Part 43
Tidak hanya disuruh keluar dari pekerjaan, Malik dikurung di rumah dan tidak boleh main lagi selama Angga belum kembali ke luar kota. Malik merasa bosan di dalam rumah dan ingin kabur. Namun Malik tak bisa melakukannya dan hanya bisa pasrah di dalam kamar. Kedua adiknya tidak sedang manja-manja kepadanya seperti biasa sebab ada Angga. Malik hanya menggantikan posisi Angga saja dan Malik memang mengakui ini kewajibannya juga menjaga adik-adiknya serta menyayangi adik-adiknya seperti anaknya sendiri.
"Hmm bete sumpah, kalau tau gini mending papa gak usah balik deh dan biar sibuk di luar kota aja. Gue jadi gak bisa bebas dan tenang kalau ada papa di rumah." Malik berjalan ke kanan dan ke kiri berulang kali.
Malik tidak bisa diam saja di rumah namun sangat susah kabur. Semua ruangan terpasang CCTV dengan kamera yang dilengkapi fitur ketajaman yang tinggi.
"Astaga gue pengen main." Malik memukuli samsak yang ada di kamarnya dengan tangan kosong. Bahkan membenturkan dahinya pula disana dan mengabaikan rasa linu dibagian kepalanya tersebut.
"Dahlah." Terlalu pasrah, Malik merebahkan tubuhnya di atas kasur dan merentangkan kedua tangannya serta kakinya.
"Papa dari dulu suka mengekang gue. Lagian kerjanya juga waktunya dikasih sebentar doang sama bulek karena gue masih sekolah. Iya gue tau nanti yang mengatur masa depan gue adalah bokap. Tapi lama kelamaan gue juga pengen bisa mengatur sendiri masa depan gue seperti temen gue yang lain. Harusnya gue punya adik cowok jadi gue gak merasa beban sendiri begini. Biarin adik gue yang melanjutkan usaha bokap bukan gue." Malik mengacak-acak rambutnya dan berteriak tanpa suara.
"Gue selalu nurut apapun kata bokap, masak gue minta hal kecil aja gak dibolehin. Capek juga rasanya dikengkang begini terus, ingin rasanya melawan tapi itu adalah tindakan yang anti bagi gue. Gue gak bisa melawan orang yang lebih tua dan kalau gue bayangin itu bikin gue hancur juga hati gue."
Malik memposisikan tubuhnya duduk dan menangkup wajahnya sebentar. Lalu ia melirik jam dinding yang tiap hari berdenting dan Malik seketika menghembuskan napasnya perlahan.
"Jadi ngantuk gue, padahal masih jam 9 sih dan kurang malam." Malik beranjak berdiri untuk mengambil ponselnya yang digeletakan di meja nakas samping lemarinya dan dari tadi memang sedang mengisi daya ponselnya.
"Hmm." Malik berdehem pelan sembari mengecek notifikasi dari ponselnya.
Ada satu pesan yang membuat suasana hati Malik mendadak meningkat yaitu pesan dari seorang gadis yang baru saja dipinjamkan ponselnya tadi. Senyum merekah indah dibibirnya membaca pesan dari gadis bernama Cantika. Gadis cuek dan selalu menatapnya sinis itu perlahan menjadi lunak. Malik merasa berhasil menjinakkan Cantika meski waktunya pula agak lama.
Cantika:
Malik oi
Malik menggelengkan kepalanha sejenak sebelum membalas pesan dari Cantika.
Malik:
Kenapa Cantik?
Tidak butuh waktu yang lama, Cantika membalas pesan dari Malik.
Cantika:
Gue agak susah sih, hp lo mahal banget dan beda sama hpnya Melani
Malik:
Masak susah?
Cantika:
Iya, gue gak terlalu mengerti sama ip (emot cemberut)
Malik:
Besok gue ajarin, lo klik yang lo tau aja
Cantika:
Oke
Malik akan menggeletakkan ponselnya namun Cantika mengirim pesan lagi kepadanya.
Cantika:
Besok gue naik sepeda jadi lo gak usah repot-repot datang kesini
Malik:
Tapi gue seneng direpotin sama lo
Cantika:
Gak usah, selagi gue bisa sendiri ya gue sendiri lah
Malik:
Oke Cantik, senyaman lo aja
Cantika:
Iya Malik
Btw, tetep aja gue berterima kasih sama lo karena sudah mau minjemin hp ke gue
Malik:
Iya Cantik, biar lo ga bingung lagu dan bisa mencari tau apapun materi di internet.
Cantika:
Hehe iya, makasih banget intinya
Malik:
Iya sama-sama Cantik
Malik meletakkan ponselnya di sebelahnya lalu kembali rebahan dan menghembuskan napasnya secara perlahan.
"Pasti Cantika bakal sedih kalau tau gue gak bisa nemenin dia bekerja." Malik tidak kuat membayangkan wajah Cantika yang bersedih mengetahui nantinya kalau ia sudah tidak bisa menemani bekerja di rumah makan Zena.
"Semoga saja dia gak marah tapi gue bakal terus ada disana juga, meski gak kerja. Gue pengen lihat keadaannya," ucap Malik mantap.
Besok harinya...
"Malik, kamu gak sarapan?" tanya Irene yang sedang menyiapkan sarapan untuk keluarganya. Sedangkan dua putrinya tengah diurus Vera.
Irene melihat putranya tengah memasangkan tali sepatu ketika baru saja turun ke lantai dasar bahkan tidak sama sekali menghampiri meja makan seperti biasa anak itu suka sekali menanyakan sarapan pagi dan mencomot cemilan milik adiknya.
"Enggak." Raut wajah Malik datar sambil menggeleng menjawab ucapan Irene.
Irene menghela napasnya, ia tau Malik sedang marah karena kemarin dan putranya sedang dihukum tidak boleh main selama Angga di rumah.
"Makan dulu gih, nanti lapar lho." Irene menghampiri Malik dan mencoba membujuknya.
"Enggak."
"Malik jangan bandel ya."
"Malik." Suara barinton berasal dari anak tangga membuat Irene menoleh ke asal suara tersebut. Ia langsung memperingati Angga untuk tidak berbicara dengan nada tinggi sambil tangannya menunjuk ke arah meja makan yang dimana dua putri kecil mereka tengah sarapan.
"Males." Selesai menali sepatunya, Malik beranjak berdiri lalu meraih tangan Irene dan menciumnya sebagai tanda pamit sebelum dia berangkat ke sekolah.
"Sarapan!" Nada penuh ketegasan diberikan oleh Angga namun tak ditanggapi Malik.
"Ma, Malik berangkat dulu."
"Tapi---" Irene tak jadi melanjutkan ucapannya ketika melihat Malik sudah buru-buru pergi.
Irene kembali menatap suaminya yang lagi mengontrol emosinya dan terlihat kedua tangan Angga terkepal kuat.
"Sudah, Mas. Biarkan saja Malik."
"Kamu ini malah suruh dibiarkan, lama-lama ngelunjak itu anak." Angga menatap Irene tajam.
"Aku rasa Malik terlalu kamu kengkang."
"Terlalu dikengkang gimana? Jelas-jelas apa yang dilakukannya memang salah. Emang kamu tega lihat anak kita bekerja di saat masih sekolah?" tanya Angga heran.
"Itu keinganannya sendiri lagian Zena pun sudah kasih waktu sedikit khusus buat mereka bekerja," jawab Irene dengan suaranya yang lembut.
"Waktu sedikit? Hah, tetap saja aku tidak suka anakku bekerja di tempat orang. Aku susah payah membangun bisnisku supaya Malik yang meneruskannya nanti dan dia dengan semudah itu menyepelekanku."
"Namanya juga Malik masih muda dan butuh hang namanya pengalaman di dalam hidupnya. Umur seperti Malik itu tingkat keingin taunya tinggi jadi wajar Malik kepo sama hal-hal yang menurutnya baru di dalam hidupnya." Irene menjelaskan dengan kesabarannya. Ia paham maksud Malik kemarin, mengapa Malik ingin bekerja dan itu wajar saja diumurnya sekarang sedang dalam masa ingin tau hal-hal yang menurutnya baru.
Angga masih memasang muka kesal dan tak setuju putranya bekerja di tempat kerja orang meski itu saudaranya sendiri.
"Iya Mas, aku tau kamu itu tidak setuju tapi cobalah ambil sisi positifnya. Sisi positifnya pula Malik bisa mengenal kerasnya dunia pekerjaan dan susahnya bekerja itu seperti apa. Calon pemimpin kan putra kita jadi jika suatu saat dia jadi pemimpin di perusahaan Mas, dia jadi lebih tau perasaan karyawannya dan punya hati nurani. Biasa kalau sudah jadi bos itu seenaknya dan tidak berperasaan seperti Mas," ujar Irene seraya melangkahkan kakinya kembali menuju meja makan dan disambut dua putrinya yang sibuk mengoles selai strawberry ke rotinya masing-masing.
"Kok kamu malah nyalahin aku sih?" Angga menatap istrinya bingung.
"Mas kan kalau jadi bos, gak berperasaan ke karyawannya." Irene melirik suaminya sekilas.
"Kamu bicara apa sih? Gak berperasaan gimana?"
"Sudahlah Mas, aku tidak mau masalah ini menjadi panjang dan merusak suasana hatiku." Irene pun duduk dan Angga pula.
"Kamu pun tidak menjelaskan maksud dari ucapanmu tadi. Padahal aku selalu kasih bonus banyak ke semua karyawanku."
"Tapi Mas suka memecat orang yang jelas-jelas mereka itu butuh cuti sebentar."
"Lagian izinnya gak jelas banget sih."
"Izinnya gak jelas gimana? Beberapa kali orang mengeluhkan soal izin yang susah diberikan dan ancamannya dipecat. Setega itu kamu kasih peraturan ke karyawan-karyawanmu."
"Aku sudah bilang kalau---"
"Trauma? Jangan sama ratakan sifat karyawanmu yang sekarang dengan masa lalu. Itu kejadian yang lalu biarlah berlalu dan dijadikan pelajaran saja. Jujue aku tidak suka sama Mas Angga yang sekarang, terlalu arogan." Irene menahan emosinya demi dua putrinya yang sudah menanyakan soal dirinya yang memarahi Angga. Irene pun meminta maaf kepada anak-anaknya yang telah dibuatnya takut.
Angga pun terdiam dan mendadak teringat kejadian beberapa tahun yang silam. Kejadian dimana ia dikecewakan oleh seseorang yang telah ia anggap saudaranya sendiri dan dengan teganya menghancurkan kepercayaannya.
...