Part 16

2164 Words
Part 16 tgl "Cantika." Malik memasuki ruangan kesehatan dan melihat Cantika yang duduk di atas brangkar UKS. Cantika duduk dengan posisi kedua kakinya di tekuk dan kedua tangannya menutupi telingannya. Cantika tidak merespon dan tetap pada posisinya. Cantika masih menundukkan kepalanya dan tubuhnya bergetar. Tak ada suara tangisan melainkan deheman ketakutan. "Lo kenapa?" tanya Malik dengan suara lembutnya dan mencoba bersikap tenang meski rasanya jantungnya mau copot sekarang melihat Cantika yang sikapnya tidak seperti biasanya. Cantika tetap tidak menjawab membuat Malik langsung bertindak sendiri. Ia dengan pelannya memegang kedua tangan Cantika dan menariknya supaya ia bisa melihat jelas wajah gadis itu. Cantika tidak menolak dan kedua tangannya sekarang ada disisi kanan kiri tubuhnya. Karena rambut Cantika begitu panjang dan Malik berinsiatif menyibakkan rambut panjang Cantika ke arah belakang. Wajah Cantika tampak jelas memerah dan murung sekali. Seperti sedang memikirkan sesuatu yang buruk dan Malik tidak membiarkan begitu saja Cantika dalam kondisi terpuruk begini. Malik pun memeluk Cantika dan diam-diam menghubungi dokter psikolog pribadi keluarganya agar datang ke sekolahnya. Malik juga kaget merasakan Cantika membalas pelukannya dan meletakkan kepalanya di bahunya. Malik menebak Cantika membutuhkan sandaran yang nyaman dan ia membiarkan Cantika dalam posisi begitu. Ini adalah moment langka bagi Malik mengetahui Cantika sedikit bersikap manja dan membutuhkan kehadirannya. Malik diam-diam memfotokan posisi tubuh mereka sekarang dan akan ditunjukkan nanti setelah Cantika kembali dalam kondisi baik-baik saja. Melani juga datang kembali bersama kedua orang tuanya yang sudah menjemputnya pulang. Orang tua Melani ikut mencemaskan keadaan Cantika yang kata anaknya tadi tiba-tiba sikapnya berubah saat menyebrang jalan raya tadi. "Semoga baik-baik saja keadaannya." Ketika seorang dokter datang dan mereka semuanya diperintahkan menunggu Cantika di luar ruangan. Tak lama dokter keluar dari ruang kesehatan dan menyuruh mereka semua masuk ke dalam. "Saat ini kondisi Cantika sedang tidak baik-baik saja, trauma dari masa lalunya muncul dan itu baginya adalah kejadian buruk seumur hidupnya." "Memang traumanya apa Dok?" tanya Melani yang penasaran sekali dan ingin tau apa yang membuat Cantika sikapnya berubah mendadak sewaktu menyebrang bersama di jalan raya tadi. "Ini sebenernya privasi Cantika sendiri dan harus izin dulu ke Cantika ya." Seorang dokter itu membelai rambut Cantika, Cantika saat ini tatapannya begitu kosong dan posisi duduknya menyender di dinding. Kakinya di selonjorkan dan Malik yang menyelimuti kedua kaki Cantika. "Jangan." Cantika membuka suaranya setelah dari tadi mendiamkan orang-orang sambil kepalanya menggeleng "Mohon maaf ya, Cantika tidak mengizinkan saya menjelaskan traumanya kepada kalian semua dan ini memang sudah termasuk privasi dari Cantika sendiri. Kalau ingin tau lebih jelas lagi, tanya yang bersangkutan dan permisi, saya pamit lebih dulu." Pamit dokter tersebut dan di antar oleh Malik sampai ke parkiran mobil. Disanalah Malik berusaha membujuk dokter pribadinya menjelaskan kondisi Cantika sebab Malik ingin menjaga Cantika dan tidak mau pula Cantika terpuruk seperti tadi. "Kalau bisa sih bawa Cantika ke tempatku Malik agar aku tangani lebih lanjut soal traumanya dan semoga saja Cantika bisa terbabs dari pikiran buruk traumanya di masa lalu. Bujuklah dia supaya datang ke tempatku dan kamu juga tidak mau kan dia dalam kondisi terus-terusan seperti itu?" "Iya, Dok. Aku ingin dia sembuh dari traumanya dan aku sangat menjaga dia dari sesuatu buruk yang akan terjadi ke dia." Malik mengangguk yakin meski tentunya Cantika menolak tawarannya namun Malik akan berusaha membuat Cantika mau dibawa ke tempat praktek dokter pribadinya supaya kondisi Cantika normal kembali tanpa bayang-bayangan trauma buruk dipikirannya. "Iya bagus itu Malik, emm apa kamu menyukai gadis bernama Cantika tadi?" tanya Dokter bernama Tia tersebut dan tersenyum penuh arti. "Ah itu aku menyukainya karena sifatnya yang bikin aku penasaran terus dan menurutku ada hal istimewa di dalam dirinya." "Ah masak gitu?" tanya Dokter Tia yang tidak percaya jawaban Malik. "Kita berteman baik dok, cuman teman biasa saja dan belum lama juga kenal dia." Malik malah yang makin gugup saja diberi pertanyaan oleh Tia seperti diintrograsi dan sangat menegangkan sekali baginya. "Teman apa teman, sorotan mata kamu tidak seperti apa yang kamu lontarkan. Kamu menyukainya dalam arti bukan teman tapi yang lain. Jangan menyesal karena tidak mengakui rasa yang sekarang singgah dihatimu." Dokter Tia menggeleng samar dan tersenyum lebar mengetahui Malik menyukai gadis tadi. "Ah kita cuman temanan saja, Dok. Aku menginginkan teman cewek dari dulu dan menurutku Cantika itu orang yang tepat buat jadi teman karena ya sulit cari cewek yang gak gatelan gitu." Malik mengusap tekuknya dan menyengir kuda. "Oalah begitu tapi lama-lama jadi suka beneran lho, kamu aja sangat perhatian banget lihat dia terpuruk karena traumanya kambuh." "Wajar Dok kalau aku khawatirin dia kan dia temanku." "Iya ya teman." "Mbak Tia gak percayaan deh." Malik pun memanggil panggilan mbak seperti biasa ia bertemu dengan Tia. Dokter muda itu berteman dekat dengan ibunya dan siap sedia membantu keluarga Irene dalam masalah psikis. Keluarga Malik memiliki beberapa dokter pribadi dan semuanya kenalan dari Irene. Ibunya memiliki sifat ramah dan mudah bergaul jadi tak kaget jika sewaktu waktu membutuhkan dokter lebih dipermudah urusannya. "Haha iya, emang gak percaya. Nanti juga kamu nyesel dan kamu juga kalau anggap dia teman doang ya jangan terlalu dibaperi napa." Tia terkekeh pelan. "Ah terserah deh, Malik suka diginiin sama orang kan aku niatnya ingin berteman." Malik mendesah pasrah dan selalu tak ada yang percaya hubungannya dengan Cantika hanya sebatas pertemanan biasa. Selanjutnya Malik kembali ke ruangan kesehatan dan Melani juga pamit pulang serta menitipkan Cantika kepadanya juga. Malik memandang Cantika sendu karena gadis itu lebih murung sekarang dibanding sebelumnya. "Gue anterin pulang yuk, jangan bengong terus dan disini banyak hantunya." Ucapan Malik membuat Cantika menatap balik ke cowok itu. "Gue antar pulang ya." Malik bertutur lembut sembari menyiapkan sepatu milik Cantika di lantai. Malik menatap Cantika lagi dan gadis itu mengangguk lemas. Segera Malik membantu Cantika dan menyuruh Cantika untuk meminum air putihnya lagi. "Lo sudah mendingan kan? Maksudnya pikiran?" Cantika mengangguk saja sebagai jawabannya. "Gue gendong gih, lo lemes banget kayak gini dan gue takut lo ambruk." Malik membelakangi Cantika dan membungkukkan tubuhnya agak ke bawah. Cantika langsung menaiki tubuh Malik dan Malik sedikit kaget karena sebelum mengatakan ini dirinya sudah menebak akan ditolak ternyata Cantika langsung menyetujui saja. ... "Terima kasih, Nak Malik. Membawa putri tante dengan selamat dan maafkan Cantika ngerepotin Malik." Puji tersenyum dan disisi lain merasa cemas mengetahui putrinya kambuh lagi mengingat trauma buruknya tersebut. "Tante, kalau boleh tau sebenernya Cantika itu trauma kenapa ya?" tanya Malik hati-hati dan berharap pertanyaan ini dijawab oleh Puji, sosok ibunda Cantika. Sebelum menjawab, Puji nampak menghembuskan napasnya panjang dan meminum segelas air putih. "Cantika mengalami trauma karena tante." Puji merasa bersalah mengingat kejadian buruk yang dialami oleh Cantika di waktu masa kecilnya. Puji menganggap diri sendiri adalah sosok yang selalu menjadi mimpi buruk anaknya. "Karena apa tante?" Malik sedikit lega karena Puji tidak menolak untuk bercerita tentang traumanya Cantika. Ia tetap ingin tau soal ini sebab jika tau, Flashback Seorang anak kecil sedang bermain di pinggir jalan sambil diawasi oleh ibunya yang berjualan di pinggir jalan tersebut. Namun di hari itu mendadak ibunya dibanjiri pembeli dan membuat ibunya kewalahan melayani pembeli. Sampai-sampai wanita itu tidak menyadari putrinya sudah tidak ada di sebelahnya. "Woah woah!" Teriak sosok gadis kecil yang masih berusia 5 tahun itu ketika pedagang yang menjual mainan dan dikerumunin banyak anak kecil seperti dirinya. Gadis kecil itu adalah Cantika, Cantika yang masih imut dan tidak terlalu mengerti dunia luar. Ketika Cantika mencoba ingin mendekat ke pedagang itu malah di marahi oleh salah satu orang tua sosok anak yang tak sengaja pundaknya dipegangi olehnya dan anak itu mengadu bahwa dirinya itu memukulnya. Padahal Cantika tidak sengaja menyentuh pundak anak itu dan berakhir Cantika menangis tersendu-sendu dimarahi oleh orang tua dari anak itu. Cantika akan kembali ke ibunya namun lupa arah jalan pulang kemana sebab area sekitarnya yang tadinya nampak sepi kini menjadi ramai. Cantika tidak ingat jelas arah pulang kemana dan masih menangis sambil berjalan asal arahnya. Di tengah jalan, Cantika berusaha menyeberang jalan sendiri sebab jalanan yang dilewati sudah tidak ada trotoar lagi. Cantika bingung akan menyeberang jalan dan ketika ada orang yang menyeberang pun Cantika tetap saja merasa takut. Saking bingungnya Cantika pun berjongkok beberapa menit, padahal sudah beberapa kali melihat orang menyeberang jalan. Walau ia sering ikut ibunya berjualan di pinggir jalan, Cantika memang sangat takut menyeberang jalan dan juga tidak pernah dibebaskan oleh Puji. Cantika selalu ada di samping Puji jadi saat Puji disibukkan membuat Cantika berulah nakal dan menentang larangan dari Puji sehingga sekarang membuat Cantika yang merasakan akibatnya berulah nakal. "Ndak tau ndak bisa." Gumam Cantika seraya berdiri kembali dan matanya mulai tampak berair. Setetes air matanya jatuh dan bibir mungilnya memanggil ibunya beberapa kali. Tapi tak ada orang yang memperdulikan kehadirannya dan sibuk pada urusannya masing-masing. Saat satu langkah Cantika di letakkan di jalan raya namun buru-buru berjalan mundur lagi. Gadis itu menangis dan merengek tak bisa menyeberang jalan. Beberapa saat kemudian, Cantika mendengar suara seseorang yang memanggil namanya dan Cantika berteriak girang mengetahui siapa pemilik suara ini. "Ibu!" Cantika berteriak sambil melompat beberapa kali dan tangannya dilambaikan setinggi-tinggi. "Ya ampun nak, kok bisa ada disana." Raut wajah Puji begitu khawatir, melihat putrinya berada di seberang jalan raya sana. "Bentar nak bentar jangan nyebrang dulu!" teriak Puji memperingati putrinya beberapa kali mengetahui Cantika akan menyebrang sendiri. Namun Cantika keburu saja menyebrang membuat Puji reflek berteriak dan menghampiri putrinya yang hampir di tengah jalan. Seketika terdengar klakson kendaraan yang berbunyi beberapa kali. "Ibu!" Teriak Cantika dan matanya membulat melihat mobil dengan kecepatan tinggi mendekat ke arah mereka. "Mundur nak!" teriak Puji sambil berlari tapi malah terjatuh karena kakinya menginjak roknya sendiri. Cantika pun mundur beberapa langkah tapi sebuah hantaman keras tepat di depan matanya sendiri membuat tubuhnya semakin lemas dan derai air matanya terjatuh. "Ibu!" Teriaknya dan tubuhnya terjatuh di atas aspal yang dingin tersebut. Banyak orang pun berdatangan di lokasi kejadian. Setelah terjadinya kecelakaan yang menimpa Puji, membuat Cantika memiliki rasa trauma berat ketika menyebrangi jalanan yang tampak ramai dan saking buruknya trauma itu sangat sulit baginya bisa dihilangkan dengan begitu mudahnya. Di hari itu pula Puji kehilangan kedua matanya dan karena tidak ada biaya membuat Puji terpaksa hidup selama bertahun-tahun tanpa bisa melihat dunia. Tentu Cantika sedih dan merasa bersalah membuat ibunya kehilangan kedua matanya karena kecerobohannya sewaktu masih kecil dulu dan Puji yang selalu menenangkan Cantika ketika rasa ketakutan itu muncul kembali dipikiran putrinya tersebut. Flashback off ... Setiba di rumah, Malik masih memikirkan Cantika dan tidak menyangka Cantika mengalami hal buruk di masa kecilnya sampai membuat gadis itu memiliki trauma yang begitu mendalam. Malik ikut sedih mendengar cerita dari Puji dan ia berusaha membuat Cantika sembuh dari rasa traumanya. "Apapun yang terjadi gue bakal selalu ada buat Cantika dan gue ingin buat dia bahagia dengan semampu gue." Ucapnya yakin. Ketika masuk ke dalam rumahnya, seperti biasa Malik disambut oleh kedua adik kecilnya yang selalu tampil menggemaskan. "Wah baru mandi ini semua." Malik berjongkok dan menjajarkan tubuhnya dengan tinggi badan adiknya. "Iya kak Malik, kita mandi bareng di halaman belakang. Tadi seru lho kita, main air terus." Aisyah pun menceritakan keseruan bersama adiknya tadi. Malik menyimak dengan memasang raut muka seriusnya saat sedang mendengar cerita adiknya. Hal itu dilakukan supaya adiknya selalu bercerita kepada soal kejadian apapun yang dialaminya tanpa perlu ada yang ditakuti lagi. "Seru banget kayaknya, sayangnya kakak gak ikutan karena masih sekolah." Malik menciumi wajah adiknya satu per satu. "Iya pulangnya kakak Malik sore sore." Aisyah mendengus dan bibirnya maju seperti bebek. "Bebek imut." Malik menarik bibir Aisyah secara lembut dan Aisyah memekik kaget dan menepuk bahunya. "Ihh." Aisyah pun dengan cepat meraup bibir kakaknya dan Malik pun berteriak kesakitan sebab kuku Aisyah masih belum dipotong sehingga bibir Malik tampak agak lecet dan tentu saja sangat sakit karena tergores kuku adiknya. "Buset." Malik menangkup bibirnya sendiri sedangkan Aisyah berlari kabur sambil tertawa. "Bocil dah pandai balas dendam." Malik terkekeh dan melihat adiknya sudah menghilang dari hadapannya. Selanjutnya Malik pergi ke kamarnya dan melakukan aktivitas sore seperti biasanya. Selesai dengan semuanya, Malik menemani adik-adiknya bermain di halaman belakang rumah. "Oh ya Bi, papa kok gak keliatan?" tanya Malik pada pengasuh adik-adiknya yang tengah sibuk menyuapi Aisyah yang suka susah makan. "Oh ada di kantor Pak Pandu mungkin. Saya tadi denger Pak Angga mau berangkat ke sana." "Oh begitu." Malik mengangguk paham. "Tapi tadi Aisyah sama Syabil sempar diajak liburan ke kebun binatang sama Pak Angga dan Bu Irene." "Oalah, ini bocah nggak cerita gitu." Malik mencubit gemas pipi adiknya yang gembul. "Hehe lupa kakak, soalnya saking serunya. Tadi lihat teman kakak di kurung di kebun binatang juga." Aisyah menyengir kuda. "Wah siapa tuh?" tanya Malik antusias. "Monyet," jawab Aisyah sangat yang mengundang gelak tawa orang yang mendengar ucapannya baru saja. "Oh teman kakak monyet." "Iya katanya teman seria itu." "Kata Siapa?" "Kata papa." "Aih papa jahat banget." Malik mencebikkan bibirnya meski rasanya masih perih sehabis dicakar Melani. "Hahaa." Malam semakin larut dan Malik mulai menemani adik-adiknya yang akan tidur. Malik memijati kaki dan tangan mereka berdua agar lebih segera terlelap dan Malik bisa bebas dari kejaran mereka. Mereka sangat sulit dilepas darinya dan ditinggal jauh hanya karena kebelet saja mereka sudah mulai menangis. "Adik-adik kesayangan kakak Malik." ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD