5.

828 Words
Aku terbangun dari ringkukan tubuh di atas potongan sobekan pakaian suami, setelah dia datang dan menyentuh bahuku lembut. "Bund, ayo bangun," ucapnya lirih. Menyadari bahwa yang memegang bahuku adalah Mas Imam aku langsung tersentak kaget dan menepis tangannya dengan kasar. Jijik rasanya disentuh dia. "Lepaskan aku, beraninya kamu!" jawabku kasar. "Aku tahu kau masih marah, aku tidak akan bertanya lebih jauh," ungkapnya sambil bangkit dan membersihkan potongan pakaian ke dalam plastik. Aku bangkit dan dengan cepat kurampas plastik itu dari tangannya dan kembali menghamburkan pakaian yang dia pungut tadi hingga potongan-potongan lain itu berserakan ke udara. "Jangan coba mengambil hatiku, aku sudah kehilangan rasa hormatku padamu," jawabku. "Aku tetap akan berusaha menjadi suami yang baik," balasnya tersenyum tipis dan kembali berjongkok, mengulang lagi memungut pakaian itu. Melihatnya yang berusaha sabar hati ini makin kesal, aku sudah bertekad tidak akan luluh apapun yang terjadi! Tidak akan pernah! "Kenapa kau pulang, aku tidak sudi kau menampakan wajahmu di rumah ini, anak anak juga masih marah dan belum pulang juga, itu semua gara gara kamu!" aku berteriak sambil mulai meneteskan air mata. Bayangkan rasanya, baru terbangun, masih dalam keadaan setengah mengantuk dan pusing, aku harus berjumpa dengan orang yang sudah menyakiti hatiku. Lalu pikiranku, kembali ke memori terakhir semalam, di mana rasa putus asa dan hancur tiba-tiba merebak di dalam d**a. Aku menangis lagi, menjatuhkan air mata yang tidak seharusnya bergulir untuk suami pengkhianat. "Pergilah, aku tidak siap berjumpa denganmu," ucapku, kujatuhkan diri di sisi pembaringan lalu menangis tersedu-sedu sedang pria itu datang dan menyentuh lututku, dia bersimpuh dan minta maaf. "Aku minta maaf," ucapnya pelan. "Apakah kata maaf mampu menebus semua kesalahanmu, apakah minta maaf bisa mengganti waktu yang telah kugunakan untuk setia menunggu dan percaya pada ucapanmu? Apakah kata maaf bisa mengubah perasaanmu atau memutar masa lalu agar kau tak perlu bertemu wanita itu?" Aku tak kuasa menahan sedih, bahkan saking pedihnya hati, rasanya aku tak mau hidup lagi. Aku putus asa, seakan akan poros hidupku berhenti di titik ini, aku marah dan protes pada Tuhan, mengapa ia memberi kejutan hadiah yang menyakitkan. Lebih parah lagi aku tak punya siapapun tempat untuk berbagi, karena mertua pun sudah membohongi diri ini. Kalau digali lebih dalam, mengapa ayah dan ibu mertua tega sekali sampai-sampai tak mau memberi tahu, mereka sekeluarga seolah kompak menipuku dalam kebungkaman mereka. Mereka tak menilai bahwa pengabdian dan bagaimana seriusnya aku merawat mereka selama sakit adalah sesuatu yang akan membuat mereka membelaku, tapi nyatanya, mereka lebih memilih wanita itu. "Kenapa kau diam saja, Bund?" tanya Mas Imam mengguncang bahuku. "Lepaskan aku, kemasi pakaianmu dan pergilah dari rumah ini," usirku. "Aku akan menuruti apa maumu, tapi aku mohon, jangan ceraikan aku, aku mohon jangan pula kau tuntut aku untuk memyulitkanku," ujarnya pelan. Kata-katanya terdengar santai, tidak berempati padaku yang sedang tersakiti. Ia masih memikirkan reputasi sementara aku tidak dalam hitungannya sama sekali. Aku mendongak dan tertawa kesal menatap wajah pria itu, melihat balasanku dia nampak malu, juga gugup, namun tetap tersenyum tipis sedang aku makin malas memandangnya. "Apa kau sadar bahwa aku akan mengambil rumah, isinya dan anak anak?" "Iya, tidak masalah, itu hakmu, ambil saja, tapi tolong jangan ceraikan aku," pinta lirih. "Kenapa tidak? apa kau ingin meminjam namaku untuk mengamankan statusmu di kantor agar kau tetap dapat gaji dan tunjangan? Apa kau akan gunakan hubungan bohong ini sebagai alat untuk mengekangku?" "Tidak, aku masih mencintaimu dan menghargaimu sebagai cinta pertamaku," jawabnya. "Jangan mencoba membujuk dengan dalih cinta, aku muak mendengarnya. Kau sudah memanfaatkanku selama beberapa tahun lamanya, Pergilah kau dari rumah ini!" Aku mendorongnya. "Aku akan pergi, tapi tenangkan dirimu," ungkapnya pelan sambil merangkul tubuhku. Aku yang tidak terima diperlakukan di demikian langsung berbalik badan dan menamparnya dengan keras. Lancang sekali dia berani memeluk tubuh ini sementara di lain waktu dia membagi pelukannya bersama wanita baru. "Jauhkan tanganmu yang kotor dariku, sekarang mungkin aku hancur dan bersedih hati tapi lihat besok aku akan bangkit dan membalas perbuatanmu." Aku emngemas air mata dan rambutku yang berantakan. "Jangan lakukan itu, aku memang bersalah, aku iba pada wanita itu hingga ...." Plak! Belum selesai dia bicara aku sudah memukul wajahnya dengan kasar, aku melotot padanya dengan garang. "Siapa yang menyuruhmu untuk bercerita? Aku tidak bertanya kenapa kau menikahinya dan aku tidak akan pernah ingin tahu." "Aku hanya kasihan ...." "Kasihan sembari melihat peluang untuk meniduri wanita cantik itu 'kan?" "Dia juga baik, Yanti ...." "Dia baik karena kau mau menanggungnya!" "Aku sudah menabraknya dan membuatnya menderita," ungkapnya pelan. Kini dia yang terlihat putus asa mendudukkan dirinya di dekat meja. "Kau bisa menanggungnya tanpa menikahinya, kenapa kau tak bicara? kenapa kau tak jujur?!" Aku melemparnya dengan remote AC hingga benda itu hampir mengenai matanya andai dia tidak mengelak. "Karena kau pasti akan marah," jawabnya dengan nada yang amat pelan. "Tentu, lihat aku murka, murka sekali, bahkan aku menggila, Mas! Kau puas sekarang?!" "Aku tidak memberi tahunya bahwa aku punya istri!" "Tapi kini dia sudah tahu, dan siap ditinggalkan, lalu apa yang kau tunggu lagi?" Pria itu terdiam dan menelan ludahnya
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD