4.

1005 Words
"Apa yang terjadi di sini, Bunda?" tanya Vito dengan wajah heran sementara Erwin kakaknya seperti biasa selalu bersikap tenang. Semua yang ada di sana hanya terdiam, wajah Mas Imam juga nampak malu pada kedua anaknya. "Siapa dia?" tanya Vito sambil mencolekku. "Istri ayah dan adik kalian," jawabku pelan. "Apa?" "Iya, ayah sudah menikah sejak lama tanpa sepengetahuan kita," jawabku getir. Menjelaskan itu aku tak tega menatap mata anakku, aku tak takut tak sanggup menahan air mataku. "Kenapa Ayah?" tanyanya pelan. Mas Imam mendongak, tidak ada jawaban sepatah kata pun dari bibirnya. Karena kecewa tak mendapat pernyataan apa-apa dari anggota keluarga, Vito merangsek pergi dengan cepatnya sedang Erwin menyusul dia secepatnya. "Vito, tunggu!" Para tetangga kembali bergumam, mereka riuh rendah mengomentari kehancuran keluarga kami dan menyesalkan tindakan Mas Imam yang tidak jujur dan mengecewakan anak anaknya. "Ish, anaknya kecewa," ujar seorang tetangga. "Jangan jangan si anak pergi melampiaskan kekesalan dan terlibat pergaulan bebas, biasanya anak-anak kayak gitu hidup mereka pasti frustrasi." Komentar seorang ibu sontak membuatku khawatir. "Jadi bagaimana Mas? Kau akan ikut pulang denganku dan meminta maaf pada anak-anak lalu meninggalkan wanita ini, atau kau pilih dia?" tanyaku dengan tatapan tegas. "Jangan menekan dengan pilihan semacam itu, masih ada cara untuk memperbaiki semuanya, jika kita bisa berdamai mengapa harus bermusuhan?" tanya Mas Imam dengan nada seolah olah dia sungguh naif. "Aduh si Bapak enak banget ngomong damai-damai, makanya Pak, jangan asal kawin aja," timpal seorang Ibu bertubuh tambun yang langsung ditegur Pak RT agar tidak menyela. "Aku menunggu jawaban, Mas?" "Maaf, pulanglah kamu, aku akan menyusul." "Tidak bisa! kamu harus pulang sekarang, kutekankan sekali lagi, jika kau tidak pulang hari ini maka tidak perlu pulang sekalian," ungkapku tegas. "Lalu bagaimana dengan Sari dan anaknya? jangan egois Nak, dia juga wanita dan punya anak sepertimu, bagaimana pun Imam adalah suami yang mencintai kalian," ungkap ibu mertua yang kini membuka suara. "Jangan membicarakan cinta saat ini Bu, aku hanya ingin ketegasan, jika dia memang mencintaiku, tentu akan dijaganya perasaanku. Sekarang aku mau tahu, dia pilih aku atau wanita ini?" "Kau dan anak anak sudah dewasa, mestinya kalian mengertilah," gerutunya. "Kau ingin kami menerima perbuatan nikah dibawah tangan ini?" "Kami nikah dengan sah!" "Kau sudah memalsukan dokumen, aku bisa menuntutmu!" "Kalo begitu lakukan saja!" teriaknya kalap, aku terkesiap di depan orang banyak, kaget dengan ucapannya sementara sesaat dia tersadar tersadar dengan kekasarannya lalu terduduk lesu sambil mengusap wajah. "Ayo, Pak, Bu, kita pulang saja." Aku mengajak kedua orang tuaku pergi. " ... Ibu dan Bapak mertua, terima kasih karena kalian sudah mengungkapkan kebenarannya," ucapku sambil menahan buliran air mata. Kukuatkan hati agar tangisanku tidak tumpah di depan warga. Kuraih ibu dan memapahnya pergi, sementara orang orang semakin riuh memberi komentar dengan opini iba dan sebagian lain menyakiti. "Maaf Bu, jika aku harus membuat ibu ada di sini," bisikku sambil membantu ibu duduk ke dalam mobil taksi. "Tidak apa, kamu yang kuat ya," jawabnya menggengam tanganku. "Ibu pulanglah, aku akan berkunjung besok," ujarku sambil menutup pintu mobil itu. "Kamu tidak ingin kami menyusul ke rumahmu dan membantu membujuk anakmu?" "Tidak usah, Bu. Kami akan baik-baik saja," jawabku memaksakan senyum. "Sabar ya, ini ujian rumah tangga." Mata ibu nampak berkaca-kaca, namun ia tak lupa menyunggingkan senyum terbaik, aku pun tersenyum meski hati ini hancur tidak bersisa. Sesampainya di rumah, tidak ada siapapun, lengang, dan sunyi. Kucoba menghubungi vito namun ponselnya tidak aktif, jadi, aku menelpon Erwin dan anakku membalas jika mereka sedang pergi ke rumah temannya, dia meyakinkanku bahwa mereka akan baik-baik saja. Setelah menutup telepon aku langsung beralih ke kamar dan menyalakan steker lampu. Kuedarkan pandanganku pada tempat tidur kami yang masih tersusun rapi. Aku tahu persis bahwa Mas Imam sangat menyukai kebersihan dan kerapian jadi aku selalu berusaha untuk menciptakan suasana rumah yang nyaman untuknya. Tempat tidur yang selalu rapi dan wangi, di dekat rak buku ada kursi baca yang selalu selalu menjadi tempat santai Mas Imam untuk menghabiskan waktunya, aku seolah melihat bayangan suamiku sedang duduk dan tersenyum di sana. Ada lemari pakaian dengan kaca panjang dan kaca rias yang selalu menjadi tempat favorit kami ketika akan pergi ke suatu tempat. Dia selalu memberikan pujian terbaik manakala melihat pantulan wajah istri yang menurutnya sangat dia cintai. "Kau adalah ciptaan Tuhan yang terindah yang pernah kumiliki," bisiknya ketika aku mengenakan anting-anting mutiara. "Jangan menggombal," ujarku menusuk tuksedonya dengan ujung jari. "Sungguh, Andai perasaan cinta ini berbelok maka aku sudah tidak waras lagi," jawabnya sampai membingkai wajahku dan mendaratkan kecupan paling indah. Tapi, ah, tapi ... semua itu hanya ilusi, apa yang diucapkan tidak sejalan dengan kenyataan. Dia berbohong padaku, mendustaikui dan mencederai janji suci kami. Di pantulan kaca panjang itu seakan-akan aku melihat suamiku dan wanita itu saling berbagi kasih, saling memberi kehangatan dengan cara paling liar sehingga kucabut sepatu dan melemparnya ke kaca itu. "Enyah kalian!" teriakku. Prang! Kaca pecah berkeping-keping, berserakan ke lantai, aku tergugu pilu dan menyaksikan kepingan kaca-kaca itu layaknya hatiku yang tidak akan pernah terobati sakitnya. Rasanya dunia ini sudah berakhir, kebahagiaanku sudah sirna, tidak ada lagi harapan, tidak akan ada lagi tawa atau senyum selain kelam dan gelap yang panjang. Semuanya berakhir sampai di sini. "Kalau tak hendak kembali padaku, untuk apa aku menunggu?" batinku meronta, satu sisi ingin berusaha sabar dan tegar sementara sisi lain sebaliknya, berapi, murka dan ingin menggila. Kubuka lemari, kucabut semua pakaiannya dari gantungan, begitu pun yang tertata rapi, Kulempar semuanya dengan acak tanpa sisa. Kuambil gunting di laci kaca rias lalu menggunting dan mengoyak semua pakaiannya dengan sakit hati yang bertambah-tambah. Aku menangis sambil menghitung tiap sobekan kemeja suami yang mengandung banyak kenangan dan peristiwa. Aku menagis pilu sampai-sampai tak bisa mengembalikan tarikan napasku, sesak sekali, sesak dalam definisi yang sebenarnya. Dan pada titik terakhir aku mengerti bahwa sekuat apapun kemarahanku, mereka yang di sana saling menghibur dan menguatkan hati, saling memeluk dalam kesyahduan malam, dan aku iri sekali. Sementara aku meringkuk, meluluhkan air mata yang tak henti-hentinya, mencoba meraup kembali hatiku yang berderai seperti pecahan kaca. Dan ah, aku dan potongan pakaiannya saling peluk-memeluk dalam kepahitan yang sempurna. Part lima bentar lagi ya.❤️
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD