Part 41

1080 Words
Part 41 "Sudah pulang, Nak?" "Iya, Bu." Baru saja Cantika membuka pintu rumahnya, ibunya langsung keluar dari kamar bersama tongkat yang selalu menjadi petunjuknya saat berjalan. "Gimana kerjanya, Nak?" Raut wajah Puji begitu khawatir pada sang putri dan kedua tangannya meraba wajah putrinya dan berakhir menangkup wajah Cantika. "Alhamdulillah kerjanya lancar, Bu." "Tapi kamu bisa kan kerjanya? Cerita ke ibu, kalau ada apa-apa dan ibu akan siap jadi pendengar ceritamu." Puji menyuruh putrinya untuk duduk dulu di atas karpet ruang utama dan Cantika meneguk air putih yang telah disiapkan oleh Puji sendiri. Puji sudah biasa menyiapkan air putih meski dalam keadaan tak bisa melihat. "Ya tadi ada kendala juga sih, Bu." "Apa, Nak?" Puji benar-benar penasaran sekali dan ia tak mau anaknya memendam masalahnya sendiri. Ia ingin menjadi pendengar baik untuk Cantika dan Puji ingin menjadi ibu yang mengerti keadaan Cantika walau dirinya sendiri banyak kekurangan. "Di rumah makan sebesar itu memang bukan sembarang orang yang dikerjakan. Meski pegawai baru, mereka sudah punya pengalaman dan skill yang bagus. Aku jadi insecure karena skill ku masih di bawah mereka apalagi aku masih sekolah dan belum punya pengalaman apa-apa." Puji sudah menebak sekarang Cantika memasang raut wajahnya yang sedih dan letih. "Kamu melakukan kesalahan apa emang? Kamu bagian kerja yang mana? Sampai bikin kamu loyo begini." Dari suara Cantika pun, Puji merasakan kesedihan yang dia dialami putrinya sekarang. "Aku bagian cuci piring dan ternyata tidak semudah sesuai apa yang aku bayangin. Aku lihat semua kalau kerja itu cepet selesai dan skill mereka itu bikin aku tercengang. Aku yang cuci piring suka santai seketika diam dan melongo melihat mereka semua cepet banget mencuci piringnya." Cantika masih teringat jelas kejadian di tempat kerjanya tadi. "Ya maklum sayang, kamu kan masih sekolah dan masuk ke rumah makan itu karena dibantu Malik yang kebetulan buleknya yang jadi pemilik rumah makan itu." "Iya, Bu. Aku tuh mengerti cuman galak banget atasannya sih mana ngatain aku pula." "Semua atasan pasti begitu ke bawahannya, Nak. Walau tidak semua tapi pasti kalau bawahannya melakukan kesalahan akan ditegur habis-habisan. Nah ambil sisi positifnya, itu tandanya kamu diperdulikan dan atasanmu berharap kamu bisa membuktikan kalau kamu juga gak kalah sama karyawan lain. Mengeluh boleh kok, tapi jangan sampai menyerah ya. Nanti bakal terbiasa mengerjakan cepat asal terus belajar." Puji mengusap baju Cantika dan melebarkan senyumannya. Disisi lain hatinya perih sekali, ia merasa tidak becus menjadi sosok orang tua yang baik untuk putrinya. Gimana tidak? Cantika bekerja di saat anak itu masih sekolah demi memenuhi kebutuhan hidup mereka berdua. Puji hanya berharap dan terus berdoa supaya anaknya ini diberikan kekuatan hidup di dunia yang keras ini. "Iya, Bu. Aku akan terus belajar dan memang niat pengen bisa. Tapi pasti butuh waktu yang panjang karena aku ini benar-benar dari nol." "Bisa saja kalau pengen cepat bisa asal semua tergantung dari niat dihatimu dan usahamu yang lebih keras lagi. Semangat, Nak. Maaf, ibu cuman bisa bantu doang kamu dan kayaknya ibu ini jahat sama kamu. Kamu terpaksa kerja karena keadaan kita dan ibu cuman menjadi beban di dalam hidupmu, Nak." Kedua mata Puji berkaca-kaca dan hatinya sangat sakit saja, tidak ikhlas sebenarnya membiarkan putrinya bekerja. Puji merasa menjadi orang tua yang jahat juga untuk anaknya. "Ibu kenapa bilang begitu? Ibu gak jahat dan aku sangat beruntung memiliki sosok ibu yang selalu pengertian, memberi kasih sayang yang sangat lebih dan ibu adalah wanita yang kuat. Aku kagum pada ibu yang bisa sekuat ini bertahan hidup dan aku yang beban bukan ibu." Cantika menyeka air mata sang ibu lalu memeluk tubuh ibunya. "Enggak, Nak. Ibu yang selalu nyusahin kamu selama ini. Kamu terpaksa menjadi dewasa sejak usimu masih kecil juga. Andai ibu tidak buta---" "Bu sudah, jangan bicara kayak begitu. Ini sudah takdir, Bu. Jangan menyalahkan takdir dan aku adalah anak yang dilahirkan dari rahim sosok ibu yang hebat. Dari itu aku pula jadi hebat bisa semandiri ini. Aku sayang banget sama ibu dan gak mau denger apapun ucapan yang merendahkan ibu." Cantika menangis tersendu-sendu dan tidak kuat mendengar kata-kata tentang ibunya yang direndahkan. Cantika tidak tinggal diam, siapapun orang yang berkata jahat soal ibunya dan itu menjadi kelemahan yang setiap anak kalau orang tuanya "Maafkan ibu." "Ibu kenapa minta maaf, ibu gak salah apa-apa kok. Cantika sayang banget sama ibu." "Ibu sayang banget sama anak kesayangannya ibu." "Oh ya, aku bawa makanan bu." Cantika melepaskan pelukannya kala teringat dirinya membelikan sesuatu untuk sang ibu. "Apa sayang?" tanya Puji yang tak sabar ingin mencicipi makanan yang dibawakan putrinya. Cantika sering sekali membawakan makanan ketika pulang ke rumah. "Makanan kesukaan ibu nih, cireng." "Wah gak sabar nih ibu." Terpancar aura kebahagiaan di wajah sang ibu. Melihat ibunya bahagia hanya karena hal-hal sederhana begini membuat hati kecil Cantika ikut senang. "Bentar, Bu. Cantika ambil piring dulu." Setelah itu Cantika membantu ibunya makan makanan yang dibelikan khusus untuk ibunya. "Makasih, Tika." "Sama-sama, Bu. Enak gak bu?" "Enak, beli ditempat langganan kah?" "Iya bu." Cantika manggut-manggut sambil ikut mencicipi cireng tersebut. ... "Sudah pulang, Malik?" "Eh buset, Mama!" Malik memekik terkejut sebab baru saja menginjakkan kakinya memasuki rumahnya sambil melepaskan jaketnya dan tepat di hadapannya seorang wanita paruh baya berdiri tegap dan itu sangat mengagetkan Malik. Malik langsung mundur beberapa langkah karena hampir menabrak tubuh Irene, mamanya. "Hadeh, Malik. Kamu pulangnya kok mau malam begini? Gak kayak biasanya." Irene bersedekap d**a dan matanya memincing curiga ke arah Malik. "Habis main, Ma." "Kenapa gak bilang kalau main tadi? Mana masih pakai baju seragam sekolah." Omel Irene. "Iya, Malik tadi lupa gak bawa baju dan mendadak mainnya." Malik bingung sendiri, ia takut berkata jujur soal dirinya yang sudah bekerja di rumah makan milik Zena. "Jawab jujur, Malik. Beneran tadi langsung main?" Sesibuk apapun Irene, Irene masih memperhatikan aktivitas anak-anaknya di rumah dan ia tak mau pula anak-anaknya melakukan sesuatu yang merugikan anak-anaknya sendiri. Irene belajar dari masa lalu adiknya dan masih ingin anak-anaknya merasa dekat dengannya. Jadinya kalau ada apa-apanya anak-anaknya bisa mengatakan hal apapun kepadanya dan Irene tau apa saja soal anak-anaknya. "Emm anu, Ma." Malik tak bisa berbohong dan menundukkan wajahnya. Menatap lantai dan tubuhnya bergerak tak karuan karena saking gugupnya. "Kan pasti ada yang disembunyikan, jujur ke mama kalau enggak jujur. Mama jelas kecewa sama kamu yang berani berbohong ke mama." Irene menatap tajam ke Malik. "Iya, Ma. Maafin Malik." "Iya mama maafin kalau kamu berkata jujur. Apa yang kamu sembunyikan dari mama?" "Malik kerja, Ma." "Kerja?" "Papa." Degup jantung Malik berdebar tak karuan, mendengar suara papanya yang mendekat ke arah ruang tamu dan tubuh Malik mati membeku rasanya. ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD