Part 5

2981 Words
PART 5 "Kulo pun angkat, atine pun ajur-ajuran, kulo tak milih pamit, ati kulo pun roso sakit." Suara merdu dari sosok lelaki tampan berkumis tipis itu ketika menyanyikan sebuah lagu yang berjudul top topan dan diiringi nada gitar yang menambahi suasana kegalauan lelaki tersebut. "Galau mulu lo Dan, move on napa." Ledek Vardo yang merasa capek bermain gitar dan meletakkan gitarnya di atas meja. "Ajur atiku," ucap Zidan, si pemilik suara merdu tadi. (Hancur hatiku) "Iyo ngerti atimu ajur tapi opo terus kepengen ngeroso ajur ngono?" tanya Vardo heran. (Iya, mengerti hatimu hancur tapi apa terus ingin merasa hancur begiri?) "Cara biar cepet move on gimana sih." "Ya ga tau, tanya saja sama gitar gue ini." Vardo menyodorkan gitarnya yang dibalas lirikan sinis dari Zidan. "Cih nyesel gue bicara sama lo." Zidan pun langsung pindah di sebuah Malik yang tengah bersenda gurau dengan teman sekelasnya yang lain. "Gue juga kesel tiap hari denger lo curhat eh ujung-ujungnya balikan sama mantan dan terakhir disakitin lagi." Vardo pun tiduran dikursi dan memanfaatkan keadaanya dimana Zidan saat ini duduk di sebelah Malik. Zidan dan Vardo memanglah sebangku dan sering bertengkar alias adu mulut dan tidak pernah sampai ke fisik. Sedangkan Malik duduk sendirian dan memang suka duduk sendirian meski kerap kali ada beberapa siswi yang duduk di sebelah Malik dengan alasan lebih nyaman didekat Malik. "Napa dah? Berantem lagi kalian? Kayak cewek aja." Malik langsung sadar saat ada seseorang yang duduk di sebelahnya dan itu adalah temannya sendiri. "Males lah." Vardo memilih tidur saja dan menuruti wajahnya dengan sweater berwarna hitam miliknya sendiri. "Paling kasus yang sama nih, halah Dan lo juga salah sih dan Vardo juga terlalu emosian. Ya sudah lo ceritanya sama gue, gue siap dengerin." Malik menghela napasnya pelan dan mencoba bersabar saja menghadapi sifat sulit temannya tersebut. "Ntar juga kesabaran lo habis kayak gue, dia emang sulit dibilangin." Vardo angkat tangan sudah menghadapi sifat temannya yang sama saja membuatnya beban di kepalanya. "Gue gak curhat lagi deh." Zidan memasang heandsetnya di kedua sisi telinganya. "Bodo amat dan gue gak yakin lo gak curhat setelah ini. Itu dah jadi hobby lo setiap hari curhat masalah mantan. Namanya juga pacaran harus siap patah hati dan kalau gak siap ya gak usah pacaran deh. Ribet amat, hidup bawa santai kali. " "Iyaya bacot deh." "Sudah-sudah ribut mulu heran. Lo juga kalau orang yang sudah kasih saran ke lo malah bagus dibanding orang cuman dengerin curhatan lo tapi gak pernah kasih saran ke lo dan lagi, buat Vardo, perasaan orang beda-beda. Bagi lo biasa saja tapi bagi orang lain, tidak biasa. Intinya sama-sama salah dan gue gak mau membela yang mana yang benar." Lerai Malik pada mereka. " Ntar juga akur lagi." Gumamnya. "Lik, lo suka sama Cantika?" tanya Zidan penasaran. "Gue tertarik aja sama pesonanya." Malik menggarui tekuknya dan terkekeh pelan. "Awalnya penasaran ujung-ujungnya kalau sudah dapat, lo ghosting cewek lagi," balas Zidan. "Enggak deh, cewek kayak Cantika gak gie gituin." "Semua cewek ya jangan disakitin tolol." Zidan geleng-geleng kepalanya atas sikap Malik yang suka sekali memberi harapan palsu kepada para cewek yang mendekatinya. "Iya sih, gue tau itu. Tapi