Part 17
Malik sangat senang dan bersyukur hari bisa sarapan bareng keluarganya dengan lengkap. Ada papanya, mamanya dan dua adiknya. Berharap seperti ini setiap hari namun mana mungkin bisa? Sebab Angga masih fokus pada pekerjaannya dan letak kantor utamanya pula ada di Malang.
"Papa masih lama kan disini?" tanya Malik kepo.
"Iya papa masih disini terus, gak tau juga jadwal ke Malangnya kapan dan nunggu asisten papa yang bilang," jawab Angga.
"Pengennya sih papa menetap terus disini."
"Iya nggak bisa Malik, kamu harus belajar mengerti tapi memang masih belum mengerti sih kamu masih sekolah gini mungkin nanti kalau kamu sudah kerja akan melakukan kayak apa yang papa lakukan." Angga tersenyum tipis.
"Ya Malik berharap papa menetap disini karena ada dua bocah yang masih kecil butuh perhatian sepenuhnya dari orang tua." Sela Malik.
"Iya, Malik. Mama juga berusaha pulang setiap harinya beda kalau papamu yang ada di luar kota. Kita harus sama-sama menyadari lagian papa bekerja demi masa depan kamu sama adik-adik kamu. Papamu berusaha ekstra menabung buat jaga-jaga kalau ada apa-apa pada keluarga suatu saat nanti." Irene ikut menrimbung.
"Iya, Ma. Aku mengerti." Malik menghembuskan napasnya pelan sambil mengangguk samar. Papanya sangat sibuk sekali dan Malik memikirkan adik-adiknya yang kurang perhatian dari sang papa.
"Ya sudah lanjutkan makannya dan jangan banyak mengobrol nanti tidak habis-habis kalau makan. Kamu juga sekolah harus masuk pagi dan papa tidak mau mendengar kabar kalau kamu datang terlambat ke sekolah." Tegur Angga pada anaknya. Sesibuk apapun dirinya tetap saja sangat tegas mendidik anak-anaknya supaya tidak salah dalam pergaulan di usia mereka masih muda.
"Siap Pa." Malik segera menyelesaikan makanannya dan tidak membantah apapun perintah yang diberikan oleh Angga. Ia sudah terbiasa sedari kecil menurut pada pria paruh baya tersebut dan menganggap keputusan papanya adalah hal terpenting dalam hidupnya.
"Cil cil belepotan kalau makan." Malik membantu adiknya yang masih belum selesai makan sedangkan dirinya sudah selesai sarapan paginya.
"Cil apaan kakak?" tanya Aisyah yang tidak nama panggilan yang diberikan oleh kakaknya.
"Kecil la, kamu kan kecil." Malik tertawa meledek.
"Kan Aisyah emang masih kecil dan masih TK. Umur sedikit juga." Omel Aisyah soal antara menerima dirinya disebut kecil atau tidak.
"Haha umur sedikit." Irene tertawa mendengar penuturan anaknya baru saja.
"Kakak tanya kan katanya umurnya sedikit jadi umur Aisyah berapa dong?" tanya Malik pada Aisyah.
"Mau tujuh bulan depan, pengen dirayain di sekolah papa." Mata Aisyah langsung tertuju pada papanya yang baru saja menyelesaikan sarapan paginya.
"Iya." Angga mengangguk.
"Tapi papa harus ada di acara ulang tahun Aisyah." Aisyah menundukan kepalanya dan memasang muka sedihnya. Malik pun ikut sedih lalu merangkul adiknya yang duduknya dekat dengannya.
"Iya papa usahakan datang. Masih ada mamammu dan kakakmu yang siap sedia selalu ada di samping Aisyah." Angga tersenyum tipis lagi sembari beranjak berdiri dan menghanpiri Aisyah.
"Tapi Aisyah pengennya sama papa." Aisyah mengembungkan pipinya. Angga mengambil kursi kosong dan duduk di kursi yang letaknya disisi kanan putrinya.
"Iya papa tau kok, sini papa suapin biar cepet habis dan kamu Malik siap-siap berangkat sekolah sana." Angga meraih mangkuk yang berisikan makanan Aisyah dari tangan Malik dan kini gadis kecil itu memekik senang disuapi oleh papanya. Aisyaj selalu merindukan Angga karena papanya itu selalu sangat sibuk bekerja.
"Iya Pa." Malik beranjak berdiri dan berlari kecil ke kamarnya untuk mengambil sepatu dan tas sekolahnya.
Malik kembali turun ke bawah dan berpamitan kepada kedua orang tuanya. Tidak lupa adik-adik kecilnya yang berteriak heboh melihat kakaknya akan berangkat sekolah. Bedanya jika ada orang tua mereka tidak menahan Malik pergi keluar rumah.
"Diperiksa kembali buku-bukunya sebelum berangkat, takutnya ada yang lupa dibawa." Irene selalu mengingatkan Malik untuk tidak ceroboh dan duli sering sekali balik ke rumah hanya untuk mengambil buku yang tertinggal di rumah.
"Iya Ma dan sudah Malik periksa berulang kali."
Malik pun melajukan motornya dalam kecepatan sedang dan tentunya tujuannya kali ini ke rumah Cantika lebih dulu.
Saat sudah sampai, ia melihat Puji yang baru saja membukakakn pintu rumahnya. Malik langsung turun dari motor sambol melepaskan helmnya. Lelaki berjaket biru muda itu berlari kecil mendekati rumah tersebut.
"Selamat pagi Tante."
"Pagi, wah Malik rupanya." Puji tersenyum dan sudah menebak melalui suara Malik yang terdengar sopan dan lembut.
"Iya tante saya Malik, saya mau jemput Cantika dan Cantikanya masih ada kan?" Lalu muncula Cantika dari balik pintu.
"Buset dah kaget gue." Malik mengusap dadanya dan sungguh kagetlah dia melihat Cantika ternyata sudah ada disini.
"Biasa aja." Cantika memasang wajah datarnya dan mengeluarkan sepatu hitamnya di depan pintu.
"Tapi kaget banget lho gue."
"Lebay."
"Cantika gak boleh gitu sama Malik." Tegur Puji dan masih di depan pintu. Menunggu anaknya benar-benar sudah berangkat ke sekolah dan di sampingnya ada Malik yang menyengir lebar karena mendapat pembelaan dari Puji.
"Malik ngeselin, Bu."
"Enggak tuh, Malik baik banget sama kita jadi kita harus lebih baik memperlakukan Malik. Gak boleh jutek dan kamu harus lembut juga ke Malik. Dia selalu menolong kamu apapun masalahnya bahkan kemarin pun dia yang rela pulang dari rumah kita kehujanan demi kamu." Puji memegang bahu Malik sebagai penopangnya ketika berdiri lama. Malik yang menawarkan bahunya untuk Puji supaya tidak sakit telapak tangannya terlalu lama menggunakan tongkat kayu.
"Kemarin enggak kehujanan saya, Tante. Kemarin saya pakai jas hujan dan hujannya cuman datang sebentar saja hehe." Malik menyengir dan menjawab secara jujur.
Cantika terdiam dan memikirkan ucapan ibunya. Ia kemarin benar-benar masih belum bisa berpikir normal setelah traumanya kambuh dan ya ia akui kemarin bersama Malik. Malik sabar mengurusnya sampai pulang ke rumah dengan selamat dan helm yang dipakainya pun diberikan kepadanya demi melindunginya.
'Kenapa dia sebaik itu ke gue? Padahal gue selama ini bersikap seenaknya ke dia'--batin Cantika memikirkan sifat dan sikap Malik yang selalu penuh perhatian kepadanya.
"Ayo berangkat!" ajak Cantika setelah selesai memasang sepatunya.
"Ayo!" Malik mengangguk semangat dan tersenyum senang mendengar pertama kalinya Cantika mengajaknya seperti ini.
Merela berdua berpamitan kepada Puji dan mencium punggung tangan wanita paruh baya tersebut.
"Tolong jaga Cantika ya, benar dia punya kemampuan bisa melindungi diri dari serangan jahat tapi tetap saja dia butuh orang sepertimu Malik. Cantika tidak sekuat itu dan ibu mohon sekali kamu bisa melindungi Cantika dari serangan teror seseorang." Merasa Cantika sudah tidak ada di sekitarnya, Puji membisikan sesuatu pada Malik dan Malik sedikit terkejut mendengar penuturan Puji.
"Apa--"
"Sudah tak perlu dijelaskan lagi dan kamu panggil tante dengan sebutan ibu ya. Ibu merasa memiliki anak laki-laki hehe." Puji duli berharap sekali juga memiliki seorang putra tapi sayangnya keadaannya sekarang sudah tidak mungkin lagi memiliki seorang putra. Sosok yang dicintainya telah pergi meninggalkannya dan tidak akan kembali lagi kedekapannya.
"Hmm iya, Bu. Malik juga senang memanggil tante dengan sebutan ibu. Malik berusaha bisa melindungi Cantika dari orang-orang jahat." Malik merasa senang sekali mendapat kepercayaan dari Puji langsung dan benar firasatnya bahwa ada teror yang mendadak menyerang Cantika seperti kejadian Cantika kemarin lalu.
"Lama banget sih." Cantika menunggu Malik di latar rumah dan di samping motor Malik sambil bersedekap d**a.
"Iya Cantik." Malik langsung berlari kecil menghampiri Cantika dan motornya.
"Ibu gue bilang apa aja ke lo?" tanya Cantika seraya memicingkan matanya curiga.
"Tetep jadi temen lo terus," jawab Malik asal.
"Beneran tuh?"
"Iya, bahkan gue gak lagi manggil ibu lo dengan sebutan tante." Malik menyengir lebar.
"Terus?"
"Gue manggil ibu hehe." Malik memasang helmnya sendiri kemudian menaiki motornya dan membantu Cantika naik di belakangnya walau Cantika menolak karena masih bisa menaiki motor Malik dengan mudahnya karena motor Malik berjenis matic dan bukan motor besar ala anak cowok jaman sekarang. Malik tidak terlalu suka juga memiliki motor besar sebab motor matic lebih enak aja dan mudah membonceng adik-adiknya.
"Ih paling juga lo yang ingin dan senang kan lo dibela sama nyokap gue."
"Nyokap lo yang suruh kok, tanya aja sendiri nanti dan ya pastinya nantinya nyokap lo terus bela gue." Malik tertawa dibalik helmnya.
"Seneng gitu?"
"Iya la."
"Adoh!" Malik mengaduh kala punggung dipukul kuat oleh Cantika.
"Jangan macam-macam sama gue ya, gue bisa lebih dari ini."
"Iya ya." Malik mengangguk pasrah. Deritanya dekat dengan gadis yang memiliki kemampuan bela diri tentu saja Malik harus kebal sakit menghadapi keganasan Cantika tiba-tiba seperti tadi.
"Lama-lama remuk juga ini badan deket sama lo." Malik mengeluh dan masih dapat didengar jelas oleh Cantika.
"Rasain sendiri la dan gak usah ngeluh. Tiap hari gue bakalan pukulin lo seperti ini nih." Cantika memukuli punggung Malik lagi dan cowok itu mengaduh kesakitan beberapa kali hingga motor yang dinaiki mereka oleng.
Reflek Cantika memeluk Malik saat cowok itu mengerem mendadak. Untung saja jalanan dalam kondisi masih sepi dan aksi mereka tidak menganggu orang di sekitarnya.
Keduanya sama-sama tertegun beberapa saat kemudian, Cantika melepaskan segera pelukannya dan jantungnya sangat berdegup kencang. Cantika memegang dadanya dan merasakannya. Begitupula dengan Malik ketika motornya sudah berhenti di tempat yang aman.
'Jantung gue buset!'-- umpat Malik dalam hatinya dan juga sama seperti Cantika. Memegangi dadanya dan merasakan degup jantungnya yang tidak karuan.
'Argh apa tadi? Gue peluk dia? Aaa malu astaga'---Cantika berteriak di dalam hatinya sambil menggeleng kuat.
"Emm sorry, lanjut jalan." Malik pun melajukan motornya dalam kecepatan sedang dan suasananya kali ini begiti canggung setelah kejadian tadi. Cantika diam saja dan menganggu ketika diajak bicara oleh Malik.
...