Part 42

1006 Words
Part 42 "Kamu kerja?" Angga bersedekap d**a, mata elangnya yang mengitimidasi Malik sembari berjalan memutari Malik. Suasana seketika menegang saat kedatangan Angga tanpa mereka duga dan Malik sangat tidak berani menatap balik ke papanya. Didikan Angga sedari kecil begitu keras, kalau sudah begini pun ia harus menundukkan kepalanya dan jika menatap balik ke papanya, satu tamparan nantinya akan melayang ke pipinya. Malik diam beberapa saat dan kedua tangannya terkepal kuat. Menelan salivanya perlahan secara berulang dan keringat dingin mulai bercucuran. Pening itu yang dirasakan Malik, saking merasakan takutnya menghadap papanya dan ia juga tertangkap basah telah menyembunyikan sesuatu dari papanya. "Jawab Malik!" bentak Angga tiba-tiba. Malik dan Irene terjengat kaget namun kembali bersikap agak tenang. "Jangan keras-keras suaranya, Mas. Nanti dua bocah yang lagi main di kamar kedengaran dan nangis ketakutan denger suaramu." Irene langsung sigap menghampiri Angga, menyuruh suaminya duduk dan menyiapkan air minum untuk Angga. Irene mengusap bahu suaminya dan mencoba menenangkan emosi Angga yang sudah naik. "Dia normal tapi berlagak bisu, kamu mau jadi bisu hah!" Angga tadinya fokus apa yang dilakukan istrinya kepadanya kini beralih menatap nyalang ke Malik yang masih berdiri di tempatnya tadi. "Malik." Suara cemas berasal dari Irene. Irene tidak mau keadaan ayah dan anak saat ini makin memanas. Andai saja tadi dirinya mengintrogasi Malik bukan di ruang tamu dipastikan keadaannya tidak akan menjadi seperti sekarang ini. Ia lupa bahwa suaminya masih belum kembali ke luar kota dan masih disini selama beberapa hari kedepan. Malik masih membisu dan cowok itu sendiri tak mampu mengeluarkan kata-katanya. Ia sangat takut menghadapi kemarahan papanya dan tak berani pula menjawab pertanyaan Angga. "Sudah, Pa. Biarlah aku yang mengurus Malik. Papa ada kerjaan kan?" tanya Irene yang berusaha mengalihkan topik ini agar tidak semakin memanas. "Yang disembunyikan sama Malik itu penting, Ma. Tadi apa maksudnya kerja? Aku ingin mendengar dari dia secara jelas dan tidak membiarkan begitu saja soal ini." Angga menghembuskan napasnya kasar dan mengusap wajahnya. "Iya aku tau, Pa. Beri dia waktu buat jelasinnya, Malik kelihatan capek juga dan masalah ini dibicarakan dalam keadaan pikiran dingin." Irene masih berusaha menurunkan amarah suaminya dan membuat Malik merasa bersalah kepada mamanya yang mencoba melindunginya dari amarah sang papa. "Tidak ada nanti-nanti, aku maunya sekarang dan kamu mau membela dia?" tany Angga balik kepada Irene. "Tidak, aku tidak ada maksud membela karena Malik juga salah telah menyembunyikan sesuatu penting dari kita. Aku hanya meminta ke mas, buat menyelesaikan masalah waktu dalam keadaan tenang agar semua masalah bisa diselesaikan dengan baik. Mas aja marah-marah begini dan itu gak baik buat menyelesaikan masalah." Irene menegur suaminya supaya sadar bahwasanya menyelesaikan masalah dalam keadaan emosi yang tinggi itu tidak baik justru makin memperpanjang masalah tersebut. "Sudah lah Irene, aku ingin sekarang ya sekarang dan aku tidak mau nanti. Pikiranku nanti soal pekerjaan bukan urusan rumah lagi. Cepat jawab pertanyaan dari papa, kamu kerja?" tanya Angga lagi dan menatap ke putranya. "Iya, Pa." "Di mana? Kerja apa?" Angga merasa sakit hati aja rasanya, ia kerja keras selama ini untuk mencukupi kebutuhan keluarganya dan ternyata putranya malah diam-diam bekerja di saat masih di bawah umur. "Kerja di rumah makan Bulek." "Alasan kamu kerja apa?" Angga beranjak berdiri dan mendekat ke putranya. Irene pun juga sigap berdiri di samping Angga dan tak mau pula Malik mendapat pukulan dari Angga. Angga terlalu keras mendidik Malik sedari kecil dan Irene sangat hapal betul karena telah bersama Malik semenjak Malik kecil. "Pengen aja merasakan rasanya bekerja," jawab Malik berbohong. "Kamu pikir kerja itu gampang apa? Kamu gak lihat papamu ini kerja sampai jarang pulang ke rumah itu buat siapa? Buat kamu dan keluarga kita. Mencukupi kebutuhan semua isi di dalam rumah ini. Terus kamu kerja buat apa ha? Masih kurang apa yang papa kasih buat kamu? Bilang aja dan gak usah kerja-kerja begitulah. Kamu ini masih belum waktunya bekerja, Malik." Angga merasa pening memikirkan Malik yang sangat bodoh menurutnya. Bekerja di saat masih sekolah dan ia rasa tak pernah kurang memberikan apapun ke Malik. "Pa, Malik buat nambah pengalaman--" "Iya nanti Malik, kamu ini masih sekolah dan fokuslah pada sekolahmu. Baguskanlah nilai-nilaimu yang masih banyak kurangnya dan soal pekerjaan kan papa sudah bilang. Papa itu sudah mengatur masa depanmu dari kecil dan selama kamu masih sekolah, papa yang tanggung jawab penuh atas kebutuhanmu. Besok ada saatnya kamu hidup mandiri tanpa papa tanggung." Angga memijit pelipisnya pelan. "Tapi pa, Malik emang pengen kerja dan pengen merasakan susahnya bekerja." "Enggak, gak ada kerja kerja di saat usiamu masih belum cukup dan papa masih bisa membiayai kebutuhanmu. Fokus sama sekolahmu sekarang dan jangan fokus ke hal-hal yang gak penting." "Kerja juga penting--" "Malik!" bentak Angga lagi yang sudah merasa kesal atas sikap Malik yang keras kepala. "Mas." Irene mengusap bahu suaminya dan ia juga kaget mendengar suara keras dari mulut Angga. "Kamu ini aih susah dibilangin." Angga lagi-lagi menghembuskan napasnya kasar. "Maaf Pa." "Kalau kamu gak mau keluar dari kerjaanmu, aku saja yang akan bilang langsung ke bulekmu dan tidak kerja kerja di saat usiamu itu masih muda. Lagian kamu nanti kerja pun bukan menjadi bawahan seperti apa yang kamu lakukan sekarang. Kamu itu di atas Malik bukan di bawah." "Tapi Pa, Malik juga ingin mempunyai pengalaman bekerja di bagian bawaham. Biar nantinya kalau jadi atasan itu punya pengalaman dan bisa memahami perasaan bawahan saat bekerja. Kita bisa tau betul bawahan kita saat bekerja itu kayak gimana." "Hadeh kamu ini kurang kerjaan emang buat tau soal mereka. Mereka punya tugas sendiri-sendiri dan jangan diurusin lah. Urusin hidup kita sendiri." Angga berdecak pelan. "Malik, benar kata papamu. Kamu fokus sekolah saja ya Nak. Masih ada orang tuamu yang sanggup membiayai kebutuhanmu dan kamu tidak usah susah payah bekerja di usiamu yang masih dibawah umur. Nanti ada saatnya kamu merasakan bekerja ya." Irene mengulum senyumnya. "Malik pengen merasakan saja, emang gak boleh?" Malik masih mengharapkan kata setuju dari Angga. "Arhh terserah kamu, susah dibilangin emang." Angga membalikkan badannya namun beberapa langkah saja, dirinya berhenti dan tanpa menoleh, ia mengatakan... "Tetap saja papa tidak setuju kalau kamu bekerja dan besok, kamu sudah keluar dari kerjaanmu." Tegasnya Angga kepada putranya ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD