When you visit our website, if you give your consent, we will use cookies to allow us to collect data for aggregated statistics to improve our service and remember your choice for future visits. Cookie Policy & Privacy Policy
Dear Reader, we use the permissions associated with cookies to keep our website running smoothly and to provide you with personalized content that better meets your needs and ensure the best reading experience. At any time, you can change your permissions for the cookie settings below.
If you would like to learn more about our Cookie, you can click on Privacy Policy.
Widi berbaring di atas tempat tidur, Nayla dan Bian duduk duduk di sofa memperhatikan dokter yang sedang memeriksa kondisi fisik Widi sebelum melakukan cuci darah. “Terima kasih, Dok!” ujar Nayla saat dokter dan perawat beranjak pergi. “Sama-sama,” sahut keduanya ramah. “Arman belum datang, Nay?” tanya Widi. “Belum, Mas.” “Coba kamu telphon lagi. Kasihan Bian kalau ikut tidur di sini,” “Baik, Mas.” Ujar Nayla mengeluarkan ponsel, lalu menghubungi nomer Arman. “Halo,” sahut Arman dari seberang sana. “Halo, Mas. Bian ada di rumah sakit bersamaku. Kalau bisa jangan terlalu malam menjemputnya” ujar Nayla. “Iya, aku segera kesana,” ujar Arman mematikan ponselnya. “Bagaimana?” tanya Widi menatap Nayla lekat. “Mas Arman sedang menuju ke sini,” sahut Nayla meletakkan ponselnya di nakas.