Part 6

4016 Words
PART 6 "Tik, gue duluan ya." Pamit Melani ketika ada sebuah mobil berhenti di depan halte sambil melambaikan tangannya dan berlari ke arah mobil tersebut. "Iya, Lan. Hati-hati." Melani memang ingin ditemani Cantika sampai dirinya benar-benar dijemput, Melani takut sendirian sebab orang tuanya bilang nanti datang terlambat sewaktu menjemputnya dan Cantika tentu saja senang bisa menemani temannya serta melindungi temannya itu dari kejahatan di sekitar area sekolah ini. Karena banyak kasus pelecehan yang sedang marak terjadi di tahun ini membuat Melani parno sendiri. "Terima kasih Cantika telah menemani dan melindungi Melani," ujar ayahnya Melani yang membukakan pintu untuk putrinya. "Sama-sama, Om." Cantika sedari tadi berdiri sambil memegangi sepedanya, mengangguk dan tersenyum sopan kepada orang tua Cantika. Mobil yang ditumpangi Melani dan orang tuanya telah melaju dengan kecepatan sedang meninggalkan Cantika yang masih berdiri mematung di halte bus. Cantika tadinya masih mengamati mobil itu lalu tak sengaja pandangannya tertuju pada seorang pria dewasa tengah bersenda gurau dengan seorang anak perempuannya dan seorang ayah itu sambil menggendong putrinya berjalan di pinggir jalan raya ini. Pemandangan itu cukup mengingatkan sosok ayahnya yang sudah tak kembali lagi setelah ia berusia lima tahun. Ia merindukan ayahnya dan sifat ayahnya yang lembut memperlakukannya dulunya serta kepada ibunya sekarang sudah berubah menjadi sosok keras. Betapa sakitnya mengingat ayahnya telah menyakiti hati ibunya dan ia menyesal dulunya memaksa ibunya untuk tinggal di kota ini hanya demi bertemu ayah yang selama ini tak pernah pulang lagi. Ternyata ayahnya sudah berkeluarga di kota ini dan memiliki dua anak. Hancur sudah hati Cantika dikhianati ayahnya apalagi ibunya pula terus dihina sebagai pelakor. Ibunya pula tidak tau apa-apa soal ayahnya yang sudah berkeluarga dan orang tuanya hanya menikah siri saja. Cantika terpaksa hidup seadanya di kota ini bersama ibunya sebab beberapa aset ibunya diambil alih oleh ayahnya secara diam-diam. Setetes air matanya membasahi pipinya, setiap melihat sosok pria dewasa yang bersama putrinya selalu mengingat sosok ayahnya yang sudah ia anggap sosok superheronya. Namun itu dulu, sekarang sudah tidak lagi sosok superhero dan yang ada adalah strong woman yakni ibunya. Ibunya adalah sosok yang ia sayangi sepenuh hatinya dan apapun ia lakukan demi menyenangkan ibunya. Ia berjanji dan berusaha membuat ibunya hidup lebih enak dari ini dan Cantika bertekad menjadi orang sukses. Kelak bisa membanggakan ibunya dan membalas jasa-jasa ibunya walau itu tak seberapa dibanding jasa ibunya kepadanya. Ia ingin terus membahagiakan ibunya ketika teringat kejamnya sosok ayahnya kepadanya dan ibunya. Cantika membenci sosok itu walau disisi lain merindukan pelukan hangat dari sosok ayahnya. "Lo kenapa nangis?" Seseorang datang tiba-tiba dan berdiri di hadapannya. Lantas Cantika mendongakkan wajahnya, sosok tinggi besar itu membuatnya mundur beberapa langkah. "Lo kenapa disini?" Cantika menatap tak suka. "Ya gue habis main bola dan gak sengaja lihat lo dari tadi nangis gak berhenti disini. Siapa yang bikin lo nangis?" tanya orang itu lagi, raut wajahnya begitu khawatir menatap Cantika yang sepertinya ada sesuatu yang disembunyikan gadis tersebut. "Bukan urusan lo." "Aish, itu lagi jawabannya." Malik berdecak kesal padahal ia sangat penasaran apa yanh sedang dialami Cantika saat ini. "YA cuman itu jawabannya." Cantika naik sepedanya dan mulai mengayuh pedalnya. "Hey jangan tinggalin gue dulu!" teriak Malik saat melihat Cantika sudah mengayuh sepedanya secepatnya menghilang dari pandangannya. "Bodo amat!" teriak Cantika kesal dan malas bertemu lelaki yang suka tebar pesona itu. Sebelumnya... Malik sempat melihat Cantika mengamati seorang pria dewasa bersama putrinya dalam waktu beberapa menit saja. Karena Malik tidak suka melihat wanita menangis sendirian di sana akhirnya Malik menghampiri Cantika. Dilihat dari sorot matanya saja, Malik sudah bisa menebak ada hal yang disembunyikan Cantika. Sorot matanya menunjukan kesedihan yang mendalam dan membuat Malik ingin rasanya memeluk gadis itu serta menyalurkan kekuatannya. Tapi apa adaya Malik terlalu gengsi melakukan pelukan dan hanya bisa menanyakan saja yang berakhir dirinya kini ditinggal sendirian. "Apa yang lagi dialami Cantika, sampai dia nangis dalam diam?" Malik mendadak memiliki rasa penasaran terhadap sosok Cantika. Dari rasa penasaran itulah, Malik ingin mendekati Cantika terus dan Cantika adalah sosok gadis yang membuatnya seperti mati penasaran kali ini. Malik segera berbalik kembali sekolah, tadinya niat awal keluar dari gerbang sekolah saat tak sengaja melihat Cantika sekilas berdiri di halte bus. "Semoga gak kehilangan jejaknya," ucap Malik yakin. Malik sudah mengendarai motornya dan melaju dengan kecepatan lumayan tinggi. Malik tersenyum miring ketika berhasil menemukan keberadaan Cantika yang tengah berhenti di pinggir jalan dan sedang memarkirkan sepedanya di dekat penjual bakso. Malik memelankan lajunya dan memarkirkan motornya tak jauh dari tempat dimana Cantika berada. "Oh dia lagi beli bakso." Gumamnya. Malik mengusap perutnya yang mendadak lapar melihat gerobak bakso di sana dan kakinya buru-buru melangkah mendekati gerobak tersebut. "Lo lagi." Cantika tersentak kaget melihat siapa seseorang yang menyenggol pelan lengannya. "Hai?" Sapa Malik seraya menampilkan raut wajah cerianya dan tersenyum hingga matanya menyipit. "Lo ngikutin gue kan?" Tebak Cantika yang sudah dipastikan itu benar, Malik sengaja mengikutinya dan Cantika merasa frustasi tiap kali bertemu Malik yang menurutnya tingkahnya itu menyebalkan. "Sengaja," jawab Malik singkat dan cowok itu memesan bakso dua porsi yang satunya diberikan kepada Cantika. "Gak usah, gue gak makan disini." "Oh mau dibungkus?" "Gue beli sendiri." "Pak gak jadi makan disini, dibungkus semua." "Iya, Nak." Penjual bakso itu mengangguk paham. "Kenapa sih lo ngeselin banget?" Malik menghalangi Cantika yang akan protes dan akan membeli bakso memakai uang sendiri. "Habisnya wajah lo makin cantik aja eh emang namanya cantik ya cantik." Malik mengedipkan sebelah matanya. "Cih, gedek banget lihat orang yang suka tebar pesona begini." Cantika pun pasrah dan tidak bisa protes lagi. Cewek itu memilih duduk di trotoar saat merasa tempat duduk buat pembeli itu terpakai semua dan Malik menyusul duduk di sebelahnya. "Gue emang ganteng, gak suka ya lihat orang ganteng kayak gue?" Malik merapikan rambutnya sendiri dengan sisir kecil yang selalu dibawanya. "Ganteng dari mana," balas Cantika berkata bohong. Ia akui Malik memang rupawan dan bak seorang pangeran apalagi teringat tadi saat tubuhnya dipenuhi keringat bermain bola. Malik sangatlah tampan hingga Cantika tak bisa memandang Malik lebih lama dan jantungnya pula berdegub kencang berada di dekat Malik. Jadinya Cantika berusaha bersikap biasa walau agak sulit dan sebisanya pula mengeluarkan jurus sikap acuhnya terhadap lelaki di sebelahnya. "Bohong ih, mata lo itu tadi gue lihat kayak terpesona banget lihat gue sisiran. Bilang aja kalau lo juga terpesona sama gue." Malik kembali memasukkan sisir kecilnya di dalam saku celananya. "PD banget." Cantika mencibir. "Kan emang ganteng, kalau enggak ganteng ya cewek-cewek pada gak mau sama gue." "Ganteng doang." "Gue juga sultan." "Sultan doang." "Emang lo mau cowok gimana?" "Mahal," jawab Cantika singkat dan membuat Malik bingung sendiri karena tidak paham. "Mahal? Maksudnya." "Ya intinya mahal." Cantika berdiri kembali dan Malik pun ikutan berdiri seraya masih pandangannya fokus ke Cantika. "Haduh gak paham gue maksud lo kayak apa mahalnya, sultan kah? Gue sultan kok." "Sultan? Apa yang lo punya pake uang lo semua? Bukan kan? Masih punya orang tua aja sombong amat." Cantika yang berniat membayar sendiri pun segera Malik hentikan dan menyerahkan uangnya sesuai total bakso yang dibelinya kepada penjual bakso tersebut. Cantika pun berdecak kesal dan berjalan cepat menuju sepedanya yang terparkir di dekat gerobak penjual bakso itu. "Iya sih, duit gue dari orang tua gue tapi kan emang kita masih sekolah dan orang tua masih wajib kasih uang ke anaknya kali." Malik masih kekeuh dan membela diri. Apa yang dikatakannya itu tentu saja benar menurutnya. "Setidaknya jangan buat hura-hura, uang dari orang tua lebih baik ditabung dan baiknya juga pakai duit hasil kerja keras apalagi buat traktir orang begini. Gue gak mau sebenarnya karena ini duit orang tua lo." Cetus Cantika. "Iya deh ya." Malik yang tidak mau memperpanjang membahas ini memilih mengiyakan saja walau ia berpikir keras dan merasa malu Cantika berkata seperti itu kepadanya. Ia mengaku sultan karena uang yang dirinya sendiri pakai adalah milik orang tuanya. "Btw, ban sepeda lo bocor tuh." "Eh?" Cantika tak jadi menaiki sepedanya dan reflek memeriksa ban sepedanya yang kata Malik bannya bocor. Benar saja, ban sepedanya dibagian belakang bocor dan Cantika menghela napasnya berat. Baru saja kemarin sepedanya yang rusak itu diperbaiki kini kembali lagi sepedanya mengeluarkan uang yakni menambal bannya yang bocor. "Astaga kenapa bocor sih, kemarin udah rusak ini stirnya sekarang ganti bannya. Besok apa lagi?" Suara Cantika terdengar frustasi tetapi ia juga sadar, sepeda ini hanyalah sepeda bekas dari tetangganya dan memang sepedanya itu sering rusak. Namun kalau tidak ada kendaraan, akan susah baginya melakukan aktivitas di luar rumah. "Gue anterin pulang deh dan urusan sepeda biar gue aja." Malik menawarkan pertolongan kepada Cantika dan ini memang keadaan Cantika dalam darurat. "Gak usah deh, gue naik angkot." "Jam segini mana ada angkot, gini-gini gue hafal lho dan ini makin sore, lo gak takut gitu ada orang jahatin lo?" "Mana ada gue takut, gue habisin semua juga gue mampu." "Uwih mengerikan hehe tapi lo cewek dan gue gak mau lo kenapa-napa. Sudahlah ikut gue aja, gue mau telepon orang gue buat benerin sepeda lo dan dimohon nurut sama gue kali ini." Pinta Malik kepada Cantika dan berharap gadis ikut mau mengikuti sarannya. "Gue benci dibohongin." "Gue gak berbohong, sebentar lagi orangnya datang dan sepeda lo bakal diperbaiki kok." "Gue gak punya duit pasti mahal dan mending gak usah deh. Percuma juga diperbaiki nanti bakal rusak lagi." Cantika sudah pasrah pada sepedanya yang tidak layak lagi dipakai. "Santai aja kok, gue yang ngurus dan lo gak usah mikir biayanya." "Gak, gue gak mau." Cantika menggeleng kepalanya cepat dan mulai menuntun sepedanya. Malik tidak tinggal diam dan berupaya menghentikan Cantika agar tak pergi lebih dulu. "Apaan sih halangin gue?!" Teriak Cantika kesal dan merasa cowok itu terus menganggunya sejak ia bertemu Malik kemarin. "Ikut gue nggak?" "Nggak mau, pergi deh lo!" Usir Cantika kepada Malik. "Ikut gue!" "Gak mau! Lo cari ribut ya ke gue?" Cantika sudah emosi dan tangannya menggenggam kuat stir sepedanya. Urat-urat di lehernya pun nampak muncul dan napasnya memburu. Malik menghela napasnya pelan mengetahui Cantika sangat marah kepadanya padahal ia hanya berniat ingin membantu gadis itu tapi nampaknya gadis itu tidak mau dibantu olehnya. "Kenapa lo nolak gue bantu? Justri ada orang yang bantuin lo itu meringankan beban lo dan lo malah nolak bantuan orang." "Gue emang gak suka dibantu sama lo." "Gak suka kenapa? Apa gue minta imbalan? Enggak kan?" "Iya, enggak." "Terus kenapa nolak bantuan dari gue?" tanya Malik yang merasa gereget saja pada Cantika yang sulit sekali menurut kepadanya. "Gue gak mau berurusan sama lo dan berharap lo itu jauh-jauh dari gue deh." Malik terdiam beberapa saat sambil tangannya yang ikut menggenggam stir sepeda supaya gadis itu tak pergi begitu saja. "Jangan percaya sama omongan orang soal gue!" "Tapi emang bener kan, lo itu buruk ke cewek dan gue anti sama cowok yang suka nyakitin perasaan cewek." Dan itu ingetin gue sama bokap- lanjutan Cantika di dalam hatinya. "Hahaha apa gue kelihatan mau ngajak lo pacaran seperti cewek-cewek yang gue kenal atau kata temen lo itu? Lo salah punya pikiran begitu, gue cuman penasaran saja sama lo." "Penasaran?" Dahi Cantika berkerut bingung. "Iya, lo itu punya banyak misteri dan gue pengen tau banget." "Sok tau, sudah deh jangan gangguin gue dan urus saja urusan lo sendiri seperti sebelum ketemu gue," ucap Cantika. "Gimana kalau kita berteman? Berteman lebih baik bukan?" Malik menunjukkan jari kelingkingnya di depan wajah Cantika yang memansang muka masamnya. Sebelum menjawab, Cantika berpikir lebih dulu dan ketika sudah yakin barulah menjawab dengan tegasnya. "Gue gak mau berteman." Cantika menggeleng. "Berteman saja masak gak mau sih? Katanya lo ga suka sama tipikal orang sombong dan lo sendiri sombong tuh." Gantian Malik yang mencibir dan membalikkan kata-kata Cantika tadi. "Ish, lo ini bikin emosi saja." Cantika kehabisan kata-kata dan memang ia tak suka berdebat panjang dengan seseorang. "Nurut saja, biar lo gak kesusahan dan btw, baksonya keburu dingin." Malik mengulas senyumnya tipis dan Cantika segera memalingkan wajahnya. Tak bisa memandang Malik lebih lama dikarenakan tak kuat memandang senyuman Malik yang manis sekali. "Ck, iya deh." Bertepatan dengan itu orang suruhan Malik datang dan membawa sepeda Cantika pergi. Kini Malik mengantarkan Cantika pulang ke rumahnya dengan selamat sampai tujuan. Sesampainya di rumah Cantika, Malik juga ikutan turun dari motornya dan membuat Cantika bingung lagi. "Ngapain lo turun? Sana pergi!" Cantika malah mengusirnya dan raut wajahnya juga menunjukan rasa kepanikan. "Lo gak nawarin mampir gitu ke gue?" tanya Malik penuh harap. "Gak, gak ada yang nawarin lo mampir ke rumah gue." "Gue numpang makan, baksonya keburu dingin kan enak gitu makan bareng." "Gak mau, sana pulang!" Cantika terus mendorong bahu Malik dan berharap cowok itu segera pergi dari rumahnya. Tapi Malik sangat keras kepala dan tidak ada tanda-tanda cowok itu berniat pergi dari sini. "Jahat banget sih ngusir gue." "Iya, gue emang jahat dan jangan ngajak gue berteman karena gue bakal terus jahatin lo." Sengaja Cantika berkata seperti itu agar Malik tidak betah berada didekatnya lagi tapi apa daya, usahanya gagal ketika terdengar suara ibunya dari ambang pintu sana. "Cantika. Sudah pulang, Nak?" tanya ibunya yang berdiri di ambang pintu sana kepada Cantika yang masih ribut dengan Malik. "Eh Ibu, sudah, Bu." Buru-buru Cantika menghampiri ibunya dan khawatir pada ibunya jika ibunya menghampirinya sebab halaman depan rumahnya banyak bergelombang itu sangat membahayakan keselamatan ibunya. "Tadi ibu denger kamu lagi ribut gitu, kamu ribut sama siapa? Suaranya juga laki-laki." Puji mengernyitkan dahinya dan tadi memang mendengar suara putrinya sedang ribut dengan seseorang bahkan Cantika sampai berteriak kesal. "Emm itu, Bu." Cantika menggaruk tekuknya dan bingung akan menjawab apa karena cukup mendadak sekali untuk memberikan alasan yang tepat kepada ibunya. "Assalamualaikum, Tante." Malik mendekati ibunya Cantika dan meraih tangannya lalu dicium. "Waalaikumsalam, nah ini suaranya yang cowok bukan? Kenapa ribut sama Cantika? Apa yang salah sama putri tante?" tanya Puji cemas. Takut jikalau Cantika berbuat salah kepada orang dan orang itu berbalas dendam kepada putrinya. "Saya diusir sama Cantika, Bu." Malik menyadari melalui gerak gerik ibu Cantika, bahwa Puji dalam keadaan kedua matanya tidak bisa melihat. "Diusir? Diusir kenapa?" tanya Puji lagi. "Lo--" Cantika mengepalkan kedua tangannya dan bersiap ingin menghajar Malik saat ini juga. Namun sadar ada ibunya sekarang dan membuatnya tak bisa melakukan apa-apa kecuali mengumpat di dalam hatinya berulang kali. Hal inilah yang membuatnya tidak menyetujui pulang bareng lelaki tersebut dan sepertinya Malik sedang balas dendam beneran kepadanya. "Saya tadi sudah nganterin Cantika pulang dengan selamat di rumah karena sepedanya yang rusak, saya menolongnya jadinya saya nganter Cantika pulang dulu sebelum bakso yang saya berikan dingin dan urusan sepedanya bisa diambil nanti. Setelah saya anter, saya langsung diusir gitu saja padahal saya juga ingin makan bareng sama dia." Malik menjelaskan secara rinci kepada Puji dan membuat Cantika makin emosi mendengar ucapannya. "Oh jadi begitu, Cantika sejak kapan ibu mengajarkan kamu bersikap kasar keapda orang lain? Kamu tidak tau cara berterima kasih yang benar kepada seseorang yang telah membantumu? Ibu sudah mengajarkanmu sejak kecil dan kenapa kamu tidak menanamkan perbuatan yang ibu ajarkan. Jujur saja ibu kecewa pada sikapmu ini dan ternyata kamu memiliki sikap jahat juga kepada orang lain." Puji menggeleng tidak menyangka putrinya memperlakukan orang secara kasar dan apa yang sudah diajarkan, tidak dijalankan oleh Cantika. "Iya, Bu. Maafin Cantika dan bukan maksud aku bersikap begitu. Ada alasan lain, aku bersikap jahat kepadanya," jawab Cantika yang takut ibunya marah kepadanya sebab ibunya melarang menjadi sosok penjahat dan harus berbuat baik kepada siapa pun. "Sekarang kamu minta maaflah kepada dia, oh ya siapa namamu, Nak?" tanya Puji yang kini suaranya perlahan melembut. "Nama saya, Malik." "Maaf, gue salah." Bibir Cantika cemberut dan seperti ogah-ogahan mengatakan permohonan maaf kepada Malik. "Oh nak Malik, Cantika yang bener minta maafnya." Puji kembali menegur putrinya. "Tidak apa, Tante." Malik menggeleng dan memilih menyudahi perdebatannya dengan Cantika. "Ya sudah, ayo masuk ke dalam!" Titah Puji pada mereka berdua. "Oh ya, Malik ingin makan bersama?" "Iya, Tante. Saya bawain bakso dan saya memang ingin makan bersama karena lebih nikmat saja." "Ya sudah ayo makan bersama di rumah tante dan Cantika kamu siapin semuanya ya." Puji berjalan dan dibantu Malik yang berada di sisinya. Cantika mendengus sebal melihat sikap Malik yang seolah mencari perhatian kepada ibunya hingga Puji lebih memilih berbincang dengan Malik. "Cowok itu makin lama makin bikin kesel juga ya." Cantika berdumel pelan saat mengambil mangkuk lalu kembali ke ruang utama dan diletakan di tengah-tengah mereka bertiga. Cantika kembali lagi ke dapur dan membawakan air mineral. "Maaf ya, Malik rumah tante tidak ada sofa di ruang tamu ini dan adanya karpet tipis. Kalau kedinginan bilang saja ke tante dan nanti biar Cantika yang ambil selimut agar tidak kedinginan." Puji tersenyum simpul. "Iya, Tante. Tapi saya sudah biasa juga duduk di atas karpet dan saya tidak kedinginan, Tante." Malik mengangguk sopan. Ia melirik Cantika yang menatapnya sinis seakan mengajak dirinya ribut lagi. "Baiklah kalau begitu, ayo dimakan dulu dan jangan lupa berdoa sebelum makan." Setelah makan Puji mengajak Malik mengobrol sedangkan Cantika mencuci mangkok bekas makan bakso tadi. "Oh jadi kamu satu sekolahan sama Cantika?" tanya Puji memastikan kembali. "Iya, Tante. Beda jurusan saja dan kita sama-sama kelas 2," jawab Malik. "Wah, bagaimana kalian bisa saling kenal atau karena ribut tadi?" "Dari kemarin, Tante. Waktu saya tidak sengaja bertemu Cantika di jalan dan saya menolong Cantika yang lagi seperti keta---" Malik menghentikan ucapannya ketika tak sengaja menatap Cantika yang baru selesai dari urusan dapurnya dan Cantika tampak memohon untuk tidak dijelaskan terlalu detail. "Malik, kok gak dilanjut ceritanya?" tanya Puji heran. "Ah itu, Tante. Tenggorokan saya lagi gak enak saja dan baru saja habis minum. Emm saya bertemu Cantika yang lagi menyeberang jalan raya yang suasananya kelihatan ramai sekali dan saya lihat seragam yang dipakai Cantika sama jadilah saya menawarkan diri buat bareng saya daripada Cantika telat. Itu saja tante dan maaf kalau kita ribut tadi mengganggu tante." Malik juga merasa tidak enak kepada Puji. "Ah begitu ceritanya dan kok bisa gitu ribut padahal sebelumnya kenal baik." Puji terkekeh pean, menurutnya mereka itu sangat lucu dan tingkahnya kekanak-kanakan. "Cantikanya saja yang suka menolak bantuan dari saya makanya jadi ribut hehe." Malik senang sekali menyudutkan Cantika di depan ibunya sehingga Cantika mati kutu dan pasrah saja kali ini. 'Awas saja deh lo, bikin gue kesel mulu ni bocah'---batin Cantika yang berulang kali pula mengumpati Malik dengan segala tingkahnya yang menyebalkan. Cantika duduk diam di samping ibunya dan sempat-sempatnya pula melototi Malik sedangkan Malik membalasnya dengan menjulurkan lidahnya. "Tapi kalian lucu sih dan tante senang banget akhirnya Cantika bawa temen selain Melani bahkan cowok pula. Tapi kayaknya Malik baik ya orangnya, Nak." Puji menoleh ke anaknya, ia tau keberadaan putrinya di sampingnya. "Iya, Bu." Cantika mengiyakan saja ucapan ibunya yang tidak henti-hentinya memuji Malik. "Oh ya, Malik tinggalnya gak jauh dari tempat kita kan?" tanya Puji penasaran. "Enggak kok, Tante. Deket sebenarnya tapi Malik emang gak pengen pulang dulu hehe." "Gak dicariin orang tua kah?". "Mereka sama-sama lagi sibuk, Tante. Nanti saya sekalian pulangnya agak sore soalnya di rumah sepi dan adik-adik saya lagi di rumah saudara." "Oh pantesan kamu kayak santai begitu tapi tetaplah gak boleh lama-lama main di luar ya dan harus segera pulang ditambah hari makin malam." Puji mencemaskan Malik, bagaimana pun juga Malik itu masih di bawah umur dan juga masih di dalam jangkauan orang tua. "Iya, Tante. Saya mengerti dan terima kasih telah mencemaskan saya." "Maaf ya kalau kamu disini soalnya gak ada apa-apa buat jadi jamuan bahkan bakso ini pun dari kamu. Tante jadi gak enak ke kamu, kamu anak baik dan sopan sekali sama tante." Puji merasa tidak enak kepada Malik sebab di rumah tidak ada apa-apa sebagai jamuan untuk tamu yang datang ke rumahnya. "Tante, justru Malik tidak mau merepotkan tante dan Cantika. Saya orangnya santai dan biasa saja, Tante. Saya senang saja disini karena bisa mengenal tante selaku ibunya Cantika." "Tante juga senang bertemu denganmu, Malik. Oh ya, Cantika sering-sering ajak Malik ke sini dan ibu akan suruh kamu buatin kue kesukaan kamu itu untuk Malik. Pasti Malik suka, benar gak Malik?" tanya Puji kepada Malik seraya tersenyum lebar. Cantika merasa adem sekali hatinya memandanh senyuman ibunya dan wajah ibuny juga nampak senang sekali. Cantika hanya mengiyakan saja demi Puji senang seperti ini. Mengetahui Puji bahagia bertemu Malik membuatnya harus sabar lagi menghadapi Malik yang entah mengapa bisa mendapatkan perhatian penuh dari Puji padahal baru saja mengenal. "Wah mau tante, saya ingin mencicipi kue kesukaan Cantika dan sepertinya enak juga." "Nah besok datang lagi ke sini ya." "Kan bisa dibawa ke sekolah, Bu." Sela Cantika. "Ibu pengennya tau respon Malik secara langsung dan itu buat hati ibu lega saja. Tidak apa kan Nak Malik?" tanya Puji semangat. "Tidak apa, Tante. Justru saya senang datang ke rumah Cantika." "Syukurlah kalau begitu dan gak papa kok kamu sering-sering main ke sini. Walau ibu gak ada nantinya ibu usahain menyediakan makanan dan minuman selain air putih." "Gak usah repot-repot Tante, tujuannya saya disini main saja." Malik tersenyum simpul. "Apalagi tante itu senang banget teman Cantika tambah satu dan semoga betah berteman begitu. Jangan ribut-ribut mulu, tante senang banget kalau Cantika punya teman cowok dan berasa tante tenang kalau dia lagi sendirian. Tante berharap kamu bisa menjaga Cantika dengan baik ketika berada di sekolah atau di luar rumah ini kalau kalian lagi pengen main di luar." Ingin rasanya Cantika menolak ucapan ibunya, namun melihat pancaran kebahagiaan di wajah ibunya membuatnya mengurungkan niatnya tersebut dan memilih tetap diam sajanserta berdehem sebagai jawabannya enrah setuju atu tidak. . "Saya siap menjaga Cantika seperti saya menjaga adik-adik saya di rumah. Untuk soal ribut itu sudah biasa di dalam pertemanan." Malik kini pandangannya tertuju pada Cantika, Cantika memalingkan wajahnya ke arahnya lain dan sengaja menutup wajahny sendiri dengan jaketnya sendiri. Cantika tidak suka dipandang terlalu lama oleh Malik. ... "Wajah lo merah kayak kepiting rebus gitu." Malik tertawa meledek Cantika yang wajahnya kini memerah meski Cantika berusaha menundukkan wajahnya tetap saja Malik bisa melihat jelas wajah gadis itu. "Apa sih lo, pulang sana!" usir Cantika pada Malik. "Jangan teriak-teriak, nyokap lo nanti denger lho." Malik mengingatkan Cantika untuk tidak ribut di depan Puji. "Lagian lo gak pergi-pergi, malas gue ada lo disini." Cantika ingin lelaki itu segera pergi dari rumahnya. Wajahnya memerah karena merasa malu kalau dirinya dipandang lekat lebih lama oleh seseorang. "Kalau gue semangat tuh ditambah semangat lagi saat wajah lo bisa merah gitu." Malik tak henti-hentinya tertawa dan makin gemas saja pada Cantika yang ternyata anaknya juga memiliki sikap pemalu. "Enggak,wajah gue gak merah." Cantika menggelengkan wajahnya. "Kalau gak merah, sini tunjukin ke gue paling juga malu," ucap Malik menantang. "Ogah, gue gak mau dan gak bakalan mau. Lagian wajah gue merah karena kepanasan bukan lo ya." "Heleh bilang aja kalau lo itu malu dipandang gue lama-lama, gitu doang aja bohong dan benar ya rupanya kalau cewek itu suka berbohong." Malik memainkan kuncinya sebelum menyalakan motornya dan Malik sudah menaiki motornya. "Pulang tinggal pulang aja deh dan gak usah kebanyakan omong." Cantika membalikkan badannya dan Malik mulai memasang helmnya di kepalanya. "Cantik!" Panggil Malik tapi Cantika tetap masuk kembali ke dalam rumah tanpa mendengarkan suara Malik yang memanggil namanya berulang kali. Malik tertawa lagi sambil menggelengkan kepalanya. Gadis itu benar-benar sangat menggemaskan ketika malu-malu kucing seperti tadi. "Sampai merah gitu wajahnya, malah makin cantik dan pengen terus lihat dia." Pertama kalinya Malik merasakan susahnya mendekati seorang gadis bernama Cantika tersebut padahal sebelum-sebelumnya, dirinya tak pernah se-antusias ini mendekati seorang gadis cantik seperti wajahnya dan namanya. Sedangkan di sisi lain.. "Hih nyebelin." Cantika berteriak tanpa suara agar ibunya tidak mendengar suara kekesalannya di dalam kamarnya. Cantika memukuli bantalnya dan meremas selimutnya. Sebenarnya gadis itu akan membersihkan kamarnya namun isi kepalanya malah berputar sosok lelaki tadi yang berhasil membuatnya salah tingkah hingga wajahnya memerah padam. "Mana dia yang ada di otak gue waktu dia lagi tebar pesona pula. Alah gue itu gak suka sama cowok songong kayak dia dan gue lebih suka sama cowok yang gak banyak tingkah intinya. Ifeel deh gue sama cowok kayak Malik tapi yah gue akui dia ganteng cuman sifatnya yang bikin gue makin gedeg aja." "Ngeselin sumpah dan gue ingat tadi kelihatan banget mencari perhatian ke ibu." "Lihat aja deh lo, gue bakal bales semua perbuatan lo ke gue walau lo terus nolongin gue. Lo nolongin gue aja gak ikhlas banget." Cantika melanjutkan kegiatan sorenya yaitu membersihkan rumahnya dan setelah itu akan ada aktifitas lain yang harus dilakukannya. "Semangat Cantika," kata Cantika pada dirinya sendiri. ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD