PART 13
"Tapi tunggu kaki lo sembuh dulu baru kerja. Tenang aja kok, bulek masih lama ke luar kotanya nanti dan masih ada waktu melewati proses penyembuhan kaki lo itu." Malik dan Cantika berjalan pelan menyelusuri koridor kelas.
"Oke," jawab Cantika singkat.
"Abaikan orang yang gak suka sama lo, lo hidup juga gak ada campur tangan mereka dan buat apa dipikiran ucapan mereka? Belajar bodo amat sama yang gak penting dan menjadi tuli buat orang-orang yang suka mencaci itu lebih baik. Kecuali kalau lo emang punya salah dan lo harus memiliki rasa bersalah. Nah lo aja gak ada salahnya ke mereka jadi jangan merasa bersalah. Gue tau kok apa yang buat lo gak suka kalau kita berdekatan." Malik sudah bisa menebak kalau sifat Cantika selalu memikirkan orang yang tidak menyukainya dan itu yang akan membuat Cantika susah sendiri karena terus bersalah padahal bukan dia yang bikin masalah.
"Itu sifat mutlak gue dan nurun dari nyokap," balas Cantika.
"Gue gak nuntut lo mengubah sifat lo itu, cuman mau sampai kapan punya sifat seperti itu yang akan merugikan diri sendiri juga." Mereka saling menatap sebentar.
"Iya gue beberapa kali rugi dan kesal sama diri sendiri."
"Sudah jangan salahin diri sendiri, lebih baik mengubah daripada menyalahkan."
"Iya sih."
"Emm btw gue seneng lo ga sejutek biasanya, apa lo sudah mau menerima ajakan pertemanan dari gue?" tanya Malik sambil menyengir lebar.
"PD banget deh lo." Cantika berjalan cepat mendahului Malik dan seperti biasa Malik menyusul dengan berlari kecil.
"Harus PD kan emang kenyataannya, sudahlah jujur aja kalau sudah mau menerima pertemanan dari gue." Malik cengengesan di samping Cantika.
"Kalau gue jawab enggak, lo juga tetap maksa kan?" Cantika melirik sekilas ke Malik.
"Hehe."
"Terus kenapa nanya juga?"
"Kan pengen tau jawaban 'mau' dari lo langsung."
"Jawaban gue enggak." Cantika menggeleng.
"Jawaban lo iya."
"Enggak." Cantika kekeuh pada jawabannya meski di dalam hatinya sebenernya sudah menerima pertemanan dari Malik saking baiknya Malik kepadanya.
"Hadeh." Malik mengalah dan pasrah mendengar jawaban Cantika.
"Oh ya, kalau lo jadi kerja di rumah makan bulek, gue juga ikutan kerja." Tiba-tiba Malik mendapat ide cemerlang sebab sebelumnya Malik mengkhawatirkan Cantika yang nanti niatnya akan bekerja di rumah makan milik buleknya.
"Lha kenapa ikutan juga?"
"Gue juga pengen kerja kan dapat duit, lumayan buat tambahan jajan." Malik sengaja ikut kerja ingin terus berada di dekat Cantika. Padahal ia tak butuh duit tambahan sebenarnya sebab ia juga mendapat jatah dari buleknya.
"Oh gitu." Cantika mengangguk mengerti.
"Iya begitu."
"Tapi gue yang gak suka ada lo juga di tempat kerja gue."
"Karena gue gak bisa fokus waktu bekerja dan lo selalu memandangi gue sangat lama." Ceplos Cantika dan seketika gadis menepuk bibirnya sendiri, baru sadar yang telah diucapannya tadi.
"Weh keceplosan akhirnya setelah lama, lo keceplosan juga." Malik tertawa meledek Cantika.
"Cih. Gue itu risih saja dipandang lama-lama dan gak ada maksud yang lain dari itu."
"Lucu banget sih kalau gengsi."
"Gak ada yang lucu."
"Hahaha."
"Sana deh balik ke kelas atau sama temen-temen lo!" Usir Cantika sebab Malik mengikuti dirinya sedari tadi.
"Kalau gue maunya di samping lo terus gimana?"
"Gue jites deh lo lama-lama." Cantika menghentakkan kedua kakinya kesal.
"Iya ya, gue sebenernya gak mau lo sendirian. Gue anggap lo teman dan sebagai teman, gue mau dengerin masalah yang lo alami sampai buat lo sering ngelamun begini. Gak papa lo nangis, lo marah, lo sedih apa segala macem yang penting hati lo lega setelah lo keluarin semuanya dan gue siap bantu lo. Siap juga jadi tameng lo ketika ada orang yang jahatin lo. Gue tau fisik lo kuat tapi kodratnya cewek itu selalu punya hati yang lemah. Jangan pendam sendiri dan ada gue yang siap sedia menampung semua yang lo keluhkan." Mereka berdua menghentikan langkahnya di saat koridor yang mereka pinjakan ini nampak sepi.
"Gue gak percaya sama orang baru yang baru hadir di kehidupan gue yang sengaja gue privat dan gak sembarangan orang tau kehidupan gue seperti apa. Makasih lo punya rasa peduli ke gue tapi maaf gue gak bisa cerita ke lo soal masalah yang gue hadapi." Cantika menghela napasnya pelan pelan sebelum membalas ucapan Malik.
"Iya, mungkin ini belum saatnya lo cerita dan suatu saat gue jadi orang yang bakal lo andalkan. Gue bakal tunggu lo cerita dan anggap gue ini teman terbaik lo yang lo punya." Malik mengancungkan jempolnya mantap.
Cantika menahan bibirnya sebisa mungkin untuk tidak tersenyum. Sifat Malik yang manis ini suka sekali membuatnya salah tingkah dan wajahnya memerah.
"Gak usah ditahan, senyum tinggal senyum lagian gak ada yang melarang lo tersenyum." Malik merajuk seperti anak kecil.
"Ih." Cantika gereget dan tidak bisa lagi menahan senyumannya. Lalu berlari dan Malik masih mengejar.
Cantika berhenti di taman kecil yang letaknya di samping gedung dan terdapat tempat duduk di bawah pohon tersebut.
"Nih minum dulu." Malik memberikan botol berisikan air mineral kepada Cantika.
"Lo bukannya ngejar gue dari tadi ya?" tanya Cantika yang tidak menyangka Malik cepat sekali membawakan air mineral kepadanya.
"Hehe sempet beli ke bocah yang baru beli minum sih." Malik meraih botol tadi yang sudah ditangan Cantika lalu ia membuka tutup botol tersebut dan kembali diberikan kepada Cantika.
"Yaelah, jadi repotin lo." Cantika juga merasa berbunga-bunga hatinya diberi perhatian penuh oleh Malik seperti ini. Malik sangat manis memperlakukannya dan Cantika entah mengapa menjadi suka. Seperti ada sosok laki-laki yang memanjakannya sebab kurangnya kasih sayang dari ayah sedari kecil. Jadi setiap ada sosok laki-laki penuh perhatian, Cantika merasakan ada sosok ayah disisinya tapi sayangnya sosok ayah yamg diharapkan tidak pernah datang menghampirinya dan mengatakan putriku..
Malik melihat jelas tadi raut wajah Cantika yang senang mendadak sedih seketika..
'Dia kenapa ya?'
...
"Mbak Ver." Malik memanggil kepala pembantu di rumahnya yang sedang memeriksa makanan malam ini sebab Angga sengaja kepala rumah tangga di rumah ini yang memerintahkan Vera untuk menyiapkan makan besar dan mengajak keluarganya Pandu juga. Ini adalah acara kecil-kecilan di rumah, bentuk rasa syukur Angga atas keberhasilannya membuka cabang toko buku sekolah lagi dan semua rencananya dulu sudah berjalan sangat lancar sekarang ini.
"Eh iya Malik. Ada apa?" tanya Vera sembari menghadapkan tubuhnya ke Malik.
"Emm bisa kita bicara berdua sebentar aja?" tanya Malik hati-hati sambil melirik kanan dan kiri. Takutnya ada papanya dan mamanya ada disini juga.
"Boleh, ayo!" Vera mengangguk setuju dan keduanya kini berada di halaman belakang rumah.
Disana Vera mengernyit dahinya menatap Malik yang terdiam sebentar. Malik tidak tahan lagi menahan rasa ingin taunya tentang Cantika setelah Malik mengamati gerak-gerik Cantika selama ini.
"Ada apa Malik?" tanya Vera lagi.
"Sebenarnya aku ingin tau hal tentang Cantika.".
Raut wajah Vera mendadak pucat dan matanya melirik ke sekitar halaman rumah ini. Wanita itu pun beranjak berdiri dan Malik menyipitkan matanya menatap Vera yang tengah mencemaskan sesuatu.
"Kenapa Mbak Ver? Apa ada yang salah sama pertanyaanku?" Malik ikut berdiri dan juga bingung.
"Emm enggak, enggak papa." Vera menggeleng cepat dan tersenyum penuh paksaan.
"Oh begitu tapi---"
"Maaf Malik, mbak Vera tidak bisa menceritakan tentang Cantika dan ada alasan tersendiri menutupi masalah Cantika," ucap Vera.
"Iya, Mbak Ver. Aku tau pasti tidak semudah itu mbak Vera menceritakan tentang Cantika dan Cantika sendiri juga sulit bercerita kepadaku tentang masalahnya." Malik mengangguk paham dan tidak memaksakan Vera menceritakan tentang Cantika. Karena Malik tau batasannya dan melihat raut wajah Vera sudah menjelaskan ada masalah di kehidupannya Cantika. Walau ia tidak tau apa-apa yang jelas Malik ingin membantu permasalahan hidupnya Cantika.
"Iya, makasih Malik. Kamu orangnya ngerti dan mbak mau permisi dulu."
"Emm sebentar mbak." Malik menahan Vera yang akan pergi.
"Iya?" Vera menghentikan langkahnya.
"Apa kehidupan Cantika itu berat? Malik cuman tanya itu saja dan aku harap mbak mau menjawabnya." Sorot mata Malik penuh harap dimata Vera membuat Vera tidak tega dan ia pun mengangguk sebagai jawaban awalnya.
"Iya, kehidupan Cantika dulu sangat berat dan prihatin sekali. Oh ya, mbak cuman minta tolong saja kepadamu, tolong jaga Cantika dari gangguan orang-orang di sekitarnya sebab ada seseorang yang membenci kehadiran Cantika dan berupaya menyiksa Cantika secara perlahan. Termasuk luka Cantika yang kemarin itu." Vera mengulum senyumnya simpul. Vera pun pergi meninggalkan Malik sendirian di halaman belakang rumahnya.
"Jadi benar dugaan gue, ada yang tak beres setelah Cantika tidak mau melaporkan orang yang telah mencelakainya. Apa benar kehidupannya itu sangat berat? Kalau benar, gue pengen bener-bener bantu dia agar Cantika tidak disiksa orang aneh terus. Siapa sih orang yang membencinya? Sampai tega mencelakai Cantika." Malik sangat berpikir keras tentang Cantika. Semakin penasaran dan ingin tau soal Cantika. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri membuat Cantika tidak semurung itu. Sedih saat melihat sorot mata Cantika yang seperti berat menjalani masalahnya sendirian dan Malik bertekad membuat Cantika hidup bahagia.
"Ah iya, gue harus minta pertolongan sama papa tapi gak mungkin juga sih. Papa setuju sama permintaan Malik. Karena gak sembarangan orang diberi bukti cctv di jalanan juga tanpa ada alasan yang jelas. Disisi lain Cantika tidak mau memperpanjang masalahnya dengan orang aneh yang mencelakainya itu sangat sulit bagi gue menggunakan alasan ingin tau tentang bukti di cctv ke papa." Malik menggaruk tekuknya yang tidak gatal sambil kakinya melangkah masuk kembali ke rumahnya.
"Malik, kamu kenapa?" tanya Irene yang melintas di depan putra sulungnya yang seperti tengah memikirkan sesuatu yang serius.
"Enggak papa, Ma."
"Kamu mikirin apa hayo?" tanya Irene lagi yang penasaran apa yang tengah dipikirkan Malik sampai putranya memegangi lehernya dengan kuat.
"Cuman masalah kecil."
"Masalah kecil ataupun besar tetaplah cerita ke mama dan jangan dipendam sendiri. Gak enak masalah dipendam sendirian dan bikin stress juga." Irene tersenyum dan menepuk pundak anaknya pelan.
"Iya, Ma. Aku paham tapi ini gak berat ma dan bisa diselesaikan sendirian," jawab Malik yang sengaja tega membohongi mamanya. Malik berucap kata maaf beberapa di dalam hatinya.
"Tidak semua masalah bisa diceritakan ke seseorang dan masalah juga ada lebih baiknya dipendam sendirian." Seseorang datang menghampiri mereka dan merangkul pinggang Irene dengan mesrahnya. Raut wajahnya begitu tegas, dingin dan acuh namun Irene selalu jatuh cinta pada sosok itu setiap harinya. Dialah Angga, suaminya.
"Alah papa malah mesra-mesraan di depan aku kan aku jadi iri." Malik mendengus sebal dan kini Angga malah menciumi seluruh wajah Irene di depan putranya. Malik sudah terbiasa setelah ia beranjak dewasa, papanya itu suka tidak tau tempat bermesraan dengan Irene walau wajah papanya sangat datar sekali dan jarang tersenyum lebar.
"Sudahlah, Mas. Mas ini sudah tau anaknya jomblo malah dipamerin kan kasian." Irene menepuk pipinya suaminya dengan lembut.
"Kasian putraku ini tapi aku tidak peduli." Angga suka sekali menggoda anaknya sendiri dan Malik memasang wajah bete'nya.
"Papa jahat, Ma." Malik mengadu ke Irene sambil bergelayut manja di lengan mamanya.
"Heh kamu gak boleh begini, sana cari pacar biar bisa manja-manjaan sama pacarmu sendiri." Angga melepaskan tangan putranya yang bergelayut manja ke lengan Irene.
"Ih papa jangan gitu dong." Irene menepuk pipi suaminya lagi.
"Aku ingin pindah ke bumi lain." Malik duduk bersila di depan orang tuanya.
"Mana ada bumi lain, ada-ada saja kamu ini." Irene terkekeh.
"Biarin saja si Malik. Ayo kita keluar rumah bentar." Angga menggandeng Irene dan Irene pamit ke Malik sambil melambaikan tangannya.
"Hati-hati mama papa. Ish mereka mah." Malik menghentakkan kedua kakinya dan seketika teringat Cantika sewaktu marah kepadanya tadi seperti ini sikapnya.
"Ah dia itu." Malik tersenyum senang sambil menggelengkan kepalanya.
...
"Cantika." Puji memanggil putrinya yang tengah berada di dalam kamar dan sepertinya baru selesai berganti pakaian.
"Iya, Bu." Cantika meletakkan pakaiannya yang sudah ditata rapi di atas kasur tipisnya.
"Kaki kamu sudah sembuh, Nak?" tanya Puji khawatir. Mendapat kabar dari Vera kemarin, bahwa putrinya dicelakai seseorang di saat Cantika dalam perjalanan pulang ke rumah dan Puji berucap syukur mengetahui putrinya ditolong serta diobati oleh Malik.
"Lumayan, Bu. Tidak seperti kemarin sih. Kenapa, Bu?" tanya Cantika bingung dan membantu ibunya duduk di sampingnya.
"Ibu mencemaskan keadaan kakimu, masih saja mereka menganggu kehidupan mereka padahal kita pun sudah tidak berhubungan lagi sama mereka. Jahat sekali dan tega mereka melakukan ini kepadamu." Amarah Puji membludak rasanya, putrinya sering dicelakai oleh seseorang yang membenci mereka. Jelas-jelas Puji dan Cantika tidak pernah lagi menganggu kehidupan orang tersebut. Namun masih saja diganggu dan Puji ingin sekali membalaskan dendamnya kepada Mereka. Tapi sadar itu tidak akan terjadi karena Puji bukanlah orang yang pendendam dan ia yakin apa yang ditanam buruk oleh mereka bakal mereka juga merasakan seperti kehidupannya suatu saat nanti.
"Sudah, Bu. Tenangkalah diri ibu dan bisa membahayakan kesehatan ibu juga. Biarlah aku yang merasakannnya dan ibu cukup mempercayai aku kalau aku baik-baik saja. Aku tau Ibu marah dan emosi kepada mereka tapi buat apa marah dan emosi kepada mereka? Itu sangat membuang-buang waktu kita karena kita tidak seperti mereka dan jalanu dengan santai kehidupan ini." Tidak hanya Puji saja melainkan Cantika, walau ia tampannya di luar terlihat tenang dan diam. Namun dirinya juga bisa emosi dan menghantam orang yang berani-beraninya bersikap buruk kepadanya. Tapi setelah dipikir pun percuma dirinya melakukan hal itu dan rasanya sia-sia saja serta kalah dengan uang.
"Tidak, Nak. Ibu tidak mungkin setega itu kepada anaknya yang baru saja dilukai oleh orang. Apalagi kata Malik, lukanya juga sedikit lebar bukan?" Puji meraih tangan putrinya dan menggenggamnya. Ada perasaan bersalah muncul, ia sadar tak bisa membahagiakan putri kecilnya dan juga gagal sebagai seorang ibu yang selalu membuat putrinya celaka.
'Andai kamu tidak lahir di kandungan ibu, mungkin kamu tidak merasakan luka sehebat ini di hati kecilmu. Anak ibu yang malang, maafkanlah ibu Nak. Ibu kurang dalam segala hal dan selalu menyusahkan kamu dari dulu' Batin Puji dan setetes air matanya terjatuh perlahan mengenai pipinya.
"Alah ibu jangan menangis, aku baik-baik saja kok bu. Sudahlah, kita jalani saja skenario dari Tuhan dan bersyukur kita masih diberi kesehatan di tengah kita mendapatkan masalah dan ujian." Inilah alasan Cantika tidak pernah mengeluh kepada ibunya dan harus tetap tegar nan kuat supaya tidak menambah buruk pada kesehatan ibunya.
"Nak, tetap saja ibu mencemaskan kamu gimana kedepannya nanti kalau mereka masih saja menganggumu. Itulah yang ibu pikirkan ketika kamu berada di luar rumah dan besok lusa kamu mendaftar kerja di rumah makan besar. Ibu takut kamu bertemu mereka dan dipermalukan."
Cantika menggeleng dan tak tega ibunya menangis ketakutan. Ia memeluk ibunya dan meletakkan kepalanha bersandar di pundak seseorang yang selalu membuatnya nyaman. Cantika mengusap punggung ibunya dengan lembut dan penuh kasih sayang. Ia mencoba menenangkan suasana hati sang ibu yang sedang tidak baik-baik saja dan Cantika ikut berlarut ke dalam kesedihan sang ibu.
"Sudah, Bu. Cantika tidak apa-apa," ujar Cantika setelah mendengar suara tangisan Puji perlahan mereda.
"Anak ibu yang cantik ini, semoga Tuhan selalu melindungimu dan selalu berada disisi ibu. Ibu tidak mau sesuatu buruk menimpamu dan maafkan ibu, kamu menderita karena ibu juga." Puji meraba-raba wajah anaknya dan menangkup wajah putrinya tersebut. Sungguh di hatinya sangat berharap bisa memandang wajah putrinya yang sudah tumbuh dewasa dan tentunya semakin cantik. Orang-orang menyebutnya, ia dianugerahi putri yang begitu cantik dan Puji merasa senang akan hal itu.
"Ibu jangan begitu, aku sangat-sangat begitu bersyukur memiliki ibu yang hebat bernama Puji. Ibu yang penuh kasih sayang dan suka tegas terhadap suatu hal. Aku menyayangi ibu hingga aku akan taruhkan nyawaku demi ibu apapun aku lakukan pula demi ibu karena ibuku adalah sosok yang aku miliki dan aku sayangi dengan sepenuh hatiku. Sudah ya, Bu. Jangan jelek-jelekin diri sendiri, ibu itu hebat dimataku dan aku yang tau tentang ibu bukan orang lain yang dengan sengajanya menjelek-jelekan ibu." Cantika ikut memegang tangan ibunya yang menangkup wajahnya.
"Ibu terharu mendengarkannya, ibu juga sangat menyayangimu dengan sepenuh hati ibu. Namun lebih baik ibu yang meninggal duluan daripada kamu." Tangan Puji dan Cantika saling menggengam. Mereka sama-sama menyalurkan energi yang positif sekali melalui genggaman tangan.
"Hus ibu jangan bilang begitu, aku tidak mau kehilangan ibu dan hanya ibu yang aku punya. Kita berdoa kepada Tuhan supaya sama-sama diberikan kesehatan dan selalu bersama." Cantika mencium punggung tangan ibunya dan Puji membelai rambut Cantika dengan sayangnya.
"Iya putriku, ibu juga bersyukur memiliki anak sepertimu dan untung saja ibu melahirkan anak yang sangat begitu sayang kepada ibu. Menurut dan patuh sekali." Puji beranjak berdiri lagi dan dibantu oleh Cantika.
"Iya, Ibu. Pasti dong harus begitu dan kalau tidak begitu namanya anak durhaka. Cantika tidak mau menjadi anak durhaka dan itu sangat tidak pantas disebut anak sih." Cantika tersenyum meski ibunya tidak bisa melihat jelas wajahnya. Tetap saja ia tersenyum menatap ibunya dengan sangat penuh kasih sayang.
"Hehe iya anakku sayang."
"Ibu, mau kemana?" tanya Cantika saat ibunya sudah bangku kasur.
"Ibu mau ke kamar mandi."
"Aku antar ya bu."
"Tidak usah, kamu lanjutin kegiatannmu saja." Puji tau bahwa anaknya sedang sibuk berberes kamarnya.
"Enggak, Bu. Cantika tetap bantu ibu ke kamar mandi." Cantika bergegas membantu Puji ke kamar mandi dan mengurus ibunya sampai bersiap tidur di malam ini. Lalu Cantika melanjutkan urusannya tadi yakni merapikan pakaiannya yang tak begitu banyak.
Ketika tengah menata pelajarannya, ada sebuah benda jatuh ke lantai dan Cantika langsung memungutnya.
Cantika menatap benda itu bingung lalu mengamatinya dan membuka buku yang tampak asing itu yang diambil dari tasnya.
"Ini bukannya bukunya dia ya." Cantika mengingat-ingat sesuatu lalu menjentikkan jarinya saat sudah teringat siapa pemilik buku yang tampak begitu rapi ini.
"Bukunya Malik lebih rapi dibanding buku gue." Cantika menggelengkan kepalanya heran dan terus mengamati buku milik Malik hingga ia membukanya satu per satu.
Cantika membuka lebar mulutnya dan tidak menyangka mengetahui isi buku salah satu pelajaran yang dibencinya itu ialah matematika.
"Buset ini tulisan rapi banget dan nilainya bagus-bagus." Cantika tidak percaya dan memegang dahinya kemudian menyibakkan anak-anak rambutnya ke belakang.
"Ini bocah nyontek kan? Sumpah gue itu paling benci sama pelajaran ini bikin gue darah tinggi deh dan sampai sekarang pun gue gak paham semua materi matematika." Cantika merasa lemas saja karena tidak menemukan nilai Malikyang jelek dan paling jelek menurutnya itu tepat dengan nilai KKM saja.
"Gue gak percaya kalau dia pintar, sumpah gue gak percaya dan gue harus mengintrogasinya." Cantika masih tidak percaya dan yakin kalau Malik ini mencontek temannya.
...