cewek kayak Cantika jarang dan hampir gak pernah gue temukan. Jadi menantang deketin tuh cewek." "Kali ini bukan cewek biasa yang gue hadapin deh, ngeri dah gue gak bisa bayangin kalau Cantika kena ghosting lo dan dia hajar gue habis-habisan. Ingat ya, korban dari sikap lo yang suka ghosting cewek itu temen lo ini nih." Vardo tanpa mengubah posisinya berbaring, merasa kesal saja kalau Malik berulah lagi. "Hahaha sabar Cem, ntar gue kasih kambing ke lo." "Gue gibeng lo, bohong mulu." Vardo melempar sweaternya ke arah Malik dan Malik sangat gesit menangkap sweater temannya. "Traktir kita makan aja terlambat, Lik. Sok-sokan kasih kambing." Zidan terkekeh pelan. "Iya dah, salah mulu gue." "Ya emang lo itu salah," ucap Vardo dan Zidan kompak. "Nah tuh kompak, lama-lama kalian berjodoh deh. Sudah sering berantem, lama-lama saling suka dan gue nunggu kabar baik dari kalian deh." Malik beranjak berdiri sambil menata buku-buku pelajarannya dan waktu pelajaran pula sudah bergantian. "Lo ngajak ribut ya!" Vardo langsung berdiri sedangkan Malik sudah keluar kelas dengan lari terbirit-b***t. "Malik bikin emosi aja." Vardo kembali duduk dan pundaknya naik turun sesuai tarikan napasnya. "Apa lo lihat-lihat!" Vardo melototi Zidan. "Apa ta mas?" Zidan mengubah suaranya menjadi cewek centil dan membuat Vardo bergidik ngeri. "Gue normal su!" Vardo buru-buru tidur lagi seperti tadi dan mengabaikan Zidan yang menganggunya dengan bersuara genit layaknua cewek cantil kepada cowok yang disukainya. Disisi lain... Malik menghela napasnya lega sehabis menggoda temannya, Vardo memang orang yang mudah emosi walau begitu temannya tidak pernah emosi sampai main tangan dan lebih memilih melawan dengan adu mulut saja seperti tadi. Entahlah Malik bisa menemukan dua spesies temannya yang satu suka bikin dirinya emosi dan satunya mudah emosi. Jadilah seperti sekiranya mereka kumpul tapi tetap saja mereka berteman akrab sampai naik kelas 2 di SMA ini. Pertemanan mereka berawal dari satu kelas ketika menduduki kelas 1 sedangkan Vardo dan Zidan memang satu kelas MOS atau biasa disebut gugus kelas atau kelas sementara untuk mengikuti MOS atau masa pengenalan sekolah. Ketika Malik sedang asyik berjalan di pinggir lapangan, sebuah bola sepak menggelinding mengenai sepatunya dan hampir saja tubuh Malik oleng kalau tidak ada orang di belakang yang menahan tubuhnya. "Maaf." Ucapan singkat dari seseorang yang dikenalinya menyadarkan Malik dan segera menegakkan tubuhnya "Gue gak papa cuman kaget aja. Makasih." Malik membalikan tubuhnya dan di depannya adalah sosok gadis yang membuatnya tertarik. Cantika, gadis itu mengenakan kaos olahraga dan meraih bola sepak tadi. Tanpa menghiraukan Malik, Cantika pergi berlari dan melanjutkan bermain sepak bola bersama teman-temannya. Malik mengulum senyum simpul dan ikut ke lapangan sepak bola. Seketika lapangan menjadi ramai ketika lelaki itu merebut bola dengan mudahnya dan dari belakang, Cantika mendengus sebal. "Rupanya cowok itu mencari perhatian disini. Ini gak bisa dibiarin dan menganggu saja." Cantika tidak suka pada sikap Malik yang merusuh di kelasnya walau teman-temannya merasa biasa saja. Akhirnya Cantika berlari dan berusaha merebut bola dari kaki Malik yang lincah sekali memainkan bola. Malik sendiri malah keasyikan memainkan bola sampai ketika dia sudah berhasil memasukkan bola ke dalam gawang , baru sadar Cantika tidak ada disini dan Malik pun meminggirkan tubuhnya. Banyak gadis yang menyapa Malik bahkan mendekati Malik sekedar memberikan air putih dan handuk bersih berukuran kecil. "Makasih, kalian semua cantik hari ini." Malik tersenyum manis kepada mereka semua. "Sama-sama Malik ganteng." "Mau seragam baru gak? Lo basah kuyup begini." "Eh enggak usah, sudah cukup begini." "Malik!" Teriak seorang guru dari kejauhan dan seketika semuanya yang mendengar suara guru tersebut langsung menatap guru yang berjalan gontai menghampiri Malik. "Eh Bu Siti." Malik menggaruk tekuknya dan ia juga melihat Cantika yang berdiri di samping guru bernama Siti. 'Oh dia menghilang tadi mau laporin gue'---ucap Malik di dalam hatinya sambil mengangguk paham. "Malah angguk-anggukin kepala, kamu kenapa keluyuran di jam pelajaran yang masih berlangsung dan ibu mendapat laporan kamu ikut bermain sepak bola sam kelas 11 IPS 1? Kamu tau kamu sedang melakukan pelanggaran peraturan sekolah. Bahwa di jam pelajaran dilarang keras membolos dan murid harus mengenakan pakaian olahraga jikalau ikut bermain bola. Jadi kamu harus menjalani hukuman sesuai peraturan yang berlaku," jelas Bu Siti secara rinci maksud kedatangannya menghampiri Malik di lapangan selak bola. 'Rasain kan lo'--batin Cantika dan tersenyum miring. Ia tidak menyukai seseorang yang suka mencari perhatian agar dipuji dan Cantika sengaja melaporkan Malik agar lelaki itu tak bersikap seenaknya disini. "Baik, Bu." "Sekarang kamu bersihkan sampah di sekitaran lapangan sepak bola ini dan kamu yang beresin bola-bola yang dipinjam kelas IPS ini juga!" Bu Siti memberikan hukuman kepada Malik yang telah melanggar peraturan di sekolah ini. Tanpa membantah, Malik melakukannya dan sempat melirik Cantika sekilas. 'Apa dia marah ke gue? Tatapannya'-- Pikir Cantika saat Malik mendadak bersikap dingin kepadanya dan ia pun merasa bersalah melaporkan Malik kepada guru BK. Namun Cantika tidak menyukai sikap Malik tadi, entah mengapa ia tidak suka melihat para siswi memandangi Malik dengan tatapan penuh kekaguman dan Malik pun tersenyum lebar kepada mereka. "Oke, anak-anal masuk ke kelas kalian masing-masing atau kalau tidak masuk, ibu memberikan hukuman!" Bu Siti menatap tajam para siswi yang masih melihat Malik bahkan di saat Malik mulai menyapu di sekitar lapangan sepak bola. "Iya, Bu." Para siswi yang tadinya berlarian menuju ke Malik kini semuanya kembali ke kelas mereka masing-masing sambil mendumel karena tidak bisa berada di dekat Malik lagi. Cantika juga kembali mengikuti mata pelajaran hari ini yakni olahraga dan guru mata pelajaran tersebut pula sudah kembali setelah pamit sebentar ke kantor. Selesai dengan mata pelajarannya dan tepat saat ini juga sedang di waktu istirahat. Cantika memilih duduk sendirian di bawah pohon sambil menunggu temannya yang tengah ada di kantin dan Cantika juga sudah membawa bajunya yang nantinya setelah temannya selesai makan, berlanjut keduanya berganti baju seragam sebelumnya. Ketika Cantika asyik memperhatikan sekitar, tiba-tiba saja sekantung plastik berada di depannya membuatnya Cantika memundurkan kepalanya dan mendongakkan wajahnya ke atas. Terkejut melihat siapa yang memegang kantung plastik tersebut. "Kaget?" Cowok itu tersenyum dan ikut duduk di depannya. "Kenapa lo disini?" Cantika mengernyitkan dahinya melihat cowok itu yang malah duduk di depannya. "Pantesan gue gak pernah lihat lo padahal kita sudah setahun lebih di satu sekolahan, lo suka menyendiri disini." Cowok itu ialah Malik dan tangannya menyodorkan kantung plastik berwarna hitam di depan Cantika. "Bukan urusan lo. Apa itu?" Cantika makin heran pada sikap cowok itu, bukannya tadi menatapnya tidak suka dan sekarang malah menampilkan wajah ceria di depannya. "Buat lo." "Gak mau." Cantika langsung menggelengkan kepalanya bermaksud menolak pemberian dari Malik. "Terima aja, gak usah malu-malu." "Gak, gue bilang enggak ya enggak." Cantika beranjak berdiri namun Malik segera menarik tangan Cantika. Reflek Cantika memutar lengan Malik hingga cowok itu berteriak kesakitan. "Maaf." Walau singkat ucapan maafnya, raut wajah Cantika tidak bisa berbohong menatap khawatir kepda Malik. Malik yang merasa Cantika khawatir dan merasa bersalah padanya pun membuatnya berkesempatan mencari perhatian pada gadia itu dengan berpura-pura sangat merasakan sakit dipelintir kuat oleh Cantika. "Aduh aduh sakit banget aduh." Meski sebenarnya rasa sakit itu sudah perlahan menghilang, Malik tetap berpura-pura kesakitan dan membuat Cantika tertipu. "Maaf kalau terlalu kenceng." Cantika kembali duduk dan memeriksa lengan Malik. Barang kali terkena goresan kukunya yang masih belum dipotong. "Sakit banget, lo kok gitu sih." Malik mengubah raut wajahnya menjadi marah dan Cantika pun merasa bersalah. "Maaf, bukan maksud gue bikin tangan lo sakit tapi tangan lo emang kurang ajar. Berani-beraninya pegang-pegang tangan gue sembarangan pakai narik segala lagi," ucap Cantika kesal. "Gue kan nahan lo biar gak pergi dulu." "Alasan." "Ya sudah kalau gak percaya tapi lo harus tanggung jawab dong, tangan gue sakit banget ini gara-gara lo." Malik menunjuk tangannya yang sakit dengan wajah yang memelas. "Lo laki lemah amat sih, cuman gitu doang aja kesakitan." Cantika mencibir. "Kan fisik orang beda-beda, Cantik. Gue lemah banget dikumpul sama orang secantik lo kayaknya." Malik menyengir kemudian. "Cih modus, bilang saja pakai diribetin segala." Cantika beranjak berdiri lagi. "Eh tapi lo harus tanggung jawab." "Tanggungjawab apa?" tanya Cantika bingung. "Ya ini tangan gue sakit gara-gara lo, tanggungjawab lah dan lo malah mau ninggalin gue gitu aja." Bibir Malik cemberut. 'Kenapa dia malah masang muka gemesin sih?' -- Cantika memenjamkan matanya dan tak kuat menatap wajah Malik lama-lama. "Ya deh gue tanggung jawab." "Nah gitu dong." Malik ikut berdiri dan keduanya berjalan beriringan menuju ruang kesehatan. Cantika merasa risih dilihat beberapa siswi yang berlalu lalang di sekitarnya saat dirinya berjalan di samping Malik sedangkan Malik tampak santai saja sambil menyapa balik ke mereka. Akhirnya Cantika mundur beberapa langkah dan memilih di belakang Malik saja. Malik yang merasa di sebelah tak ada Cantika langsung saja menghentikan langkahnya dan Cantika terkejut, hampir saja ia mendorong Malik karena tubuhnya sangat dekat dengan punggung Malik. "Kenapa berhenti jalannya?" tanya Cantika kesal. "Habisnya lo malah jalan di belakang gue." "Yang penting jalan aja kan, gue juga gak bakal kabur dan tetap buntutin lo di sini." "Tapi gue pengennya lo di sebelah gue dan tadinya juga gitu, kenapa mendadak milih di belakang?" Malik mersa bingung melihat gerak-gerik Cantika saat ini. "Gue itu gak suka emm dah lah lanjutin jalannya." Cantika sebenarnya tidak mau menjadi pusat perhatian orang-orang di sekitar apalagi tatapan tidak suka terang-terangan dirinya dapatkan dari mereka. "Eh malah ditinggal." Malik menyusul langkah cantika yang sudah makin nampak jauh dengan berlari kecil. "Eitss jangan cepet-cepet dong jalannya." Malik menepuk pundak Cantika dan Cantika memelankan jalannya. "Habisnya jalan lo itu lemot kayak siput." Cantika juga menatap ke sekitar dengan pandangan was-was dan Malik pun tau apa yang baru saja Cantika cemaskan saat ini hingga meninggalkannya tadi. "Lo gak nyaman menjadi perhatian orang tadi?" tanya Malik meminta penjelasan pada gadis di depannya itu. "Bodo amat gue," jawab Cantika dan melanjutkan jalannya yang perlahan agak cepat. "Jujur aja gak papa biar gue paham aja apa yang bikin lo seneng atau enggaknya." Malik bersusah payah menjajarkan langkahnya Cantika. "Jujur apa sih, gue biasa saja." "Gue tau lo risih kan tadi ditatap banyak orang, makanya lo milih jalan di belakang dan tiba-tiba aja jalan cepet begini." Malik melirik sekilas ke Cantika. "Gak ada hubungannya, terserah sikap lo ke orang lain kayak gimana pun gue gak peduli dan itu hak-hak lo sendiri. Terakhir, hak-hak gue mau gue jalan cepat kek lambat kek itu terserah kemauan gue jadi lo gak usah sok ngurusin hidup orang." Tepat saat itu juga sampailah ke ruang kesehatan. Ruang kesehatan suasananya sepi dan ruangannya begitu rapi. Nampak sekali belum ada orang yang menempati kecuali anak PMR yang bertugas secara bergiliran membersihkan ruangan sesuai jadwal piket yang sudah ditentukan. "Hadeh iya deh, bilang risih dilihat orang aja sulit banget. Gue bisa mengerti kok." Malik ikut masuk ke dalam dan duduk di atas brangkar. Cantika hanya diam saja sembari mencari minyak urut. Setelah menemukan minyak urut di kotak obat barulah dia mulai mengoleskan minyak di tangan Malik yang kata cowok itu terkilir. "Bisa kan lo pijetin tangan gue?" tanya Malik kepo saat melihat raut wajah Cantika yang serius. "Diem deh, bawel lo!" Dalam posisi berdiri, Cantika mulai memjiat tangan Malik. "Iya ya diem. Btw, pijetan lo enak banget." Malik menyengir lebar dan mendapat tepukan keras di bahunya dari Cantika. "Aduh." Malik mengaduh kesakitan. "Lo habis pelintirin tangan gue sekarang malah pukul bahu gue." Protes Malik tidak terima. "Lo ga bisa diem deh." Cantika meletakkan minyak urut di meja nakas dan eprgi begitu saja mengabaikan suara Malik yang memanggil namanya berulang kali. "Hadeh sulit banget ya itu cewek. Tapi bikin makin menantang deketin dia." Malik terkekeh pelan. Disisi lain... "Ngeselin sumpah dia itu." "Kayaknya tadi kayak marah-marah gue, eh ga taunya baru aja bikin gue kesel atau sengaja bales dendam gitu. Ngeselin deh pokoknya." Cantika mendapat pesan dari temannya kalau temannya sudah mengenakan seragam dan masih di ruang ganti. Selanjutnya Cantika datang ke ruang ganti yang memang digunakan khusus untuk mengganti pakaian dan tempatnya pun sangat luar. Tidak butuh waktu yang lama segera Cantika berganti seragam karena kurang beberapa menit lagi jam masuk berbunyi dab aturan sekolah, dilarang mengenakan seragam olahraga dijam luar waktu mata pelajaran olahraga dan jika melanggar pula akan dihukum sesuai aturan di sekolah ini. "Gue tadi di tempat biasanya, tumben lo ga ada disana dan lo habis darimana?" Sudah diduga temannya akan bertanya seperti itu. "Emm gue habis dari UKS," jawab Cantika yang tidak bisa membohongi temannya sendiri. "Lho lo lagi sakit?" Melani langsung cemas dan memperhatikan tubuh Cantika dari atas ke bawah. Tapi ia mengernyitkam dahinya, tidak ada tanda-tanda sakit dilihat dari fisik temannya tersebut. "Eh bukan gue yang sakit." Cantika menggelengkan kepalanya cepat. "Syukurlah kalau bukan lo, terus siapa?" tanya Melani lagi. "Tadi gue gak sengaja melintir tangan orang jadi gue urut tangannya." Cantika menjelaskan. "Ah pasti orang itu jahat ke lo, lo gak akan mengeluarkan tenaga lo buat gak sengajain orang. Orang itu yang salah kan pasti?" Temannya itu sudah paham soal dirinya dan sangat sulit baginya menyembunyikan sesuati kepada Melani. "Ya gitu deh." "Hadeh ada orang yang gangguin lo rupanya." "Sudah, gak masalah kok." Cantika menepuk bahu Melani dan melangkahkan kakinya lebih dulu, barulah Melani menyusul di belakangnya. "Apa cowok tadi? Si Malik itu?" "Iya." Cantika pasrah saja karena Melani sangat peka terhadap perasaannya. "Bahaya deh lo dekat sama." "Bahaya kenapa?" tanya Cantika penasaran. "Dia suka mainin cewek sih. Iya gue akui dia ganteng tapi sikapnya itu lho bikin sakit hati si cewek. Lo jangan sering deket dia deh bahaya soalnya." Melani tau betul sosok Malik seperti apa dan ia mencemaskan Cantika jika terus berdekatan dengan Malik. "Iya sih dari gelagatnya aja suka tebar pesona sama cewek-cewek dan gue itu gak suka sama cowok yang suka tebar pesona. Tipe cowok gue itu bukan seperti dia dan gue juga gak mikif pacaran. Yang gue pikirin jadi orang kaya aja hehe." Cantika terkekeh pelan. "Amin, semoga kita berdua bisa sukses suatu saat nanti. Oh ya gimana lo sudah ikhlas banget ninggalin kegiatan favorit lo?" tanya Melani kepo. Kegiatan favorit yang dimaksudnya ialah taekwondonya. "Sudah, gue gak rela aja terus ninggalin ibu dalam keadaan sakit-sakitan." "Otomatis gajian lo sebagi atlet sudah gak bisa lagi didapat." "Iya gue tau itu resikonya." "Terus gimana lo bisa biayain sekolah, ingat tahun depan kita sudah kelas 12 dan banyak biaya kedepannya." "Haha iya tapi mau gimana lagi, gue milih mundur aja daripada terus ninggalin ibu dan disananya gue gak bisa fokus ikut lomba atau lainnya. Kalau soal biaya, gue cari kerja aja deket-deker disini kan banyak." Cantika tersenyum simpul. "Gue bantu cari kerja deh, kenalan bokap banyak yang jadi pengusaha. Siapa tau lagi ada lowongan pekerjaan." Melani menjetikkan jarinya ketika sebuah ide melintas di otaknya. "Gak usah, Lan. Terima kasih juga sudah ada niatan bantu dan umur gue ini yang bikin susah diterima." Cantika menggelengkan kepalanya pelan. "Tetep gue bantu kok, tenang saja." Melani menepuk pundak Cantika beberapa kali "Haha iya makasih banget Lan." "Sama-sama, Tik. Sebagai sahabat, gue siap sedia membantu lo." Cantika bersyukur sekali mendapatkan teman sebaik Melani dan Melani pun juga merasakan hal yang sama, ia bisa mendapatkan teman setulus Cantika. ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD