3

1146 Words
Mereka terkejut bukan kepalang, setengah juga takut melihat anak mereka yang duduk mematung, anak itu terlihat bingung sembari memanggil kedua orang tuanya. "Ibu, Ayah ...." "Kalian sudah puas bermain cinta, kalian sudah puas mereguk asmara tanpa memikirkan orang lain yang mungkin tersakiti?!" "Ya-yanti ...." Mas Imam mengucek matanya, seolah ingin meyakinkan diri bahwa yang sedang dilihatnya adalah aku. "Iya, ini aku," jawabku tersenyum tipis. "A-apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya dengan suara bergetar sementara aku menatapnya tajam, wanita yang juga kupelototi itu nampak ketakutan dan langsung bersembunyi di belakang suamiku. "Untuk melihat pengkhianatanmu!" "U-untuk apa kau bawa pisau?" tanyanya lagi melihat pisau yag tergelatak di meja, lantas menyuruh istrinya untuk mengambil Raisa. Brak! Pisau yang sedari tadi kugenggam erat itu kulempar ke arah wajah Mas imam, sayang meleset dan menancap di pintu, hanya beberapa centi saja dari telinga Mas Imam. Melihat pisau yang mengkilat Mas imam menelan ludah dan berusaha menenangkanku. Ya, selama menjalani biduk rumah tangga aku dan Mas imam tidak pernah bertengkar, jangankan bertengkar, selisih paham pun jarang. Jadi mungkin dia terkesiap dengan sorot amarah yang kini berapi-api di mataku. Karena takut dan cemas, dengan cepat wanita itu mengambil anak perempuannya dan memasukkannya ke dalam kamar. Wajahnya terlihat tegang dan gelagapan. "Tadinya pisau itu untuk diriku sendiri, aku berniat ingin mati di depanmu, karena perlakuan baikmu ini sudah tak bisa kuterima," ujarku dengan nada sarkasme. "Itu bukan salah Mas Imam, akulah yang telah memintanya menikahiku," sela wanita itu yang tiba tiba merangsek dari balik pintu kamarnya, dia kembali ke luar setelah mendengar percakapan kami. "Kenapa harus suamiku, hei, kau wanita yang tak layak kusebut wanita!" "Karena aku jatuh cinta pada kebaikannya dan kurasa selama kita berjalan di jalan yang benar, aku tidak merasa bahwa itu adalah dosa." "Bukan dosa bagimu adalah kesalahan bagiku. Jadi, ini dia orang yang katamu kecelakaan dan harus kau tanggung hidupnya karena mengalami cacat permanen?" Wanita itu terkejut bukan main, dia memandangku dan Mas Imam bergantian, ia menatap dengan sorot tak percaya seraya menggelengkan kepalanya. "Kecelakaan maksudnya gimana, Mas?" "Ya, dia mengaku padaku kalau kau adalah orang cacat yang tidak berdaya dan harus disantuni layaknya pengemis!" "Yanti! Apa yang kau katakan!" Mas imam membentak dan hendak melayangkan pukulan. "Lho, bukannya itu yang telah kau katakan padaku, kau tidak ingin mengakuinya di depan gundikmu?" Mas Imam kalap, dia tak tahu harus menjelaskan padaku atau harus mengambil hati istri barunya yang kini mulai menangis. "Diam dulu kamu, bagaimana aku bisa jelaskan jika kau terus mencecar dengan pertanyaan, apa kau ingin menyudutkanku?" "Menyudutkan bagaimana, bukan hanya dia yang butuh penjelasan, tapi kami juga!" Tiba tiba Bapak datang, diikuti ibu dan orang tua Mas imam, ditambah adik-adiknya, ketua RT setempat dan tetangga. "Apa ... kau mengundang mereka semua?" tanya Mas Imam menelan ludah. "Ya, aku telah mengundang mereka jauh-jauh hari untuk merayakan kebahagiaanmu yang diam diam menikah lagi. Kenapa? Kau tidak suka?" "Tentu saja ...!" Mas Imam hendak marah, namun ia nampak malu pada semua orang sementara wanita itu juga tertunduk sambil menggenggam tangan anak mereka. "Jangan khawatir, aku juga sudah menelpon anak-anak untuk melihat kenyataan yang sebenarnya, bagaimana kelakukan ayah mereka, mereka pasti terharu sudah punya adik perempuan tanpa pemberitahuan," ungkapku tertawa pahit. Sedih juga rasanya, karena aku membayangkan betapa syoknya mereka mendapati orang tua mereka sedang disidang dan dikerumuni banyak orang. "Jadi ini kelakuanmu di belakang anakku, jadi karena kami semua memghargaimu kau menjadi seenaknya saja?" tanya Bapak dengan nada tegas. "Tunggu dulu, tolong ... ini bisa dibicarakan baik-baik," bujuk Ibu Mas Imam yang umurnya nyaris sama dengan orang tuanku. "Kalau begitu jelaskan kenapa bisa menikah tanpa izinku?" "Ya, mereka menikah baik-baik, Mbak, mereka menikah dengan petugas KUA dan saya adalah salah satu saksinya," jawab Pak RT. "Lalu pada saat itu anda yakin bahwa pria yang anda nikahkan dengan salah satu warga anda adalah pria lajang?" "Statusnya menduda, dan saya telah memeriksa surat keterangan pengantar nikah dari kantor di mana Pak Imam berdomisili tinggal," jawab Pak RT sambil menatap kami. "Oh, kalau dia mengaku menduda artinya secara tersirat dia telah menceraikan saya, iya kan?" "Saya tidak tahu, Bu, fatwa itu adalah hak ulama, bukan saya, saya hanya membantu warga saya yang hendak menyempurnakan agamanya," jawab Pak RT dengan raut wajah yang juga tak kalah malunya. Aku paham, dia tidak tahu apa-apa. "Jadi kau telah menganggapku tidak ada, ketika memutuskan untuk menikahi dia? kau lupa bahwa aku menunggu di rumah dengan setia pada saat kau tak mampu membendung hasrat ingin bercinta?" "Tolong ...." Warga masyarakat yang berbondong-bondong berjejal di pintu ingin melihat suasana perdebatan kami menjadi riuh, sebagian menyalahkan Mas Imam, sebagian membelaku dan sebagian lain membela tetangga mereka, wanita karbitan yang tidak bisa mengendalikan diri terhadap suami orang. "Si Bapaknya itu yang gatal, masak menikah gak kasih tahu istri dulu," gumam seorang Ibu. "Wah, ternyata punya istri ya," timpal ibu yang lain. "Bukan hanya punya istri Bu, dia sudah punya dua bujang yang mungkin beberapa tahun akan menikah juga." Warga masyarakat makin riuh, keributan tak terhindarkan hingga seorang warga yang terlihat cukup disegani menyuruh mereka diam. "Diam dulu Ibu-ibu kami sedang bicara!" Seketika suasana menjadi hening, wanita yang sedari tadi memeluk anaknya kini menangis sesenggukan, dia tahu dirinya tidak ada yang membela. "Sa-saya tidak tahu apa apa ...." "Tidak tahu apanya? bukannya kau baru saja mengaku bahwa kau jatuh cinta pada suamiku dan meminta dia menikahimu, menghalalkan kelaminmu!" Jujur saat itu aku sungguh sakit hati hingga tak sanggup mengendalikan ucapanku di depan banyak orang. "Harusnya orang yang akan menikah memastikan dulu calonnya pasangannya seperti apa, siapa keluarga dan latar belakangnya, bukan main akad saja?" "Itu memang salahku, karena sudah begitu, aku rela diceraikan, tapi tolong jangan menghinaku!" Dia menangis semakin menjadi jadi. "Wanita ini pintar sekali mencari muka, dia bersikap seolah dialah korban semua ini." "Sebenarnya Imam sudah memberi tahu kami rencana dia yang ingin menikah lagi," ucap Ibundanya pelan, dia menatapku dan wanita itu bergantian dengan tatapan yang ... entahlah. "Jadi, Ibu tidak ingin memberi tahuku, ibu tidak kasihan pada kedua anakku?" Tanyaku dengan mata terbelalak. Terkejut, juga kecewa, tak menyangka bahwa mereka bekerja sama. "Imam memang minta izin tapi kami tidak memberi jawaban apa-apa," sela Bapak mertua. "Kebungkaman Bapak membuat semunya terjadi begitu saja, berlarut larut. Dan setelah mereka punya anak, dan suasana jadi kacau, baru Bapak mau mengungkapkan semuanya? Aku tidak percaya kalau Bapak tidak pernah menemui cucu perempuan Bapak," jawabku yang kini tak sanggup menahan air mata. "Ini semua di luar kendaliku, Yanti, aku minta maaf," jawab Bapak mertua pelan. "Maaf, hanya itu ...?" Aku tentu tak bisa menahan tangis, dadaku sakit, kecewaa karena ternyata semua pengabdianku selama ini sia sia. Nyatanya, sekuat apapun bertahan, ikhlas dalam berbakti, nasibku tetap juga tragis, rumah tanggaku porak poranda. Suasana menjadi hening, warga tercekat dengan tatapan nanar pada kami bertiga, sementara wanita yang kini memeluk anaknya hanya diam, tertunduk bungkam. Di saat itu juga samar-samar kudengar suara anak-anak yang menyibak kerumunan. Dan terkejutlah mereka mendapati kami dalam keadaan seperti itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD