7.Monster Dalam Diri Tuan Muda

2669 Words
“Dok, dokter Bella, ada yang cari tuh di depan meja administrasi” lapor seorang suster, menjedaku yang selesai melakukan usoli asar di ruang tunggu khusus dokter karena aku baru selesai melakukan tugasku. “Siapa sus? dan saya belum dokter” jawabku. Suster tertawa pelan. Masih seumuran aku soalnya jadi agak agak ceriwis khas aku juga. “Bujang ganteng dok” jawabnya lagi mengabaikan penolakanku di panggil dokter. Aku jadi koas aja belum, masa udah panggil dokter. “Ya siapa?” tanyaku lagi. “Itu dok, mas Noah, cucu yang punya rumah sakit ini. Siapa lagi emangnya” jawabnya. Astaga….dia lagi. Gak bosan apa ganggu aku terus dari kemarin. Setelah jutekin aku di rumah si kembar, lalu menyerangku dengan panggilan telpon dan pesan tidak jelas, yang isinya hanya tanya di mana aku, lalu sekarang dia ngapain lagi cari aku. Ya kali aku mesti laporan kalo setelah dari rumah si kembar, aku lanjut menemani bang El, ke rumah tante Risda. Dan karena tante Risda memaksaku dan bang El tetap tinggal untuk makan malam sampai suaminya pulang, jadilah aku pulang setelah makan malam di rumah tante Risda. Aku pikir cukup mengabari mami dan papiku soal keberadaanku dan soal aku yang telat pulang, untuk apa juga aku laporan pada bang Noah. Memangnya dia siapa aku?, pacar bukan, jadi teman pun hanya marah marah trus sama aku. Jadi untuk apa aku repot menjawab pertanyaannya soal keberadaanku. Belum tadi pagi, Irash adikku pun laporan kalo bang Noah menelponnya untuk tanya di mana aku. Gak jelas amat ya bang Noah? Mami dan papiku aja santai kok pas aku pulang ke rumah dan di antar bang El. Malah bang El sempat ngobrol sama papi soal gimana Biyan di Amrik. Ingatkan Biyan pacar Maura?, aku uda cerita sebelumnya. “Mau apa ya sus? masa iya sakit gigi? Lagi pula jam prakter dokter sudah selesai” kataku lagi. “Gak tau sih mba, di tanya suster jaga aja, malah marah trus suruh siapa pun cari dokter” jawabnya. Tuhkan jadi marah gak jelas kemana mana bang Noah tuh. Salah satu minusnya bang Noah ya ini. Bossy, emosian, dan tidak sabaran. “Mending buruan dok temuin, benaran sakit gigi kali, jadi emosian gitu mas Noah. Sampai suster pada ngeri. Yakan cucu yang punya rumah sakit, kalo kita di pecat gimana? Apa laporan sama pak direktur kalo suster di poli ini, slow respon, bisa kena skorsing kita, dokter” kata suster itu lagi. Aku menghela nafas lalu mengangguk. Benaran mental tuan muda banget bang Noah tuh, sampai buat semua orang merasa terancam karena dia punya kuasa. Mau tidak mau, aku temui juga bang Noah dengan mode deg degan. Dari jauh aja, aku sudah lihat gimana tidak bersahabat raut wajahnya di posisi dia berdiri di depan meja administrasi untuk tiap poli di lantai 2 Twins Hospital. “Akhirnya muncul juga, susah banget cari elo, kalah president” mulai ngomelkan? Aku meringis menatapnya. “Ada apa bang, abang sakit gigi?” tanyaku mengabaikan sindiriannya. Dia malah terbelalak. “Malah doain gue sakit” protesnya kesal. Aku meringis lagi, dan mengabaikan suster atau orang lain di sekitar kami yang menatap kami diam diam, atau jelas jelas menahan senyum. Bagian ini suster suster yang lakukan karena mengenal bang Noah sebagai cucu pemilik rumah sakit ini. Bang Noah tapi gak malu tuh di lihatin orang. PD aja gitu, seakan sekeliling kami tidak ada orang lain. “Urusan kerja elo udah selesaikan?” tanyanya kemudian. Aku mengangguk takut takut. Galak sekali wajahnya. “Ayo ikut gue, sekalian gue antar pulang” ajaknya memaksa karena dia mencekal tanganku. “Mau kemana?, terus mau ngapain?” tolakku menjeda dengan menahan laju langkahku. Dia berdecak karena jadi ikutan berhenti. “Ikut aja, kalo elo gak mau, tetap harus ikut” jawabnya dan ini perintah. Rasa malu karena kami jadi pusat perhatianlah yang buat aku akhirnya mengangguk. “Gue ambil barang gue dulu” kataku menjeda. Dia menghela nafas dulu sebelum akhirnya melepas cekalannya tangannya pada tanganku. “Gak pake L” perintahnya lagi galak. Mau ngapain coba?, dan kapan aku bisa lepas dari dirinya, kalo dia justru mencariku lagi di saat aku memutuskan menjaga jarak aman. Masa iya aku kabur? Pasti tetap akan dia temukan juga, kalo dia tau di mana rumahku. Mau gak mau aku harus nurut ini mah. “Lama banget” omelnya lagi sambil menarik tanganku yang berniat pamit pada suster di depan meja counter pendaftaran. Bang Noah tuh beneran gak sabaran sekali. Aku sampai kewalahan mengimbangi langkah panjangnya. “Bang…pelan pelan” rengekku menjeda. Dia berhenti juga saat kami hampir masuk lift untuk turun ke lantai satu menuju lobi. “Lah ngapa gue pegang tangan elo juga” keluhannya malahan. Dih, siapa yang minta juga, aku malah berharap jalan sendiri, supaya aku tidak perlu berjalan dengan langkah cepat cepat. Di lepaslah tanganku lalu kami masuk lift yang dia pencet dengan tidak sabar. Kalo gak sabar, ya mending turun lewat tangga ya? Ampun nih tuan muda resek. Tapi kenapa aku suka ya?. “Tunggu dekat satpam, gak usah kecentilan, gue ambil mobil dulu” perintahnya setelah kami keluar lift sebelum dia jalan lagi dengan langkah panjang. Ya kali mau boker, buru buru amat sih bang? Heran!!! Bodohnya aku nurut lagi menunggunya di dekat pak satpam yang ternyata dia pesan untuk menemaniku. “Mas Noah suruh dokter tunggu di sini, dia sedang ambil mobil” kata pak satpam yang memang mengenalku sebagai anak mantan direktur rumah sakit. Dokter lagi, rasanya dulu pak satpam dan semua karyawan rumah sakit yang kenal aku, manggilnya mba Bella. Efek jas dokter yang lebih suka aku tenteng ternyata berpengaruh sekali ya?. “Mas Noah, dokter” tegur satpam menjeda lamunanku. Buru buru aku mendekat dengan pak satpam yang cekatan juga membukakan pintu mobil untukku. Pak satpam tau cucu big bossnya tidak sabaran. “Makasih pak” kataku lalu menutup pintu mobil. “Gak bisa ya gak senyum senyum sama orang asing trus?” tegurnya tepat aku memakai self belt. Aku hanya menghela nafas kasar, karena setelah tegur aku soal itu, dia langsung focus membawa laju mobil keluar area rumah sakit. “Mau makan apa?” tanyanya setelah sampai jalan raya. “Masih kenyang” jawabku. “Badan elo kurus banget kenapa malah malas makan” komennya. Aku lebih baik diam, terserah deh dia mau ajak aku ke resto, lalu memaksaku makan, tinggal aku makan. Aslinya aku malas melayani mulutnya yang galak terus. Ternyata diam membawaku ke coffee shop ternama tak jauh dari rumah sakit. Aku tidak mau bertanya lagi, jadi menurut saja ikutan turun begitu dia memarkirkan mobilnya. Lalu kami masuk area coffee shop untuk memesan minuman dulu. “Mau minum apa Yang? Apa mau makan cake sekalian?” tanyanya menoleh ke arahku. Yang? gak salah dengar?. “Buruan Yang, kamu bilang kelaperan” katanya lagi. Astaga…benaran panggil yang dong, eyang kali ya maksudnya? Buru buru pesan dong yang aku mau. Lalu dia pesan kopi panas untuk dirinya sendiri, dia bayar lalu merangkul bahuku mencari meja kosong sampai ketemu meja kosong dekat jendela besar. “Jangan baper, elo gak lihat, mas pelayannya lihatin elo sampai gak kedip?” katanya menjelaskan tanpa perlu aku minta. Aku tertawa saja, jadi itu maksudnya. “Trus mau apa ajak gue ke sini bang? gue cape nih mau istirahat” kataku mengabaikan perkataannya. “Tunggu kopi gue datang, ngantuk gue. Lagian ngomong sama elo berpotensi buat kepala gue pening, jadi mesti minum espresso panas” jawabnya. Lah, kalo bikin pening, ngapain ngajak aku bicara? Tapi lagi lagi aku tidak tanggapi. Aku tertawa pelan lalu lebih tertarik menatap ke luar jendela kaca besar melihat hiruk pikuk kendaraan di jalan. “Bel, tuh pesanan elo” tegurnya lagi setelah pesanan kami di antar oleh pelayan. Terjeda lagi lamunanku tadi. Entah apa yang aku lamunkan. Aku hanya mengangguk untuk apa yang dia katakana tadi, lalu ikutan meminum minuman dingin yang aku pesan. Kalo dia butuh kopi, aku justru butuh minuman dingin, supaya kepalaku tetap dingin menghadapi apa yang akan dia sampaikan. “Semalam kemana?” tanyanya memulai. Harusnya sudah bisa aku tebak, karena aku mengabaikan pesan dan telponnya. Aku semalam juga sudah ngantuk dan malas menanggapi ocehan tidak jelasnya. “Handphone elo di rendam bensin, sampai gak bisa angkat panggilan gue?” lanjutnya. Aku tertawa pelan. “Guekan balas pesan elo” sanggahku. Dia berdecak. “Elo tau gak, gara gara elo gak jawab telpon gue, gue sampai gak bisa tidur sampai pagi? Udah paginya bokap mesti banget maksa gue ke kantor lagi” keluhnya salah tujuankan ya? “Memang kenapa abang gak bisa tidur?, minum kopi apa kerjain tugas gambar dari om Didit?” jawabku. Dia menggeram kesal. Mulai nih monster dalam dirinya bangkit. Aku meringis lagi. “Elo ngerti gue khawatirin gak sih?” omelnya mulai lagi. Aku menggeleng. “Maksud gue, buat apa khawatirin gue bang? gue bukan anak kecil lagi” jawabku. Mau banget aku bilang, memang aku siapanya, sampai dia perlu khawatir padaku berlebihan seperti ini, dan selalu begitu. Gak jelas banget, sampai aku bingung mengartikan apa maksud rasa khawatir yang dia selalu bilang. “Bisa lo bilang begitu setelah bikin gue gak tidur semalaman?” omelnya lagi. Aku memilih diam setelah aku menghela nafas. “Lagian apa susahnya sih jawab pesan gue, trus bilang elo kemana sama bang El, trus kenapa mesti sampai malam baru pulang? Begitu aja susah banget sih Bel? Kebiasaan banget sih lo sekarang, selalu silent handphone elo” lanjutan omelannya. Gak selalu aku silent kok, kecuali bagian nomor dia doang, supaya aku tidak terlalu antusias mendapati chat apalagi panggilannya seperti waktu dulu. Percuma kalo isinya hanya omelan atau sesuatu yang berujung PHP dan buat hatiku patah lagi. Aku akan baca atau jawab pesannya kalo aku sudah santai, terkadang hanya aku baca. Dulu aku tidak begitu, bahkan aku sering mengomentari status WA-nya hanya untuk membangun komunikasi antara kami, atau aku tiba tiba chat aja, hanya karena aku rindu mengobrol dengannya. Semakin kesini, aku mulai mengerem, untuk kebaikan hatiku juga. Jadi kalo dia chat aku duluan baru aku balas, kalo dia diam saja, ya sudah, aku tidak berusaha mencari tau. Mungkin aku mulai merasa semua yang aku lakukan sia sia. Atau mungkin aku mulai menyerah. Entahlah, semakin kesini, aku malah lebih tenang, kalo aku justru tidak mendengar hal atau kabar apa pun terkait bang Noah. Kangen sih, tapi mau gimana lagi, kalo dia gak pernah kangen aku. Sadar diri aja akunya, kalo aku tidak akan pernah jadi prioritas. “Abang kenapa sih sama bang El? Dulu abang fine fine aja sama bang El, kenapa sekarang gak lagi? Apa bang El suka dekatin kak Naya? jadi abang kesel?” tanyaku mencari tau juga. Dia berdecak. “Gak ada hubungannya sama Naya, ini soal elo, faham gak?” jawabnya jutek. Aku menggeleng. “Kalo boleh jujur, gue gak faham bang. Masalahnya apa kalo gue sesekali suka bareng bang El. Gak selalu juga, bang El kan punya kesibukan. Terus bang El juga sopan, mami sama papi juga gak keberatan, karena selain itu bang El kan keponakan cing Mamat, suami tante Risda, abangkan tau soal ini” kataku mengungkapkan juga soal bang El dari sudut pandangku. Dia berdecak lagi. “Elo taukan gimana bang El di luaran? Berapa banyak ceweknya? Elo mau jadi salah satu mainan dia?” jawabnya. “Hah!!, makin gak ngerti” keluhku. “Maksud gue, kalo elo nanti suka sama bang El, apa elo pikirin soal ini? gue gak mau elo sakit hati” jawabnya. Aku menghela nafas. Ini yang gak nyambung bang Noah atau aku sih? Masa iya aku suka bang El? Suka sih, bang El baik, tapikan bukan berarti suka dalam bentuk lain. Dia sepupuku, walaupun pertaliannya cukup jauh karena bukan keponakan langsung dari papi atau mami aku. Masa iya kami tidak boleh akrab? Masa iya bang Noah malah melihat kedekatan kami seperti kedekatan orang yang PDKT? Sementara aku tau benar, siapa yang bang El sukai atau malah sayang semenjak dulu. “Abang terlalu jauh mikirnya. Lagian kalo pun iya gue suka sama bang El, masalahnya apa sama abang?” tembakku lama lama kesal juga. Dia terbelalak. “Bego lo kalo sampai suka sama bang El. Elo gak lihat apa gimana bajingannya dia jadi laki?” jawabnya. Kok aku mendadak kesal ya? Sampai tanpa sadar, aku mengepalkan tanganku di bawah meja. Yang bego tuh aku bukan bang El, kenapa aku suka pada lelaki di depanku ini? Kelakuannya semakin minus dan tidak punya otak!! “Harusnya elo kaya Naya, yang gak pernah mau di dekatin sama bang El. Naya tau mana lelaki baik dan mana lelaki gak baik. Susah sih elo mah, dasarnya memang centil banget sama laki keceh dikit aja” lanjutnya. Cukup!!, aku sudah tidak tahan lagi. “Kalo buat abang kak Naya memang baik, dan gue gak baik, kenapa abang perduliin gue?” cecarku sambil menahan emosiku. Rasanya mau sekali aku siram wajahnya dengan minumanku. “Gak usah perduliin gue bang, mau gue sama bang El kek, atau gue sama lelaki lain yang elo gak kenal. Hak gue dan bang gak perlu repot dengan rasa khawatir abang” lanjutku. “Tuh elo mah memang susah di bilangin” jedanya. Aku menarik nafas berat dulu untuk meredam emosiku. “Gue gak butuh juga buat elo nasehatin, gue masih punya orang tua, yang pastinya lebih punya banyak pengalaman hidup, dan nasehat mereka doang yang emang mesti gue dengar. Karena cuma mereka yang punya rasa sayang dan rasa peduli sesunggungnya dan bukan rasa sayang atau rasa perduli palsu macam elo” kataku lagi. “BEL!!” jedanya protes. “Gak bang, gue cape nih, serah abang deh sekarang. Bodo amat juga abang mau gimana setelah ini. Please jangan ganggu gue, jauh jauh dari gue kalo perlu. Jangan cari gue juga. Cape gue bang” keluhku. “Emang elo cape ngapain? abis magang?” jawabnya konyol. Langsung bangkit dong aku. “BEL!!” tahannya mencekal tanganku walaupun dia tidak ikutan bangkit. “Tolong bang, lakuin apa yang gue minta. Gue pun akan lakuin hal sama ke elo. Gue akan jauhin elo, gak akan gue cari elo lagi, gak akan gue ganggu elo lagi juga” kataku sambil melepaskan cekalan tangannya. “BEL!! DUDUK!!” jeritnya setelah menatap sekeliling kami. Aku menggeleng. “Kalo memang kak Naya yang menurut abang baik, sok abang kejar, jangan malah sibuk urusin gue yang bandel, kecentilan dan bego banget jadi cewek. Gue gak apa kok kalo akhirnya abang sama kak Naya, silahkan aja” tambahku. Malah tertawa dan buat aku merasa sudah cukup untuk kami bicara. “Gue udah sampaikan apa yang mau gue sampaikan, dan gue rasa abang juga, jadi mulai besok lakuin apa yang mau abang lakuin, gue juga bakalan lakuin apa yang harus gue lakuin. Makasih buat traktirannya, juga NASEHAT ABANG YANG TADI” kataku penuh penekanan. Baru dia diam menatapku dan aku abaikan. “Gue permisi dan makasih” lanjutku sebelum beranjak meninggalkannya. “BEL!! BELLA!!!” jeritnya memanggil namaku. Bodo amat, lama lama aku cape, hanya dapat omelan dan rasa khawatir dan rasa perdulinya yang palsu, cukup sudah. Kesabaranku semakin menipis. Siapa juga yang bisa menerima di katai bodoh apalagi di bandingkan dengan gadis lain yang jelas jelas jadi orang yang sebenarnya dia perdulikan dan dia sayang sepenuh hati. Memangnya hatiku terbuat dari batu? sampai aku harus bersedia merasa sakit hati trus? Kalo dia bilang aku bodoh, mungkin ada benarnya aku bodoh. Ngapain aku berharap trus kalo dia bisa sedikit saja berubah baik padaku. Inikah gak pernah berubah walaupun sedikit, malah makin gak ada otak atau perasaan, kalo dia memang punya hati. Jadi benar yang dia bilang, aku bodoh sekali mau bertahan sampai sejauh ini, untuk orang yang sedikit pun tidak menghargai perasaanku. Aku harus pintar mulai sekarang, harus aku jauhi demi kesehatan hati, perasaan, dan otakku juga. “Gue doain semoga elo sakit gigi bang!!!, jadi elo gak pernah bisa lagi ngomel ngomel gak jelas” kutukku sebelum aku memblokir nomornya di aplikasi WA ku. Mau ngapain coba telpon aku trus, sementara aku sudah naik taksi di depan coffee shop yang aku stop dengan sembarangan dan tergesa, supaya bisa terlepas dari anak sultan yang di dalam dirinya ada monster yang menakutkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD