Pantang Menyerah

1953 Words
Gadis cantik anak Mama Arina sedang sibuk di dapur membuat sarapan untuk kedua orang tuanya. Malika ini tidak begitu suka memasak. Tapi, ketika dia mau masuk dapur seperti saat ini. Mama dan Papanya pasti sangat antusias untuk sarapan dengan menu masakan putrinya. Arina dan Ady baru saja selesai olahraga di ruang gym yang ada di dekat taman belakang, mereka langsung bersiap untuk berangkat kerja. Keduanya biasanya akan minum kopi atau teh dulu setelah olah raga. Namun hari ini tidak, karena Bibik mengatakan jika putri cantik mereka sedang menyiapkan sarapan. “Harum sekali, Sayang. Masak apa?” tanya Arina saat masuk ke dapur. Malika yang sedang sibuk mengangkat sup iga yang baru matang tidak menjawab pertanyaan dari sang Mama. Dia takut jika tangannya terkena air panas. “Ah ... panas ...” ujarnya, Malika tersenyum ke arah Arina. “Masak sup iga, Ma. Cuaca mendung gerimis begini enak kalau sarapan yang berkuah,” jawab Malika. Arina langsung membantu Malika memindahkan sayur ke mangkuk besar yang telah di siapkan oleh anaknya. Sebelumnya dia mencicipi masakan buatan putrinya. “Enak sekali, tidak pernah gagal kalau masak!” seru Arina. Malika menyiapkan udang krispy yang sudah di gorengnya, membawanya ke meja makan. “Pagi, Sayang. Rajin sekali hari ini,” sapa Ady pada Malika. Malika mengecup pipi sang Papa. “Pagi juga Papa ganteng, Malika lagi pingin masak, Pa,” jawabnya. Dia kembali ke dapur menyiapkan jus jeruk yang sudah di buatnya tadi. “Sayang ini rantang buat apa?” tanya Arina saat melihat rantang di meja. “Malika mau bawa sup iga buat Nenek Kemala dan Kak Nadhief, Ma.” “Oh iya, Mama juga belum tanya keadaan Nenek Kemala lagi. Nanti waktu antar sup iga buat Nenek Kemala, Mama nitip sala ya,” ucap Arina pada Malika. Malika dengan cekatan memasukkan sup iga dan udang krispy ke dalam wadah, dia tidak membawakan nasi. Pasti Bibik di rumah Nenek Kemala sudah memasak. “Mama ngak mau ikut mampir sekalian?” Arina menggeleng, dia membantu Malika menutup rantang. “Mama hari ini harus menemani Papa ke solo, jadi ngak ada waktu buat mampir,” terangnya. “Pulang apa menginap, Ma?” “Nanti sore baru pulang, kemungkinan malam sampai rumah. Mau titip apa?” “Pangeran solo kalau ada, Ma. Bungkus satu buat Malika.” Arina tertawa mendengar apa yang di katakan oleh putrinya, Malika ini suka sekali menitip hal aneh-aneh ketika kedua orang tuanya pergi ke luar kota atau luar negeri. “Buat apa pangeran solo, bukankah Kakak sudah punya pangeran idaman?” Malika menghembuskan napas, seolah-olah sedang kelelahan. “Di tolak terus, Ma! Ngak ngerti lagi Malika harus pakai jurus apa agar pangeran idaman Malika klepek-klepek.” “Ya kalau ngak ada harapan cari saja yang lainnya, Kak. Lagi pula Kakak ini masih muda pasti banyak yang mau.” “Kalau yang suka sama Malika mah banyak, Ma. Dari yang tua sampai anak SMA, banyaklah pokoknya. Tapi yang pas di hati dan pikiran Malika hanya ada satu, cuman ya itu ... susah di gapai,” terang Malika dengan terkekeh. “Kapan mau menyerah?” kini Arina mulai kepo dengan hubungan asmara putri tunggalnya. “Sampai negara api dapat mengalahkan negara es, baru Malika akan menyerah.” “Memangnya ada kedua negara itu?” Malika menggeleng dengan tertawa, dia suka sekali menggoda Mama cantiknya. Pasti sebentar lagi dia akan mendapatkan cubitan manja di kedua pipinya. “Kakak ... jahil banget sih!” seru Arina. “Lagian Mama juga, pagi-pagi sudah kepo-kepo sama Malika.” Arina hanya mendengkus, kemudian mencium kedua pipi Malika. Mengajaknya untuk segera sarapan, karena dia dan suami harus segera berangkat ke solo. Selesai sarapan Malika bergegas untuk berganti pakaian dan berdandan tipis-tipis. Dia akan mengantar sarapan untuk Nenek Kemala dan Nadhief. Kemarin dia meminta jadwal kuliah dan mengajar Nadhief pada Arga, jadi dia tahu jika hari ini Nadhief akan berangkat ke kampus siang. Sesampainya Malika di depan rumah Nenek Kemala ada satu mobil asing yang tidak pernah di lihat olehnya. Dia langsung masuk ke dalam rumah penasaran dengan siapa yang bertamu di pagi hari seperti ini. “Selamat pagi, Bibik,” sapa Malika ketika Bibik membuka pintu. “Selamat pagi, Non Malika. Silahkan masuk, Non.” “Bibik ngak masak ‘kan?” tanya Malika. “Seperti yang Non Malika katakan kemarin, hari ini Bibik hanya masak nasi putih saja.” Malika tersenyum, dia masuk ke dalam rumah dengan membawa rantang berisi lauk pauk. “Ada tamu ya, Bik?” “Iya, Non. Mama tiri Aden.” Malika hanya membulatkan mulutnya, dia malas membalas soal Mama tiri Nadhief. Si Nenek lampir yang menyebalkan. Itulah kesan yang di tinggalkan oleh Clara pada Malika waktu pertama bertemu. Bibik mengajak Malika langsung menuju ke arah dapur tanpa melewati ruang keluarga, sedang ada sedikit perdebatan antara Nadhief dan Ibu tirinya jadi Bibik tidak enak jika lewat begitu saja. “Nenek Kemala di mana, Bik?” “Di taman belakang, Non. Tadi sedang membaca buku di sana.” Malika menyerahkan rantang yang berisi sup iga dan udang Krispy yang dia masak tadi pada Bibik. Dia akan menyusul Nenek Kemala kebelakang, ingin melihat kondisinya. “Malika ...” panggil Nenek Kemala ,saat melihat gadis cantik sedang berjalan ke arahnya. “Selamat pagi, Nenek,” sapa Malika. Nenek kemala tersenyum dengan hangat. “Pagi, Sayang,” jawabnya. Malika duduk di sebelah Nenek Kemala, dia mengecek suhu badan Nenek Kesayangannya itu. “Alhamdulilah sudah ngak demam lagi,” ucapnya dengan mendesah lega. “Berkat sup ikan rempah buatan Mama kamu, Nak.” Malika mengangguk, Mama Arina memang sangat jago sekali kalau soal masak. “Nenek sudah sarapan?” “Belum, Bibik tadi bilang ngak masak. Katanya kamu mau bawain masakan buat kami?” “Iya, Nenek. Tadi pagi Malika masak sup iga dan udang krispy. Sudah di siapkan sama Bibik, Nenek mau makan sekarang?” “Boleh, mau coba sup nya. Pasti tidak kalah enak sama yang kemarin.” Nenek Kemala mengajak Malika untuk masuk ke dalam, dia ini sudah tahu jika Malika pandai memasak. Namun, dia hanya memasak jika suasana hatinya sedang senang saja, Malika tidak mau masak jika di paksa. Bibik sedang menyiapkan makanan yang di bawa Malika ketika mereka sampai di meja makan. Dengan sangat sabar Malika membantu Nenek Kemala untuk berjalan hingga duduk. Gadis manis yang sangat penuh dengan perhatian itulah Malika dalam pikiran Nenek Kemala. “Kak Nadhief ngak di ajak sarapan sekalian, Nek?” “Dia sedang ada tamu, biar nanti menyusul saja kalau sudah selesai.” “Tante Clara mau apa dia kesini, Nek? Bukannya terakhir kali dia ke sini ngamuk-ngamuk itu ya?” Nenek Kemala mengangguk, Clara terakhir datang hampir 2 tahun yang lalu. Itupun dia datang karena mau melabrak Nenek Kemala, saat itu kebetulan ada Malika yang sedang main dengan Nala. “Nenek tidak tahu, Nak. Waktu Nenek keluar tadi Clara tidak mau menyapa, jadi lebih baik Nenek kembali masuk saja ke dalam. Dari pada harus melihat wajah orang yang tidak tahu sopan santun,” ujar Nenek Kemala. “Idih ... masak tamu kayak begitu sih Nek? Kalau ketemu sama Mama pasti sudah di usir sejak tadi.” “Namanya juga orang lagi hidup enak ya begitu, sejak dulu ‘kan memang susah hidupnya. Sampai harus mengemis sama Almarhum Mama Nadhief meminta pekerjaan.” “OKB memang begitu, Nek. Suka mendadak hilang ingatan!” seru Malika, dia ini gemas sekali sama orang kaya baru yang sok-sokan seperti Clara. Nenek Kemala mulai makan sarapan buatan Malika, beliau ini sangat suka sekali dengan segala macam sup buatan Malika dan Arina. Pasti rasnya enak sekali, membuatnya ingin tambah lagi dan lagi sampai perutnya penuh. Setelah sarapan selesai Nadhief masuk dengan wajah datar, Membuat Malika sulit menebak apakah Nadhief sedang marah, sedih atau bahagia. “Kakak mau sarapan?” “Hmmm ...” “Mau sup iga?” Tanpa bersuara Nadhief menyerahkan mangkuk kecil pada Malika, dia meminta gadis manis itu untuk mengambilkan sup untuknya. “Makan yang banyak, Kak,” ucap Malika dengan menyerahkan mangkuk yang berisi penuh sup iga. Nadhief mulai sarapan tanpa suara, Nenek Kemala dan Malika hanya memandangnya saja tanpa berani bertanya sesuatu. Biasanya setelah kedatangan Papi atau Mama tirinya suasana hati Nadhief pasti akan memburuk. “Tambah?” tanya Malika, saat Nadhief menyerahkan mangkuk lagi. Nadhief mengangguk, kini dia mengambil udang krispy yang ada di piring. Nenek Kemala meminta Malika untuk menemani Nadhief sarapan, dia ingin pergi ke kamar mandi. Malika yang mendapatkan tugas dengan senang hati melaksanakannya, menemani orang ganteng sarapan. “Kamu ngak ada kuliah?” “Ada, Kak. Tapi nanti siang,” jawab Malika. “Tadi masuk lewat mana, kok aku ngak lihat?” “Bibik ngajakin lewat samping rumah, katanya ngak enak sama Nenek lampir.” Nadhief mengangkat sebelah alisnya. “Siapa?” “Tante Clara, dia ‘kan galak banget kayak Nenek lampir.” “Kamu pernah bertemu?” Malika mengangguk, waktu Clara melabrak Nenek Kemala dia yang membela sampai menjambak rambut lampir yang akan menampar Nenek kesayangannya. Saat itu Nadhief sedang tidak ada di rumah. “Sudah lama, kurang lebih 2 tahunan. Waktu itu Malika berhasil menjambak rambutnya sampai rontok,” ungkap Malika. “Kenapa kamu sampai jambak rambutnya?” Malika menjelaskan pada Nadhief perlakuan kasar Clara pada Nenek Kemala yang membuatnya marah dan menyerang Mama tiri Nadhief. Mendengar informasi yang baru saja Malika katakan Nadhief sangat tidak menyangka jika Clara seberani itu. “Kalau enggak di pisah satpam rumah Nala, sudah jadi botak itu Nenek lampir!” seru Malika. Nadhief tersenyum melihat ekspresi Malika saat menceritakan kejadian dia menjambak Mama tirinya, rasa kesal dalam hatinya sedikit berkurang karena makanan dan ocehan Malika. Gadis di depannya ini memang pandai sekali membuat suasana berubah ceria. “Pasti kamu waktu di pisah sama satpam menangis, karena belum puas buat jambak orang?” tanya Nadhief. Malika mengulum senyum dan mengangguk. Dia memang seperti itu, selalu menangis jika rasa kesalnya terhadap orang jahat tidak tersalurkan dengan baik. Waktu itu Mama Arina dan Papa Ady harus pulang dari kantor lebih cepat untuk menenangkan putri tunggalnya. “Habisnya Malika kesel tuh sama Nenek lampir, masak ngatain Malika anak tabung. Enak saja, orang aku ini anaknya Mama sama Papa.” Lagi-lagi Nadhief terkekeh mendengar penjelasan Malika, memang benar jika orang tua Malika melakukan bayi tabung untuk memiliki anak. Sepertinya Malika tidak mengerti apa itu bayi tabung. “Kamu memang hasil program bayi tabung, Malika. Itu salah satu program untuk membantu pasangan yang ingin memiliki anak,” jelas Nadhief pada Malika. “Apa itu artinya Malika anak yang keluar dari tabung, lalu di adopsi sama Mama dan Papa?” Nadhief kali ini tidak bisa menahan tawanya, untung saja sarapannya sudah habis. Jika tidak pasti dia sudah tersedak. “Malika, program bayi tabung itu prosedur untuk membantu wanita agar bisa hamil. Prosesnya sel s****a dan telur diambil dari pasangan suami istri, kemudian kedua sel itu di pertemukan di laboratorium hingga terjadi pembuahan. Hasil pembuahan di masukan ke dalam inkubator khusus sampai berkembang menjadi embrio.” Malika hanya melongo saja mendengar penjelasan dari Nadhief. “Malika kamu paham tidak dengan penjelasanku barusan?” tanya Nadhief. “Ihhh ... Kak Nadhief kok bicara mecum sih! Nanti aku laporin ke Nenek Kemala ya,” ucap Malika. “Siapa yang m***m?” Nadhief heran dengan Malika. “Tadi itu kenapa malah ngomongin sel s****a sama sel telur?” “Aku tadi menjelaskan proses terbentuknya kamu, Malika!” seru Nadhief dengan gemas. Malika masih menatap Nadhief dengan penuh selidik, dia kini bahkan sudah memundurkan kursi yang sedang dia duduki. Membuat Nadhief tertawa geli melihat kepolosan Malika. “Kakak Mecum aku ngak mau dekat-dekat ...” teriak Malika dengan berlari ke arah keluar rumah Nenek Kemala. “Katanya ngajakin nikah, baru juga di jelasin begitu sudah kabur. Bagaimana kalau di ajak melakukan proses pembuatan bayi secara langsung?” gumam Nadhief.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD