Makin Jauh

1941 Words
Malika berlari menuju ke kelasnya, lagi-lagi dia terlambat berangkat ke kampus. Namun siang ini dia bukan hanya terlambat tapi sangat terlambat sekali. Bagaimana tidak? ketika Malika sampai di ruangan yang dia tuju, bertepatan dengan dosennya yang keluar dari kelas. Dia masuk dengan wajah penuh keringat, nafasnya masih naik turun. Arga yang melihat kedatangan sahabatnya dengan penampilan yang sangat berantakan sekali, langsung membukakan botol minum yang dia beli sebelum masuk kelas. “Pelan-pelan, Lika!” tegur Arga. “Alhamdulillah,” ucapnya setelah menghabiskan 1 botol air mineral. “Jantungku hampir saja melompat dari tempatnya!” Malika duduk dengan menyandarkan badannya. “Kamu dari mana saja?” “Ada masalah pengiriman di toko, reseller pada komplain. Jadi, aku harus menyelesaikan secepatnya.” “Kenapa ngak ijin saja sekalian, Lika. Dari pada kamu kejar-kejaran sama waktu. Pasti di jalan tadi ngebut ‘kan?” tanya Arga penuh selidik pada sahabatnya. “Aku kira tadi bisa kekejar waktunya, jadi ngak mau ijin. Eh ... ngak tahunya kelasnya di majuin jamnya. Mana aku ngak buka ponsel lagi, jadi pesan dari kamu ngak ke baca,” jelas Malika yang kini sibuk mengelap keringatnya dengan tisu. Arga hanya menggelengkan kepala melihat Malika yang akhir-akhir ini sering terlambat masuk kampus. “Tadi tahu kalau kelasnya di majuin dari siapa?” “Pas sampai di parkiran ada mahasiswi yang lewat, membicarakan kalau kelas Pak Iqbal di majuin satu jam. Langsung saja aku berlari dari parkiran sampai ke kelas, tetap saja enggak kekejar.” “Kamu ini sering banget terlambat, Lika. Apa tidak sebaiknya pindah ke kelas karyawan saja?” “Kelas karyawan?” “Hmmm ... kelas bagi mahasiswa yang bekerja. Dengan kesibukanmu yang meningkat pesat, lebih baik pindah saja. Dari pada sering telat membuat nilai kamu semakin menurun,” terang Arga pada Malika. “Benar juga, ya. Tapi nanti kalau ambil kelas karyawan aku ngak ada temennya.” Arga terkekeh melihat Malika yang kini sudah memasang puppy eyes untuk merayunya. “Tenang saja, aku juga berniat untuk pindah. Pekerjaan di kantor sekarang makin menumpuk, aku tidak bisa menyesuaikan dengan jam kuliah.” “Jadi?” “Kita akan pindah ke kelas karyawan bersama-sama,” jawab Arga. Malika bertepuk tangan, Arga memang sahabat terbaiknya setelah Nala. Selalu mencarikan solusi setiap Masalah yang di hadapi Malika. “Kapan kita akan pindah?” “Coba kita tanya dulu kebagian Sekretariat Fakultas Ekonomi. Aku juga belum tahu syarat apa saja jika mau pindah ke kelas karyawan.” Malika mengangguk, dia mengajak Arga untuk bertanya. Mumpung dia sedang tidak ada pekerjaan, tadi Tante Niken keluar tanduknya. Dia mengomeli habis-habisan bagian gudang yang salah waktu pencatatan jumlah stok bahan-bahan yang masih ada. Sepanjang perjalanan menuju ke ruang sekretariat, Malika terus saja menceritakan kejadian yang membuat Tante kesayangannya itu murka. Seorang yang sangat lemah lembut seperti Tante Niken saja bisa berubah menjadi singa, apalagi Malika yang memiliki tingkat kesabaran setebal tisu toilet. “Bagaimana bisa teledor seperti itu, Lika? Jualan kue tapi tidak memiliki tepung, itu sangat fatal sekali.” “Aku juga tidak tahu, Ga. Tidak pernah seperti ini sebelumnya, admin yang bertugas di gudang berkata semua hasil laporannya sudah sangat benar. Ada dua orang dapur yang membantu menghitung stok saat karung berisi tepung itu datang. Mereka juga mengatakan jika stok tepung aman sampai 2 hari ke depan.” “Sekarang apa yang akan kamu lakukan?” “Tante Niken sedang mengecek CCTV gudang, aku tidak sempat ikut melihat karena harus buru-buru berangkat ke kampus,” jawab Nala. “Ya sudah nanti kamu tanya Tante Niken apa hasil penyelidikannya? Sekarang lebih baik mengurus soal kuliah kamu, jangan sampai nilai yang selalu bagus berubah menjadi minus semua.” “Iya, siap. Arga ...” jawab Nala dengan mengangkat tangannya. Dengan gaya hormat. Kedua sahabat itu melanjutkan langkahnya hingga ke ruang Sekretariat Fakultas Ekonomi, saat pertama kali masuk Malika langsung melihat ada Nadhief yang sedang membicarakan sesuatu dengan Dekan. Malika hanya mengangguk dengan sopan ketika melewati Dekan dan Nadhief. “Ada yang bisa saya bantu?” tanya petugas informasi di sekretariat. “Bu, saya dan teman saya mau tanya. Apa kami bisa pindah ke kelas karyawan?” “Apa alasan kalian mau pindah ke kelas karyawan?” Arga menjelaskan jika dirinya dan Malika kini sudah bekerja, mereka kesulitan mengatur jam kerja dan jam kuliah. Membuat mereka sering terlambat saat ada jam kuliah, tidak jarang juga mereka sering ijin tidak masuk karena banyaknya pekerjaan yang harus di selesaikan. Pihak sekretariat menjelaskan jika Arga dan Malika bisa pindah mulai minggu depan, namun ada biaya tambahan yang harus mereka bayar. Karena kelas karyawan sedikit mahal dari kelas reguler. “Ah ... leganya, setelah ini pasti tidak akan ada lagi yang namanya di kejar-kejar sama waktu,” ucap Malika. “Aku juga sama, ngak akan di sindir sama senior.” Malika sedikit terkejut dengan apa yang di katakan oleh Arga, selama bekerja sahabatnya tidak pernah bercerita jika ada teman kerja yang tidak suka padanya. “Sejak kapan kamu ada haters di kantor, Ga?” “Setelah naik jabatan, mereka mengatai aku dengan sebutan anak emas dari Bu Ranti.” “Wah ... ternyata ada yang cemburu sama kamu, apa Bu Bos Sexy mu menyuruh untuk pindah ke kelas karyawan?” “Tidak, ini murni dari keinginanku sendiri. Aku sadar aku ini anak baru, jadi wajar saja jika ada senior yang tidak suka karena aku di anak emaskan oleh Bu Ranti. Meskipun setiap hari libur aku selalu kerja sampai lembur, mereka tetap saja tidak menyukaiku,” jelas Arga pada Malika. Malika menepuk pundak Arga beberapa kali, memberikan semangat pada sahabatnya. Malika pamit dengan Arga untuk kembali ke toko, karena Tante Niken masih berada di sana. Sementara Arga ada rapat BEM yang harus di hadirinya, karena akan membahas kegiatan bakti sosial minggu depan. “Mau pindah kelas karyawan?” Malika melihat kebelakang saat akan masuk ke dalam mobil. Nadhief berdiri tepat di belakangnya. “Kakak tanya sama aku?” “Iya.” Malika mengangguk. “Keteteran sama jam kerja, jadi Malika pindah ke kelas karyawan.” Malika menjelaskan pada Nadhief. “Kak Nadhief mengajar kelas karyawan juga ‘kan?” tanya Malika lagi. “Hmm ... hanya satu kelas.” “Syukurlah, meskipun pindah masih bisa bertemu dengan Dosen kesayangan,” ucapnya dengan terkikik. Nadhief hanya mendengkus dengan kelakuan centil Malika, dia pikir tidak bertemu dengan Malika beberapa minggu akan melihat perubahan dari gadis yang ada di depannya. Tapi tidak, Malika masih saja tidak ada rasa sungkan untuk merayu Nadhief. “Mau kemana, Kak?” “Pulang.” “Bareng saja kalau ngak bawa mobil,” tawar Malika. Tanpa menjawab, Nadhief menghidupkan alarm mobilnya. Sebagai tanda dia membawa mobil sendiri. Malika hanya membulatkan mulutnya, dia sudah sering sekali di abaikan oleh Nadhief. Jadi perlakuan Nadhief barusan sudah bagaikan menu yang sering dia makan. *** “Kak ...” “Iya, Mama. Ada apa?” Malika berjalan menuju ke dapur, setelah mendapatkan panggilan dari Mama cantiknya. “Ada yang bisa Malika bantu Ibu Suri?” tanya Malika dengan memeluk Mamanya dari belakang. “Bisa tolong antarkan makanan ini ke rumah Nenek Kemala?” “Apa ini, Ma?” “Sup ikan dengan bumbu rempah.” “Siapa yang sedang sakit?” “Nenek Kemala sakit, dia sekarang ada di rumah sendirian.” “Kak Nadhief ngak di rumah, Ma.” Arina menggeleng, dia tadi di beri pesan oleh Husna untuk menjenguk Nenek Kemala yang sedang sakit. “Sepertinya Nadhief sedang ada kegiatan kampus,” jawab Arina. Nala hanya mengangguk saja, padahal tadi siang Nadhief mengatakan jika mau pulang ke rumah. Tapi kenapa juga dia malah tidak ada di rumah ketika Nenek Kemala sakit? Malika membawa sepeda listrik dengan membawa sup ikan bumbu rempah masakan sang Mama. Dia menuju ke rumah Nenek Kemala dengan bernyanyi riang. Malika ini tipe gadis yang pandai sekali menghibur dirinya sendiri, meskipun dengan hal-hal yang sangat aneh. “Nenek mau kemana?” tanya Malika ketika sampai di depan rumah Nenek Kemala. “Mau cari udara segar, Sayang. Di dalam kamar terus rasanya suntuk sekali.” “Nenek sudah makan?” Nala memarkirkan sepeda listrik nya, lalu mengambil kotak sayur yang dia taruh di keranjang depan. “Mulutnya masih kerasa pahit, Nak. Rasanya malas untuk makan.” Nala memeluk lengan Nenek Kemala, mengajaknya untuk masuk ke dalam rumahnya. “Kata Mama, Nenek sedang sakit. Sejak kapan?” “Kemarin malam, sudah minum obat dari Nadhief. Biasanya paginya langsung sembuh tapi kali ini sakitnya agak bandel,” jawab Nenek Kemala. Meskipun sedang sakit masih bisa mengajak Malika bercanda. “Kalau begitu Nenek Cantik makan dulu. Sup ikan bumbu rempah buatan Mama Arina, biar badannya kerasa enak. Soalnya badan Nenek masih anget.” Malika meminta Bibik untuk menyiapkan sup yang dia bawa dari rumah, sementara dia membuatkan minuman hangat untuk Nenek Kemala. “Terima kasih, Cantik.” “Sama-sama Nenek, Cantik.” Keduanya terkekeh bersama setelah saling memuji satu sama lain. Nenek Kemala mulai memakan sup ikan buatan Mama Malika. Beliau ini merasa sangat beruntung karena di kelilingi tetangga yang sangat baik. Karena masih memiliki pekerjaan malika tidak bisa menemani Nenek Kemala lebih lama, dia pamit setelah memastikan Nenek Kemala menghabiskan sup yang di bawakan olehnya. “Nenek sudah makan?” “Sudah, Nak. Tadi Malika ke sini bawa sup ikan bumbu rempah untuk Nenek.” “Tumben ke sini ngak sampai sore.” “Katanya tadi buru-buru ada sedikit masalah di toko, dia mau mendiskusikan masalahnya dengan Papanya.” Nadhief menyiapkan obat untuk Nenek Kemala. Sebenarnya waktu dia bertemu dengan Malika di parkiran kampus tadi, Nadhief berencana untuk pulang ke rumah lebih cepat. Tapi saat di jalan dia mendapatkan telepon dari sekretarisnya untuk mampir ke kantor, ada beberapa berkas yang harus di tanda tangani olehnya. “Malika sangat baik sekali, kenapa kamu tidak mau mencoba membuka hati untuknya?” “Dia terlalu baik dan sangat tulus, Nek. Nadhief tidak mau menyakiti hati gadis polos itu,” jawab Nadhief, dengan mengecek tekanan darah Nenek Kemala. “Belajarlah membuka hati, kalau tidak di coba mana akan tahu jika kamu sudah move on atau belum?” “Masih ada nama seseorang yang memenuhi hati Nadhief, Nek. Tidak akan mudah untuk membuka hati untuk orang lain masuk di dalamnya.” Nenek Kemala mengambil kedua tangan cucunya, dia ini sangat tahu sekali jika Nadhief sebenarnya memiliki sedikit perasaan pada Malika. Namun, dia masih trauma dengan cinta bertepuk sebelah tangan yang di alaminya beberapa waktu yang lalu. “Gadis baik seperti Malika pasti akan mudah di cintai, belajarlah membuka hati dan menerimanya, Nak” ucap Nenek Kemala pada Nadhief. Nadhief menundukkan kepalanya, selama beberapa minggu ini dia berubah menjadi sangat acuh pada Malika. Jika mereka bertemu Malika akan menyapa dengan ramah seperti biasanya, tapi tidak dengan nadhief. Dia selalu pura-pura tidak mengenal Malika. “Nadhief sudah jahat sama Malika, Nek. Tapi dia masih saja begitu baik, sikapnya tidak pernah berubah meskipun Nadhief terus saja bersikap dingin padanya.” “Tanyakan pada hati kecilmu, Nak. Sepenting apa Malika bagimu? kamu pasti akan bisa mendapatkan jawabannya. Jangan terlalu lama berpikir, gadis secantik dan sebaik Malika pasti banyak yang mengincarnya.” Setelah memberi nasehat pada cucunya, Nenek Kemala meninggalkan Nadhief yang masih setia mematung di sofa ruang keluarga. Dia belum bisa membuka hati untuk Malika, sikap menghindar dari Malika menurutnya memang keputusan yang paling baik. Malika “Kak Nadhief, apa Kakak sudah pulang di rumah? aku khawatir soal keadaan Nenek kemala, jika Kak Nadhief tidak pulang aku akan menginap. Mama sudah memberi ijin.” Satu pesan yang baru saja di kirim oleh Malika, membuat Nadhief terkekeh. Gadis keras kepala yang tidak mudah menyerah. Andai saja Nadhief tidak lebih dulu jatuh cinta pada Nala, pasti dengan mudahnya dia akan menerima malika. Nadhief “Aku sudah dirumah, kamu tidak perlu ke sini.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD