Part 15

2036 Words
Part 15 Silma: Alfa, nanti ganti aku ya yang ke kelasmu Alfa mengernyitkan dahinya heran saat membaca pesan dari Silma padahal ia akan bersiap menuju kelas kekasihnya itu dan ini masih menunggu guru yang tengah menilai tugas-tugas dari murid kelasnya. Nantinya akan dibagikan dan langsung keluar kelas. Me: Sil, biar gue aja yang ke sana Alfa membalas pesan dari Silma. Ia senang-senang saja dihampiri Silma namun karena situasi yang tidak mendukung lebih baik dirinya saja yang menghampirinya. Ponsel Alfa kembali bergetar dan mendapat notifikasi pesan bertanda tidak lama menunggu balasan pesan dari Silma. Silma: Lho kenapa? Aku ingin ke sana, ini lagi otw ke kelasmu Alfa menghembuskan napasnya pelan akhirnya membiarkan Silma menuju kelasnya dan meminta Silma menunggunya di depan kelasnya. "Wah chat dari siapa? Silma kah? Ekhem." Teman sebangkunya--Bondan Atwater menepuk bahu Alfa. Teman sebangku Alfa sementara karena Silvia sedang izin pulang lebih cepat dari biasanya karena mengikuti lomba futsal di GOR. Walau begitu sebelumnya yang menjadi twman sebangku yakni Bondan namun Silvia kekeuh ingin sebangku bersama Alfa dan Bodan akhirnya mengalah pada gadis agresif tersebut. "Iya, dia mau ke sini." "Terus lo kok lesu begitu?" tanya Bondan kepo melihat raut lesu tertampil di wajah Alfa saat ini. "Giliran gue lama pasti terakhir deh, gue tadi numpuknya aja terakhir. Ck, gara-gara dipanggil anak OSIS ini malah jadi ketinggalan gue." "Kan lo bentar lagi jadi ketua OSIS, ini aja masih calon dan setelah jadi OSIS bakalan sibuk terus kedepannya. Gue dulu SMP pernah merasakan jadi anggota inti juga dan sekarang gue juga daftar lagi. Kita sama tuyul belakang tuh satu-satunya yang daftar OSIS di kelas ini." Bondan terkekeh pelan sambil tangannya menepuk-nepuk kepala temannya yang duduk di belakang mereka dan tengah tertidur pulas. Namanya Andrion Albern biasa dipanggil Rion, hobby rebahan, tidur, game tapi ingin menjadi anggota OSIS "Keinginan gue dari dulu jadi OSIS, waktu SMP nggak dibolehin sama bokap jadi gue SMA ini mulai langsung daftar OSIS. Ya meski gak punya pengalaman tapi gue yakin gue punya sifat kepemimpinan yang bagus untuk progam sekolah ke depannya," ucap Alfa yakin pada diri sendiri yang mampu menjadi ketua OSIS yang lebih baik dari sebelumnya. "Iya, lo bakalan jadi ketua OSIS secara fans lo banyak tapi kasian Silma yang jadi korban dari kesibukan lo kalau lo beneran jadi ketua OSIS nantinya." Bondan membungkukkan badannya dan membenarkan tali sepatunya yang terlepas. "Ah iya tapi gue usahain bisa bagi waktu, Silma juga bakalan mengerti kesibukan gue." "Katanya pacar lo sifatnya manja dan suka bergantung ke orang lain?" "Iya, halah nanti Silma juga berubah-berubah sendiri sifatnya. Gue juga akan lebih tegas ke Silma kalau dia masih kekanak-kanakan." "Mending putusin aja lah." Bondan malah menyarankan Alfa memutuskan hubungan asmaranya dengan Silma. "Kok lo bilang begitu? Enak bener, gue susah cari cewek yang jauh-jauh dari sikap yang suka cari masalah soalnya dan gue sudah mengenal Silma sejak SMP. Untung aja sih masih ingat sikapnya dan gue gak ragu lagi Silma jadi pacar gue. Silma bukan murid nakal." "Gue tau sikap lo keras, Alfa. Gue malah kasian ke Silma, kalau lo emang sudah gak nyaman sama Silma lebih baik lepasin aja daripada Silma sendiri yang tersiksa. Lo sikapnya sama kayak bokap lo, Silma tipe cewek yang harus dilembutin mungkin orang tuanya merawatnya begitu jadi yang buat gue khawatir, lo nanti bisa bikin dia down. Apalagi lo juga malahan berteman dekat sama Silvia yang jelas-jelas gak suka sama Silma. Pakai alasan berdamai pula, padahal Silvia sudah berbuat jahat sama Silma. Pikir dong." "Iya ya gue mengontrol diri buat tidak terlalu keras ke Silma. Tapi aoal Silvia itu sudah jadi keputusan yang bulat. Gue gak mau Silma kenapa-napa gara-gara Silvia. Gue gak bisa menghadapi Silvia soalnya, taruhannya pekerjaan bokap gue. Bokap gue baru dipecat masak harus dipecat lagi. Gue sedih lihat bokap suka melamun mikirin masa depan gue kelak dan bokap kepengen kuliahin gue ke luar negeri." "Iya, Bro. Gue tau masalah ekonomi keluarga lo tapi kalau lo beneran gak bisa lindungi Silma lebih baik tinggalkan saja daripada lo merasa tertekan dekat sama Silvia. Dari raut wajah lo aja nampak gak suka banget nyebut namanya. Lagian sih bisa-bisanya lo dulu dekat sama Silvia." "Silvia orang kaya, gue sering dibelanjain sama dia dan apa pun dikasih sama dia. Gue jadi gak enak waktu itu buat nolak dan bokap kayak senang banget gue bisa dekat sama anak bosnya. Kayak gak ada harga dirinya gue sebagai laki-laki dan setelah bokap sudah menetap bukan jadi pegawai kontrak akhirnya gue tinggalin Silvia." Alfa menjelaskan alasan yang sebenarnya kepada temannya supaya mengerti dan tidak salah paham. "Silma tau itu?" tanya Bondan bingung. "Gue malu lah, ya kali cerita begitu. Takutnya gue direndahin. Silma itu bukan anak dari kalangan biasa dan sama seperti Silvia." Alfa terkekeh pelan. "What? Jadi Silma itu anak orang kaya ya? Berarti bener dong dugaan gue, soalnya dia selalu diantara pakai mobil alphard lho. Murid-murid sini aja sih yang ngira dia numpaang." "Salah besar kalau numpang, itu memang mobilnya dan sudah ada sopir pribadi yang siap mengantarnya bersama adiknya yang beda sekolah." Alfa mengulas senyumnya tipis. "Ouh begitu, emang lo tau banget keluarga Silma? Bukannya dia tertutup sama lo?" Rasa penasaran Bondan begitu menggebu-gebu kali ini. "Gue kenal bokapnya yang kebetulan bokap gue temenan sama bokapnya." Alfa berulang kali menghela napasnya karena namanya tak kunjung dipanggil-panggil. "Dan bokapnya itu pengusaha sepatu, sepatu yang lo pakai itu miliknya." Sontak Bondan melihat sepatunya yang bertuliskan nama merk 'Zizac' atau biasa disingkat ZZ. "Eh beneran?" Bondan memekik terkejut sampai mengundang perhatian murid-murid di kelas ini dan ditegur sebentar oleh guru yang tengah memanggil satu per satu murid. Bondan meminta maaf telah menganggu mereka dan kembali menatap Alfa. "Iya." Alfa mengangguk santai. "Gue suka sama brand sepatu ini dan gue juga koleksi banyak sepatu merk Zizac eh ternyata astaga gue gak percaya. Gue fans sama merk ini." Bondan mengusap wajahnya kasar. "Gue juga kali dan baru tau kalau Silma bukan anak kalangan biasa. Padahal gue kenal dia dari SMP tapi memang gak ada kabar sama sekali dan sepertinya bokapnya yang bayar banyak buat bungkam sekolah tentang bionya Silma." "Ah iya ya semuanya bisa asal ada uang. Gue masih kaget ini." Bondan mengelus dadanya. "Gue tau semua itu waktu bokap ngajak ketemuan temannya eh ternyata Om Pandu bahkan beliau yang bilang sendiri ke gue kalau anaknya satu sekolahan sama gue dan beliau ingin gue jaga Silma di sekolah." "Silma sudah tau kalau bokapnya pernah ketemu sama lo?" "Belum, Om Pandu suruh gue buat gak bilang siapa pun terutama ke dia sebelum Silma sendiri yang bilang sejujurnya. Bokap gue aja yang lebih tau gak bilangin gue sama sekali dari dulu dan ya gue akui bokap itu pintar jaga rahasia temannya. Tapi sayangnya bokap itu tipe orang yang gak betah kerja tahunan, pasti setahun keluar ya yang terakhir ini awet di perusahaannya orang tuanyanya Silvia. Andai aja bokap kerja di Om Pandu pasti gue bisa santai melawan Silvia tapi entah mengapa bokap gak suka kerja di kantor temannya, merasa gak enak gitu." "Sabar, Bro. Walau sabar bikin kesel sih. Tapi tetap bersyukur aja bokap lo dapat kerjaan." Bondan menepuk pundak Alfa beberapa kali. "Hahaha iya." "Alfa!" panggik guru mata pelajaran mereka di jam terkahir ini. "Noh dipanggil lo." "Oke, gue duluan ya!" pamit Alfa pada teman-temannya. ... "Enggak biasanya kamu ingin jemput aku di kelas, tadi sampai kelaparan nungguin aku, maaf ya waktu istirahat tadi." Alfa menarik hidung Silma gemas. Setelah keluar dari kelasnya, segera Alfa menarik tangan kekasihnya yang duduk di koridor kelasnya. "Ah enggak papa." Silma menggeleng. "Kamu masih lapar? Aku ajak makan burger kill di depan sekolah, tempat tongkrongan baru." "Iya." Alfa merasa ada yang aneh dari Silma, lebih banyak diamnya dan tidak seperti biasanya. "Kamu kenapa?" tanya Alfa bersuar lembut dan membuat Silma menghentikan langkahnya. "Aku." Tiba-tiba tubuh Silma bergetar. "Kamu kenapa, Sil? Jangan nangis!" Alfa menangkup wajah Silma dan membelainya lembut. "Aku takut kehilanganmu. Aku masih mengingat betapa akrabnya dirimu bersama Silvia." Silma meneteskan air matanya lalu Alfa buru-buru menghapusnya. "Hust jangan bilang begitu, di hatiku cuman ada kamu seorang dan aku hanga berteman saja sama Silvia." "Tapi Silvia itu tetap saja akan merebutmu dariku. Aku cemas sekali kalau itu beneran terjadi nantinya." "Hey, tenanglah. Itu tidak mungkin terjadi, aku sudah bilang tadi ke kamu kan? Tujuanku mengajak Silvia berteman itu supaya kamu gak diganggu dia lagi, kamu pun dibully kemarin tidak cerita padaku. " " Kamu tau dari siapa?" tanya Silma seraya menghentikan isak tangisnya. "Tidak peduli siapa yang penting kamu mau jujur padaku kedepannya. Please, katakan kepadaku yang sejujurnya dan aku yang semestinya khawatir sama kamu. Maaf kalau kamu bersamaku malah membuat hidupmu terancam sama mereka." Alfa menarik Silma untuk masuk ke dalam dekapannya. Tangannya membelai rambut panjang Silma sedangkan Silma memegang erat pinggang Alfa. 'Maaf Alfa, sampai kapan pun sangar sulit berkata jujur padamu dan aku yang tidak mau kamu khawatirkan aku. Aku terlalu merepotkanmu selama ini'--batin Silma. "Mungkin nantinya kalau kamu tidak kuat, kamu bisa memutuskan hubungan kita dan aku akan ikhlas menerimanya. Itu tandanya kita tidak ditakdirkan untuk bersama." Silma melepas pelukan dari Alfa lalu menggenggam pergelangan tangan Alfa. "Tidak, itu tidak akan terjadi. Aku sayang kamu, aku akan terus memperjuangan hubungan kita." Alfa kembali memeluk Silma dan tak bisa membayangkan perpisahan itu terjadi. "Jujur saja, pertama kalinya aku takut kehilangan seseorang dan bisa dibilang kamu itu cinta pertamaku. Dulunya aku memang playboy dan tak serius kalau pacaran tapi semenjak aku kenal kamu, aku jadi ingin berubah. Maaf, aku tidak bilang padamu yang sebenarnya soal ini, Silma.' Alfa melepaskan pelukannya dan memegang pundak Silma. "Kamu beneran ingin berubah? Tidak jadi playboy lagi?" "Iya, Silma. Aku sudah tidak ada waktu untuk main-main lagi dan oh ya, sebagai pengingat. Jikalau aku terpilih menjadi ketua OSIS, maaf kalau semisal aku hanya memiliki waktu sedikit buat kamu dan kegiatan OSIS pasti juga banyak. Lagi, kalau sifatku nanti bisa keras ke kamu itu tandanya aku sedang tidak ingin diganggu. Aku juga mudah marah tapi di saat aku sedang sibuk saja." Alfa merapikan rambut Silma supaya nampak rapih kembali. "Iya, Alfa. Aku mengerti." Silma mengulas senyumnya. "Nanti kalau ada waktu luang yang banyak pula, aku akan ngajak kamu liburan sesuai keinginanmu." Kini mereka berdua melanjutkan jalannya menuju parkiran. "Ah beneran?" "Iya, Sayang." Silma tersenyum malu dan menepuk tangan Alfa. Alfa terkekeh melihatnya lalu dirangkul pundak Silma. "Btw, soal tadi kamu rangkul Silvia. Itu tidak sengaja ya?" tanya Silma yang masih dirasa kejadian itu mengganjal di hatinya dan rasa cemburu itu terus meletup-letup kala teringat kejadian tadi. " Iya, Silma. Tapi aku rasa itu perbuatan Silvia sendiri yang membuat tangannya bisa merangkuknya. Aku kalau sibuk berbincang sama teman biasnaya gak sadar, kamu tau sendiri kalau aku ngobrol sama temanku dan aku juga terkejut bisa-bisa tanganku dipundak Silvia," jawab Alfa berterus terang. "Itu kebiasaanmu yang baru kuketahui." "Iya, aku lupa bilang ke kamu soal sikapku ini. Dulu pun seringnya aku kecopetan karena ya kayak begini, gak sadaran sama sekitar dan sadae pun setelah berbincang atau melakukan aktivitas begitu." "Kecopetan?" Silma terkejut mendengarnya. "Iya, Sil. Aku ceroboh sekali dan entah sikapku ini bisa hilang atau tidak." "Mulai sekarang harus lebih hati-hati atau kamu kemana pun kalau pergi jangan sendirian, cari teman kalau bisa." "Iya, Sil. Setelah gue mengenal sikap gue yang ceroboh itu biasanya sih ngajak teman atau mungkin kamu hehe." Alfa mengedipkan sebelah matanya ke Silma. "Iya, aku mau kok nemenin kamu keluar entah cari apa yang penting jangan malam-malam." "Tapi, katamu gak dibolehin pacaran jadi aku harus mengaku teman dong saat ke rumahmu?" "Enggak usah ke rumah, seperti bisa di depan gerbang kawasa perumahan saja." Silma menggeleng. Tidak mau dijemput Alfa ke rumahnya langsung sebab takut orang tuanya memarahinya soal dikira berpacaran meski Alfa bisa mengaku berteman. Tetap saja Silma mengkhawatirkan hal tersebut. "Hmm ya sudah, aku tidak memaksamu kok," ucap Alfa mengalah kemudian menggandeng erat tangan Silma. Mereka berdua sudah sampai di parkiran sekolahan dan segera Alfa mengambil motornya sedangkan Silma seperti biasa menuju di luar parkiran motor murid di sekolah ini. "Yuk!" Silma mengangguk saat mengetahui Alfa sudah selesai mengambil motonya dan berhenti di depannya. Lantas Silma naik ke motor besar milik Alfa dan dibantu pula oleh kekasihnya itu. Tanpa mereka ketahui, seseorang mengawasi mereka dari kejauhan dan tangannya juga sedang membawa ponsel. "Tunggu saja waktu yang tepat, Silvia akan beraksi haha dan dia tak sebodoh itu membiarkan kalian bersama." ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD