Salma akan terhuyung ke depan. Lantas Malvin meletakkan kepala Salma dengan pelan ke bahunya. Salma yang sudah tak bisa lagi menahan rasa kantuknya kini terlelap menyandar ke bahu Malvin bahkan tangannya melingkar dipinggang Malvin. Posisi duduk mereka berdua menjadi menempel saat ini dan Malvin merasakan degupan kencang didadanya. Malvin memandang wajah Salma yang juga dekat dengannya, ia membenarkan bibir Salma agar tertutup rapat dan tidak kemasukan hewan. "Dia cantik--eitss apa-apaan sih gue ini memujinya. Entar kepedean lagi." Malvin mengakui kalau Salma mempunyai wajah yang cantik dan sangat tidak membosankan sekali kala dipandang lebih lama. Namun Malvin segera mengenyahkan pikirannya yang terlalu memuji Salma yang jelas saja Salma tidak suka padanya. "Kalau gini terus, tubuh gue pegal-pegal dong. Dia mah keenakan." Gumam Malvin. ... "Kamu ikut daftar jadi anggota osis?" tanya Silma penasaran saat Alfa kembali masuk ke kelas dan menghampirinya. " Bukan anggota." Alfa duduk di sampingnya lalu meraih tangan Silma tuk digenggam. "Terus?" "Aku ingin jadi ketua OSIS, Sayang." Alfa memainkan tangan Silma. Mereka berdia sepakat menggunakan aku-kamu yang lebih manis didengar ketimbang gue-lo. "Haduh jangan manggil aku sayang, jadi malu apalagi kalau ada yang dengar." Silma menutup bibirnya dengan tangan satunya. "Ngapain malu juga? Mumpung gak ada guru." bisik Alfa tepat di sisi telinga Silma. "Alfa." "Iya, Sayang." "Kamu beneran suka sama aku?" "Kok kamu tanya begitu sih? Jelaslah aku suka bahkan sayang banget sama kamu." "Ah cuman nanya doang kok, emang gak boleh?" tanya Silma balik mengetahui sekarang kekasihnya itu memasang wajah kesal dan itu membuat Silma merasa bersalah. "Kamu sama saja ragu kepadaku dan aku sakit hati aja mendengar suara keraguanmu." Namun Alfa masih menggenggam tangan Silma. "Maaf, bukannya aku ragu tapi aneh saja kita terlalu cepat berpacaran." "Anggap saja kita berteman dekat, Silma." "Tapi bagiku sendiri berteman dan berpacaran itu berbeda rasanya." Alfa menarik napasnya. "Terus mau kamu apa sekarang?" "Kamu marah ya?" tanya Silma yang merasa khawatir kalau kekasihnya beneran marah kepadanya. "Bukan marah sih tapi kesel saja ditanya lagi. Nampaknya kamu benar-benar ragu padaku." Alfa pun melepaskan genggamannya dan enggan menatap Silma. "Maaf, Alfa. Aku salah, aku mohon kamu jangan marah dan aku takut kalau kamu marah begini." Silma meraih tangan Alfa dan digenggam kuat. Alfa pun menatap Silma kembali dan tangan satunya terangkat tuk menepuk puncuk kepala Silma dengan lembut. "Iya aku sadar, ini memang terlalu cepat kita berpacaran tapi anggap saja aku itu seperti temanmu. Teman hidup maksudnya hehe." Alfa terkekeh pelan membuat hati Silma menjadi lebih tenang, mengetahui kekasihnya tidak marah kepadanya. Silma memelik Alfa dari samping dan itu hanya sebentar saja karena takut ketahuan oleh guru. Tanpa mereka sadari, seseorang merekam kemesraan mereka lalu rekaman itu dikirim ke temannya. "Silvia harus tau dong." Dia mengeluarkan senyum smirk memandang mereka yang bangkunya tak jauh pula darinya. "Silma, Silma. Lo bakal habis ditangan Silvia, gak sabar deh lihat lo disiksa nantinya." ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD